6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) 2.1.1 Definisi Infeksi HIV adalah suatu gejala atau tanda akibat masuknya virus HIV kedalam sirkulasi sistemik (Nasronudin, 2007). HIV menghasilkan suatu spektrum penyakit yang akan berkembang dalam kebanyakan kasus, mulai dari laten yang bersifat klinis atau status asimtomatik, sampai kondisi AIDS, ditandai dengan jumlah sel CD4 < 200 atau adanya infeksi oportunistik, tanpa memerhatikan jumlah sel CD4+ (Geri, 2009). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit akibat retrovirus yang ditandai oleh imunosupresi berat yang menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan kelainan neurologik (Fauci et al, 2008). Kemenkes RI (2010) mendefinisikan AIDS sebagai kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus yang merusak sistem kekebalan tubuh manumur dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang berbagai penyakit infeksi (Kemenkes RI, 2010).
7
2.1.2 Patofisiologi HIV menyerang sel darah putih (limfosit Th) yang merupakan sumber kekebalan tubuh untuk menangkal berbagai penyakit infeksi. Dengan memasuki limfosit Th, virus memaksa limfosit Th untuk memperbanyak dirinya, sehingga akhirnya menyebabkan kematian limfosit Th. Kematian limfosit Th itu membuat daya tahan tubuh berkurang, sehingga mudah terserang infeksi dari luar (baik virus lain, baketri, jamur, atau parasit) sehingga hal itu menyebabkan kematian pada orang dengan HIV/AIDS. Selain menyerang limfosit Th, virus HIV juga memasuki sel tubuh yang lain, organ yang paling sering terkena adalah otak dan susunan saraf lainnya. Virus HIV dilapisi oleh suatu protein pembungkus yang sifatnya toksik (racun) terhadap sel, khususnya sel otak seta susunan saraf pusat dan tepi lainnya, sehingga terjadilah kematian sel otak (Aziz, 2008).
2.1.3 Penegakan Status Terinfeksi HIV Tes skrining antibodi yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay (Sudoyo dkk, 2006; Nursalam dan Kurniawati, 2007). Di Indonesia, metode ELISA dalam format mikroplate paling sering digunakan sebagai skrining tes terhadap IgG antibodi HIV. Teknik ini menggunakan sumber antigen berupa virus inaktif yang telah ditumbuhkan dalam biakan sel limfoid manumur, tetapi juga mengandung antigen lain (antigen HLA) atau sekuens virus rekombinan (Baveja and Rewari, 2006). ELISA sangat sensitif untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, akan
8
tetapi tidak selalu spesifik karena hasil positif (false positif atau positif palsu) juga dapat ditunjukan oleh penyakit lain seperti penyakit autoimun, infeksi virus, atau keganasan hematologi (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Selain itu tes antibodi HIV memiliki periode jendela (windows periode) selama 4-8 minggu yang merupakan periode antara terinfeksi HIV dengan kemunculan antibodi yang dapat di deteksi dengan pemeriksaan. Oleh karena antibodi HIV belum dapat dideteksi, maka tes antibodi HIV tidak dapat digunakan selama windows periode karena dapat memberikan hasil yang negatif pada seseorang yang sebenarnya telah terinfeksi HIV (Sudoyo dkk, 2006). Dengan demikian, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan uji antibodi HIV 3 bulan kemudian (Sudoyo dkk, 2006). Pada bayi, gejala umum yang ditemukan sebagai penanda infeksi HIV adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diarekronis, atau hepatospenomegali (perbesaran hepar dan limpa). Penilaian klinis ini dapat diperkuat melalui tes diagnostik menggunakan tes ELISA dan dilanjutkan dengan tes western blot (immunoblot) sebagai tes konfirmasi (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Namun perlu diingat bahwa anak yang lahir dari ibu yang positif terinfeksi HIV secara pasif memperoleh immunoglobulin anti-HIV (IgG) maternal. Jika anak tidak terinfeksi HIV, IgG maternal secara bertahap akan menurun dan antibodi biasanya tidak terukur pada saat umur 7 hingga 10 bulan namun sering kali dapat bertahan hingga 18 bulan (Baveja and Rewari, 2006). Hal ini menyebabkan hasil tes antibodi HIV tidak dapat diinterpretasikan atau tidak dapat digunakan untuk menegakan status terinfeksi HIV
