BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SKIN LOTION Perawatan kulit kosmetik dan toiletries terus berkembang. Setelah beberapa tahun, dengan pengenalan material baru ditambah dengan kemajuan pada teknologi surfaktan atau emulsi, pengembangan produk dengan fungsi dan daya tarik yang baik terus berkembang (Butler 2000). Skin lotion termasuk golongan kosmetika pelembap kulit yang terdiri dari berbagai minyak nabati, hewani, maupun sintetis yang dapat berfungsi sebagai lemak buatan pada permukaan kulit. Lemak ini melenturkan lapisan kulit yang kering dan kasar, serta mengurangi penguapan air dari sel kulit, namun tidak dapat mengganti seluruh fungsi dan kegunaan dari kulit. Kosmetika pelembap kulit umumnya berbentuk sediaan cairan minyak atau campuran minyak dalam air yang dapat ditambahi atau dikurangi zat tertentu untuk tujuan khusus (Wasitaatmadja 1997). Lotion pelembap berfungsi menyokong kelembapan dan daya tahan air pada lapisan kulit sehingga dapat melembutkan dan menjaga kehalusan kulit tersebut (Mitsui 1997). Lotion didefinisikan sebagai campuran dua fase yang tidak bercampur, distabilkan dengan sistem emulsi, dan berbentuk cairan yang dapat dituang jika ditempatkan pada suhu ruang (Schmitt 1992). Hand and body lotion umumnya berbentuk emulsi minyak dalam air (o/w), dimana minyak merupakan fase terdispersi (internal) dan air merupakan fase pendispersi (eksternal). Tipe skin lotion umumnya terdiri dari 10-15% fase minyak, 5-10% humektan, dan 75-85% fase air. Karakteristik dasarnya mempunyai kemampuan melembapkan kulit dengan segera dan mengurangi kekeringan kulit atau gejala kulit kering (Balsam et al. 1972). Pelembap kulit yang baik harus memenuhi persyaratan mutu yang terdapat di SNI 164399-1996 pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu sediaan tabir surya No. Kriteria Uji Satuan 1. Penampakan 2. pH o 3. Bobot jenis, 25 C g/ml 4. Viskositas 25oC cP 5. Cemaran Mikroba koloni/gram Sumber : SNI 16-4399-1996
Persyaratan Homogen 4,5-8,0 0,95-1,05 2000-50000 Maks 102
2.2 BAHAN-BAHAN PENYUSUN SKIN LOTION Bahan penyusun skin lotion terdiri dari asam stearat, mineral oil, setil alkohol, triethanolamin, gliserin, air murni, pengawet, dan pewangi yang disusun berdasarkan persentase berat dalam formulasi (Nussinovitch 1997). Asam stearat (C16H32O2) merupakan asam lemak yang terdiri dari rantai hidrokarbon, diperoleh dari lemak dan minyak yang dapat dimakan, dan berbentuk serbuk berwarna putih. Asam stearat mudah larut dalam kloroform, eter, etanol, dan tidak larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi dalam sediaan kosmetika (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Warna putih dapat dihasilkan oleh
3
pemakaian asam stearat. Semakin besar pemakaian asam stearat, maka warna putih akan semakin berkilau (Barnett 1972). Emulsi yang baik memiliki sifat tidak berubah menjadi lapisan-lapisan, tidak berubah warna, dan tidak berubah konsistensinya selama penyimpanan. Emulsi yang tidak stabil terjadi karena masing-masing fase cenderung bergabung dengan fase sesamanya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat mengakibatkan emulsi pecah (Suryani et al. 2000). Minyak mineral (parafin cair) adalah campuran hidrokarbon cair yang berasal dari sari minyak tanah. Minyak ini merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak larut dalam alkohol atau air, jika dingin tidak berbau dan tidak berasa namun jika dipanaskan sedikit berbau minyak tanah. Minyak mineral berfungsi sebagai pelarut dan penambah viskositas dalam fase minyak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Pada kosmetik, minyak mineral luas digunakan pada eye shadow, lipstick, lip gloss, makeup wajah, produk pembersih, krim, dan lotion (Nikitakis 1988 dalam Smolinske 1992). Aplikasi selaput tipis dari bahan oklusif seperti minyak atau lilin, membuat kulit terasa lembut dan halus. Bahan-bahan ini, umumnya dikenal dengan sebutan emollients, yang seringkali mengurangi TEWL (Transepidermal Water Loss) yang cenderung meningkatkan kandungan air pada stratum corneum. Perubahannya yang cepat pada gejala kulit yang kering dapat dihubungkan dengan kemampuannya untuk mengisi celah pada lapisan tanduk dan glue down cornecytes yang menonjol (Butler 2000). Setil alkohol (C16H33OH) merupakan butiran yang berwarna putih, berbau khas lemak, rasa tawar, dan melebur pada suhu 45-50oC. Setil alkohol larut dalam etanol dan eter, namun tidak larut dalam air. Bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi, penstabil, dan pengental (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Setil alkohol adalah alkohol dengan bobot molekul tinggi yang berasal dari minyak dan lemak alami atau diproduksi secara petrokimia. Bahan ini termasuk ke dalam fase minyak pada sediaan kosmetik. Pada formulasi produk, setil alkohol yang digunakan kurang dari 2%. Setil alkohol merupakan lemak putih agak keras yang mengandung gugusan kelompok hidroksil dan digunakan sebagai penstabil emulsi pada produk emulsi seperti cream dan lotion (Mitsui 1997). Setil alkohol digunakan sebagai emulsifier, agen opasitas, emollient, agen peningkat viskositas, dan penyokong busa pada kosmetik dan farmasi. Tipe produk yang menggunakan setil alkohol termasuk produk untuk mata, bedak wangi, kondisioner rambut, lipstick, makeup, krim dan lotion, serta produk pembersih (Nikitakis 1988 dalam Smolinske 1992). Setil alkohol diketahui dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas (alergi) pada pasien dengan kulit stasis atau kaki ulcers yaitu 5,4% dari 116 kasus (Van Ketel dan Wemer 1983 dalam Smolinske 1992). Reaksi hipersensitivitas pada setil alkohol disinyalir berhubungan dengan ketidakmurnian produk (Hannuksela dan Salo 1986 dalam Smolinske 1992). Triethanolamin ((CH2OHCH2)3N) atau TEA merupakan cairan tidak berwarna atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, dan higroskopis. Cairan ini dapat larut dalam air dan etanol tetapi sukar larut dalam eter. TEA berfungsi sebagai pengatur pH dan pengemulsi pada fase air dalam sediaan skin lotion (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). TEA merupakan bahan kimia organik yang terdiri dari amina dan alkohol dan berfungsi sebagai penyeimbang pH pada formulasi skin lotion. TEA tergolong dalam basa lemah (Frauenkron et al. 2002). Gliserin atau gliserol mengandung tidak kurang dari 95% dan tidak lebih dari 100% C3H8O3. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1993), gliserin berupa cairan kental, tidak berwarna, berasa manis, dan higroskopis. Terbuat dari bahan-bahan lemak alami
4
tanaman dan hewan. Gliserin dapat digunakan sebagai pelarut maupun zat pelarut. Gliserin diklasifikasikan sebagai humektan, pemlastis, pelarut, dan agen tonik pada produk farmasi. Pada kosmetik, gliserin digunakan sebagai pendenaturisasi dan humektan pada berbagai macam produk, seperti kondisioner dan pewarna rambut, produk makeup, pencuci mulut, penyegar napas, lotion setelah bercukur, krim cukur, krim, lotion, dan lulur (Smolinske 1992). Bahan higroskopis tertentu yang dikenal sebagai humektan, dapat menyeimbangkan air pada lapisan tanduk dan menjaganya pada matriks lemak interseluler. Air ini dapat datang dari air pada formulasi akhir dan lapisan epidermis bagian bawah bukannya dari lingkungan luar (Butler 2000). Air murni merupakan komponen yang paling besar persentasenya dalam pembuatan skin lotion. Air murni hanya mengandung molekul air saja dan dideskripsikan sebagai cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, memiliki pH 5.0 dan 7.0, dan berfungsi sebagai pelarut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1993). Air yang digunakan harus didestilasi atau dihilangkan garam-garamnya dengan ion exchanger. Sisa-sisa besi dan tembaga sangat berbahaya karena mempercepat terjadinya ketengikan. Karena kandungan minyak tumbuhannya yang tinggi, preparat pelembap ini mudah menjadi tengik. Kosmetik pelembap harus dilindungi dari mikroorganisme dan jamur dengan penambahan bahan pengawet (Tranggono dan Latifah 2007). Manfaat air dalam produk kosmetik adalah membantu penyebaran produk dan pencampuran bahan-bahan lainnya dalam larutan kosmetik. Air dapat pula mengembalikan kelembapan kulit, ini merupakan hal yang penting, mengingat air merupakan bagian mayoritas dalam sel kulit manusia (Edgar 2008). Metil paraben atau nipagin digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik, produk makanan, dan formula farmasi. Metil paraben dapat digunakan sendiri ataupun dengan kombinasi paraben lainnya, atau zat antimikroba lain. Bentuk metil paraben adalah kristal tak berwarna, serbuk kristal putih, dan tidak berbau. Metil paraben merupakan metil ester dari asam p-hidroksibenzoat. Metil paraben mempunyai aktivitas antimikroba pada pH 4-8. Efek pengawetan akan menurun sebanding dengan meningkatnya pH. Metil paraben memiliki keaktifan paling lemah dari seluruh paraben. Aktivitasnya akan meningkat dengan bertambahnya panjang