BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jambu Biji
Tumbuhan jambu biji (Psidium guajava) merupakan tumbuhan yang berasal dari Amerika tropis banyak ditanam sebagai tumbuhan buah-buahan yang tumbuh pada ketinggian 1 – 1.200 m di atas permukaan laut. Jambu biji merupakan tanaman perdu bercabang banyak, tingginya dapat mencapai 3 – 10 m. Umumnya umur tanaman jambu biji sekitar 30 – 40 tahun. Tanaman yang berasal dari biji relatif berumur lebih panjang dibandingkan hasil cangkokan atau okulasi.
Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani, yaitu “psidium” yang berarti delima, “guajava” berasal dari nama yang diberikan oleh orang spanyol. Adapun taksanomi tumbuhan jambu biji diklasifikasikan tumbuhan daun jambu biji sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Myrtales
Suku
: Myrtaceae
Genus
: Psidium
Spesies
: Psidium guajava L.
Gambar 2.1 Daun Jambu Biji
Morfologi dari jambu biji sebagai berikut: kulit batangnya licin, terkelupas dalam potongan, ruas tangkai teratas segi empat tajam. Daun muda berbulu abuabu, daun bertangkai pendek dan bulat memanjang. Bunga terletak di ketiak daun, tabung kelopak bunga berbentuk lonceng atau bentuk corong, panjang 0,5 cm. Daun mahkota bulat telur terbalik, panjang 1,5 – 2 cm, putih segera rontok. Benang sari pada tonjolan dasar bunga yang berbulu, putih, pipih dan lebar. Bakal buah tenggelam beruang 4 – 5. Buah buni bundar dan berbentuk pir (Steenis, 2008).
Daun jambu biji telah digunakan untuk tujuan pengobatan di beberapa kebudayaan selama ribuan tahun. Dalam penelitian yang telah dilakukan, daun jambu biji memiliki kandungan yang banyak bermanfaat bagi tubuh kita. Metabolit sekunder dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu terpen, fenolik, dan senyawa yang mengandung nitrogen terutama alkaloid.
Tanin pada tumbuhan jambu biji dapat ditemukan pada bagian buah, daun dan kulit batang, sedangkan bunga pada tumbuhan jambu biji tidak banyak mengandung tanin. Daun tanaman jambu biji selain mengandung tanin, juga mengandung zat lain, seperti asam ursolat, asam lat, asam guajaverin, minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, dan vitamin (Belawarna,2012; Rosidah, 2012). Daun – daun jambu biji memiliki kandungan zat – zat penyamak (psiditanin) sekitar 9%, minyak atsiri berwarna kehijauan yang mengandung eganol sekitar 0,4%, damar 3%, minyak lemak 6%, dan garam – garam mineral (Kartasapoetra, 2004).
Alkaloid dapat mempengaruhi sekresi hormon reproduksi yang diperlukan untuk berlangsungnya proses spermatogenesis, minyak atsiri bekerja tidak pada proses
spermatogenesis,
tetapi
pada
transportasi
sperma
tanin
dapat
menggumpalkan sperma sehingga menurunkan motilitas dan daya hidup sperma (Wien, 2007).
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbanyak terdapat di alam. Senyawa-senyawa ini bertanggung jawab terhadap zat warna merah, unggu, biru, dan sebagaian zat warna kuning dalam tumbuhan. Semua flavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk “flavon” yakni nama sejenis flavonoid yang terbesar jumlahnya dan juga lazim ditemukan, yang terdapat terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan primula.
Sebagian besar flavonoid yang pada tumbuhan terikat pada molekul gula sebagai glikosida dan dalam bentuk campuran, jarang sekali dijumpai berupa senyawa tunggal. Flavonoid dalam tumbuhan mempunyai empat fungsi : 1) Sebagai pigmen warna, 2) Fungsi fislologi dan patologi, 3) Aktivitas farmakologi, dan, 4) Flavonoid dalam makanan. Aktivitas farmakologi dianggap berasal dari rutin (glikosa flavonol) yang digunakan untuk menguatkan susunan kapiler, menurunkan permeabilitas dan fragilitas pembuluh darah. flavonoid dapat menghambat enzim aromatase yaitu enzim yang berfungsi mengkatalis konversi androgen menjadi estrogen yang akan meningkatkan hormon testosteron, yang mana tingginya konsentrasi hormon testosteron akan berumpan balik ke hipofisis yaitu tidak melepaskan FSH (Follicle Stimulating Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon) (Wienarno, 1997).
