BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese)
2.1.1 Klasifikasi dan Botani Klasifikasi dari tumbuhan pinus adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Gymnospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Coniferales
Famili
: Pinaceae
Genus
: Pinus
Spesies
: merkusii Jungh. at de Vriese
Pinus pertama kali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman Dr. FR Junghuhn pada tahun 1841. Spesies ini tergolong spesies cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan tempat tumbuh secara khusus, merupakan satu satunya spesies pinus yang menyebar alami ke Selatan khatulistiwa sampai melewati 2°LS. Tanda-tanda khusus dari pohon pinus adalah tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam (Siregar 2005). Ciri lain dari pohon pinus ialah pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan pinus dewasa dapat mencapai tinggi 30 m dan diameter 60–80 cm, sedangkan tegakan tua dapat mencapai tinggi 45 m dan diameter 140 cm (Hidayat dan Hansen 2001). Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Juli-November (Siregar 2005). Pohon pinus berumah satu dengan bunga berkelamin tunggal, bunga jantan dan betina berada dalam satu tunas, buah pinus berbentuk kerucut, silindris dengan panjang 5–10 cm dan lebar 2–4 cm, lebar setelah terbuka lebih dari 10 cm, dan benih pinus memiliki sayap yang dihasilkan dari dasar setiap sisik buah. Setiap sisik menghasilkan 2 benih dengan panjang sayap 22–30 mm dan lebar 5–8 mm, dalam satu strobilus buah umumnya terdapat
4
35–40 benih per kerucut dengan jumlah benih 50.000–60.000 benih per kg (Hidayat dan Hansen 2001). Kayu pinus memiliki berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV (Siregar 2005). Kayu pinus memiliki ciri warna teras yang sukar dibedakan dengan gubalnya, kecuali pada pohon berumur tua, terasnya berwarna kuning kemerahan, sedangkan gubalnya berwarna putih krem. Pinus merupakan pohon yang tidak berpori namun mempunyai saluran dammar aksial yang menyerupai pori dan tidak mempunyai dinding sel yang jelas. Permukaan radial dan tangensial pinus mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya, sehingga terkesan ada pola dekoratif. Riap tumbuh pada pinus agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada penampang lintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran (Pandit dan Ramdan 2002). Daun pinus terdapat 2 jarum dalam satu ikatan dengan panjang 16–25 cm (Hidayat dan Hansen 2001), akan gugur dan menjadi serasah. Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme. Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8–9 tahun (Siregar 2005). 2.1.2 Penyebaran P. merkusii menyebar di kawasan Asia Tenggara yaitu di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera), dan Filipina (P. Luzon dan Mindoro). Pinus yang tumbuh di Pulau Hainan (China) diperkirakan hasil penanaman. Pinus tumbuh pada ketinggian 30–1.800 mdpl pada berbagai tipe tanah dan iklim, serta menyebar pada 23ºLU–2ºLS dengan suhu tahunan rata-rata 19–28ºC. Tegakan alami pinus di Indonesia terdapat di Sumatera bagian Utara (Aceh, Tapanuli, dan Kerinci) (Hidayat dan Hansen 2001), sehingga secara alami, tegakan pinus dapat dibagi ke dalam tiga strain, yaitu : 1. Strain Aceh, penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini menyebar ke selatan mengikuti Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar,
5
