5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sibling Rivalry 1. Pengertian Sibling Rivalry Sibling rivalry adalah kecemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan, hal ini terjadi pada semua orang tua yang mempunyai dua anak atau lebih (Lusa, 2010). Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Setiawati, 2008). Setiawati (2008) menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena orang tua memberikan perlakuan yang berbeda pada anak-anak mereka (adanya anak emas). Persaingan antar saudara tidak mungkin dihindari dengan adanya saudara kandung (Borden, 2003). Persaingan antar saudara yang dimaksud disini adalah kompetisi antara saudara kandung untuk mendapatkan cinta kasih dan perhatian dari satu atau kedua orang tuanya, atau untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih (Lusa, 2010). Sibling rivalry biasanya muncul ketika selisih usia saudara kandung terlalu dekat, karena kehadiran adik dianggap menyita waktu dan perhatian terlalu banyak orang tua (Setiawati, 2008). Jarak usia yang lazim memicu munculnya sibling rivalry adalah jarak usia antara 1-3 tahun dan muncul pada usia 3-5 tahun kemudian muncul kembali pada usia 8–12 tahun, dan pada umumnya, sibling rivalry lebih sering terjadi pada anak yang berjenis kelamin sama dan khususnya perempuan (Millman & Schaefer, 1981) dalam Setiawati dan Zulkaida (2007). Namun persaingan antar saudara cenderung memuncak ketika anak bungsu berusia 3 atau 4 tahun (Woolfson, 2004). Ciri khas yang sering muncul pada sibling rivalry, yaitu: egois, suka berkelahi, memiliki kedekatan yang khusus dengan salah satu 5
6
orangtua, mengalami gangguan tidur, kebiasaan menggigit kuku, hiperaktif, suka merusak, dan menuntut perhatian lebih banyak (Sains, 2009). Terdapat dua macam reaksi sibling rivalry, secara langsung yaitu biasanya berupa perilaku agresif seperti memukul, mencubit, atau bahkan menendang (Setiawati, 2008). Reaksi yang lainnya adalah reaksi tidak langsung seperti, munculnya kenakalan, rewel, mengompol atau pura-pura sakit (Setiawati, 2008). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sibling rivalry dapat diartikan sebagai kecemburuan, persaingan dan pertengkaran antara saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua, hal ini terjadi pada semua orang tua yang mempunyai dua anak atau lebih. 2. Faktor-Faktor Penyebab Sibling Rivalry Menurut Mulyadi (2000) dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), faktor penyebab sibling rivalry diantaranya karena orang tua membagi perhatian dengan orang lain, mengidolakan anak tertentu, dipeliharanya rasa kesal orang tua, serta kurangnya pemahaman diri. Menurut Priatna dan Yulia (2006) dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), faktor penyebab sibling rivalry adalah faktor internal dan eksternal: a. Faktor internal: Faktor internal adalah faktor yang tumbuh dan berkembang dalam diri anak itu sendiri seperti temperamen, sikap masing-masing anak mencari perhatian orang tua, perbedaan usia atau jenis kelamin, dan ambisi anak untuk mengalahkan anak yang lain (Sains, 2009). b. Faktor eksternal: Faktor yang disebabkan karena orang tua yang salah dalam mendidik anaknya, seperti sikap membanding-bandingkan, dan adanya anak emas diantara anak yang lain (Sains, 2009).
7
Menurut Lusa (2010), ada banyak faktor yang menyebabkan sibling rivalry, antara lain: a.
Masing-masing anak bersaing untuk menentukan pribadi mereka, sehingga ingin menunjukkan pada saudara mereka.
b.
Anak merasa kurang mendapatkan perhatian, disiplin dan mau mendengarkan dari orang tua mereka.
c.
Anak-anak merasa hubungan dengan orang tua mereka terancam oleh kedatangan anggota keluarga baru/bayi.
d.
Tahap perkembangan anak baik fisik maupun emosi yang dapat mempengaruhi proses kedewasaan dan perhatian terhadap satu sama lain.
e.
Anak frustasi karena merasa lapar, bosan atau letih sehingga memulai pertengkaran.
f.
Kemungkinan, anak tidak tahu cara untuk mendapatkan perhatian atau memulai permainan dengan saudara mereka.
g.
Dinamika keluarga dalam memainkan peran.
h.
Pemikiran orang tua tentang agresi dan pertengkaran anak yang berlebihan dalam keluarga adalah normal.
i.
Tidak memiliki waktu untuk berbagi, berkumpul bersama dengan anggota keluarga.
j.
