BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Corporate Social Responsibility (CSR)
2.1.1
Pengertian Corporate Social Responsibility Banyak definisi tentang CSR, misalnya: etika bisnis, corporate citizenship,
corporate accountability dan pembangunan berkelanjutan (etikal dan sosial yang diharapkan oleh masyarakat kepada korporasi). Dalam bahasa sederhana, CSR berarti perusahaan/korporasi harus bertanggung jawab terhadap dampak-dampaknya pada aspek ekonomi/pasar, sosial dan lingkungan hidup (Tripple Bottomline); menjadi “tetangga yang baik” dengan memberikan maslahat (good cause) kepada masyarakat dan sebagai warga korporasi yang baik (good corporate citizen) menyumbang pada aspek pembangunan berkelanjutan (sustainable development). CSR dalam internal perusahaan dapat dibaca sebagai satuan kebijakan, praktek dan program yang diintegrasikan kedalam operasi bisnis, rantai supply, dan proses pengambilan kebijakan didalam perusahaan melakukan bisnisnya pada masa lalu, sekarang dan masa depan. World Business Council for Sustainable Development (2004) mendefinisikan CSR sebagai berikut : "Corporate Social Responsibility is the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large" Pengertian CSR bisa kita lihat juga dalam pernyataan komisi bagi negaranegara Eropa yang mempunyai perhatian besar terhadap CSR. Mereka menyatakan bahwa : “By stating their social responsibility and voluntarily taking on commitments which go beyond common regulatory and conventional requirements, which they would have to respect in any case, companies endeavour to raise the standards of social development, environmental protection and respect of fundamental rights and embrace an open
governance, reconciling interests of various stakeholders in an overall approach of quality and sustainability”. Sedangkan Lorenzo Sacconi (2004) menyatakan bahwa CSR merupakan perluasan model dari tata kelola perusahaan yang baik yang memiliki tanggung jawab terhadap seluruh stakeholder seperti penuturanya berikut : “I therefore propose the following definition of CSR: a model of extended corporate governance whereby who runs a firm (entrepreneurs, directors, managers) have responsibilities that range from fulfilment of their fiduciary duties towards the owners to fulfilment of analogous fiduciary duties towards all the firm’s stakeholders.” Tidak ada pengertian tunggal yang secara komprehensif bisa diterima dalam mendefinisikan corporate social responsibility (CSR). Namun secara umum CSR merupakan pembuatan keputusan yang didasarkan pada nilai-nilai etika, kesesuaian dengan hukum yang berlaku, dan bertanggung jawab terhadap manusia, komunitas, dan lingkungan. Untuk penelitian ini CSR bisa diartikan sebagai perilaku operasi bisnis yang dikaitkan dengan etika, hukum, komersil, dan harapan publik bahwa tanggung jawab sosial termasuk dalam bagian bisnis perusahaan yang bersangkutan. CSR merupakan suatu kebijakan, program, dan pelaksanaan yang komprehensif dan terintegrasi dalam operasi bisnis dan proses pembuatan keputusan oleh manajemen. Dalam beberapa tahun ini banyak perusahaan di dunia yang menyadari bahwa keuntungan bisnis mereka berasal dari penerapan kebijakan dan pelaksanaan CSR. Dari pengalaman ini pula sehingga CSR mendapatkan perhatian lebih karena memberikan kontribusi positif atas kinerja suatu perusahaan dan bukan menjadi ancaman bagi stakeholder value.
2.1.2
Perkembangan Corporate Social Responsibility Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama
dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan caracara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan
sebagai
kejahatan
korporasi.
Beberapa
raksasa
korporasi
transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut. Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya Konfrensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata. Sebagaimana hasil KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi
(economic growth) menjadi
pembangunan
yang berkelanjutan
(sustainable development). Dalam perspektif perusahaan, dimana keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah; (1) ketersediaan dana, (2) misi lingkungan, (3) tanggung jawab sosial, (4) terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), (5) mempunyai nilai keuntungan/manfaat. Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan corporate social responsibility.
Sesungguhnya
substansi
keberadaan
CSR
adalah
dalam
rangka
memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian
kemampuan
perusahaan
untuk
dapat
beradaptasi
dengan
lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan. Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan
ekologi
dan
sosial
budaya.
Kemudian
dalam
proses
pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan mendukung penuh, di antaranya adalah; perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen di atas saling berinteraksi dan mendukung, karenanya dibutuhkan partisipasi aktif masing-masing stakeholder agar dapat bersinergi, untuk mewujudkan dialog secara komprehensif. Karena dengan partisipasi aktif para stakeholder diharapkan pengambilan keputusan, menjalankan keputusan, dan pertanggungjawaban dari implementasi CSR akan diemban secara bersama. CSR sebagai sebuah gagasan, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Disini bottom lines lainnya selain finansial juga adalah sosial dan lingkungan. Karena kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar, di berbagai tempat dan
waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for Standardization) sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggungjawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggung jawab sosial terletak pada pemahaman umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu “Rio Earth Summit on the Environment” tahun 1992 dan “World Summit on Sustainable Development (WSSD)” tahun 2002 yang diselenggarakan di Afrika Selatan. Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai pembentukan “Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negara-negara berkembang, selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005, dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social Responsibility menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik. ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1) mengembangkan
suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab social dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penerjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatankegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional. Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang merangkum ISO 26000 Guidance Standard on Social Responsibility yang secara konsisten mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok, yaitu: 1.
Pengembangan Masyarakat
2.
Konsumen
3.
Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4.
Lingkungan
5.
Ketenagakerjaan
6.
Hak asasi manusia
7.
Organizational Governance (governance organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang: a.
Konsisten
dengan
pembangunan
berkelanjutan
dan
kesejahteraan
masyarakat; b.
Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
c.
Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
d.
Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa.
Berdasarkan konsep
ISO 26000, penerapan social responsibility
hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi yang mencakup 7 isu pokok diatas. Dengan demikian jika suatu perusahaan hanya memperhatikan isu tertentu
saja, misalnya suatu perusahaan sangat peduli terhadap isu lingkungan, namun perusahaan
tersebut
masih
mengiklankan
penerimaan
pegawai
dengan
menyebutkan secara khusus kebutuhan pegawai sesuai dengan gender tertentu, maka sesuai dengan konsep ISO 26000 perusahaan tersebut sesungguhnya belum melaksanakan tanggung jawab sosialnya secara utuh. Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab sosial menurut ISO 26000 meliputi: 1.
Kepatuhan kepada hokum
2.
Menghormati instrumen/badan-badan internasional
3.
Menghormati stakeholders dan kepentingannya
4.
Akuntabilitas
5.
Transparansi
6.
Perilaku yang beretika
7.
Melakukan tindakan pencegahan
8.
Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
Ada empat agenda pokok yang menjadi program kerja tim itu hingga tahun 2008, diantaranya adalah menyiapkan draf kerja tim hingga tahun 2006, penyusunan draf ISO 26000 hingga Desember 2007, finalisasi draf akhir ISO 26000 diperkirakan pada bulan September 2008 dan seluruh tugas tersebut diperkirakan rampung pada tahun 2009. Pada pertemuan tim yang ketiga tanggal 15-19 Mei 2006 yang dihadiri 320 orang dari 55 negara dan 26 organisasi internasional itu, telah disepakati bahwa ISO 26000 ini hanya memuat panduan (guidelines) saja dan bukan pemenuhan terhadap persyaratankarena ISO 26000 ini memang tidak dirancang sebagai standar sistem manajemen dan tidak digunakan sebagai standar sertifikasi sebagaimana ISO-ISO lainnya. Adanya ketidakseragaman dalam penerapan CSR diberbagai negara menimbulkan adanya kecenderungan yang berbeda dalam proses pelaksanaan CSR itu sendiri di masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu pedoman umum dalam penerapan CSR di manca negara. Dengan disusunnya ISO 26000 sebagai
panduan (guideline) atau dijadikan rujukan utama dalam pembuatan pedoman SR yang berlaku umum, sekaligus menjawab tantangan kebutuhan masyarakat global termasuk Indonesia.
2.1.3
Ruang Lingkup dan Penerapan CSR Ruang lingkup CSR dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Sumber : Dr. Rusdian Lubis(Pendekatan Praktis dan Pengalaman PTFI)
Dari gambar terlihat 4 (empat) wilayah CSR yakni tanggung jawab perusahaan terhadap pasar (marketplace), lokasi kerja (workplace), masyarakat (community) dan lingkungan hidup (environment). Berikut akan diuraikan keempat wilayah tersebut: a.
Wilayah pertama, dampak korporasi pada pasar (marketplace) mencakup kegiatan-kegiatan jualbeli, pembelian/pengadaan barang serta layanan/jasa kepada pelanggan serta secara umum sumbangan sosial dan ekonomi korporasi kepada masyarakat dan negara. Pada wilayah ini, sebuah korporasi dituntut untuk berbuat jujur dan transparan dalam arti tidak ada penipuan keuntungan dan biaya, pajak, kualitas atau layanan. Indikator makro dari CSR dapat dilihat dari sumbangan perusahaan tersebut bagi masyarakat secara keseluruhan. Tanggung jawab korporasi dalam ini tidak
hanya kepada konsumen, tetapi juga kepada para pemerintah, pemegang saham dan analis keuangan yang melakukan audit secara berkala. b.
Wilayah kedua, dampak korporasi pada tempat kerja (workplace) mencakup keragaman pekerja (workforce diversity), keseimbangan kerja dan hidup karyawan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), penghormatan pada HAM serta program latihan dan pembelajaran seumur hidup (lifelong learning).
Pada
wilayah
ini,
sebuah
korporasi
dituntut
untuk
memperhatikan keragaman/keterwakilan tenaga kerja dalam rekrutmen. c.
Wilayah ketiga, dampak korporasi pada komunitas lokal mencakup program CD (community development) yang mencakup program ekonomi masyarakat local, kesehatan masyarakat, kebudayaan dan semacamnya. Barangkali wilayah inilah yang merupakan aspek CSR yang umum dilakukan tetapi memerlukan kekhususan lapangan karena keterkaitannya dengan situasi sosial-ekonomi-budaya dan bahkan politik.
d.
Wilayah keempat, dampak korporasi pada lingkungan hidup mencakup dampak-dampak pada udara, air dan tanah serta efisiensi penggunaan sumber daya alam (SDA). Sebuah perusahaan yang baik secara hukum atau
sukarela
diwajibkan
untuk
melakukan
studi
AMDAL,
Ecological/Environmental Risk Assessment (ERA) dan Environmental Audit (ISO 14000, EMS). Pada aspek yang lebih khusus dan terkait dengan pasar, konsep “supply chain management” CSR dapat juga dijalankan sebuah perusahaan untuk menuju konsep pembangunan berkelanjutan. Misalnya, atas tuntutan konsumen dilarang menggunakan bahan yang merusak lingkungan atau memakai jasa pelayanan yang melanggar HAM.
Tahapan
penerapan
Corporate
Social
Responsibility
antara
satu
perusahaan dengan perusahaan yang lain akan berbeda. Perbedaan dalam penerapan ini tergantung pada beberapa faktor seperti ukuran, sektor, budaya, dan komitmen pemimpin perusahaan. Hanya saja terkadang beberapa perusahaan berfokus pada satu faktor saja misalkan faktor lingkungan saja. Sedangkan di lain pihak penerapan tanggung jawab sosial perusahaan harus terintegrasi antara
seluruh aspek yang menunjang penerapan CSR itu sendiri. Berikut beberapa tahapan penerapan Corporate Social Responsibility yang biasa di lakukan oleh beberapa
perusahaan
yang
penulis
coba
rangkum
dari
website
http://www.accionempresarial.cl/ yaitu : 1.