Saponin merupakan senyawa glikosida kompleks yaitu senyawa hasil kondensasi suatu gula dengan suatu senyawa hidroksil organik yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan non-gula (aglikon). Saponin ini terdiri dari dua kelompok : saponin triterpenoid dan saponin steroid. Saponin banyak digunakan dalam kehidupan manusia, salah satunya terdapat dapat lerak yang dapat digunakan untuk bahan pencuci kain (batik) dan sebagai shampoo. Saponin dapat diperoleh dari tumbuhan melalui metoda ekstraksi. Saponin dalam siklus sel dapat menghambat pembentukan Bcl-2 yang terlalu tinggi, menginduksi caspase 3 yang diekspresikan terlalu rendah, meningkatkan ekspresi p53 dan memicu G1 cell cycle arrest (Raju,2004).
2.2 Spermatogenesis pada Mencit
Spermatogenesis merupakan tahapan terpenting yang menentukan kemampuan dan fungsi reproduksi dari seluruh spesies makhluk hidup, khususnya manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan jantan pada hewan. Proses ini dimulai dari perkembangan germ cell pada basal tubulus miniferus yang perlahanlahan akan bergerak kearah lumen tubulus seminiferus menjadi sel spermatozoa dewasa yang siap untuk diejakulasikan dan membuahi sel telur (ovum) dari manusia perempuan atau hewan betina (Subratha, 1998).
Spermatogenesis pada mencit menyerupai proses yang terjadi pada manusia
maupun
hewan
lainnya
dan
berlangsung
dalam
tiga
tahap.
Spermatogonium sel germinal diploid (2n) yang dibagi dengan mitosis dan berada pada membran basal. Berbagai jenis spermatogonium diakui sebagai tipe A, Intermediat, dan tipe-B. Dalam laboratorium tikus dipelajari dengan baik, seperti tikus dan mencit, empat kelas spermatogonium yang hadir: terdiferensiasi spermatogonia tipe A [A tunggal, A paired, A aligned]; spermatogonium tipe A dibedakan
(A1,
A2,
A3,
A4);
spermatogonium
intermediat
(In);
dan
spermatogonium tipe B (B) (Hess, 2001). Spermatogonium B selanjutnya mengalami mitosis sehingga terbentuk spematosit primer dan berada pada fase istirahat pada tahap preleptoten (Gilbert, 1985).
Spermatogonia A muncul pada semua stadium epitel tubulus seminiferus, sedangkan spermatogonia intermediat tampak pada stadium II hingga IV. Spermatogonia B pada stadium IV hingga VI. Sebagai hasil pembelahan dan diferensiasi, generasi baru spermatogonia adalah spermatosit primer yang tampak pada stadium VI hingga VII. Sedangkan stadium VII hingga XII akan terlihat dua lapisan spermatosit primer dalam tubulus seminiferus. Lapisan spermatosit yang lebih muda terletak lebih dekat dengan membran sel. Pada lapisan ini terdapat spermatosit pada fase istirahat yang terdapat pada stadium VII dan awal stadium VIII (Hess, 2001).
Tahap berikutnya adalah meiosis yang terdiri dari dua tahap, yaitu meiosis I dan meiosis II dimana masing-masing mengalami fase profase, metafase, anafase dan telofase. Profase pada meiosis I yang meliputi leptoten, zigoten, pakiten, diploten dan diakinesis. Meiosis I berakhir dengan terbentuknya spermatosit sekunder dan kemudian memasuki meiosis II dan pembelahan berlanjut untuk membentuk spermatid (Johnson, 1990; Hess 2001). Selanjutnya diakhiri tahap spermiogenesis yang merupakan transformasi spermatid dari bentuk yang bulat menjadi spermatozoa dengan kepala, leher dan ekor. Spermiogenesis pada mencit terdiri dari 16 tingkat yang secara umum diklasifikasikan menjadi empat fase, yaitu fase golgi, fase cap, fase akrosom dan fase maturasi (Johnson, 1990; Hess 2001).