Uwak, Blangkejeren sampai ke Kutacane. Di daerah ini, tegakan pinus pada umumnya terdapat pada ketinggian 800–2000 mdpl. 2. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke selatan Danau Toba. Tegakan pinus alami yang umum terdapat di pegunungan Dolok Tusam dan Dolok Pardomuan. Di pegunungan Dolok Saut, pinus bercampur dengan jenis daun lebar. Di daerah ini tegakan pinus terdapat pada ketinggian 1000–1500 mdpl. 3. Strain Kerinci, menyebar di sekitar pegunungan Kerinci. Tegakan pinus alami yang luas terdapat antar Bukit Tapan dan Sungai Penuh. Di daerah ini tegakan pinus tumbuh secara alami umumnya pada ketinggian 1500–2000 mdpl (Siregar 2005). Sifat yang menonjol dari pinus ini adalah sifat kepionirannya dimana pinus tidak memerlukan persyaratan istimewa untuk tumbuh dan dapat tumbuh pada semua jenis tanah, pada tanah yang kurang subur, dan pada tanah berpasir dan berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang becek. Selain itu pinus memiliki daya toleransi luas dalam pertumbuhannya dan dapat tumbuh cukup baik pada padang alang-alang (Martawijaya et al, 1989 dalam Laksmi 2006). Benih pinus yang ditanam di berbagai wilayah di Indonesia berasal dari Aceh, yaitu dari Blangkejeren, sedangkan strain Tapanuli dan strain Kerinci belum banyak dikembangkan. P. merkusii asal Tapanuli pernah dicoba ditanam di Aek Nauli, tetapi karena serangan Miliona basalis akhirnya tidak dilanjutkan pengembangannya. Menurut Siregar (2005), ketiga strain ini mempunyai banyak kelebihan atau perbedaan baik sifat maupun pertumbuhan pohon. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pernah membuat tanaman strain Kerinci dalam rangka program Gerakan Reboisasi Lahan (Gerhan) dengan menggunakan 2.000 anakan alam yang diambil secara cabutan di Bukit Tapan, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, tapi hampir semua tanaman tersebut mati (Suhaendi 2007). 2.1.3 Teknik Silvikultur Pembibitan pinus diawali dengan pengadaan biji, biji pinus akan mempunyai viabilitas dan daya kecambah tinggi apabila diambil dari kerucut yang sudah masak dengan ciri-ciri berwarna hijau kecoklatan dan sisik kerucut yang
6
telah mulai melebar. Pengumpulan buah dapat dilakukan setiap tahun, karena pohon pinus berbuah setiap tahun. Biji kering berisi antara 45.000–60.000 butir setiap kilogramnya. Sebelum ditabur terlebih dahulu dilakukan seleksi biji, biji yang baik mempunyai ciri-ciri warna kulit biji kuning kecoklatan dengan bintikbintik hitam, bentuk biji bulat, padat, dan tidak mengkerut. Penyeleksian biji dilakukan dengan cara direndam dalam, biji yang baik ialah biji yang tenggelam. Lama perendaman biji yaitu 3–4 jam di dalam air dingin sebelum ditabur (Dephut 1990). Penaburan biji dilakukan dengan memperhatikan media yang bebas dari hama-penyakit (steril). Bahan campuran media berupa pasir dan tanah (humus) dengan perbandingan 1:2. Media yang telah siap dimasukkan ke dalam bak plastik setinggi ±5cm. Benih-benih yang terpilih kemudian ditaburkan ke dalam bak tabur dan ditutup kembali dengan media tabur. Setelah 10–15 hari, benih akan berkecambah. Proses perkecambahan berlangsung sampai satu bulan. Setelah bibit berumur 5–8 minggu di bak tabur kemudian dilakukan penyapihan. Sebelumnya terlebih dahulu disiapkan kantong plastik (polibag) yang berisi media tumbuh. Media tumbuh untuk tingkat semai pinus yang paling baik baik adalah campuran dari tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 7:2:1 dengan penambahan pupuk NPK sebanyak 0,25 gram per 300 gram media. (Dephut 1990). Kegiatan pemeliharaan semai perlu dilakukan, yaitu penyiraman secara hati-hati, dan untuk menghindari damping off perlu dilakukan penyemprotan dengan fungisida. Gangguan semai oleh rumput-rumput liar, serangga maupun penyakit perlu dihindari, oleh karena itu kebersihan persemaian sangat menunjang keberhasilan bibit yang disapih (Dephut 1990). Sebelum melaksanakan penanaman, perlu dilakukan persiapan, antara lain (1) pembersihan lapangan dari tumbuhan pengganggu, (2) pengolahan tanah, (3) pemasangan ajir, dan (4) pembuatan lubang tanaman. Pada saat bibit akan ditanam, kantong plastik dilepas secara hati-hati supaya media tumbuh tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dan ditutup kembali dengan tanah dan dipadatkan. Penanaman dilakukan pada permulaan musim penghujan, setelah curah hujan cukup merata (Dephut 1990).