Orang tua mengalami stres dalam menjalani kehidupannya.
k.
Anak-anak mengalami stres dalam kehidupannya.
l.
Cara orang tua memperlakukan anak dan menangani konflik yang terjadi pada mereka. Menurut Handymom (2009), jika ada kelahiran anak kedua, dan
anak pertama (sang kakak) belum dipersiapkan terlebih dulu dalam kelahiran adik barunya, maka akan menjadi faktor munculnya sibling rivalry. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiorini (2003), bahwa akar permasalahan berawal saat anak pertama lahir (sang kakak), semua perhatian tercurah kepadanya, akan tetapi saat adik baru lahir dan
8
membutuhkan sejumlah waktu dan perhatian, maka sang kakak merasa tersisih. 3. Dampak Sibling Rivalry Menurut Rivacons (2009), anak yang merasa selalu kalah dari saudaranya akan merasa minder atau rendah diri, anak jadi benci terhadap saudara kandungnya sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Noviani (2007), dampak negatif sibling rivalry adalah anak menjadi egois, minder, merasa tidak dihargai, pengunduran diri kearah bentuk perilaku infantil/regresi dan lain sebagainya. Selain kenakalan anak di rumah pada adik barunya, hal ini dapat berpengaruh pada hubungan anak tersebut dengan teman-temannya di sekolah, bila terjadi ketidak adilan di rumah yang membuat anak stress, bisa membuat anak menjadi lebih temperamen dan agresif dalam kelakuannya di sekolah (Hakuna, 2008). Menurut Priatna dan Yulia (2006) dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), pertengkaran yang terus menerus dipupuk sejak kecil akan terus meruncing saat anak-anak beranjak dewasa, mereka akan terus bersaing dan saling mendengki. Bahkan ada kejadian saudara kandung saling membunuh karena memperebutkan warisan. Menurut Hargianto (2008) dalam Siti Aspuah (2008), dampak yang paling fatal dari sibling rivalry adalah putusnya tali persaudaraan jika kelak orang tua meninggal. 4. Penatalaksanaan Sibling Rivalry Menurut Kennnedy (2005), ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah timbulnya kecemburuan pada anak melalui cara cara berikut: a. Libatkan anak dalam mempersiapkan kelahiran adik (selama masa kehamilan). b. Jadikan sang kakak sebagai pusat perhatian saat perjumpaan atau kunjungan pertama. c. Biarkan sang kakak membantu menjaga adiknya. d. Sediakan waktu untuk anak yang lebih tua.
9
e. Pembesuk harus memahami bahwa anak yang lebih tua juga membutuhkan perhatian. f. Ajari sang kakak untuk mengajari adik baru lagu-lagu dan berbagai permainan. Menurut Woolfson (2004), ada beberapa cara untuk menangani kecemburuan pada anak, yaitu: a. Lihat tanda-tandanya, jika kita melihat tanda-tanda ini tenangkan anak sebelum menjadi terlalu marah. b. Alihkan perhatiannya, bila melihat anak menjadi terganggu oleh saudaranya, ada baiknya kita alihkan perhatiannya. c. Tentramkan anak, yakinkan bahwa kita dan sang adik sangat mencintainya. d. Tunjukkan minat dan bakat sang kakak. e. Beri sang kakak beberapa kegiatan. f. Pujilah upaya, bukan hasilnya. g. Jangan membandingkan sang kakak dengan saudara yang lebih muda. Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua untuk mengatasi sibling rivalry, antara lain (Lusa, 2010): a. Tidak membandingkan antara anak satu sama lain. b. Membiarkan anak menjadi diri pribadi mereka sendiri. c. Menyukai bakat dan keberhasilan anak-anak. d. Membuat anak-anak mampu bekerja sama daripada bersaing antara satu sama lain. e. Memberikan perhatian setiap waktu atau pola lain ketika konflik biasa terjadi. f. Mengajarkan anak-anak cara-cara positif untuk mendapatkan perhatian dari satu sama lain. g. Bersikap adil sangat penting, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan anak. Sehingga adil bagi anak satu dengan yang lain berbeda. h. Merencanakan kegiatan keluarga yang menyenangkan bagi semua orang.