Mission, Vision and Values Statements Jika Corporate Social Responsibility merupakan bagian yang terintegrasi dalam pembuatan keputusan bisnis maka hal ini harus terdapat dalam misi dan visi perusahaan. Hal ini merupakan suatu langkah dalam proses penerapan CSR dan merupakan awal yang sederhana tapi sangat penting dalam pencapaian tujuan perusahaan. Misi dan visi tanggung jawab sosial perusahaan sering kali menjadi referensi bagi perusahaan dalam memperhitungkan laba dan menjadi yang terbaik.
2.
Cultural Values Banyak
perusahaan
yang
mengetahui
bahwa
Corporate
Social
Responsibility hanya bisa berkembang di suatu lingkungan yang memiliki inovasi tinggi dan kebebasan dalam berpikir. Hal ini wajar karena penerapan program CSR membutuhkan suatu dasar budaya perusahaan yang kuat. Akhirnya budaya perusahaan kadang bisa terlihat dari komitmen perusahaan mengenai kesesuaian antara yang direncanakan dengan kinerja aktual di lapangan. 3.
Corporate Governance Tata kelola perusahaan memang tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab sosial perusahaan. Agar mendapat tata kelola perusahaan yang baik biasanya perusahaan memiliki dewan komite yang mengulas rencana strategik dan panduan mengenai pentingnya penerapan program Coporate Social Responsibility.
4.
Management Structures Tujuan dari sistem penerapan Corporate Social Responsibility adalah mengintegrasikan CSR ini pada nilai-nilai, budaya, operasional, dan keputusan bisnis perusahaan pada semua level organisasi.
5. Strategic Planning Sejumlah perusahaan telah menjadikan Corporate Social Responsibility sebagai tujuan dari perusahaan. Corporate Social Responsibility telah terdapat dalam rencana strategis dan rencana jangka panjang perusahaan. 6. General Accountability Untuk turut menyukseskan rencana strategis dan panjang perusahaan maka harus ditunjang oleh unsur-unsur yang mendukung pula. Jika tujuan perusahaan telah mensyaratkan pada program pengembangan CSR maka hal ini harus didukung pula oleh unsur-unsur yang berkaitan. Seperti membuat job description yang berlandaskan pada CSR. Sehingga dengan adanya unsur CSR dalam job description, maka setiap orang orang yang bekerja dalam perusahaan tersebut mengetahui bagaimana cara untuk turut berkontribusi dalam menyukseskan tujuan perusahaan yang berlandaskan CSR. 7. Employee Recognition and Rewards Buruh atau pekerja merupakan salah satu hal yang penting dalam perusahaan. Buruh merupakan salah satu sumber daya perusahaan yang turut menentukan tercapainya tujuan perusahaan. Namun terkadang perusahaan kurang memperhatikan kesejahteraan buruh mereka. Untuk negeri ini sendiri tak jarang terjadi demo buruh yang menuntut perusahaan yang mempekerjakan mereka untuk lebih memperhatikan kesejahteraan kaum buruh. Sebenarnya kontribusi perusahaan dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan merupakan salah satu contoh penerapan CSR. 8. Communications, Education and Training Salah satu permasalahan dalam menerapkan CSR adalah bagaimana suatu perusahaan dapat mengkomunikasikan program tersebut kepada semua unsur yang ada dalam perusahaan. Hal ini merupakan tugas suatu perusahaan untuk memberikan suatu education dan training yang bisa menyampaikan
tujuan
perusahaan
pada
setiap
unsur
pembentuk
perusahaan. Dengan pelatihan ini diharapkan setiap unsur (individu) dalam perusahaan dapat mengerti arah dan tujuan yang hendak dicapai
perusahaan dan dapat membuat suatu keputusan usaha yang dapat dipertanggungjawabkan. 9. CSR Reporting Hal ini merupakan salah satu tahapan dalam implementasi CSR. Setelah beberapa
hal
tersebut
diatas
dilakukan,
perusahaan
perlu
mengungkapkannya dalam laporan perusahaan. Meskipun terkadang tidak dapat dikuantifikasi menjadi angka-angka yang dapat di baca oleh stakeholder, CSR biasanya dapat ditemukan dalam laporan tahunan perusahaan. Dengan adanya laporan ini diharapkan bisa memberikan kepercayaan
kepada
para
stakeholder
terutama
investor
dalam
perusahaan
maka
menanamkan modalnya. 10. Use of Influence Setelah
pengungkapan
perusahaan
harus
dalam
memastikan
laporan setiap
tahunan
stakeholder
membaca
dan
menerapkannya dalam kegiatan operasional perusahaan terutama pada pihak internal seperti buruh, manajer, dan dewan direksi. Hal ini akan lebih baik jika perusahaan terus mempropagandakan program CSR. Sehingga CSR diharapkan menjadi budaya dalam perusahaan tersebut.
2.1.4
Praktik CSR di Indonesia Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
yang disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di negeri ini. Keempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, yaitu: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kerwajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah community development perusahaan yang mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat. Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi usahanya. Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindari konflik sosial. Program yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam kaitannya dengan tanggung jawab sosial di Indonesia dapat digolongkan dalam tiga bentuk, yaitu: a.
Public Relations Usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada komunitas tentang kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan.
b.
Strategi defensive Usaha yang dilakukan perusahaan guna menangkis anggapan negatif komunitas yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan, dan biasanya untuk melawan ‘serangan’ negatif dari anggapan komunitas.
