BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perawat Perawat merupakan salah satu tenaga medis di rumah sakit yang memberikan
pelayanan untuk menunjang kesembuhan pasien, oleh sebab itu peran perawat di rumah sakit sangatlah dibutuhkan. Makagiansar (2008) mendefinisikan perawat sebagai orang yang memiliki kemampuan menilai masalah keperawatan, memutuskan dan menentukan pilihan mengenai jenis tindakan asuhan yang diperlukan. Dalam undang-undang kesehatan RI No. 23 Tahun 1992 perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melaksanakan tindakan keperawatan berdasar ilmu yang dimiliki yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Sedangkan Permenkes
RI
No.
HK.
02.02/MENKES/148/1/2010
tentang
Izin
dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat, definisi perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 2.2
Beban Kerja Perawat Setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang merupakan beban kerja baginya,
beban-beban tersebut tergantung bagaimana orang tersebut bekerja sehingga disebut sebagai beban kerja. Tubuh manusia dirancang untuk dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari, menurut Everlyn (2004) mengatakan bahwa beban kerja adalah keadaan di mana pekerja dihadapkan pada tugas yang harus diselesaikan pada waktu tertentu. Definisi tersebut sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Manuaba (2000) 7
8
yang menyatakan beban kerja merupakan kemampuan tubuh dalam menerima pekerjaan. Dari sudut pandang ergonomi setiap beban kerja yang diterima seseorang harus sesuai dan seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut (Munandar, 2001). Beban kerja perawat adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh seorang perawat selama bertugas di suatu unit pelayanan keperawatan (Robot, 2009). Menurut Supriatna (2012) beban kerja perawat terdiri atas beban kerja fisik dan beban kerja mental. 1. Beban Kerja Fisik Perawat Beban kerja fisik adalah seluruh kegiatan atau aktivitas yang memerlukan energi fisik manusia sebagai sumber tenaganya dimana performansi kerja sepenuhnya akan tergantung pada manusia yang berfungsi sebagai sumber tenaga (Supriatna, 2012) Beban kerja fisik perawat meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien, membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur pasien, mendorong brankart pasien, serta aktivitas lain terkait asuhan keperawatan. 2. Beban Kerja Mental Perawat Menurut Prabawati (2012) beban kerja mental adalah suatu konsep yang tidak memisahkan faktor fisik dan faktor psikologis yang saling berpengaruh dalam diri manusia. Sedangkan menurut Grandjean (1995) menyatakan bahwa setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi, dan proses mental dari suatu informasi yang disimpan.
9
Beban kerja mental perawat meliputi observasi pasien selama pasien tersebut dirawat, banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan demi kesehatan dan keselamatan pasien, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tidak mampu mengimbangi sulitnya pekerjaan, tuntutan keluarga untuk kesehatan dan keselamatan penderita, harapan manajemen rumah sakit terhadap pelayanan yang berkualitas, selalu dihadapkan pada pengambilan keputusan yang tepat terkait asuhan keperawatan, serta tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Dalam penelitian ini, penulis berfokus pada beban kerja mental perawat, mengingat dari beberapa jenis tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang perawat, terlihat bahwa mereka melaksanakan mental task yang memiliki beban kerja mental yang tinggi. Meskipun mereka juga melakukan tugas-tugas fisik tetapi mental task mereka juga cukup untuk menambah beban kerja mereka (Rozy, 2011). 2.3
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Beban Kerja Mental Beban kerja mental dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hubungan antara
tuntutan tugas dengan performansi tugas, kewaspadaan pekerja agar tetap fokus pada suatu pekerjaan untuk periode waktu yang cukup lama, jenis pekerjaan, situasi pekerjaan tertentu, waktu penyelesaian yang tersedia, serta faktor individu seperti tingkat motivasi, keahlian, kejenuhan serta toleransi performansi yang diijinkan (Simanjuntak, 2010). Perawat bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan pasien selama 24 jam dimana mereka dituntut untuk tetap fokus dan siap siaga apabila pasien membutuhkan sesuatu terkait pelayanan kesehatan. Perawat juga dituntut memiliki keahlian dan ketelitian yang tinggi dalam melakukan asuhan keperawatan, karena
10