7
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan maksud agar tanaman muda mampu tumbuh menjadi tegakan akhir dengan kerapatan dan tingkat pertumbuhan yang diharapkan. Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan gulma, pendangiran, pemberantasan hama dan penyakit, penjarangan, dan pengendalian api dan kebakaran (Dephut 1990). Pohon pinus termasuk ke dalam kelompok pohon cepat tumbuh dengan daur berkisar antara 20–35 tahun. Pada umur ini, kadar selulosanya mencapai titik tertinggi yaitu 51,57%–54,67% dari berat kering. Pinus yang diperuntukkan sebagai kayu pertukangan, digunakan pinus yang memiliki riap 16 m3/ha per tahun dengan daur 30 tahun. Sedangkan pinus yang ditujukan untuk bahan pulp, digunakan pinus yang memiliki riap 18 m3/ha per tahun dengan daur 10–15 tahun (Suhendang 1990). Getah pinus dapat diproduksi setelah pinus berumur 10 tahun, dengan produksi per tahun mencapai 0,4 ton per hektar (Perhutani 2012). 2.1.4 Manfaat Hidayat dan Hansen (2001) menyatakan bahwa kayu pinus dapat digunakan untuk berbagai keperluan ialah konstruksi ringan, mebel, pulp, korek api, sumpit, dan alat-alat rumah tangga lainnya. Selanjutnya Orwa et al. (2009) menyatakan bahwa P. merkusii menghasilkan kayu yang cukup tahan lama dan berat, dapat digunakan untuk pembuatan perahu (kapal) dan lantai. Nilai energi dari kayu ini adalah 20.300–23.200 kJ/kg. Getah pinus juga disadap untuk berbagai keperluan lainnya selain kayu. Pohon tua dapat menghasilkan 30–60 kg getah, 20–40 kg resin murni dan 7–14 kg terpentin per tahun (Hidayat dan Hansen 2001). Hasil non-kayunya berupa getah (resin) yang menghasilkan produk gondorukem dan terpentin tersebut bernilai jual tinggi. Minyak yang mengandung senyawa terpene yaitu salah satu isomer hidrokarbon tak jenuh dari C10Hl63 terutama monoterpene alfa-pinene dan betapinene, terpentin biasanya digunakan sebagai pelarut untuk mengencerkan cat minyak, bahan campuran vernis yang biasa kita gunakan untuk mengkilapkan permukaan kayu dan bisa untuk bahan baku kimia lainnya (Murni 2010 dalam Iriando 2011). Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan di Filipina, ekstrak etil alkohol dari P. merkusii menunjukkan aktivitas anti kanker. Hal ini menunjukkan bahwa P. merkusii juga bermanfaat dalam dunia kesehatan (Orwa et al. 2009).
8
Terpentin beraroma harum, karena keharumannya itu terpentin bisa digunakan untuk bahan pewangi lantai atau desinfektan yang biasa kita beli, tapi ada lagi kegunaan lain dari terpentin sebagai bahan baku pembuat parfum, minyak esensial dari getah pinus ini diekstrak sehingga bisa menghasilkan terpinol yaitu alfa-terpinol merupakan salah satu dari 3 jenis alkohol isomer beraroma harum. Terpineol bisa bermanfaat untuk kesehatan yaitu untuk relaksasi bila digunakan sebagai bahan campuran minyak pijat. Aromanya yang harum dijadikan minyak pijat aromaterapi karena saat dioleskan ke kulit akan terasa relaksasinya bila digunakan dengan dosis sesuai aturan. Terpineol juga digunakan untuk bahan makanan tapi bukan dalam bentuk getahnya melainkan dari gum rosin yang telah diesterfikasi dengan gliserol di bawah nitrogen menjadi gum rosin ester, salah satu bahan tambahan pembuatan permen karet sehingga menjadi kenyal dan lentur (Murni 2010 dalam Iriando 2011). Produk olahan dari getah atau resin pinus yang lain adalah gondorukem. Gondorukem adalah getah dari pohon P. merkusii yang kemudian diolah dan menjadi gondorukem. Kegunaan gondorukem adalah untuk bahan baku industri kertas, keramik, plastik, cat, batik, sabun, tinta cetak, politer, farmasi, kosmetik, dll. Produksi getah pinus bervariasi tergantung tingkat umur tanaman tersebut (Hidayat dan Hansen 2001). Limbah serbuk gergajian kayu pinus dapat dijadikan briket arang, Rustini (2004) menjelaskan bahwa ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan bakar baku potensial yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada kayu utuh. Selanjutnya guna lebih meningkatkan kualitas briket arang serbuk gergajian kayu, maka dilakukan penambahan arang tempurung kelapa, karena selama ini tempurung kelapa sudah dikenal baik untuk bahan bakar dalam bentuk tempurung, arang maupun sebagai briket arang. Hutan pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomi strategis dan penyebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan bukan kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi hutan pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan kayunya saja, manfaat hutan sebagai penyedia jasa lingkungan diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dengan berbagai