Usaha CSR yang dilakukan adalah untuk merubah anggapan yang berkembang sebelumnya dengan menggantinya dengan yang baru yang bersifat positif. c.
Kegiatan yang berasal dari visi perusahaan Melakukan program untuk kebutuhan komunitas sekitar perusahaan atau kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri.
Program pengembangan masyarakat di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu : a.
Community Relation Yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program lebih cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan (charity) perusahaan.
b.
Community Services Merupakan
pelayanan
perusahaan
untuk
memenuhi
kepentingan
masyarakat atau kepentingan umum. Inti dari kategori ini adalah memberikan kebutuhan yang ada di masyarakat dan pemecahan masalah dilakukan oleh masyarakat sendiri sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari pemecahan masalah tersebut. c.
Community Empowering Adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan usaha industri kecil lainnya yang secara alami anggota masyarakat sudah mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaan memberikan akses kepada pranata sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut. Dalam kategori ini, sasaran utama adalah kemandirian komunitas.
Dari sisi masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai tambah adanya perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja,
meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerja sama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan
tersebut
dengan
menyusun
program-program
pengembangan
masyarakat sekitarnya.
2.2
Akuntansi Sosial Akuntansi sosial ekonomi merupakan alat yang sangat berguna bagi
perusahaan dalam mengungkapan aktivitas sosialnya di dalam laporan keuangan. Pengungkapan tanggung jawab social dalam laporan keuangan penting karena melalui social reporting disclosure, pemakai laporan keuangan akan dapat menganalisis sejauh mana perhatian dan tanggung jawab sosial perusahaan dalam menjalankan bisnis. Diharapkan melalui media ini tingkat tanggung jawab social perusahaan dapat mempengaruhi secara positif perilaku investor. Investor seharusnya tidak hanya melihat aspek keuangan saja, tetapi juga tanggung jawab sosial perusahaan harus mendapatkan pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Akan tetapi sampai saat ini pengungkapan tanggung jawab sosial dalam laporan keuangan masih bersifat sukalera, dalam PSAK No. 1 Tahun 1998 (Revisi) Paragraf ke sembilan dinyatakan: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri di mana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.” Akuntansi sosial merupakan suatu cara menilai suatu organisasi (perusahaan) dan hubungan yang diciptakan antara internal dengan eksternal suatu komunitas atau stakeholders. Selain definisi tersebut kita bisa melihat beberapa definisi akuntansi sosial seperti yang dikemukakan oleh Ramanathan (1976) sebagai berikut : “The process of selecting firm-level social performance variables, measures, and measurement procedures; systematically developing
information useful for evaluating the firm's social performance; and communicating such information to concerned social groups, both within and outside the firm.” Selain itu Gray, Owen, dan Maunders (1987) mendefinisikan akuntansi sosial lebih kepada suatu proses komunikasi atas dampak ekonomi suatu perusahaan kepada lingkungan sosialnya seperti halnya dikemukakan oleh Gray, Owen, dan Adam (1996) sebagai berikut : “The process of communicating the social and environmental effects of organizations' economic actions to particular interest groups within society and to society at large. As such it involves extending the accountability to organizations (particularly companies), beyond the traditional role of providing a financial account to the owners of capital, in particular, shareholders. Such an extension is predicated upon the assumption that companies do have wider responsibilities than simply to make money for shareholders.” Sedangkan pengertian lain mengatakan bahwa akuntansi sosial merupakan suatu pengertian yang sistematis atas dampak berdirinya suatu perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya seperti yang dikemukakan berikut : o
Traidcraft (2000) mendefinisikan: “Social accounting is a systematic means of accounting for the social impact of an organisation. It can be compared to the way that financial accounting provides the means to account for an organisation's financial performance.”
o Quarter, Mook & Richmond (2003) mendefinisikan: “Social accounting is a systematic analysis of the effects of an organization on its communities of interest or stakeholders, with stakeholder input as part of the data that are analyzed for the accounting statement.” Estes (1976) mengatakan bahwa akuntansi sosial adalah pengukuran dan pelaporan, baik internal walaupun eksternal, yang menginformasikan atas dampak suatu entitas dan aktivitasnya terhadap lingkungan sosial disekitarnya. Dan suatu penelitian yang dilakukan oleh Institute of Social and Ethical Account Ability (2000) menemukakan bahwa :
“Social and ethical accounting is concerned with learning about the effect an organisation has on society and about its relationship with an entire range of stakeholders —all those groups who affect and/or are affected by the organisation and its activities” Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa akuntansi sosial ekonomi adalah alat yang berfungsi untuk mengidentifikasi, mengukur, dan menilai dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan, baik social cost maupun social benefit, dan mengkomunikasikannya kepada stakeholder, yaitu stockholder, karyawan, masyarakat, pemasok dan pemerintah dalam bentuk pelaporan pertanggungjawaban sosial. Gray et. al. mengelompokkan teori yang dipergunakan oleh para peneliti untuk menjelaskan kecendrungan pengungkapan sosial ke dalam tiga kelompok (Henny dan Murtanto, 2001: 26-27) yaitu: a. Decision usefullness studies: pengungkapan sosial dilakukan karena informasi tersebut dibutuhkan oleh para pemakai laporan keuangan dan ditempatkan pada posisi yang moderatly important. b.
Economy theory studies: sebagai agen dari suatu prinsipal yang mewakili seluruh
intrest
group
perusahaan,
pihak
manajemen
melakukan
pengungkapan sosial sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan publik. c.
Social and political theory studies: pengungkapan sosial dilakukan sebagai reaksi terhadap tekanan-tekanan dari lingkungannya agar perusahaan merasa eksistensi dan aktifitasnya terlegitimasi.