kesalahan sekecil apapun di dalam memberikan perawatan dapat mengancam keselamatan pasiennya. Dari beberapa jenis tugas yang harus dilaksanakan oleh perawat tersebut, terlihat bahwa mereka melaksanakan mental task yang memiliki beban kerja mental yang tinggi. Meskipun mereka juga melakukan tugas-tugas fisik tetapi mental task mereka juga cukup untuk menambah beban kerja mereka (Rozy, 2011). 2.4
Dampak Beban Kerja Mental Dampak beban kerja mental seorang perawat yang terlalu berat sedangkan
kemampuan fisik yang tidak bisa mengimbangi, maka mengakibatkan seorang perawat menderita gangguan atau penyakit akibat kerja. Selain itu beban kerja berlebih dapat menimbulkan kelelahan kerja, stres psikologi, rasa tertekan, rasa tidak nyaman, hingga terjadinya kelalaian atau kesalahan dalam asuhan keperawatan (Prihatini, 2007). Selain itu juga muncul reaksi-reaksi emosional seperti sakit kepala, mudah marah, mudah tersinggung dan jenuh terhadap pekerjaan tersebut. 2.5
Pengukuran Beban Kerja Mental Metode pengukuran beban kerja mental menurut Widyanti, dkk (2010)
diantaranya National Aeronautics and Space Administration Task Load Index (NASATLX), Subjective Workload Assessment Technique (SWAT), Harper Qooper Rating (HQR), dan Rating Scale Mental Effort (RSME). 1.
National Aeronautics and Space Administration Task Load Index (NASATLX) Metode NASA-TLX merupakan metode
yang digunakan untuk
menganalisis beban kerja mental yang dihadapi oleh pekerja dengan melakukan berbagai aktivitas dalam pekerjaannya. Metode ini di
11
kembangkan oleh Sandra G. Hart dari NASA-Ames Research Center dan Lowell E. Staveland dari San Jose State University pada tahun 1981 berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran subjektif. Di dalam kuesioner NASA-TLX ini, responden diminta untuk memberikan rating dan pembobotan di setiap indikator. Adapun kelebihan metode ini adalah lebih sensitif terhadap berbagai kondisi pekerjaan, setiap indikator penilaian mampu memberikan sumbangan informasi mengenai struktur tugas, proses penentuan keputusan lebih cepat dan sederhana, dan lebih praktis diterapkan dalam lingkungan operasional (Ratna, 2009) 2. Subjective Workload Assessment Technique (SWAT) SWAT adalah prosedur pemberian skala yang di disain untuk tugas penting yang banyak dari seseorang yang berpengaruh pada mental serta berhubungan dengan pelaksanaan atau performansi tugas yang bervariasi. Metode ini dikembangkan oleh Reid dan Nygren dengan menggunakan dasar metode penskalaan conjoint. SWAT berbeda dengan pengukuran subyektif lainnya karena dikembangkan dengan teliti dan berakar pada teori pengukuran formal, khususnya teori pengukuran conjoint. Terdapat kelebihan dan kekurangan dari pengukuran beban kerja mental dengan metode SWAT ini. Kelebihan metode ini yaitu pengukuran dilakukan berdasarkan teori pengukuran formal, yaitu teori pengukuran conjoint, dapat digunakan pada data tunggal maupun berkelompok dan dapat digunakan untuk penilaian secara global yang diaplikasikan pada ruang lingkup yang lebih luas. Kelemahan dari SWAT yaitu penggunaaan katakata secara lisan yang beresiko menimbulkan konotasi yang berbeda untuk
12
setiap individu serta memerlukan program conjoint analysis untuk menghitung besarnya beban kerja mental (Ratna, 2009). 3. Harper Qooper Rating (HQR) HQR adalah suatu alat pengukuran beban kerja dalam hal ini untuk analisa Handling Quality dari perangkat terbang di dalam cockpit. Metode ini terdiri dari sepuluh angka rating dengan masing–masing keterangannya yang berurutan mulai dari kondisi yang terburuk hingga kondisi yang paling baik, serta kemungkinan–kemungkinan langkah antisipasinya. Rating ini dipakai oleh pilot evaluator untuk menilai kualitas kerja dari perangkat yang diuji didalam cockpit pesawat terbang. Kelemahan metode ini adalah hanya dapat digunakan pada jenis pekerjaan dalam dunia penerbangan (Widyanti, dkk, 2010). 4. Rating Scale Mental Effort (RSME) Rating Scale Mental Effort (RSME) merupakan metode pengukuran beban kerja subyektif dengan skala tunggal. Responden diminta untuk memberikan tanda pada skala 0-150 dengan deskripsi pada beberapa titik acuan. Metode ini jarang digunakan karena memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah belum teruji validitasnya (Ratna, 2009). Namun dari beberapa metode tersebut, metode yang paling banyak digunakan dan terbukti memberikan hasil yang baik adalah NASA-TLX (Hancock dan Meshkati, 1988). Penelitian tentang pengukuran beban kerja mental pada perawat pernah dilakukan oleh Hidayat, dkk (2013) di rumah sakit XYZ dan didapatkan hasil bahwa seluruh perawat di rumah sakit tersebut memiliki beban kerja mental yang tinggi.