9
kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, satwa, biodiversitas dan sebagainya (Suryatmojo 2006). 2.2
Serangga
2.2.1 Pengenalan Serangga Serangga disebut juga insekta atau heksapoda. Menurut Pracaya (2008) insect berasal dari bahasa Latin yaitu insecare. Kata in artinya menjadi, sedangkan secare artinya memotong atau membagi. Jadi, arti insect adalah binatang yang badannya terdiri dari potongan-potongan atau segmen-segmen. Sementara itu, heksapoda (hexapoda) berasal dari kata hexa yang berarti enam dan podos adalah kaki, sehingga heksapoda berarti binatang yang berkaki enam. Serangga telah hidup di bumi kira-kira 350 juta tahun, sedangkan manusia kurang dari dua juta tahun. Selama kurun waktu tersebut, mereka telah mengalami perubahan evolusi dalam beberapa hal dan menyesuaikan kehidupan pada hampir setiap tipe habitat dan telah mengembangkan banyak sifat-sifat yang tidak biasa, indah dan bahkan mengagumkan. Ukuran serangga berkisar dari kira-kira 0,25– 330 mm panjang dan kira-kira 0,5–300 mm dalam bentangan sayap; sebuah fosil capung mempunyai bentangan sayap lebih dari 760 mm. Beberapa serangga yang terpanjang sangat ramping (serangga yang panjangnya 330 mm yakni seekor serangga tongkat terdapat di Kalimantan), tetapi beberapa kumbang mempunyai tubuh hampir sebesar kepalan tinju (Borror et al. 1996). Serangga merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi. Lebih dari seribu spesies terdapat pada satu lapangan yang berukuran sedang, dan populasi mereka seringkali berjumlah jutaan pada tanah seluas satu acre (= 4047 m²) (Borror et al. 1996). Jumlah serangga di dalam tanah per hektar lebih kurang 2,5–10 juta. Sementara itu, pada lapisan tanah hutan dengan kedalaman 45cm terdapat lebih kurang 150 juta serangga per hektar. Pada pagi hari, serangga yang beterbangan lebih kurang 7.000 ekor per hektar di udara, sedangkan pada sore hari lebih kurang 27.000 serangga per hektar (Pracaya 2008). Serangga adalah makhluk yang berdarah dingin. Bila suhu lingkungan menurun, suhu tubuh mereka juga menurun, dan proses fisiologik mereka menjadi lamban. Banyak serangga tahan terhadap suhu beku pada periode pendek, tetapi beberapa mampu bertahan pada suhu beku atau dibawah beku dalam waktu yang
10
panjang. Beberapa serangga yang tahan hidup pada suhu-suhu yang rendah ini yaitu dengan menyimpan etilen glikol di dalam jaringan-jaringan mereka, etilen glikol merupakan zat kimia yang sama yang kita tuangkan ke dalam radiator kendaraan kita, untuk melindunginya dari pembekuan selama musim dingin (Borror et al. 1996). Serangga mengalami metamorfosis dalam perkembangannya, pada metamorfosis tak sempurna (incomplete metapmophosis) belalang dan beberapa ordo lain, hewan muda mirip dengan hewan dewasa tetapi berukuran lebih kecil dan memiliki perbandingan tubuh yang berbeda. Hewan itu akan mengalami serangkaian pergantian kulit atau molting, setiap kali setelahnya hewan itu kelihatan lebih mirip hewan dewasa, sampai ia mencapai ukuran penuhnya. Serangga dengan metamorfosis sempurna (complete metamorphosis) memiliki tahapan larva yang dikhususkan untuk makan dan tumbuh yang dikenal dengan nama seperti belatung (maggot), tempayak (grub), atau ulat (terpillar). Tahapan larva tampak berbeda sama sekali dari tahapan dewasa, yang dikhususkan untuk penyebaran dan reproduksi. Metamorfosis dari tahapan larva sampai dewasa terjadi selama tahapan pupa (Campbell 2003). Daya reproduksi serangga seringkali sangat hebat. Kapasitas tiap hewan untuk membentuk jumlah populasinya melalui reproduksi tergantung dari tiga sifat, yaitu : (1) Jumlah telur yang fertile yang diletakkan oleh tiap betina (yang pada serangga dapat bervariasi dari satu sampai ribuan), (2) Lama waktu suatu generasi (yang dapat bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun), dan (3) Perbandingan kelamin tiap generasi yaitu betina yang akan memproduksi generasi berikutnya (pada beberapa serangga tidak ada jantan) (Borror et al. 1996). 2.2.2 Peranan Serangga Aktivitas penyerbukan yang dilakukan oleh serangga memungkinkan produksi dari banyak hasil panenan pertanian, termasuk buah, kacang-kacangan, semanggi, sayur-sayuran, kapas dan tembakau. Serangga menghasilkan madu, malam tawon, sutera dan produk-produk perdagangan lainnya yang bernilai. Serangga juga merupakan makanan bagi banyak burung, ikan dan hewan-hewan yang berguna. Mereka bertindak sebagai pembersih yang penting bagi bangkai, membantu mempertahankan hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dalam keadaan