10
i. Meyakinkan setiap anak mendapatkan waktu yang cukup dan kebebasan mereka sendiri. j. Orang tua tidak perlu langsung campur tangan kecuali saat tanda-tanda akan kekerasan fisik. k. Orang tua harus dapat berperan memberikan otoritas kepada anak-anak, bukan untuk anak-anak. l. Orang
tua
dalam
memisahkan
anak-anak
dari
konflik
tidak
menyalahkan satu sama lain. m. Jangan memberi tuduhan tertentu tentang negatifnya sifat anak. n. Kesabaran dan keuletan serta contoh-contoh yang baik dari perilaku orang tua sehari-hari adalah cara pendidikan anak-anak untuk menghindari sibling rivalry yang paling bagus. Bagi orang tua, cara untuk meminimalisasi sibling rivalry, yaitu (Hakuna,2008): a. Jangan membanding-bandingkan anak. b. Libatkan anak dalam mempersiapkan kelahiran adik. Pada saat hamil, libatkan anak untuk mempersiapkan kelahiran, seperti ajak anak memilih pakaian ataupun perlengkapan bayi dan juga beritahukan bahwa adik barunya tidak akan merebut perhatian orang tuanya. c. Selama masa kehamilan ajak kakak ke rumah sakit. Dengan begitu, kakak dapat melihat adiknya di layar scan dan mendengar detak jantungnya di alat ultrasound. Tunjukkan pula foto scan lama sang kakak dan jelaskan bagaimana rasanya ketika sang kakak ada di dalam rahim ibu. d. Ajarkan kakak mengenai cara berinteraksi dan bermain dengan adik. Apa yang bisa dilakukan dan bagaimana cara menunjukkan sayang pada adik. e. Ketika sang kakak berkunjung ke rumah sakit untuk pertama kalinya, sambutlah dengan ceria. Lalu perlihatkan adik bayinya yang baru lahir. Perkenalkan adik pada kakaknya dan juga sebaliknya, perkenalkan kakak pada adiknya.
11
f. Gunakan sebutan “adik bayi” daripada bayi baru, sehingga anak tidak merasa bahwa adik “baru” dan dia “lama”. g. Berikan kesempatan kakak melakukan hal-hal yang membuat dirinya merasa nyaman saat bersama adik. Kakak bisa
membelai dan
memangku adik dengan bantuan ibu. h. Tetap berikan perhatian pada kakak. Hindari tekanan untuk selalu mengalah dan mendahulukan adik. Biarkan ayah bersama adik ketika ibu mendampingi sang kakak. i. Jika
kakak
benar-benar
cemburu
pada
adik
barunya
dan
menunjukkannya dengan cara kasar, orang tua perlu bertindak cepat yaitu dengan segera menjauhkan kakak dari adik. Beritahu kakak bahwa dia tidak boleh menyakiti adik bayinya, tanpa harus membentak atau memukulnya.
B. Keluarga Beberapa aspek dalam keluarga yang berhubungan dengan kejadian sibling rivalry yaitu: 1. Orang Tua Orang tua adalah kunci bagi munculnya sibling rivalry dan juga berperan memperkecil munculnya hal tersebut (Setiawati, 2008). Setiawati (2008) juga menjelaskan beberapa peran yang dapat dilakukan orang tua adalah: memberikan kasih sayang dan cinta yang adil bagi anak, mempersiapkan anak yang lebih tua menyambut kehadiran adik baru, memberikan hukuman sesuai dengan kesalahan anak bukan karena adanya anak emas atau bukan, sharing antar orang tua dan anak, serta memperhatikan protes anak terhadap kesalahan orang tua. Para orang tualah yang nantinya akan menjadikan anak-anak mereka seorang yang memiliki kepribadian baik ataukah buruk (Setiawan, 2008). Handojo (2001), menjelaskan bahwa riset tentang sibling menemukan bila orang tua langsung mengintervensi konflik yang ada, biasanya orang tua melindungi anak yang lebih lemah (yang lebih muda)
12
melawan anak yang lebih kuat, maka keadaan akan memuncak dan hal ini akan membuat anak yang kuat akan merasa kesal dan anak yang lebih lemah akan lebih berani mengadakan perlawanan karena merasa bahwa orang tua berpihak kepadanya. 2. Kasih Sayang Terhadap Anak Sibling rivalry terjadi jika anak merasa mulai kehilangan kasih sayang dari orang tua dan merasa bahwa saudara kandung adalah saingan dalam mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Hakuna, 2008). Cinta kasih orang tua adalah perpaduan antara cinta kasih seorang ibu dan ayah (Soetjiningsih, 1995). Soetjiningsih (1995) menjelaskan bahwa, cinta ibu bersifat memberi kehangatan, menumbuhkan rasa diterima dan menanamkan rasa aman, sedangkan cinta ayah bersifat mengembangkan kepribadian, menananmkan disiplin, memberikan arah dan dorongan serta bimbingan agar anak kian berani dalam menghadapi kehidupan. Disamping itu anak-anak memerlukan kasih sayang orang tua dan perlakuan yang adil, supaya