2.3
Good Corporate Governance (GCG)
2.3.1
Pengertian Good Corporate Governance Governance diambil dari kata latin, yaitu gubernance yang artinya
mengarahkan dan mengendalikan. Dalam ilmu manajemen bisnis, kata tersebut diadaptasi menjadi corporate governance yang diartikan sebagai upaya mengarahkan (directing) dan mengendalikan (control) kegiatan organisasi, termasuk perusahaan.
Azhar Kasim (2002) mendefinisikan corporate governance : “Proses pengelolaan berbagai bidang kehidupan (sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya) dalam suatu negara serta penggunaan sumber daya (alam, keuangan, manusia) dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.” Berdasarkan definisi di atas, governance berarti suatu proses pengelolaan perusahaan dalam mengarahkan dan mengendalikan kegiatan organisasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Sir Adrian Cadbury (1999) dalam Corporate Governance: A Framework for Implementation menyatakan bahwa: "Corporate governance is holding the balance between economic and social goals and between individual and communal goals. The governance framework is there to encourage the efficient use of resources and equally to require accountability for the stewardship of those resources. The aim is to align as nearly as possible the interests of individuals, corporations and society. The incentive to corporations is to achieve their corporate aims and to attract investment. The incentive for states is to strengthen their economics and discourage fraud and mismanagement." Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) (2004) mendefinisikan: “Good Corporate Governance adalah cara-cara manajemen perusahaan bertanggungjawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholder-nya.” Shann Turnbull (2000) mendefinisikan corporate governance sebagai berikut: “Corporate governance describes all the the influences affecting the institutional processes including those for appointing the controllers and/or regulators, involved in organizing the production and sale of goods and services.” Turnbull lebih menekankan bagaimana melakukan tata kelola dalam sebuah organisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepada proses organisasi dalam rangka menghasilkan dan menjual barang atau jasa. Disamping itu, Turnbull juga berpendapat bahwa penunjukkan “controllers
dan regulators” merupakan juga substansi penting dalam membangun Good Corporate Governance. Adapun pengertian lain yang dikeluarkan oleh Forum for Corporate Governance in Indonesia (www.fcgi.co.id) (2004) yaitu: “Seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan interen dan eksteren lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.” Pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia, penerapan praktik Good Corporate Governance diperjelas dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 pasal 1 mengenai praktik Good Corporate Governance. Pengertian corporate governance berdasarkan keputusan ini adalah: “Suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan shakeholders lainnya berlandaskan peraturan perundang-undangan dan nilai-nilai etika.” Yang dimaksud organ di atas adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), komisaris dan direksi untuk Perusahaan Perseorangan (Persero) dan pemilik modal, dewan pengawas dan direksi untuk Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Jawatan (Perjan), sedangkan stakeholders adalah pihak yang memiliki kepentingan dengan BUMN, baik langsung maupun tidak langsung, yaitu pemegang saham maupun pemilik modal, komisaris maupun dewan pengawas, direksi dan karyawan serta pemerintah, kreditur dan pihak yang berkepentingan. Good Corporate Governance (GCG) didefinisikan sebagai struktur karena GCG berperan dalam mengatur hubungan antara dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan stakeholders lainnya. Sebagai sistem, GCG menjadi dasar mekanisme pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi peluang pengelolaan yang salah, dan peluang penyalahgunaan asset perusahaan. Good Corporate Governance (GCG) sebagai
proses dapat memastikan transparansi dalam proses perusahaan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, dan pengukuran kinerja. Untuk meningkatkan kinerja perusahaan, pelaksanaan prinsip GCG perlu lebih dioptimalkan, terutama pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain definisi di atas, terdapat juga definisi-definisi lain. Stijn Claessens menyatakan bahwa, pengertian tentang corporate governance dapat dimasukkan ke dalam dua kategori: 1. Lebih condong kepada serangkaian pola perilaku perusahaan yang diukur melalui kinerja, pertumbuhan, struktur pembiayaan, perlakuan terhadap pemegang saham, dan stakeholders. 2. Lebih melihat kepada kerangka secara normatif, yaitu segala ketentuan hukum baik yang berasal dari sistem hukum, sistem peradilan, pasar keuangan, dan sebagainya yang mempengaruhi perilaku perusahaan.
Penerapan GCG merupakan kewajiban bagi BUMN. GCG wajib diterapkan secara konsisten dan menjadikan GCG sebagai landasan operasional pada BUMN. Penerapan GCG
pada BUMN dilaksanakan dengan tetap
memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku serta anggaran dasar BUMN. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa good corporate governance adalah sistem yang mengatur, mengelola, dan mengawasi proses pengendalian usaha untuk menaikan nilai saham sekaligus sebagai bentuk perhatian kepada stakeholders, karyawan, kreditur, dan masyarakat luas. Good corporate governance berusaha menjaga keseimbangan di antara pencapaian tujuan ekonomi dan tujuan masyarakat. Tantangan dalam corporate governance adalah bagaimana mencari cara untuk memaksimumkan penciptaan kesejahteraan sedemikian rupa, sehingga tidak membebankan ongkos yang tidak patut kepada pihak ketiga atau masyarakat luas.