Spermatogenesis
yang
terjadi
pada
tubulus
seminiferus
mencit
berlangsung selama 30 - 40 hari dengan empat kali siklus epitel seminiferus. Satu kali siklus epitel seminiferus berlangsung selama 207±6 jam. Pada mencit (Mus musculus), epitel germinal tubulus seminiferus merupakan tempat berlangsungnya spermiogenesis yang terbagi dalam 12 stadium, yaitu stadium I sampai dengan stadium XII. Pembagian stadium didasarkan atas perkembangan akrosom selama proses spermatogenesis.
Gambar 2.2 Potongan Tubulus Seminiferus dari spesies mamalia yang berbeda. Dalam manusia (A) dan monyet kecil Callithrix penicillata (B), dua tahap siklus atau asosiasi sel germinal (dibatasi oleh garis hitam) yang diamati, sedangkan pada mencit (C) dan tikus (D) hanya satu tahap ditemukan (Sumber: Cheng, 2008)
Gambar 2.3 Tahapan Tikus dalam Siklus Epitel Seminiferus (I – XII) (Sumber: Cheng, 2008)
2.3 Karakteriktik Spermatozoa
Semen terdiri atas dua komponen, yaitu plasma semen dan spermatozoa. Plasma semen adalah cairan yang berfungsi sebagai medium bagi spermatozoa, diproduksi oleh kelenjar–kelenjar tambahan, yaitu kelenjar bulbourethralis (kelenjar cowper), kelenjar prostat dan kelenjar vesikularis. Spermatozoa adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam testis melalui proses spermatogenesis, yang bersama–sama dengan plasma semen akan dikeluarkan melalui saluran kelamin jantan untuk membuahi sel telur.
Spermatozoa adalah sel kelamin yang memegang peranan penting dalam proses pembuahan. Cikal bakal spermatozoa sudah ada sejak embrio berupa sel– sel gonosit yang sudah aktif mengadakan pembelahan, sehingga menghasilkan spermatogonia
(Hafez,
1987).
Spermatogonia
akan
berproliferasi
dan
berdiferensiasi menjadi Spermatosit I yang kemudian memasuki fase miosis, sehingga membentuk spermatid yang mempunyai jumlah kromosom separuh dari jumlah kromosom sel sebelum miosis (haploid). Spermatid kemudian akan mengalami proses perubahan bentuk melalui tahap–tahap yang panjang yang disebut dengan proses spermiogenesis dan pada akhir spermiogenesis ini akan dihasilkan spermatozoa yang mempunyai struktur spesifik sesuai dengan fungsinya untuk membuahi sel telur. Spermatozoa terdiri atas bagian kepala, leher dan ekor spermatozoa (Hafez, 1987).
2.3.1 Bagian Kepala Spermatozoa
Kepala
spermatozoa
berasal
dari
kondensasi
nukleus
spermatid.
Kondensasi tersebut meliputi perubahan-perubahan kromatid menjadi lebih ringkas, pemantapan membran luar menjadi kuat dan pembentukan tudung depan (akrosom). Akrosom merupakan suatu kantung kecil yang mengandung enzim– enzim yang sangat penting untuk menembus dinding sel telur pada saat pembuahan. Enzim hialuronidase berfungsi membuka dinding luar telur. Bagian leher spermatozoa merupakan bagian yang menghubungkan kepala dan ekor.
2.3.2 Bagian Ekor Spermatozoa
Bagian ekor spermatozoa terdiri dari dua bagian ujung (end piece). Pada bagian pangkal (middle piece) terdapat mitokondria yang telah memanjang dengan susunan teratur membentuk spiral yang berfungsi dalam kegiatan metabolisme spermatozoa dalam menghasilkan energi berupa ATP (Adenosin Tri Phosphate) melalui proses respirasi. Pada bagian ujung (end piece) berfungsi sebagai alat mekanik untuk pergerakan spermatozoa.