13
2.6
Metode NASA-TLX Metode NASA-TLX merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis
beban kerja mental yang dihadapi oleh pekerja yang harus melakukan berbagai aktivitas dalam pekerjaannya. Metode ini di kembangkan oleh Sandra G. Hart dari NASA-Ames Research Center dan Lowell E. Staveland dari San Jose State University pada tahun 1981 berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran subjektif yang terdiri dari skala sembilan faktor (kesulitan tugas, tekanan waktu, jenis aktivitas, usaha fisik, usaha mental, performansi, frustasi, stress dan kelelahan). Dari sembilan faktor ini disederhanakan lagi menjadi enam yaitu Mental demand (MD), Physical demand (PD), Temporal demand (TD), Performance (P), Frustation level (FR). Keterangan dari enam kebutuhan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Enam Indikator Beban Kerja Mental Skala Keterangan Mental Demand (MD)
Seberapa besar aktivitas mental dan perseptual
yang
dibutuhkan
melihat,
mengingat
Apakah
pekerjaan
dan
untuk
mencari.
tersebut
sulit,
sederhana atau kompleks. Longgar atau ketat Physical Demand (PD)
Jumlah aktivitas fisik yang dibutuhkan (misalnya mendorong, menarik dan mengontrol putaran)
Temporal Demand (TD)
Jumlah tekanan yang berkaitan dengan waktu yang dirasakan selama elemen pekerjaan
berlangsung.
Apakah
14
pekerjaan perlahan atau santai atau cepat dan melelahkan Performance (OP)
Seberapa besar keberhasilan seseorang di dalam pekerjaannya dan seberapa puas dengan hasil kerjanya
Frustation Level (FR)
Seberapa
tidak
aman,
putus
asa,
tersinggung, terganggu, dibandingkan dengan perasaan aman, puas, nyaman dan kepuasaan diri yang dirasakan Effort (EF)
Seberapa keras kerja mental dan fisik yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan
Langkah-langkah pengukuran dengan menggunakan NASA TLX adalah sebagai berikut (Hancock dan Meshkati, 1988): 1. Pembobotan Pada bagian ini responden diminta untuk memilih salah satu dari dua indikator yang dirasakan lebih dominan menimbulkan beban kerja mental terhadap pekerjaan
tersebut.
Kuesioner
NASA-TLX
yang
diberikan
berupa
perbandingan berpasangan. Dari kuesioner ini dihitung jumlah tally dari setiap indikator yang dirasakan paling berpengaruh. Jumlah tally menjadi bobot untuk tiap indikator beban mental. Berikut tabel perbandingan indikator NASA TLX:
15
MD
Tabel 2.2 Perbandingan Indkator NASA-TLX PD TD OP EF
FR
MD PD TD OP EF FR 2. Pemberian rating Pada bagian ini responden diminta memberi rating terhadap keenam indikator beban kerja mental. Rating yang diberikan adalah subyektif tergantung pada beban mental yang dirasakan oleh responden tersebut. Berikut gambar skala rating NASA-TLX:
16
Gambar 2.1 Skala Rating NASA-TLX 3. Menghitung nilai indikator Diperoleh dengan mengalikan rating dengan bobot faktor untuk masingmasing indikator. Dengan demikian didapatkan nilai keenam indikator tersebut 4. Menghitung Weighted Workload (WWL) Diperoleh dengan menjumlahkan keenam nilai indikator tersebut.