9
pada anak di bawah umur 18 bulan (Baveja and Rewari, 2006; Nursalam dan Kurniawati, 2007; Depkes RI, 2008). Hasil uji antibodi HIV dengan akurasi yang lebih tinggi diperoleh pada saat umur lebih dari atau sama dengan 18 bulan, karena pada umur ini antibodi maternal yang ditransfer secara pasif selama kehamilan dapat sepenuhnya disingkirkan (Depkes RI, 2008; Yang et al, 2012). Uji antibodi HIV pada bayi HIV negatif menunjukkan hasil negatif berturut-turut sebesar 14,0%, 60,51%, 88,1%, dan 100% pada umur 6, 9, 12, dan 18 bulan (Yang et al, 2012). Dengan demikian, penegakkan diagnostik pada anak menggunakan uji antibodi HIV sebaiknya dilakukan pada saat umur di atas 18 bulan atau menggunakan tes yang dapat mendeteksi virus (HIV DNA PCR atau kultur virus) untuk penegakkan diagnostik dini (Baveja and Rewari, 2006). DNA PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan teknik yang digunakan untuk mendeteksi sekuen/urutan proviral HIV secara spesifik pada DNA Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC) pasien. Pemeriksaan HIV DNA PCR saat umur kurang dari 48 jam dapat memberikan hasil negatif sebesar 50% atau lebih pada bayi yang akhirnya ditetapkan terinfeksi HIV, karena bayi yang terinfeksi selama kelahiran belum mencapai kuantitas DNA virus yang dapat dideteksi. Pada saat umur 4 minggu, hasil tes DNA PCR positif pada lebih dari 90% bayi yang terinfeksi HIV, dan sensitivitas uji ini secara konsisten meningkat antara 91% hingga 99% pada bayi umur di atas 4 minggu (Baveja and Rewari, 2006). Sensitivitas dan spesifisitas uji DNA PCR pada bayi umur 4-6 minggu diketahui berturut-turut sebesar 92,86% dan 99,09% (WHO, 2010b). Namun uji ini hanya efektif digunakan secara kuantitatif
10
untuk mendeteksi infeksi HIV pada pasien yang berada pada jendela diagnostik sebelum terjadinya serokonversi, yaitu ketika level antibodi HIV host menurun namun level RNA-HIV tinggi. Selain itu pertimbangan biaya yang harus dikeluarkan relatif lebih besar dibandingkan ketika melakukan uji antibodi HIV karena uji ini memerlukan pengoperasian oleh tenaga yang terampil dan peralatan yang relatif mahal (Iweala, 2004).
2.1.4 Antiretroviral (ARV) Kombinasi ARV dapat menghambat replikasi virus. Tujuan terapi ARV adalah menurunkan angka kesakitan akibat HIV dan menurunkan kematian akibat AIDS; memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal mungkin; mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal; menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV dalam plasma, 50 kopi/mL (Nasronudin, 2007). ARV terbagi kedalam tiga kelompok utama, yaitu Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI), Non-nucleoside Reversed Transcriptase Inhibitors (NNRTI), dan Protease Inhibitors (PI) (Wells et al, 2006).
2.1.5 Indikator Kegagalan Terapi ARV pada Anak Ada tiga tipe kegagalan terapi ARV pada anak dengan HIV/AIDS yaitu: a. Kegagalan Imunologi Setelah setidaknya 24 minggu memakai ARV pada anak:
11
1) Jumlah CD4 <200 sel / mm3 atau% CD4 <10 untuk anak ≥ 2 tahun untuk <5 tahun. 2) Jumlah CD4 <100 sel / mm3 untuk anak umur 5 tahun atau lebih (WHO, 2010a). b. Kegagalan Klinis Kondisi munculnya kembali stadium klinis 3 setelah 24 minggu memakai ARV pada anak (WHO, 2010a). c. Kegagalan Virologi Viral load plasma terus menerus > 5.000 eksemplar / ml, setelah setidaknya 24 minggu memakai ARV pada anak (WHO, 2010a).
2.2 Depresi 2.2.1 Definisi Depresi
adalah
gangguan
mood
(perasaan
dasar),
kondisi
emosional
berkepanjangan yang mewarnai seluruh proses mental (berpikir, berperasaan dan berprilaku) seseorang. Pasien HIV/AIDS sangat rentan mengalami depresi, dan depresi menjadi masalah psikososial terbesar yang dihadapi ODHA. Depresi dapat berkontribusi pada penurunan kesehatan fisik dan mental yang menyebabkan seseorang malas untuk melakukan aktivitas self care harian secara rutin. Pada pasien HIV/AIDS, hal ini berpengaruh pada ketidakpatuhan pasien terhadap regimen terapi antiretroviral dan obat-obatan profilaksis (obat pencegahan) serta hal lainnya yang diperlakukan untuk menjaga kesehatannya (Kusuma, 2011).