11
terjaga, bermanfaat dalam ilmu kedokteran dan penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuan, serta dianggap sebagai hewan-hewan yang menarik dalam segala segi kehidupannya. Akan tetapi, sejumlah kecil serangga dapat berbahaya dan menyebabkan kerugian-kerugian yang besar tiap tahun pada hasil-hasil pertanian dan produk yang disimpan, mereka juga dapat menularkan penyakitpenyakit yang secara serius mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan-hewan lain (Borror et al. 1996). Sebagian besar spesies serangga merupakan parasitik atau pemangsa dan penting untuk mengontrol spesies hama, yang lainnya membantu mengontrol gulma yang merugikan, dan membersihkan sampah sehingga membuat dunia ini lebih nyaman. Serangga adalah bahan makanan tunggal atau penting bagi banyak unggas, ikan, dan hewan-hewan lain. Bagi manusia, beberapa spesies serangga telah dipakai untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Penelitian mengenai serangga telah menolong ahli-ahli pengetahuan untuk memecahkan banyak problem dalam keturunan, evolusi, sosiologi, pencemaran sungai, dan bidang lainnya. Serangga juga mempunyai nilai keindahan; artis-artis, pembuat dan penjual topi wanita, serta perancang-perancang mode telah menggunakan keindahan mereka, dan banyak pula orang yang memperoleh kepuasan dari penelitian mengenai serangga sebagai suatu hobi (Borror et al. 1996). 2.2.3 Hubungan Serangga dan Tanaman Hubungan serangga dan tumbuhan dapat dikategorikan menjadi tiga tipe, berdasarkan pada dampak dari hubungan tersebut terhadap tumbuhan. Hubungan pertama adalah jika serangga untung dan tumbuhan rugi, yaitu melalui fitofagi atau pamangsaan oleh serangga pada tumbuhan. Tipe kedua adalah jika tumbuhan untung dan serangga juga untung (mutualisme), yaitu melalui peristiwa penyerbukan (polinasi) atau pemindahan/penyebaran benih tumbuhan oleh serangga ke tempat lain (miemekofori = pemindahan benih oleh semut). Selanjutnya tipe ketiga adalah hubungan yang lebih menguntungkan tumbuhan, yaitu serangga menyediakan senyawa-senyawa berguna bagi tumbuhan, misalnya nitrogen yang berasal dari kotoran, sedangkan tumbuhan mempersilakan serangga untuk tinggal di sebagian tubuhnya, misal pada lekukan batang. Istilah
12
phytotelmata merujuk pada tumbuhan yang menyediakan sebagian tubuhnya sebagai tangki air yang digunakan sebagai tempat hidup serangga (Putra 2011). Bagi serangga herbivora, tumbuhan adalah sumber pakan utama. Nutrisi utama, misalnya nitrogen diperoleh serangga dari jaringan tumbuhan. Secara umum, tumbuhan menyediakan senyawa nutrisi utama, yaitu karbohidrat, protein, asam amino, vitamin, mineral, dan air. Serangga juga membutuhkan nektar dan serbuk sari (pollen) dari tumbuhan. Serbuk sari yang kaya protein terutama dibutuhkan oleh serangga betina pada saat pembentukan telur, sedangkan nektar yang amat kaya karbohidrat dibutuhkan oleh serangga sebagai sumber energi (Putra 2011). Banyak serangga hidup di dalam jaringan tumbuhan. Mereka dapat membuat liang di dalam batang, buah, biji (disebut penggerek atau borer), atau di dalam jaringan daun (disebut pengorok atau miner). Beberapa spesies rayap arboreal (hidup pada tumbuhan), membuat liang-liang yang rumit susunannya di dalam permukaan batang. Beberapa serangga juga menggunakan hijaunya daun untuk bersembunyi dari intaian mangsanya, dan beberapa serangga lainnya mempunyai hubungan simbiosis mutualistik dengan tumbuhan. Misalnya, beberapa spesies serangga menempati bagian tubuh tertentu dari tumbuhan untuk bersarang untuk mencari pakan, sedangkan sebaliknya, tumbuhan mendapatkan pakan dari serangga berupa ekskresi atau hasil sekresi. Salah satunya disebut phytotelmata (Putra 2011). Serangga-serangga predator dan parasitoid mencari mangsa di tumbuhan, salah satu cara yang dilakukan ialah menyembunyikan diri untuk menjebak calon mangsa. Pengaruh tidak langsung tumbuhan pada serangga predator atau parasitoid juga sudah banyak dipelajari untuk memperkuat dugaan bahwa peran tumbuhan pada serangga sangat beragam, diantaranya sebagai tempat mencari mangsa atau inang. Mekanisme bottom-up memfasilitasi transfer energi dari tumbuhan kepada serangga karnivora via serangga herbivora (Power 1992 dalam Putra 2011). Jadi, secara sederhana, kualitas tumbuhan yang semakin tinggi akan meningkatkan kualitas dan kelimpahan serangga herbivora yang akhirnya meningkatkan kualitas dan kelimpahan serangga karnivora (Putra 2011).