2.3.3 Analisis Semen
Sperma sangat erat kaitannya dengan kesuburan seorang pria. Produksi sperma, baik menyangkut kualitas dan kuantitas sperma dipengaruhi oleh kerja hormon. Apabila ada gangguan pada kelenjar pituitaria, maka produksi sperma di testis juga akan mengalami gangguan. Agar tidak terjadi pembuahan (pertemuan antara sel telur wanita dengan sel sperma pria dibutuhkan jumlah sperma yang sedikit atau kualitas sperma menurun. Untuk dapat membuahi sel telur wanita, dibutuhkan sedikitnya 20 juta sel sperma laki-laki, namun apabila jumlahnya kurang dari 20 juta, maka kemungkinan sel sperma gagal untuk membuahi. Penilaian kualitas spermatozoa meliputi konsentrasi, viabilitas, abnormalitas dan gerakan massa spermatozoa.
Sperma secara esensial terdiri dari kepala yang membawa materi herediter paternal dan ekor yang mengandung sartna penggerik. Permukaan sperma dibungkus oleh suatu membran lipoprotein yang apabila sel tersebut mati, permeabilitas membrannya meninggi, terutama di daerah pangkal kepala. Hal ini merupakan dasar pewarnaan semen yang dapat membedakan sperma yang hidup dan yang mati (Siti, 2000). Pada umumnya sperma sangat aktif dan tahan hidup lama pada pH 7,0. Sampel semen dianalisis berdasarkan volume, viskositas, pH, warna, konsentrasi, motilitas, dan morfologinya. Acuan normal sperma manusia yang berdasarkan WHO (2010): Volume: 1 ml ; Sperm Density: >20 million sperm/ml ; Motility: >50% ; Morphology: >30% normal forms ; Forward
Progression: (scale 1-4) 2+ ; Viscosity: No Hyperviscosity ; White blood cells: 05 per high power field. Sementara untuk mencit belum ada bahan pendukung yang menyatakan kenormalan sperma.
Berikut grafik perbandingan produksi sperma harian antara mencit dan manusia (Sumber: Cheng, 2008) :
Abnormalititas volume sperma jarang ditemukan biasanya berhubungan dengan
masalah
kelenjar
aksesoris-vesika
seminalis
dan
prostat
yang
memproduksi cairan seminalis. Semen yang terlalu sedikit menyebabkan sperma sulit untuk mencapai serviks, sedangkan semen yang terlalu banyak dapat mengencerkan sperma sehingga menurunkan konsentrasinya. pH sperma: normalnya pH sperma adalah alkaline (basa) yang dapat melindungi sperma dari cairan vagina yang asam. PH sperma yang asam mengindikasikan masalah pada fungsi vesika seminalis apakah itu tidak adanya vesika seminalis atau obstruksi pada duktus ejakulatorius.
Viskositas: selama ejakulasi semen disemburkan dalam bentuk cairan yang dilapisi gel. Gel ini harus mencair dalam waktu 30 menit agar sperma dapat bergerak bebas. Jika gagal, hal ini mengindikasikan adanya infeksi pada vesika seminalis dan prostat. Terdapatnya fruktosa, diproduksi oleh vesika seminalis dan berfungsi menyediakan energi bagi sperma untuk bergerak. Absennya fruktosa
indikasi adanya blok pada saluran reproduksi pria pada tingkat duktus ejakulatorius.
Motilitas: terdapat 2 tipe sperma yaitu sperma yang dapat berenang dan yang tidak. Grade 1 (fast progressive) sperma berenang cepat ke depan dalam garis lurus seperti misil. Grade 2 (slow progressive) sperma berenang ke depan baik dalam garis lurus ataupun melengkung. Grade 3 (nonprogressive) sperma bergerak memindahkan ekornya namun tidak bergerak ke depan (motilitas lokal). Grade 4 (immotile) sperma tidak bergerak sama sekali. Sperma grade 3 dan 4 dikategorikan kualitas rendah ini mengindikasikan testis menghasilkan sperma berkualitas rendah dan tidak berfungsi dengan baik.