2.3.2
Sejarah Good Corporate Governance Pertanggungjawaban pelaksanaan kepada pemilik telah lama dikenal
dalam agency theory atau stewardship, kemudian dikembangkan dalam teori
birokrasi Weber (dikutip oleh Media Akuntansi 2000). . Di Amerika GCG sudah dipraktikan oleh perusahaan-perusahaan sejak 200 tahun lalu. Pada masa itu perusahaan-perusahaan mempunyai kinerja yang baik serta dapat memberikan keuntungan yang besar kepada pemegang saham. Perusahaan dikelola seperti halnya mengelola Negara, seringkali perusahaan disebut suatu miniatur negara. Sejak terbitnya Cadbury Code on Corporate Governance pada tahun 1992, semakin banyak institusi yang melakukan penyempurnaan dalam prinsip-prinsip dan petunjuk teknis praktik good corporate governance. Pola GCG kemudian diikuti oleh negara-negara di Eropa hingga seluruh dunia. Tantangan
yang berkaitan dengan kepentingan para pemegang saham
adalah upaya untuk menyelesaikan agency problem antara direksi dan pemegang saham. Permasalahan itu muncul karena prinsip dasar dari badan hukum perusahaan. Hal ini sering memicu terjadinya konflik antara dewan direksi yang secara tidak langsung menjadi agen bagi para pemegang saham dalam menjalankan perusahaan. Untuk menyelesaikannya yaitu dengan prinsip akuntabilitas yang didasarkan pada sistem internal checks and balances yang mencakup praktik audit yang sehat. Akuntabilitas dapat dicapai melalui pengawasan efektif yang di dasarkan pada keseimbangan antara pemegang saham, komisaris dan direksi ( Indra Surya dan Ivan Yustivandana 2006 ). Semakin tinggi kesadaran tentang kebutuhan corporate governance yang sehat merupakan tanggapan terhadap sejumlah kegagalan perusahaan (corporate failures) yang besar. Kesadaran tentang GCG juga karena persepsi yang berubah tentang hubungan antara suatu perusahaan dengan stakeholdersnya. Tidaklah cukup hanya menilai keberhasilan suatu perusahaan dengan hanya mengaitkan dengan kinerja keuangan historisnya dan peningkatan dalam nilai pemegang saham (shareholders value) saja, tetapi harus mempertimbangkan seberapa baik corporate governance diterapkan. Sistem corporate governance yang baik memberikan perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka bisa meyakinkan dirinya akan perolehan kembali investasinya dengan wajar dan
bernilai tinggi. Sistem tersebut juga membantu menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap pertumbuhan sektor usaha yang efisien dan berkesinambungan. Penerapan corporate governance yang efektif pada Bank, BUMN dan perusahaan publik memberikan sumbangan yang sangat penting dalam memperbaiki kondisi perekonomian, serta menghindari terjadinya krisis dan kegagalan serupa di masa depan. Dengan GCG diharapkan perusahaan dan pemerintah dapat berjalan sesuai dengan kaidah yang sehat disegala bidang.
2.3.3
Prinsip-Prinsip Good Corporate Governance Sebagaimana
yang
diuraikan
oleh
Organization
for
Economic
Cooperation and Development (OECD) (2004), ada empat prinsip penting dalam corporate governance, yaitu : 1. Fairness (Keadilan). Menjamin perlindungan hak-hak para Pemegang Saham, termasuk hak-hak Pemegang Saham minoritas dan para Pemegang Saham Asing, serta menjamin terlaksananya komitmen dengan para investor. 2. Transparency (Transparansi). Mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, serta jelas, dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan, dan kepemilikan perusahaan. 3. Accountability (Akuntabilitas). Menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen dan Pemegang Saham, sebagaimana yang di awasi oleh Dewan Komisaris. 4. Responsibility (Pertanggungjawaban). Memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cerminan dipatuhinya nilai nilai sosial.
Prinsip-prinsip di atas perlu diterjemahkan ke dalam lima aspek yang dijabarkan oleh OECD sebagai pedoman pengembangan kerangka kerja legal,
institutional, dan regulator untuk corporate governance di suatu negara. Lima aspek tersebut antara lain adalah: 1.
Hak-hak Pemegang Saham dan fungsi kepemilikan. Hak-hak Pemegang Saham harus dilindungi dan difasilitasi.
2.
Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham. Seluruh Pemegang Saham termasuk Pemegang Saham minoritas dan Pemegang Saham asing harus setara. Seluruh Pemegang Saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk mendapatkan perhatian bila hak-haknya dilanggar.
3.
Peran stakeholder dalam corporate governance. Hak-hak para pemangku kepentingan (stakeholders) harus diakui sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara perusahaan dan para stakeholders harus dikembangkan dalam upaya bersama menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan keberlanjutan perusahaan.
4.
Disklosur dan transparansi. Disklosur atau pengungkapan yang tepat waktu dan akurat mengenai segala aspek material perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan governance perusahaan.
5.
Tanggung jawab Pengurus Perusahaan (Corporate Boards). Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan strategik terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan Komisaris terhadap perusahaan dan Pemegang Saham.
Berdasarkan Keputusan Menteri BUMN nomor : KEP-117/MMBU/2002. Prinsip-prinsip good corporate governance yang dimaksud dalam keputusan ini : a.
Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengmbilan keputusan dan keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai perusahaan;
b.
Kemandirian, yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. c.
Akuntabilitas,
yaitu
kejelasan
fungsi,
pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif; d.
Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat;
e.
Kewajaran, yaitu keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku.
2.3.4
Faktor-Faktor Penerapan Good Corporate Governance Keberhasilan penerapan penerapan GCG juga memiliki prasyarat sendiri.
Disini, ada dua faktor yang memegang peranan, faktor eksternal dan internal. 1.
Faktor Eksternal Yang dimaksud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG. Diantaranya: a.
Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
b.
Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/lembaga pemerintahan yang diharapkan
dapat
pula melaksanakan
Good
Corporate
Governance dan Clean Goverment menuju Good Goverment Governance yang sebenarnya. c.
Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practice) yang dapat menjadi standard pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan)
d.
Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini penting karena lewat sistem ini diharapkan
timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela. e.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam implementasi GCG.
2.
Faktor Internal Faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain: a.
Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b.
Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c.
Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d.
Terdapatnya
sistem
audit
(pemeriksaan)
yang
efektif dalam
perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi. e.
Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti derap langkah perkembangan dan dinamika peruasaan dari waktu ke waktu.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam mendukung penerapan GCG secara efektif sangat tergantung pada kualitas, skill , kredibilitas , dan integritas berbagai pihak yang menggerakkan organ perusahaan. Yang pasti, jika berbagai prinsip dan aspek penting GCG dilanggar suatu
perusahaan, maka sudah dapat dipastikan perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama dalam persaingan bisnis global dewasa ini, meski perusahaan itu memiliki lingkungan kondusif bagi pertumbuhan bisnisnya.
2.3.5
Manfaat dan Tujuan Penerapan Good Corporate Governance Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah
semakin menjadi faktor penting dalam pengembilan keputusan investasi. Terutama berhubungan antara praktik corporate governance dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui pool of investor di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal jangka panjang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak tergantung pada sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan. Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat : 1.
Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung Pemegang Saham sebagai akibat pendelagasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing) ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2.
Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga di atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya risiko.
3.
Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4.
Menciptakan berkepentingan)
dukungan dalam
para
stakeholders
lingkungan
(para
perusahaan
pihak
tersebut
yang
terhadap
keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.
Manfaat GCG ini bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga dalam jangka panjang mendapat menjadi pilar utama pendukung tumbuh kembangnya perusahaan sekaligus pilar pemenang era persaingan global. Tujuan
penerapan
Good
Corporate
Governance
pada
BUMN
berlandaskan Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/M-MBU/2002 pasal 4 adalah: 1.
Memaksimalkan BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas,
dapat
dipercaya,
bertanggungjawab,
dan
adil
agar
perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional. 2.
Mendorong pengelolaan BUMN
secara profesional, transparan dan
efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ. 3.
Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholder maupun kelestarian lingkungan disekitar BUMN.
4.
Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
5.
Menigkatkan iklim investasi nasional.
6.
Menyukseskan program privatisasi BUMN.
Dengan demikian, penerapan pelaksanaan prinsip GCG secara optimal akan mampu mendorong peningkatan kinerja perusahaan yang ada, dan memberikan value creation semua pihak yang terkait dengan perusahaan.
2.3.6
Ukuran Pelaksanaan Good Corporate Governance Untuk dapat mengukur sampai mana suatu perusahaan telah melaksanakan
good corporate governance-nya, Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP) telah mengembangkan suatu alat yang dapat digunakan sebagai alat penelitian untuk menentukan apakah good corporate governance pada suatu perusahaan sudah baik atau belum. Diagnostic Assessment dari GCG BPKP Scorecard, penilaian dilakukan meliputi : 1. Aspek Komitmen (15%) 2. Organ Utama (70%) 3. Organ Pendukung (10%) 4. Pengelolaan Stakeholders lainnya (5%)
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) melalui alat yang bernama Good Corporate Governance Self Assessment Questionare atau checklist melakukan penilaian GCG meliputi lima bidang, yaitu : a.
Hak – hak Pemegang Saham (20%) Apakah Pemegang Saham, khususnya Pemegang Saham minoritas diberikan hak-hak yang memadai dalam RUPS, tentang pelaksanaan RUPS, dorongan kepada pemegang saham untuk menggunakan hak suaranya, mengajukan pertanyaan dalam RUPS, dll.
b. Kebijakan Good Corporate Governance (15%) Apakah perusahaan telah memiliki pedoman Good Corporate Governance secara tertulis yang secara jelas menjabarkan hak-hak pemegang saham, tugas dan tanggung jawab Direksi dan Komisaris dan sebagainya termasuk kebijakan perusahaan untuk menyediakan akses bagi masyarakat untuk mengetahui kebijakan perusahaan. c.
Praktik-praktik Good Corporate Governance (30%) Apakah Direksi dan Komisaris secara berkala mengadakan pertemuan, adanya rencana bisnis strategis dan rencana usaha yang memberikan arahan bagi Direksi dan Komisaris dalam menjalankan fungsinya, serta
paling penting apakah Direksi dan Komisaris telah bebas dari benturan kepentingan. d. Pengungkapan (20%) Apakah perusahaan telah memberikan penjelasan mengenai risiko usaha, mengungkapkan renumerasi/kompensasi Direksi dan Komisaris secara memadai, mengungkapkan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan sebagainya. e.
Fungsi Audit (15%) Apakah perusahaan telah memiliki internal audit yang efektif dan menciptakan komunikasi yang efektif antara internal audit dan eksternal audit, dll.
2.4
Corporate Social Responsibility dalam Prinsip Good Corporate Governance Secara umum istilah good corporate governance merupakan sistem
pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari "nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft defnition). Sedangkan Sir Adrian Cadbury (1999) dalam Corporate Governance: A Framework for Implementation menyatakan bahwa: "Corporate governance is ... holding the balance between economic and social goals and between individual and communal goals. The governance framework is there to encourage the efficient use of resources and equally to require accountability for the stewardship of those resources. The aim is to align as nearly as possible the interests of individuals, corporations and society. The incentive to corporations is to achieve their corporate aims and to attract investment. The incentive for states is to strengthen their economics and discourage fraud and mismanagement." Kita mengenal bahwa prinsip GCG terdiri atas fairness, transparency, dan accountability serta responsibility (pertanggungjawaban). Apabila kita melihat prinsip-prinsip tersebut terutama untuk prinsip yang terakhir maka kita akan mengetahui bahwa CSR merupakan salah satu unsur yang menunjang GCG.