kemudian hari tidak menjadi anak yang sombong, manja, pemboros, tidak saleh, tidak menghormati orang tua dan masyarakat sekitar (Soetjiningsih, 1995). Sangat penting bagi orangtua menciptakan tindakan yang mencerminkan rasa cinta dan kasih sayang yang tulus itu kepada anak (Rosmansyah, 2008). Misalnya, menghadiri kegiatan ektrakurikuler anak (karate, kursus musik), mendampingi anak melakukan hobinya (berenang, membantu memilihkan buku bacaan), dan bahkan merawat anak ketika ia sedang sakit (Rosmansyah, 2008). Perlakuan orangtua seperti itu besar kemungkinan akan terbawa oleh anak sampai ia dewasa atau tua nanti, ikatan batin, kebiasaan yang penuh dengan kehangatan, dan persahabatan akan dibawanya kembali oleh anak kepada orang tua (Rosmansyah, 2008). 3. Tanggung Jawab Keluarga terhadap Anak Orangtua
bertanggung
jawab
terhadap
pemenuhan
segala
kebutuhan anak, selain itu orangtua juga berperan sebagai guru pertama
13
dan berperan penting dalam pembentukan sikap, kepercayaan, nilai dan tingkah laku anak (Gobai, 2008). Dalam Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang: Perlindungan Anak Bab IV tentang Kewajiban dan Tangung Jawab, khususnya bagian keempat tentang kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, pada pasal Pasal 26 disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, meme1ihara, mendidik, dan melindungi anak b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya c. dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 4. Peran Orang Tua dalam Membentuk Kepribadian dan Mendidik Anak Menurut Baroto (2008) peranan orang tua terbagi dalam : Peranan ayah: sumber kekuasaan, dasar identifikasi, penghubung dengan dunia luar, pelindung terhadap ancaman dari luar, dan pendidik segi rasional. Sedangkan peranan ibu adalah : pemberi aman, sumber kasih sayang, tempat mencurahkan isi hati, pengatur kehidupan rumah tangga, pembimbing kehidupan rumah tangga, pendidik segi emosional, dan penyimpan tradisi. Keluarga pada hakekatnya merupakan wadah pembentukan masing-masing anggotanya, terutama anak-anak yang masih berada dalam bimbingan tanggung jawab orang tuanya (Baroto, 2008). Menurut Baroto (2008), peran keluarga dalam
wadah pembentukan masing-masing
anggotanya, terutama anak-anak adalah sebagai berikut: a. Keluarga adalah tempat perkembangan awal seorang anak, sejak saat kelahirannya sampai proses perkembangan jasmani dan rohani berikutnya. b. Untuk mencapai perkembangannya seorang anak membutuhkan kasih sayang, perhatian dan rasa aman untuk berlindung dari orang tuanya.
14
c. Keluarga merupakan dunia keakraban seorang anak. Sebab dalam keluargalah dia mengalami pertama-tama mengalami hubungan dengan manusia dan memperoleh representasi dari dunia sekelilingnya. d. Dalam keluarga seorang dipertalikan dengan hubungan batin yang satu dengan lainnya. Hubungan itu tidak tergantikan Arti seorang ibu tidak dapat dengan tiba-tiba digantikan dengan orang lain. e. Keluarga dibutuhkan seorang anak untuk mendorong, menggali, mempelajari dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan, religiusitas, norma-norma dan sebagainya. f. Pengenalan di dalam keluarga memungkinkan seorang anak untuk mengenal dunia sekelilingnya jauh lebih baik g. Keluarga merupakan tempat pemupukan dan pendidikan untuk hidup bermasyarakat dan bernegara. h. Keluarga menjadi fungsi terpercaya untuk saling membagikan beban masalah, mendiskusikan pokok-pokok masalah, mematangkan segi emosional, mendapatkan dukungan spritual dan sebagainya. i. Dalam keluarga dapat terealisasi makna kebersamaan, solidaritas, cinta kasih, pengertian, rasa hormat menghormati clan rasa merniliki. j. Keluarga
menjadi
pengayoman
dalam
beristirahat,
berekreasi,
menyalurkan kreatifitas dan sebagainya. Menurut Emaniar (2008), peran kedua orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain: a. Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. b. Kedua orang tua harus menjaga ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa anak-anak. c. Saling menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak. d. Mewujudkan kepercayaan dan menghargai terhadap anak-anak berarti memberikan penghargaan dan kelayakan terhadap mereka. e. Mengadakan perkumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak).