13
Rahmi (2009) menyebutkan bahwa hubungan serangga dengan tanaman juga dapat dilihat dari aspek serangga itu sendiri. Hubungan atau interaksi tersebut dimulai dengan beberapa proses yang terdiri dari : 1. Menemukan habitat tanaman inang Serangga menemukan habitat tanaman inangnya melalui stimulus yang terdapat di lingkungan yang terdiri dari cahaya, angin, gaya gravitasi, bahkan terkadang temperatur dan kelembaban merupakan salah satu penarik penyebaran serangga ke habitatnya. 2. Menemukan tanaman inang Setelah menemukan habitat tanaman inang, serangga akan menggunakan stimulus untuk mendapatkan tanaman inang yang cocok. Beberapa faktor yang dapat menarik serangga untuk menemukan tanaman inangnya antara lain, melalui warna, ukuran, dan bentuk. Salah satu cara serangga mengenali inangnya, dengan cara mengenali kemochemical melalui antenna, tarsis, dan alat mulut. 3. Penerimaan inang sebagai inang yang cocok Setelah menemukan inang, serangga mencicipi inang, misalnya pada ulat, sebagai salah satu proses pengenalan inang oleh serangga. Beberapa faktor fisik yang mempengaruhi proses penerimaan inang, misalnya kondisi daun, keras atau tidaknya permukaan daun, lapisan llin pada permukaan daun, pubescence (kepadatan dan tipe bulu daun). 4. Kecukupan tanaman sebagai inang Kecukupan tanaman sebagai inang merupakan syarat terakhir dalam proses makan serangga terhadap tanaman inang. Jika nutrisi yang tersedia cukup dan tidak terdapat zat toksik dalam tanaman, serangga akan menyelesaikan proses makannya. Rahmi (2009) juga menyebutkan bahwa tanaman bagi serangga berperan sebagai penyedia stimulus fisikal dan chemical, tanaman memegang peranan penting di dalam hubungan antara serangga dan tanaman inang. Dalam proses pemilihan dan penentuan inang oleh serangga, peranan tanaman sebagai sumber rangsangan bagi serangga sangat penting. Sumber rangsangan tersebut terdiri dari dua sifat utama, yaitu :
14
1. Karakteristik morfologi Kandungan tanaman dapat memproduksi stimulus fisik juga penghalang aktivitas serangga. Variasi pada ukuran daun, bentuk, warna, dan ada/tidaknya sekresi glandular mungkin dapat membagi penerimaan serangga terhadap inangnya. Pubescence dan jaringan yang kuat kadang-kadang menjadi faktor pembatas dalam proses mobilisasi dan pemangsaan oleh serangga. 2. Karakteristik fisiologi Karakteristik fisiologi yang mempengaruhi reaksi serangga, biasanya berupa zat-zat kimia yang dihasilkan pada proses metabolisme tanaman. Proses metabolism pada tanaman umumnya menghasilkan substansi yang dapat berfungsi sebagai katalis reaksi, membangun jaringan dan menyediakan energi. Tanaman membutuhkan ion anorganik dan penghasil enzim, hormon dan karbohidrat, lipid, protein, dan komponen fosfat untuk energi transfer. 2.2.4 Perilaku Serangga Hidayat (2008) mengemukakan bahwa perilaku merupakan suatu tanggapan jika suatu individu mendapat rangsangan, atau suatu kombinasi dari tanggapan pembawaan yang dikontrol oleh sistem syaraf pusat dan pengalaman yang lalu (pembelajaran). Tanggapan ini akan memberi perubahan pada reaksi dan dipengaruhi oleh kondisi fisiologi di dalam tubuh yang dipengaruhi sistem endokrin. Perilaku serangga terdiri dari pembawaan (instincts), belajar (learning), dan komunikasi. 2.2.4.1 Pembawaan (Instincts) Hidayat (2008) mengemukakan beberapa tipe pembawaan : 1. Refleks Contoh : 1) capung (odonata) langsung terbang ketika akan ditangkap, 2) kupu-kupu membedakan rasa enak ada pada tarsusnya (bagian dari kaki), jika ada makanan enak, maka secara reflek probosisnya akan langsung keluar. 2. Kinesis Gerakan yang terarah karena rangsangan dari luar, merupakan gerak acak yang berfungsi sebagai alat menghindarkan diri dari bahaya. Contoh : pada
15