17
5. Menghitung rata-rata WWL Diperoleh dengan membagi WWL dengan jumlah bobot total. Rumus menghitung rata-rata WWL dapa dilihat dibawah ini: Skor = ∑ WWL 15 Skor yang didapat dalam perhitungan dapat digolongkan menjadi lima golongan. Berikut tabel penggolongan skor dalam NASA-TLX: Tabel 2.3 Penggolongan Skor NASA-TLX Nilai Golongan Beban Kerja Mental
2.7
0-9
Rendah
10-29
Sedang
30-49
Agak Tinggi
50-79
Tinggi
80-100
Sangat Tinggi
Kelelahan Kerja Perawat Kelelahan kerja adalah respon total individu terhadap stres psikososial yang
dialami dalam satu periode waktu tertentu dan kelelahan kerja itu cenderung menurunkan prestasi maupun motivasi pekerja yang bersangkutan. Kelelahan kerja merupakan kriteria yang lengkap tidak hanya menyangkut kelelahan yang bersifat fisik dan psikis saja tetapi lebih banyak kaitannya dengan adanya penurunan kinerja fisik, adanya perasaan lelah, penurunan motivasi, dan penurunan produktivitas kerja (Cameron, 1973). Kelelahan kerja tidak dapat didefinisikan secara jelas, tetapi dapat dirasakan sebagai perasaan kelelahan kerja disertai adanya perubahan waktu reaksi yang menonjol maka indikator perasaan kelelahan kerja dan waktu reaksi dapat
18
dipergunakan untuk mengetahui adanya kelelahan kerja. Perasaan kelelahan kerja adalah gejala subjektif kelelahan kerja yang dikeluhkan pekerja yang merupakan semua perasaan yang tidak menyenangkan (Setyawati, 2010). Kelelahan kerja pada perawat adalah perasaan kelelahan akibat dari aktivitas pekerjaan yang dilakukannya meliputi asuhan keperawatan, serta kegiatan lain di luar tugasnya sebagai perawat serta ditandai dengan penurunan motivasi, penurunan produktivitas kerja, dan penurunan kondisi fisik. Perawat merupakan salah satu pekerja sosial yang rentan mengalami kelelahan kerja. Pernyataan tersebut didukung oleh Safaat (2010) yang menggunakan istilah kelelahan kerja untuk mendefinisikan sindrom khusus dari profesi pelayan sosial seperti pekerja sosial karena pekerjaan mereka secara konstan mendapat tekanan atau stres. 2.8
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Kelelahan dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja, dan kondisi kesehatan perawat (Aya, 2009). 1. Umur Umur seseorang akan mempengaruhi kondisi tubuh. Semakin tua umur seseorang semakin besar tingkat kelelahan. Fungsi faal tubuh yang dapat berubah karena faktor usia mempengaruhi ketahanan tubuh dan kapasitas kerja seseorang. Seseorang yang berumur muda sanggup melakukan pekerjaan berat dan sebaliknya jika seseorang berusia lanjut maka kemampuan untuk melakukan pekerjaan berat akan menurun karena merasa cepat lelah dan tidak bergerak dengan gesit ketika melaksanakan tugasnya sehingga mempengaruhi kinerjanya (Suma’mur, 1996).
19
2. Jenis Kelamin Pada umumnya wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 2/3 dari kemampuan fisik atau kekuatan otot pria (Tarwaka, dkk, 2004). Bagi seorang wanita, jantung harus bekerja memompa darah yang mengandung oksigen lebih berat dari pada pria untuk mengalirkan satu liter oksigen ke jaringan-jaringan tubuh (Bridger, 2003). Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil kerja yang sesuai maka harus diusahakan pembagian tugas antara pria dan wanita. Hal ini harus disesuaikan dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasannya masing-masing. Berdasarkan hasil penelitian pada perawat di RS Syarif Hidayatullah Jakarta didapatkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan (Aya, 2009). 3. Pendidikan Pendidikan memberikan pengetahuan bukan hanya langsung berhubungan dengan
pelaksanaan
tugas,
akan
tetapi
juga
berdasarkan
unit
pengembangan diri serta kemampuan untuk memanfaatkan semua sarana yang ada untuk kelancaran tugasnya. Pendidikan merupakan kekuatan dinamis dalam mempengaruhi semua aspek kepribadian serta kehidupan individu (Aya, 2009). 4. Masa Kerja Masa kerja dapat mempengaruhi pekerja baik pengaruh positif maupun negatif. Pengaruh positif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja maka akan berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Sebaliknya pengaruh negatif terjadi bila semakin lama seorang pekerja bekerja akan menimbulkan kelelahan dan kebosanan. Semakin lama seorang pekerja
20