15
Setelah seorang anak kepribadiannya terbentuk, peran orangtua selanjutnya adalah mengajarkan nilai-nilai pendidikan kepada anakanaknya (Emaniar, 2008). Pendidikan yang diberikan oleh orangtua kepada anaknya adalah merupakan pendidikan yang akan selalu berjalan seiring dengan pembentukan kepribadian anak tersebut (Emaniar, 2008). Pendidikan merupakan hal terbesar yang selalu diutamakan oleh para orang tua dan sudah merupakan kewajiban orang tua untuk menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga dapat memancing keluar potensi anak, kecerdasan dan rasa percaya diri (Zein, 2008). Zein (2008) juga menjelaskan, ada banyak cara untuk memberikan pendidikan kepada anak baik formal (di sekolah) maupun non formal (dengan menanamkan tata nilai yang serbaluhur atau ahlak mulia, norma-norma, cita-cita, tingkah laku dan aspirasi dengan bimbingan orang tua di rumah).
C. Anak 1. Konsep Tumbuh Kembang Pertumbuhan sebagai suatu peningkatan jumlah dan ukuran, sedangkan perkembangan menitik beratkan pada perubahan yang terjadi secara bertahap dari tingkat yang paling rendah ke tingkat yang paling tinggi dan kompleks melalui proses maturasi dan pembelajaran. Whaley & Wong (2000) dalam Danang (2008). Tahapan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak: a. Periode pranatal dari masa konsepsi sampai kelahiran b. Periode bayi 1) Neonatus, dari lahir sampai 28 hari 2) Infant, dari 1 bulan – 12 bulan c. Periode kanak – kanak awal 1) Toddler, dari 1 tahun – 3 tahun 2) Preschool, dari 3 tahun – 6 tahun d. Periode kanak – kanak pertengahan (school age), dari 6 tahun – 12 tahun
16
e. Periode kanak – kanak akhir (adolescene), dari 12 tahun – 19 tahun Teori Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak usia 8-12 Tahun a. Teori Psikoseksual (Freud) Fase Laten Selama periode laten, anak menggunakan energi fisik dan psikologis yang merupakan media untuk mengeksplorasi pengetahuan dan pengalamannya melalui aktivitas fisik maupun sosial. Anak perempuan lebih menyukai teman yang sejenis, begitupula sebaliknya. b. Teori Psikososial (Erikson) Industry vs Inferiority Kemampuan anak untuk berinteraksi sosial lebih luas dengan teman dilingkungannya dapat memfasilitasi perkembangan perasaan sukses (sense of industry). Perasaan tidak adekuat dan rasa inferior atau rendah diri akan berkembang apabila anak terlalu mendapat tuntutan dari lingkungannya. c. Teori Kognitif (Piaget) Tahap Concrete Operational Kemampuan berpikir anak sudah rasional, imajinatif dan dapat menggali objek atau situasi lebih banyak untuk memecahkan masalah. d. Teori Moral (Kohlberg) 1) Fase Pre Conventional Anak belajar baik dan buruk, atau benar dan salah melalui budaya sebagai dasar dalam peletakan nilai moral. 2) Fase Conventional Anak berorientasi pada mutualitas hubungan interpersonal dengan kelompok, disini anak akan membentuk karakter dan belajar berperilaku sesuai dengan kelompoknya. 3) Fase Post Conventional Anak usia remaja telah mampu membuat keputusan berdasar pada prinsip yang dimilliki dan diyakininya, apapun tindakan yang diyakininya dipersepsikan sebagai suatu kebaikan.