kecoa yang suka ditempat gelap, ketika lampu nyala, langsung bergerak dengan arah tak tentu. 3. Taksis Gerakan yang terarah, yang sifatnya mendekati atau menjauhi suatu rangsangan, jadi bisa bersifat positif atau negatif, sifat taksis ini di antaranya : (1) fototaksis, pengaruh sumber cahaya, (2) geotaksis, pengaruh tanah, (3) thigmotaksis, pengaruh rangsangan kontak atau sentuhan, (4) kemotaksis, pengaruh rangsangan kimia, (5) termotaksis, pengaruh suatu rangsangan suhu tertentu, dan (6) higrotaksis, pengaruh kandungan air atau kelembaban. 2.2.4.2 Belajar (learning) Hidayat (2008) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses pembelajaran yang merupakan perubahan adaptif pada perilaku sebagai hasil dari pengalaman di masa sebelumnya. Dukas (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa belajar dan mengingat, didefinisikan sebagai perolehan dan penyimpanan dari representasi saraf terhadap informasi baru di antara serangga. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai serangga secara ekstensif mengandalkan belajar pada semua kegiatan utama untuk hidup yang meliputi makan, menghindari predator, agresi, interaksi sosial, dan perilaku seksual. Terdapat bukti bahwa setiap individu dalam spesies serangga menunjukkan variasi genetik didasarkan dalam kemampuan belajar dan bukti-bukti langsung yang menunjukkan serangga belajar untuk kebugaran. Meskipun serangga mengandalkan perilaku bawaan agar berhasil mengelola banyak jenis variasi dan tidak dapat ditebak, belajar mungkin lebih unggul daripada perilaku bawaan ketika berhubungan dengan sifat yang unik pada waktu, tempat, atau individu. Di antara serangga, pembelajaran sosial yang dapat meningkatkan penyebaran yang cepat terhadap perilaku baru, saat ini hanya diketahui dari bererapa penelitian pada ordo Hymenoptera. Secara umum serta yang terpenting dari pembelajaran sosial pada serangga masih belum diketahui. 2.2.4.3 Komunikasi Komunikasi antar serangga diperlukan diantaranya dalam mendapatkan pasangan, komunikasi terjadi bila salah satunya memberi signal atau isyarat yang bisa berupa signal visual, sentuhan suara, dan kimiawi. Komunikasi ini bisa
16
dilakukan dalam jarak jauh, biasanya melibatkan alat visual, bahan kimia tersebar di udara, alat pendengar (auditory) dan lain-lain. Untuk komunikasi jarak dekat biasanya menggunakan kombinasi beberapa organ perasa. Jenis komunikasi ini ada yang sifatnya khusus digunakan antar individu dalam satu spesies (intraspesifik) dan ada yang digunakan antar spesies yang berbeda (interspesifik) (Hidayat 2008). Komunikasi visual berhubungan dengan penglihatan, seperti kupu-kupu jantan melihat adanya kupu-kupu betina, kunang-kunang jantan yang terbang dan menyala di malam hari, dan komunikasi pada lebah madu yang melakukan taritarian untuk memberi tahu temannya jika menemukan sumber makanan. Komunikasi suara atau auditory communication dapat terjadi karena adanya gerakan fibrase dan gerakan pada alat stidulasi. Alat stidulasi, gerakan menggaruk, seperti pada belalang ketika sayap belakangnya menggaruk femur belakang. Komunikasi kimia terjadi karena adanya bahan kimia yang mempengaruhi perilaku. Dalam tubuh serangga bahan kimia diproduksi di suatu bagian dan disebarkan ke bagian lain, disebut hormon, dan ada yang dikeluarkan oleh suatu individu untuk mempengaruhi individu lain (Hidayat 2008). 2.3
Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) Lembaga Center for Agricultural Bioscience International (CABI), yaitu
lembaga penelitian non-profit antar pemerintahan yang berpusat di Inggris menyebutkan bahwa spesies kutulilin pinus adalah Pineus boerneri dengan nama umum Pine Woolly Aphid. Adapun taksonomi hama kutulilin pinus (Pineus boerneri) selengkapnya adalah sebagai berikut : Domain
: Eukaryota
Kingdom
: Metazoa
Filum
: Arthropoda
Sub filum
: Uniramia
Kelas
: Insekta
Ordo
: Hemiptera
Sub ordo
: Sternorrhyncha
Super famili
: Aphidoidea
Famili
: Adelgidae
17
Genus
: Pineus
Spesies
: boerneri Annand.