bekerja maka semakin banyak pekerja terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut (Budiono, dkk, 2003). Dampak negatif lainnya berupa adanya batas ketahanan tubuh terhadap proses kerja yang berakibat terhadap timbulnya kelelahan. Pekerjaan yang dilakukan secara kontinyu dapat berpengaruh terhadap sistem peredaran darah, sistem pencernaan, otot, syaraf dan sistem pernafasan (Suma’mur, 1996). Berdasarkan penelitian Hestya (2012) didapatkan perawat yang memiliki masa kerja >1 tahun mengalami kelelahan sebesar 80%. Sedangkan faktor eksternal diantaranya beban kerja fisik maupun mental, waktu istirahat, shift kerja, dan lingkungan kerja (Setyawati, 2010). 1. Beban Kerja Fisik Beban kerja fisik adalah suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi (Tarwaka, 2013). Beban kerja fisik (physical workload) merupakan beban yang diterima tubuh akibat melaksanakan suatu aktivitas kerja. Beban kerja fisik dapat berupa beratnya pekerjaan seperti mendorong, mengangkat, merawat, mengangkut. Beban kerja yang melebihi kemampuan akan mengakibatkan kelelahan kerja (Departemen Kesehatan RI, 1991). Berdasarkan penelitian Hariyono, dkk (2009) pada perawat di Rumah Sakit Islam Yogyakarta didapatkan hubungan yang signifikan antara beban kerja fisik dengan kelelahan.
21
2. Beban Kerja Mental Beban kerja mental menurut Grandjean (1995) adalah setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interpretasi, dan proses mental dari suatu informasi yang disimpan. Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental dapat menyebabkan seorang pekerja mengalami kelelahan. Penelitian Kasmarani (2012) pada perawat IGD RSUD Cianjur didapatkan adanya pengaruh beban kerja mental terhadap stres dan kelelahan. 3. Waktu Istirahat Pada umumnya kelelahan bersifat sementara dan dapat dikurangi dengan beristirahat. Waktu istirahat tidak hanya untuk menghentikan pekerjaan tetapi harus dapat memberikan suasana rileks. Waktu istirahat dapat mengurangi kebosanan, mengantuk, dan meningkatkan output produksi (Suma’mur, 1996). Penelitian Hulu (2003) menunjukkan ada pengaruh pemberian waktu istirahat pendek terhadap kelelahan dengan menurunnya tingkat kelelahan dan meningkatnya tingkat produktivitas. 4. Shift Kerja Shift adalah kerja yang dibagi secara bergiliran dalam waktu 24 jam (Simanjuntak, 1997). Ciri khas dari kerja shift yaitu terdapatnya kontinuitas, pergantian kerja secara bergilir dan terdapat jadwal khusus. Kerja bergilir dikatakan kontinyu apabila dikerjakan selama 24 jam setiap hari termasuk hari minggu dan hari libur (ILO, 1998). Beberapa penelitian tentang shift kerja diperoleh bahwa tingkat kelelahan tenaga kerja yang bekerja pada shift pagi lebih tinggi dari yang bekerja pada shift malam dan
22
suhu lingkungan kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap tingkat kelelahan kerja. Penelitian Hestya (2012) didapatkan bahwa kelelahan paling banyak dialami oleh perawat pada shift pagi Sebesar 36,36%. 5. Lingkungan Kerja Faktor lingkungan kerja seperti suhu, kebisingan, getaran, pencahayaan, dan ventilasi dapat mempengaruhi kenyamanan fisik, sikap mental, output, dan kelelahan pada pekerja (Setyawati, 2010). Penelitian Hestya (2012) didapatkan 11 dari 35 perawat yang bekerja pada ruangan yang iklim kerjanya tidak memenuhi syarat mengalami kelelahan. 2.9
Dampak Kelelahan Kerja Menurut Safaat (2010), kelelahan kerja memiliki dampak yang beranekaragam
dan tidak hanya merugikan diri pekerja itu sendiri. Misalnya berupa absen dari pekerjaan, komitmen yang rendah, mempunyai masalah dengan relasi kerja dan yang lainnya. Kelelahan juga merugikan tempat mereka bekerja, yaitu menurunnya kualitas pelayanan dan produksi akan menurun akibat kesalahan dalam bekerja tinggi. Kelelahan kerja dengan kadar yang tinggi bisa menciptakan gangguan hubungan interpersonal di tempat kerja atau dalam kehidupan secara umum. Yang umum terjadi, kelelahan kerja menurunkan kemampuan dalam mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan. Pekerja yang mengalami kelelahan kerja dampak minimnya adalah kehambaran, kedataran, ketidakserasian, atau ketidaktanggapan. Selain itu kelelahan kerja dapat melemahkan gairah untuk mentaati komitmen yang mengikat hubungan, misalnya komitmen untuk menepati janji atau persetujuan.