12
Keadaan stres pada individu yang depresi akan menstimulasi hypothalamus untuk melepaskan neuropeptida yang akan mengaktivasi ANS (Autonomic Nerve System) dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin yang merupakan hormon-hormon yang bereaksi terhadap kondisi stres. Peningkatan kadar glukortikoid akan mengganggu sistem imunitas, yang menyebabkan CD4 pasien semakin turun dan pasien semakin rentan terkena infeksi dan perburukan kondisi kesehatan (Robinson, 2003). Pada orang dewasa, mayoritas pengalaman/pertistiwa hidup yang tidak menyenangkan, menyakitkan ataupun menyedihkan yang mereka alami dapat memicu seseorang mengalami depresi. Adapun beberapa faktor pemicunya dapat diuraikan antara lain sebagai berikut: a. Kematian seseorang yang dicintai b. Mengidap penyakit kronis c. Terpisah dari lingkungan sosial dan merasa kesepian d. Perceraian/berpisah dan juga hubungan yang disertai kekerasan e. Ekonomi dan tekanan hidup lainnya (stres) f. Komorbiditas (gabungan) dengan penyakit lain g. Hubungan keluarga yang renggang h. Penurunan (retardasi) dalam hal kemampuan telah dimiliki i. Perpindahan atau adanya perubahan gaya hidup, budaya, dll. (Riyawati, 2008)
13
Hubungan yang buruk dengan ibu meningkatan risiko depresi pada anak, demikian juga pada orang tuanya. Anak yang mengalami depresi dapat menjadi cemas atau agresif dan umumnya memiliki hubungan yang buruk dengan teman sebaya dan memiliki masalah di sekolah (Davies dan Craig, 2009).
Faktor resiko depresi pada anak yaitu: a. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti kehilangan dan perceraian orang tua b. Paparan terhadap kekerasan fisik, seksual, atau emosional atau gangguan di sekolah c. Hubungan yang buruk dengan ibu atau pengasuh utama d. Orang tua dengan gangguan depresi e. Ansietas atau agresi, dan umumnya memiliki hubungan yang buruk dengan teman sebaya atau masalah disekolah f. Perempuan (remaja) (Davies dan Craig, 2009)
2.2.2 Gejala Depresi Gejala utama depresi yang sering dialami adalah: a. Kehilangan minat dan kegembiraan b. Berkurang energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas menurun.
14
Gejala lainnya dari depresi yaitu: a. Konsentrasi dan perhatian kurang b. Harga diri dan kepercayaan c. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis d. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri e. Gangguan tidur f. Nafsu makan berkurang (Maslim, 2001)
2.3 Caregiver Caregiver adalah seseorang yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan pada seseorang yang sakit secara mental, ketidakmampuan secara fisik atau kesehatannya terganggu karena penyakit atau umur tua yang diderita (Widiastuti, 2009). Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver informal adalah seorang individu (anggota keluarga, teman, atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa dibayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal adalah caregiver yang merupakan bagian dari sistem pelayanan baik dibayar maupun sukarelawan (Hartati, 2012). Ada 6 jenis tugas yang dilakukan oleh caregiver, yaitu: 1. Memberikan dukungan emosi dan pemberian saran
15
2. Asisten dalam melakukan pekerjaan rumah tangga seperti pembersihan rumah, persiapan makan, belanja, dan transportasi 3. Membantu dalam perawatan personal seperti memandikan, membantu berpakaian, makan, dan mempersiapkan obat 4. Mengatur keuangan 5. Membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan formal seperti mengatur pelayanan dalam rumah dan pengasuhan. (Widiastuti, 2009)
2.4 Kuesioner Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang telah disusun untuk memperoleh data sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Kuesioner juga dapat diartikan sebagai instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara menyusun format pertanyaan yang telah didesain sedemikian rupa untuk memudahkan analisis sesuai dengan tujuan peneliti (Rangkuti, 2002). Pengumpulan data kuesioner ada dua macam yaitu kuesioner terbuka dan kuesioner tertutup. Pada kuisoner terbuka, responden secara bebas menjawab pertanyaan yang telah disediakan oleh peneliti dengan ungkapan yang sesuai menurut responden. Pada kuesioner tertutup, jawaban sudah disediakan sehingga responden hanya memilih sesuai dengan pendapatnya. Salah satu bentuk kuesioner tertutup adalah kuesioner yang menggunakan skala likert (Wasis, 2006).