Ada perbedaan yang cukup mendasar antara prinsip responsibility dan tiga prinsip GCG lainnya. Tiga prinsip GCG pertama lebih memberikan penekanan terhadap kepentingan pemegang saham perusahaan (shareholders) sehingga ketiga prinsip tersebut lebih mencerminkan shareholders-driven concept. Contohnya, perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas (fairness), penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu (transparency), dan fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi (accountability). (Sita Supomo, 2004 dalam Forum for Corporate Governance in Indonesia) Dalam prinsip responsibility, penekanan yang signifikan diberikan pada kepentingan
stakeholders
perusahaan.
Di
sini
perusahaan
diharuskan
memperhatikan kepentingan stakeholders perusahaan, menciptakan nilai tambah (value added) dari produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, dan memelihara kesinambungan
nilai
tambah
yang
diciptakannya.
Karena
itu,
prinsip
responsibility di sini lebih mencerminkan stakeholders-driven concept. Dalam hal ini yang dimaksud dengan stakeholders perusahaan, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Termasuk di dalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok, masyarakat, dan lingkungan sekitar, serta pemerintah selaku regulator. Perbedaan bisnis perusahaan akan menjadikan perusahaan memiliki prioritas stakeholders yang berbeda. Sebagai contoh, masyarakat dan lingkungan sekitar adalah stakeholders dalam skala prioritas pertama bagi perusahaan pertambangan seperti PT Aneka Tambang, Tbk. Sementara itu, konsumen adalah stakeholders dalam skala prioritas pertama bagi perusahaan produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) kembali menyatakan bahwa dari penjelasan tersebut diatas, terutama ''menciptakan nilai tambah pada produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan,'' prinsip responsibility GCG menelurkan gagasan corporate social responsibility (CSR) atau ''peran serta perusahaan dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya.'' Dalam gagasan CSR, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single
bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja. Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Di sini bottom lines lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan. Pelaksanaan good corporate governance dengan sendirinya akan mendorong korporasi untuk melaksanakan CSR. Sebab, salah satu unsur penting dalam good corporate governance adalah tanggung jawab (responsibility). Operasionalisasi nilai ini mempunyai ruang lingkup yang luas, meliputi aspek lingkungan, masyarakat dan semua stakeholder. Dengan demikian, konsep CSR bertemu dengan konsep good corporate governance dalam aspek tanggung jawab kepada lingkungan dan masyarakat. Dalam prakteknya, audit good corporate governance selalu memperhatikan masalah ini dengan serius. Seperti yang diungkapkan oleh Lorenzo Sacconi, 2004 yang menyatakan bahwa CSR merupakan perluasan model dari tata kelola perusahaan yang baik yang memiliki tanggung jawab terhadap seluruh stakeholder seperti penuturanya berikut: “I therefore propose the following definition of CSR: a model of extended corporate governance whereby who runs a firm (entrepreneurs, directors, managers) have responsibilities that range from fulfilment of their fiduciary duties towards the owners to fulfilment of analogous fiduciary duties towards all the firm’s stakeholders.” Berikut peneliti mencoba merangkum nilai suatu CSR dan manfaat penerapan program CSR dari beberapa sumber yang berbeda. Nilai suatu CSR bisa diukur dengan beberapa cara, baik dalam data kualitatif maupun kuantitatif. Berikut beberapa pengalaman perusahaan yang berkaitan manfaat penerapan program CSR diantaranya adalah: 1.
Memperbaiki Kinerja Keuangan Beberapa komunitas bisnis dan investasi telah lama mendebatkan hubungan antara tanggung jawab sosial dengan kinerja keuangan suatu perusahaan.
2.
Mengurangi Biaya Perusahaan Praktik CSR mampu mengurangi biaya secara signifikan dengan cara mengurangi inefisiensi dan memperbaiki produktivitas. Sebagai contoh mengurangi emisi gas yang berkontribusi terhadap pemanasan global yang menjadi isu hangat belakangan ini sehingga meningkatkan efisiensi energi.
3.
Meningkatkan Citra dan Reputasi Perusahaan Konsumen lebih senang membeli produk/jasa dari perusahaan yang peduli dan memiliki reputasi baik dalam bidang CSR. Sebuah perusahaan yang memilki rasa tanggung jawab sosial akan mendapatkan dua keuntungan, baik berupa pengakuan dari publik maupun komunitas bisnis.
4.
Meningkatkan Penjualan dan Loyalitas Konsumen Sejumlah penelitian menganjurkan pada perusahaan besar yang menjual produk maupun jasa untuk memiliki tanggung jawab sosial. Ketika suatu bisnis menjadikan costumer satisfaction sebagi kunci utama seperti harga, kualitas, rasa, keamanan, dan kenyamanan, di lain pihak para peneliti menemukan bahwa konsumen membeli suatu barang/jasa berdasarkan kriteria yang lain seperti produk yang ramah lingkungan dan komposisi yang membentuk produk tersebut.
5.
Meningkatkan Produktivitas dan Kualitas Usaha perusahaan dalam memperbaiki kondisi lingkungan perkerjaan seperti minimalisasi dampak lingkungan dan meningkatkan keikutsertaan buruh dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi tingkat kesalahan.
6.
Meningkatkan Kemampuan (Skill) Buruh Perusahaan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap CSR seringkali mudah dalam proses rekruitmen buruh. Karena biasanya perusahaan yang menerapkan program ini memiliki perhatian khusus untuk proses rekruitmen mereka setiap perusahaan dituntut untuk mengeluarkan biaya yang digunakan untuk recruitment, hiring, dan training para buruh yang dijadikan investasi perusahaan di masa datang.
Corporate social responsibility (CSR) dalam prinsip good coorporate governance (GCG) ibarat dua sisi mata uang. Dalam pengertian bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia tidak hanya memperhatikan sisi GCG dan melupakan aspek CSR. Karena kedua aspek tersebut bukan suatu pilihan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan keberlanjutan operasi perusahaan. Keduanya sama penting dan tidak terpisahkan.