23
2.10 Pengukuran Kelelahan Parameter-parameter yang dapat digunakan untuk mengukur kelelahan kerja menurut Setyawati (2010) antara lain: 1. Waktu Reaksi Waktu reaksi adalah waktu yang terjadi antara pemberian rangsang tunggal sampai timbulnya respon terhadap rangsang tersebut. Waktu reaksi ini merupakan reaksi sederhana atas rangsang tunggal atau reaksi yang memerlukan koordinasi. 2.
Uji Ketuk Jari (Finger Taping Test) Uji ketuk jari adalah mengukur kecepatan maksimal mengetukkan jari tangan dalam suatu periode waktu tertentu. Uji ini sangat lemah karena banyak faktor yang sangat berpengaruh dalam proses mengetukkan jari dan uji ini tidak dapat dipakai untuk menguji kelelahan kerja bermacam-macam pekerjaan (Grandjean, 1995).
3. Uji Flicker Fusion Uji flicker fusion adalah pengukuran terhadap kecepatan berkelipnya cahaya (lampu) yang secara bertahap ditingkatkan sampai kecepatan tertentu sehingga cahaya tampak berbaur sebagai cahaya yang kontinyu. Kelemahan uji ini adalah hanya dipergunakan untuk menilai kelelahan mata saja (Grandjean, 1995). 4. Uji Critical Fusion Uji critical fusion adalah modifikasi uji flicker fusion. Uji ini dipergunakan untuk pengujian kelelahan mata yang berat dengan menggunakan Flicker Tester.
24
5. Uji Bourdon Wiersma Uji Bourdon Wiersma adalah pengujian terhadap kecepatan bereaksi dan ketelitian. Uji ini dipakai untuk menguji kelelahan pada pengemudi. 6. Skala Industrial Fatique Rating Comite (IFRC) Skala IFRC yang di disain untuk pekerja dengan budaya Jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga puluh macam perasaan kelelahan. Kelemahan skala ini yaitu perasaan kelelahan yang dirasakan seorang pekerja dan tiap butir pernyataan dalam skala ini tidak dapat dievaluasi hubungannya. 7. Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) Kuisioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja (KAUPK2) merupakan parameter yang digunakan dalam pengukuran perasaan kelelahan kerja sebagai gejala subyektif yang dialami pekerja dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Parameter ini di disain oleh Setyawati (2010) khusus bagi pekerja di Indonesia dan telah teruji kesahihan dan kehandalannya untuk mengukur perasaan kelelahan pada pekerja. Instrumen pengukuran perasaan kelelahan kerja ini dipersiapkan untuk penelitian masal pada pekerja di unitunit kerja, sehingga bersifat sederhana, sahih, handal dan berbahasa Indonesia. Kuesioner ini terdiri dari 17 pertanyaan tentang keluhan subjektif yang berisi butir-butir keluh kesah kelelahan kerja yang dapat dialami tenaga kerja di Indonesia. 8. Stroop Test. Dalam uji ini seseorang diminta menyebutkan nama warna-warna tinta suatu seri huruf atau kata-kata. Pengujian ini dinilai kurang memadai untuk pengujian suatu keadaan kelelahan kerja.
25
Namun parameter yang dapat digunakan untuk mengukur perasaan kelelahan kerja adalah skala kelelahan IFRC dan KAUPK2. Skala kelelahan IFRC yang di desain untuk pekerja dengan budaya jepang ini merupakan angket yang mengandung tiga puluh macam perasaan kelelahan. Kelemahan skala ini yaitu perasaan yang dirasakan seorang pekerja dan tiap butir pernyataan dalam skala IFRC tidak dapat dievaluasi hubungannya (Setyawati, 2010). Sehingga dalam penelitian ini, penulis menggunakan kuisioner KAUPK2 untuk menilai perasaan kelelahan pada perawat.