Morfologi: sperma yang baik harus memiliki kepala berbentuk oval, dengan bagian tengah sebagai penghubung dan ekor yang panjang dan lurus. Jika terlalu banyak sperma yang memiliki bentuk abnormal (teratozoospermia) ini dapat berarti sperma memiliki fungsi yang abnormal dan tidak akan mampu untuk membuahi sel telur.
a
b
c
d
Gambar 2.4 Bentuk-bentuk sperma pada tikus. a. bentuk sperma normal; b.sperma abnormal dengan bentuk kepala seperti pisang; c. sperma abnormal dengan bentuk kepala tidak beraturan (amorphous); d. sperma abnormal dengan bentuk kepala terlalu membengkok (Washingthon et al., 1983) Viabilitas (daya hidup) spermatozoa merupakan salah satu indikator yang menentukan terjadinya fertilisasi atau terbentuknya embrio adalah, mengingat faktor tersebut erat kaitannya dengan fungsi spermatozoa itu. Dengan rendahnya
viabilitas maka pembuahan tidak akan terjadi sebab spermatozoa mati sebelum membuahi sel telur (Rusmiati, 2007).
Berikut beberapa terminalogi yang dipergunakan dalam spermatologi : 1. Azoospermia : Dalam ejakulat tidak terdapat / ditemukan sperma. 2. Aspermatogenesis : Tidak terjadi pembuatan spermatozoa di dalam testis. 3. Aspermia : Tidak terdapat ejakulat 4. Normospermia : Jumlah volume sperma 2 - 5 ml. 5. Hypospermia : Volume ejakulat kurang dari 1 ml 6. Hyperspermia : Volume ejakulat lebih dari 6 ml 7. Hypospermatogenesis : Proses pembentukan spermatozoa sangat sedikit di dalam testis. 8. Oligospermia : Jumlah spermatozoa di bawah kriteria normal (di bawah 20 juta tiap ml sperma) 9. Normozoospermia : Jumlah spermatozoa dalam batas normal berkisar antara 40-200 juta/ml. 10. Asthenospermia : Jumlah spermatozoa yang bergerak baik di bawah 50%. 11. Necrospermia : Semua spermatozoa dalam keadaan mati. 12. Extrem oligospermia : Jumlah spermatozoa di bawah 1 juta untuk tiap 1 mL ejakulat. 13. Asthenozoospermia : Spermatozoa yang lemah sekali gerak majunya. 14. Teratozoospermia : Bentuk spermatozoa yang abnormal lebih dari 40%. 15. Nekrozoospermia : Semua spermatozoa tidak ada yang bergerak atau hidup. 16. Kriptozoospermia : Bila ditemukan spermatozoa yang tersembunyi yaitu bila ditemukan dalam sedimen sentrifugasi sperma. 17. Polizoospermia : Bila jumlah spermatozoa lebih dari 250 juta per ml sperma 18. Leukospermia : Warna sperma putih keruh serupa susu karena terdapat leukosit yang banyak. 19. Hemospermia : Warna sperma kemerahan karena terdapat erythrosit yang banyak. 20. Residual Body : Sisa sitoplasma yang melekat pada spermatozoa yang belum matur.
2.4 Enzim Cyclooxygenase
Cyclooxygenase (COX) adalah enzim kunci dalam kaskade asam arakidonat. Asam arakidonat, asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen dari membran fosfolipid yang dikonversi menjadi prostaglandin H2 (PGH2). Kemudian, PGH2 dimetabolisme menjadi prostaglandin (PG) dan lainnya. Pembentukan prostanoid dari PGH2 terjadi melalui tindakan beberapa sintase yang diekspresikan pada jaringan dan sel-sel selektif. Sintase ini termasuk prostaglandin D sintase (PGDS), prostaglandin E sintase (PGES) (Tanaka et al,1987; Stables dan Gilroy, 2010), prostaglandin F sintase (PGFS), prostaglandin I sintase (PGIS), dan tromboksan A sintase (TXAS) yang masing-masing membentuk PGD2, PGE2, PGF2α, PGI2 (juga dikenal sebagai prostasiklin) TXA2 (Stables dan Gilroy, 2010).
Ekspresi berbeda dari enzim ini dalam sel yang menentukan profil produksi prostanoid. Sebagai contoh, sel mast terutama menghasilkan PGD2 sedangkan makrofag memproduksi PGE2 dan TXA2. Selain itu, perubahan dari profil sintesis prostanoid dapat terjadi pada saat aktivasi sel sehingga makrofag yang tidak teraktivasi menghasilkan TXA2 lebih dari PGE2, tetapi pada saat aktivasi rasio ini berubah untuk menghasilan PGE2 lebih dari TXA2 (Bezugla et al, 2006; Stables dan Gilroy, 2010).