16
2.4.1
Reliabilitas Kuesioner
Kuesioner dikatakan reliabel jika kuesioner itu menghasilkan ukuran yang konsisten saat pengukuran dilakukan berulang kali. Reliabilitas dari suatu pengukuran adalah suatu indikator seberapa jauh pengukuran dapat direplikasi artinya hasilnya selalu sama jika dilakukan pengukuran oleh siapa pun, kapan pun dan dalam lingkungan yang berbeda sekalipun. Alat ukur yang reliabel akan menghasilkan data yang dapat dipercaya. Uji reliabilitas adalah cara menguji suatu alat ukur dengan menggunakan teknik ulang. Alat ukur yang sama digunakan untuk mengambil data berulang kali, lalu hasilnya dikorelasikan. Untuk uji reliabilitas kuesioner digunakan metode α Cronbach dengan kriteria sebagai berikut : 1. Nilai α Cronbach 0.00 sampai 0.20 menandakan kurang reliabel 2. Nilai α Cronbach 0.21 sampai 0.40 menandakan agak reliabel 3. Nilai α Cronbach 0.41 sampai 0.60 menandakan cukup reliabel 4. Nilai α Cronbach 0.61 sampai 0.80 menandakan reliabel 5. Nilai α Cronbach 0.81 sampai 1.00 menandakan sangat reliabel (Sujianto, 2009)
2.4.2
Validitas Kuesioner
Validasi adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan dari suatu alat ukur. Suatu alat ukur yang valid jika mempunyai validitas yang tinggi. Sebaliknya alat ukur yang kurang valid berarti memiliki tingkat validitas yang rendah (Rangkuti, 2002). Jumlah responden yang digunakan untuk uji validasi yaitu 15 sampai dengan
17
lebih dari 30 responden dengan sampel yang direkomendasikan yaitu 30 sampel (Susilo dkk., 2014). Uji validasi dapat dicapai apabila data yang dihasilkan dari alat ukur tersebut sesuai dengan data atau informasi lain terkait dengan penelitian tersebut.Validasi kuesioner dapat dilakukan dengan menggunakan Correlation. Uji validasi
Pearson
dengan menggunakan Pearson Correlation dilakukan
dengan cara menghitung koefisien korelasi antar skor tiap item dengan skor total. Koefisien korelasi yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan tabel r pada signifikan tertentu. Jika koefisien item lebih kecil dari nilai r tabel maka item tersebut dinyatakan tidak valid (Sukawana, 2009).
2.5 Kuesioner CES-D Terdapat banyak jenis atau macam instrument yang dikembangkan untuk menilai status emosional terkait dengan masalah depresi seperti The Back Depression Inventory Scales (BDI), Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D) dan Zung Self Rating Depression Scale (Sharp dan Lipsky, 2002). Kuesioner CES-D dinilai paling sesuai digunakan untuk mengukur tingkat depresi yang dihubungkan dengan penyakit kronik. Instrumen CES-D merupakan kuisioner yang terdiri dari 20 pertanyaan yang dikembangkan oleh Radlof pada tahun 1997. Dari setiap pertanyaan terdapat 4 pilihan jawaban, yakni: tidak pernah (<1 hari), jarang (1-2 hari), kadang-kadang (3-4 hari), dan sering (5-7 hari). Nilai skor yang digunakan untuk tiap jawaban menggunakan skala Likert 0-3. Setiap jawaban akan diberikan skor 0,1,2,3 untuk item yang menggambarkan gejala depresi dan
18
3,2,1,0 untuk item yang menggambarkan tidak depresi (Gambar 2.1; Pertanyaan 4,8,12, dan16). Skor total berentang 0-60, dengan kategori skor pada kuesioner CESD yaitu kategori < 16 (tidak depresi) dan ≥ 16 (depresi) (Radlof, 1977; Kusuma, 2011).
Gambar 2.1 Kuesioner CES-D (Radlof, 1977)
19
Kuesioner CES-D telah diterjemahkan dan divalidasi oleh Kusuma pada 30 pasien dewasa dengan HIV/AIDS. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusuma tersebut,
didapatkan bahwa semua item pertanyaan adalah valid dengan nilai
koefisien korelasi validitas ≥ 0,3 (r=0,310-0,843) dan instrumen dinyatakan reliabel dengan nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach 0,892 (≥ 0,7) (Kusuma, 2011).