17
2. Urutan Kelahiran dan Kepribadian Urutan Kelahiran dan Kepribadian menurut Woolfson (2003) : a. Anak Pertama : Cenderung menjadi anak yang paling cerdas di dalam keluarga. Dia mencapai prestasi tertinggi dalam pendidikan dan biasanya cenderung sangat serius. b. Anak Kedua : Cenderung santai, kurang peduli terhadap keberhasilan di sekolah, dan lebih peduli terhadap persahabatan. Dia lebih suka hal lain dari pada yang lain. c. Anak bungsu : Cenderung percaya diri dan mampu menangani berbagai kecemasan sendiri tanpa meminta bantuan. Dia juga tahu bagaimana mengambil manfaat terbesar dari suatu keadaan di tempat dia berada. d. Anak Tunggal : Bergaul lebih baik dengan orang yang lebih tua dari pada dengan rekan-rekannya. Dia meminta persetujuan atas tindakannya. Dia kemungkinan menjadi seorang pemimpin yang baik. Urutan kelahiran mempengaruhi anak-anak melalui beberapa cara. Misalnya anak pertama mendapatkan perhatian orang tua sepenuhnya, setidaknya sampai kelahiran anak berikutnya. Perhatian yang tak terbagi dari kedua orang tua selama tahun-tahun pertama bias manjadi satu alasan mengapa anak pertama memiliki ciri khas lebih cerdas dari anak-anak lainnya. 3. Kepribadian Anak dan Kaitannya dengan Pola Asuh Orang Tua Orang tua bukan hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuh kembangkan kepribadian anak dalam mengasuh anak (Kusumasari, 2009). Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga, akan tetapi apabila pola-pola yang
18
diterapkan orang tua salah, maka yang akan terjadi bukannya perilaku yang baik, melainkan akan mempertambah buruk perilaku anak. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa (Ramadhan, 2009). Ramadhan (2009) menjelaskan, hal ini dikarenakan watak seorang individu sebenarnya sudah ditanamkan benih-benihnya kedalam jiwa seorang sejak awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil diajar makan, kebersihan, disiplin, bermain dan bergaul dengan anak lain, dan sebagainya. Koenjaraningrat (1997) dalam Ramadhan (2009). Pola asuh yang diterapkan orang tua di rumah menurut persepsi anak, mempengaruhi kecenderungan seorang anak untuk bersaing dengan saudara kandungnya (Febrianita, 2007). Tipe-tipe pola asuh orang tua terhadap anak menurut Stewart and Koch (1983) dalam Kusumasari dan Prayekti (2009): a. Pola asuh otoriter: yaitu pola asuh yang menerapkan standar mutlak yang harus dituruti, kadangkala disertai dengan ancaman, misalnya kalu tidak mau makan, tidak akan diajak bicara atau bahkan dicubit. b. Pola asuh demokratis: yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, tetapi tidak ragu untuk mengendalikan mereka. Pola asuh seperti ini kasih sayang orang tua cenderung stabil/pola asuh bersifat rasional. Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak dan tidak berharap berlebihan. c. Pola asuh permisif: tipe ini kerap memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak.
19
D. Kerangka Teori Berdasarkan landasan teori di atas maka dapat dibentuk kerangka teori yaitu sebagai berikut : Faktor internal yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry : Sikap/tempramen anak Urutan kelahiran Perbedaan jenis kelamin Usia Jumlah saudara Hubungan anak dengan saudara kandungnya Sibling Rivalry Faktor eksternal yang menyebabkan sibling rivalry : Pola asuh orang tua yang salah dalam mendidik anak Adanya anak emas diantara anak yang lain (sikap membanding-bandingkan) Skema 2.1 Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Menyebabkan Sibling Rivalry (Priatna & Yulia, 2006, dalam Setiawati & Zulkaida, 2007).
E. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori di atas maka dapat dibentuk kerangka konsep yaitu sebagai berikut : Variabel Independen Faktor faktor yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry
Variabel Dependen
Sibling rivalry pada anak
Skema 2.2 Kerangka Konsep
20
F. Variabel Penelitian Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda dan manusia) (Nursalam, 2003). Variabel yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Variabel Terikat/Variabel Dependen Variabel terikat merupakan variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah sibling rivalry pada anak. 2. Variabel Bebas /Variabel Independen Variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor faktor yang menyebabkan terjadinya sibling rivalry.
G. Hipotesa Penelitian 1. Ada hubungan antara faktor sikap anak dengan terjadinya sibling rivalry. 2. Ada hubungan antara faktor urutan kelahiran dengan terjadinya sibling rivalry. 3. Ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan terjadinya sibling rivalry. 4. Ada hubungan antara faktor perbedaan usia dengan terjadinya sibling rivalry. 5. Ada hubungan antara faktor jumlah saudara dengan terjadinya sibling rivalry. 6. Ada hubungan faktor hubungan anak dengan saudara kandungnya (sahabat yang baik atau musuh yang paling buruk) dengan terjadinya sibling rivalry. 7. Ada hubungan faktor pola asuh dengan terjadinya sibling rivalry. 8. Ada hubungan faktor anak emas diantara anak yang lain dengan terjadinya sibling rivalry.