Beberapa mekanisme biokimia telah dikemukakan untuk menjelaskan perubahan profil sintetis. Pertama, telah dikemukakan bahwa kompartmen fisik dari COX-1 dan COX-2 dengan sintase terminal spesifik dapat menghubungkan aktivitas enzim ini dengan sintesis produk akhir prostanoid spesifik (Naraba et al, 1998; Stables dan Gilroy, 2010). Kedua, beberapa sintase dapat diinduksi dan ekspresi mereka dapat diregulasi oleh sinyal dari lingkungan, misalnya, ekspresi dari isoform glutathione-dependent, PGE-sintase ditingkatkan oleh IL-1β (Jakobsson, 2002; Stables dan Gilroy, 2010).
Akhirnya, telah dikemukakan bahwa perbedaan pada afinitas substrat dan kinetik PGE-sintase dan TXA-sintase bertanggungjawab untuk profil produksi yang berbeda dari monosit yang teraktivasi dengan yang tidak teraktivasi (Penglis et al, 2000; Stables dan Gilroy, 2010).
Ada juga bukti bahwa dua isoform COX dapat berkontribusi dalam sintesis prostanoid yang berbeda. Sebagai contoh, kajian yang dilakukan pada makrofag
peritoneal,
yang
mengekspresikan
semua
sintase
terminal,
mencadangkan bahwa COX-1 menghasilkan jumlah prostanoid yang seimbang (PGE2 PGD2, PGI2, dan TXA2) sedangkan COX-2 lebih banyak menghasilkan PGE2 dan PGI2 (Brock et al, 1999; Stables dan Gilroy, 2010).
Prostanoids menghasilkan efek biologis dengan berikatan pada reseptor spesifik di permukaan sel. Setidaknya ada sembilan reseptor prostanoid yang diketahui pada tikus dan manusia: reseptor PGD DP1 dan DP2, reseptor PGE2, EP1, EP2, EP3 dan EP4; reseptor PGF, FP; reseptor PGI, IP, dan reseptor TXA, TP. Selain itu, ada pecahan varian dari reseptor EP3, FP dan TP yang berbeda hanya pada C-terminal (Stables dan Gilroy, 2010).
Enzim COX terdiri dari 2 isoenzim, yaitu COX-1 dan COX-2. Enzim COX-1 bersifat konstitutif untuk memelihara fisiologi normal dan homeostatis, sedangkan COX-2 merupakan enzim yang terinduksi pada sel yang mengalami inflamasi (Leahy, 2000). COX-1 secara konstitutif diekspresi secara nyata oleh hampir seluruh jaringan tubuh mamalia, sedangkan COX-2 hanya sebagian saja dan dalam level yang rendah atau tidak terdeteksi.
Level ekspresi COX-1 pada umumnya konstan dan hanya akan ada kenaikan sedikit bila ada stimulasi dari faktor pertumbuhan atau selama masa deferensiasi.
Ekspresi COX-2 biasanya akan lebih banyak karena adanya
rangsangan dari mitogen, sitokin, dan tumor promoter yang bisa diakibatkan oleh adanya kerusakan sel atau bentuk stres sel lainnya (DeWitt, 1991; Dubois et al., 1998; Park, 2011).
COX-1 memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga prosesproses fisiologis pada berbagai jaringan atau organ. Misalnya pada ginjal, COX-1 berfungsi untuk menjaga elastisitas pembuluh darah sehingga proses filtrasi dapat berlangsung dengan baik, sedangkan pada lambung berfungsi untuk merawat integritas mukosa lambung dengan cara mengatur vasodilatasi pembuluh darah. COX-2 yang diekspresi karena adanya rangsangan tertentu berfungsi sebagai pendukung fungsi COX-1 atau sesuai dengan kebutuhan (Dubois et al., 1998).
Selama spermatogenesis, kematian sel secara terprogram (apoptosis) memainkan peran penting untuk menghilangkan sel-sel germinal yang cacat atau yang membawa mutasi DNA. Proses apoptosis sel germinal dapat menyebabkan infertilitas pria akibat menurunnya produksi spermatozoa. Setiap disregulasi proses apoptosis selama spermatogenesis akan mengarah pada pembentukan sperma yang rusak (Shaha, 2007).