rantai dari alkil. Aktivitasnya dapat diperbaiki dengan mengombinasikan dengan paraben lain. Metil paraben larut dalam etanol, eter, propilen glikol dan metanol, tidak larut dalam parafin cair dan air, larut dalam air hangat, aktivitas antimikroba dari metil paraben menurun dengan keberadaan surfaktan non ionik seperti polisorbat 80 (Wade dan Weller 1994). Sangat penting untuk menggunakan parfum yang stabil untuk tidak mengiritasi pada kondisi alkali dan tidak mudah teroksidasi atau menguap. Konsentrasi parfum yang digunakan pada produk beragam, tapi apabila konsentrasinya terlalu rendah, akan menyebabkan aromanya tidak nampak. Di sisi lainnya, bila konsentrasi terlalu tinggi, akan menghasilkan bau yang terlalu menyengat dan dapat menyebabkan gumpalan-gumpalan, terutama pada sediaan bedak. Dapat pula menyebabkan iritasi pada kulit. Biasanya konsentrasi parfum kisaran 0,2 dan 1% masih dapat diterima (Singh 2010). Bahan lain yang digunakan pada pembuatan skin lotion adalah karagenan dan kitosan. Karagenan adalah nama umum dari golongan polisakarida yang diperoleh secara komersial melalui proses ekstraksi dari spesies alga merah (Rhodophyceae) tertentu, antara lain Gigartina, Chondrus, Iridaea, dan Euchema. Karagenan terdiri dari galaktosa linier dengan kandungan sulfat yang bervariasi antara 15% dan 40%. Karagenan telah digunakan secara komersial sebagai pembuat gel, pengental, dan penstabil terutama pada makanan seperti susu coklat, keju, produk instan, yoghurt, jelly, makanan ternak, dan saus. Selain itu, karagenan juga digunakan pada
5
industri farmasi, kosmetik, tekstil, bioteknologi, dan industri lainnya (Van de Velde dan De Ruiter 2004). Karagenan digunakan pada gel, krim, lotion, perawatan rambut, serta produk kulit dan tubuh. Gel karagenan meningkatkan kestabilan emulsi dengan menjaga droplet minyak dan mencegah pemisahan bahan yang tidak larut (non soluble) seperti pigmen (Anonim 2007). Selain itu, konon petani Irish Moss cenderung memiliki kulit yang halus akibat seringnya kontak langsung antara kulit petani dengan rumput laut tersebut. Hal ini karena karagenan diduga berinteraksi dengan karoten pada manusia untuk menghasilkan kulit yang halus. Karena alasan ini, karagenan juga seringkali digunakan dalam produk kosmetik untuk menjaga kehalusan kulit (Anonim 2004). Kitosan merupakan polisakarida linear dengan komposisi distibusi acak dari β-(1-4)linked D-glukosaamina. Dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba (Hadwiger dan Loschke, 1981 dalam Hardjito 2006). Kitosan mampu mempercepat proses regenerasi kulit, karenanya sering digunakan sebagai obat luka bakar. Kitosan adalah gum kationik alami yang telah digunakan pada berbagai jenis kosmetik, terutama pada perawatan rambut dan kulit dan personal care lainnya (Muzzarelli 1983 dalam Champagne 2008). Ketika digunakan pada kulit, kitosan membentuk perlindungan dan lapisan elastik yang melembapkan, hal ini membuat kitosan berfungsi sebagai pelembap pada lotion atau sunscreens (Gossen 1997). Tabel 2. Aplikasi kitosan pada kosmetik No. Aplikasi Kitosan 1 Pelarut yang baik dalam aplikasi kosmetik 2 Fungicidal dan fungistatic 3 Menyerap bahaya radiasi ultraviolet 4 Meningkatkan kehalusan dan kelembutan Sumber : Dutta, et al. (2004)
2.3 MINYAK KENANGA Salah satu komponen aroma yang ingin dipertahankan adalah komponen minyak wangi yang ditambahkan. Minyak wangi yang ditambahkan adalah minyak bunga kenanga. Bunga kenanga memiliki aroma yang khas dan menyenangkan. Minyak kenanga dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam pembuatan produk misalnya bahan baku ramuan parfum, kosmetika, sabun, dan produk-produk rumah tangga lain misalnya pewangi pembersih lantai (Sunanto 1993). Ada pula yang menuliskan bahwa minyak ekstrak dari bunga kenanga (essential oil) digunakan dalam perubatan aroma terapi untuk menenangkan dan merelaksasikan jiwa terutamanya ketika PMS (pre-menstrual syndrome). Minyak bunga kenanga juga digunakan untuk melegakan kesakitan atau kekejangan yang terjadi ketika haid dan juga melancarkan haid, juga mampu menurunkan tekanan darah, boleh digunakan untuk mengobati darah tinggi. Minyak ini juga boleh digunakan untuk kegunaan kosmetik seperti mengurangkan garis penuaan, menggalakkan pertumbuhan sel baru, merawat jerawat, mengatasi masalah kulit kasar dan berminyak, serta menggalakkan pertumbuhan rambut. Minyak ini bisa digunakan ketika demam biasa atau demam malaria bronkitis dan asma (Anonim 2009).