Kutulilin pinus bertubuh lunak, berbentuk bulat, berwarna kuning kecoklatan, berukuran kecil (±1 mm), tinggal dan bereproduksi di pucuk bagian luar dari pohon pinus. Kutu ini mengeluarkan lilin putih dari kelenjar lilin yang terdapat di tubuhnya. Kutu betina mempunyai ovipositor, rostrum yang panjang, 4 pasang spirakel pada abdomen dan tidak aktif (sessile). Sebagian besar famili Adelgidae mempunyai siklus hidup selama 2 tahun. P. boerneri adalah kutu yang aseksual sepanjang tahun, artinya tidak tergantung musim dan memproduksi telur secara partenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan), maka populasi kutu ini cepat sekali berlipat ganda. Bila satu petak tanaman pinus diketahui telah terserang, maka sangat mungkin bahwa pohon-pohon di petak-petak sekitarnya akan terserang dengan populasi hama yang relatif rendah sehingga belum menunjukkan efek merusak (Laela 2008). P. boerneri tahan terhadap kondisi lingkungan yang dingin (Annand 1928). Penyebaran dan fluktuasi populasinya di lapangan dipengaruhi oleh faktor barrier (penghalang) berupa barrier alam (jurang, bukit), vegetasi (ada tidaknya vegetasi lain selain pinus), dan iklim. Pertanaman pinus yang memiliki barrier alam dan vegetasi lain yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibandingkan dengan pertanaman yang berada di bentang alam yang terbuka. Namun seiring waktu apabila tinggi pohon-pohon pinus sudah menyamai/melebihi barrier alam yang ada, maka tingkat serangan hama kutulilin pinus juga meningkat. Serangan hama kutulilin pinus meningkat pada musim kemarau; pada musim hujan kutulilin pinus tertekan namun tetap ada dalam tegakan dalam populasi terbatas (Laela 2008). Ciesla (2011) menyebutkan bahwa P. boerneri yang berasal dari P. radiate di California, Amerika Serikat diyakini berasal dari Eurasia sebagai P. laevis (Maskell) dan P. pini Maquart. Banyak literatur sebelumnya tentang spesies ini dengan nama-nama tersebut. Spesies ini telah menyebar ke Afrika, Australia, Amerika Utara (Timut Laut Amerika Serikat dan Hawaii), Amerika Selatan, dan Selandia Baru. Pertama kali dilaporkan di Afrika dari Kenya dan Zimbabwe pada tahun 1968 dan menyebar dengan cepat di perkebunan pinus di seluruh benua
18
Afrika. Penyebaran awal ke Afrika diperkirakan melalui materi keturunan P. taeda yang diimpor dari Australia. Hama kutulilin pinus diketahui mempunyai inang lebih dari 50 spesies pohon pinus (Chilima dan Leather
2001 dalam Wylie dan Speight 2012).
Kutulilin pinus menghisap cairan dari daun, pucuk atau batang pinus dan menyebabkan kerusakan bentuk batang serta pertumbuhan. Serangga ini mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih, yang menutupi koloninya. Kutulilin pinus menyebabkan daun kecoklatan dan mati, kematian pucuk (dieback), kelainan bentuk batang dan pada serangan yang berat dapat menyebabkan kematian pohon (Wylie dan Speight 2012). Kerusakan akan semakin parah apabila pohon tumbuh pada kondisi yang buruk sehingga menyebabkan stress. Hal ini terjadi karena kekeringan, tanah yang miskin, tidak ada penjarangan dan lain sebagainya (Watson 2007 dalam Iriando 2011). Serangga ini memiliki pola serangan tertentu, baik menurut ruang maupun waktu. Pemahaman tentang distribusi populasi kutu berdasarkan ruang dan waktu sangat penting dalam pengelolaan hama kutulilin pinus ini yaitu pemilihan waktu dan teknik yang tepat untuk aplikasi pengendalian. Kegiatan silvikultur seperti penjarangan dan pemangkasan serta faktor lainnya (umur, spesies, vigor pohon dan gugur daun karena hama lain) dapat mempengaruhi distribusi kutulilin pinus ini (Chilima dan Leather 2001 dalam Iriando 2011). Pada tahap awal serangan akan terlihat bintik-bintik putih kecil (1–2 mm), biasanya pada pucuk tanaman dan batang dalam jumlah yang kecil. Bintik-bintik kecil putih tersebut berbentuk seperti hifa-hifa dengan warna putih dan lengket yang merupakan cairan yang dikeluarkan kutulilin pinus sebagai tempat tinggal (rumah/tempat berlindung dan berkembang biak) bagi kutulilin pinus. Setelah tanaman terserang kutulilin pinus, maka tahap selanjutnya akan terjadi perkembangan penutupan lilin. Pada tahap ini bintik-bintik putih tersebut semakin melebar membentuk kelompok-kelompok lapisan lilin. Kemudian akan terus berlangsung sampai menutupi seluruh permukaan kulit dari tanaman pinus tersebut, sehingga pada tanaman pinus akan terlihat kumpulan warna putih akibat adanya lapisan lilin (Supriadi 2001 dalam Iriando 2011).
19
Laela (2008) menyatakan bahwa dari berbagai data dan informasi diketahui bahwa ternyata hama jenis pencucuk penghisap (superfamili Aphidoidea) banyak menyebabkan kerusakan dan permasalahan sangat serius pada pohon-pohon spesies konifer (spesies-spesies pinus dan daun jarum) di berbagai Negara. Serangan hama pencucuk penghisap telah mengakibatkan krisis di bidang kehutanan Negara-negara Afrika. Sampai dengan saat ini serangan hama aphid ini sudah berjalan selama 40 tahun lebih (keberadaan hama pertama kali diketahui tahun 1968).