Kerusakan DNA pada fase perkembangan sperma menyebabkan aktivitas dari enzim cyclooksigenase-2 (COX-2) pada sel germinal meningkat. Enzim cyclooksigenase (COX) merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan prostaglandin, suatu mediator inflamasi, produk metabolisme asam arakidonat (Leahy, 2000). Frungieri et al (2007) mengidentifikasi ekspresi COX-2 pada testis menunjukkan gangguan spermatogenesis. Pada penelitian terbaru juga telah menunjukkan dampak COX-2 dalam regulasi fungsi testis dan kesuburan pria. Enzim COX-2 mungkin memiliki relevansi biologis dalam patogenesis, dan pemeliharaan infertilitas laki-laki, serta dapat dijadikan penanda molekuler tambahan untuk diagnosis gangguan infertilitas pria (Perrotta, 2012).
2.5 Kontrasepsi Kontrasepsi adalah berbagai cara untuk mencegah kehamilan. Obat kontrasepsi mempengaruhi pada 3 bagian proses reproduksi pria, yaitu proses spermatogenesis, proses maturasi sperma, dan transportasi sperma. Sedangkan pengaruh kontrasepsi pada proses reproduksi wanita antara lain menghambat
ovulasi, menghambat penetrasi sperma, menghambat fertilisasi, dan menghambat implantasi. Sampai saat ini, obat kontrasepsi oral yang efektif dan paling banyak digunakan adalah dari golongan steroida. Hampir semua jenis obat tersebut adalah hasil sintesis di laboratorium. Akibatnya, sifat alami dari obat tersebut juga berubah drastis, sehingga mengakibatkan beberapa efek samping yang merugikan (Ketut, 2013).
Dari beberapa pustaka dan penelitian, tercatat ada 74 tanaman yang secara empiris digunakan oleh masyarakat di beberapa daerah untuk kontrasepsi. Tanaman-tanaman yang digunakan sebagai kontrasepsi tersebut mengandung senyawa-senyawa yang bersifat antifertilitas, antiesterogenik, dan antiimplantasi baik terhadap pria, wanita, maupun untuk keduanya. Dari penelitian terhadap tanaman-tanaman tersebut, ternyata banyak diantaranya mengandung alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, dan minyak atsiri (Marleni, 2008).
Penggunaan kontrasepsi yang berasal dari tanaman perlu diperhatikan pengaruhnya terhadap sistem reproduksi pria dan wanita. Ada beberapa tanaman yang dapat mengakibatkan kemandulan, tetapi ada pula tanaman yang pengaruhnya terhadap sistem reproduksi bersifat sementara sehingga jika tidak digunakan lagi, sistem reproduksinya kembali normal dan tidak terjadi kemandulan. Meski berasal dari tumbuh-tumbuhan (bahan alam) yang relatif sedikit efek samping, penggunaan kontrasepsi alami tetaplah harus hati-hati (Yulianti, 2012). Sebab, senyawa-senyawa yang berperan sebagai kontrasepsi dapat juga memberikan efek negatif jika pemakaian berlebihan dan tidak terkontrol. Penggunaan bahan alam sebagai kontrasepsi secara terkontrol dan dalam batas dosis aman dan dianjurkan, tidak akan menyebabkan efek samping yang permanen. Hanya memberikan efek menghambat produksi sperma dan mengganggu fungsi endokrin. Efek tersebut hanya timbul selama pemberian ekstrak, jika pemberian dihentikan organ reproduksi kembali normal.
2.6 Kerangka Teori Penelitian Ekstrak etanol daun jambu biji:
Spermatogenesis
- Alkaloid - Tanin - Flavonoid - Saponin - Minyak atsiri - triterpenoid
Spermatozoa
Non ekstrak etanol daun jambu biji (aquades)
Analisis Semen
-
Konsentrasi ↓ Morfologi ↓ Motilitas ↓ Viabilitas ↓
Enzim cyclooxygenase-2 ↑
-
Konsentrasi normal Morfologi normal Motilitas normal Viabilitas normal
Enzim cyclooxygenase-2 ↓
Gambar 2.5 Kerangka teori aktivitas antifertilitas ekstrak daun jambu biji terhadap analisis semen dan tampilan imunohistokimia aktivitas enzim cyclooxygenase-2 pada testis mencit (Mus musculus L.)