6
Menurut Ketaren (1985), minyak kenanga diperoleh dari hasil penyulingan bunga tanaman kenanga. Prosesnya dimulai dari perajangan bunga, penyulingan rebus atau kukus, dan pemisahan dengan air. Minyak atsiri pada dasarnya memiliki sifat volatil, yaitu dapat menguap secara cepat atau dapat betukar dalam bentuk uap secara mudah. Dalam kimia, bahan volatil adalah bahan yang menguap dalam bentuk gas pada temperatur ruang (Anisman-Reiner 2008). Untuk itu, pengontrolan pelepasan aroma pada produk-produk yang berbasis minyak volatil perlu dilakukan. Tabel 3 merupakan daftar komponen dan komposisi dari minyak kenanga. Tabel 3. Komponen minyak kenanga Nama Komponen Komposisi β-Kariofilen 37% Farnesene 12,2% α-Kariofilen 10,5% γ-Kadinene 7,6% Teta cadinene 5,4% Benzil benzoat 2,9% Geranil asetat 1,8% Linalool 1,7% p-cresil metil eter 1,1% (Z,E) farnesol 1,1% Nerolidol 1% Geraniol 0,6% Benzil salisilat 0,1% Sumber : Buccellato (1982) dalam Oyen dan Nguyen Xuan Dung(1999) Semua komponen kimia yang terdapat dalam minyak ylang-ylang, juga terdapat dalam minyak kenanga, hanya berbeda jumlahnya. Minyak kenanga terutama banyak mengandung seskuiterpen dan seskuiterpen alkohol, tetapi lebih sedikit mengandung ester jika dibandingkan dengan minyak ylang-ylang. (Ketaren 1985). Umumnya komponen kimia dalam minyak atsiri terdiri dari campuran hidrokarbon dan turunannya yang mengandung oksigen yang disebut dengan terpen atau terpenoid. Terpen merupakan persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh dan satuan terkecil dalam molekulnya disebut isopren (CsHa). Senyawa terpen mempunyai rangka karbon yang terdiri dari 2 atau lebih satuan isopren. Klasifikasi dari terpen didasarkan atas jumlah satuan isopren yang terdapat dalam molekulnya yaitu : monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen, tetraterpen, dan politerpen yang masing-masing terdiri dari 2, 3, 4, 6, 8, dan n satuan isopren (Finar 1959). Berikut penjelasan tentang beberapa komponen yang dominan terdapat dalam minyak kenanga. a.
Kariofilen Kariofilen merupakan seskuiterpen yang terdapat dalam banyak minyak atsiri. Kariofilen yang ada pada minyak kenanga adalah β-Kariofilen dan α-Kariofilen. βKariofilen (Gambar 1) memiliki bobot jenis 0,908 (Guenther 1949).
7
Gambar 1. Struktur kimia β-Kariofilen α-Kariofilen (Gambar 2) yang merupakan isomer β-Kariofilen dengan bobot jenis 0,886. Baik α maupun β-Kariofilen dapat dengan mudah teroksidasi di udara, jadi komponen ini berkonstribusi pada fraksi oksigen dalam minyak (Nickerson dan Van Engel 1992).
Gambar 2. Struktur kimia α-Kariofilen b.
α-Farnesene Farnesene merupakan enam pasang komponen kimia yang kesemuanya adalah seskuiterpen. α-Farnesene adalah 3,7,11-trimethyl-1,3,6,10-dodekatetraen yang ditemukan dalam coating apel, dan buah lainnya. Komponen ini juga penyebab aroma dari apel hijau (Anonim 2010).
. Gambar 3. Struktur kimia α-Farnesene c.
δ-Kadinene δ-Kadinene atau 1,2,3,5,6,8a- Heksahidro -1- isopropil -4,7-dimetil-naftalen merupakan salah satu isomer dari kadinene. Senyawa ini banyak terdapat dalam bungabungaan, seperti anthurium, anggrek cattleya, dan lain-lain, termasuk juga bunga kenanga (ElSayed 2010).
Gambar 4. Struktur kimia δ-Kadinene
2.4 PENYIMPANAN KOSMETIK Tujuan dari pembentukan emulsi di antaranya adalah untuk menjaga stabilitas bahan agar dapat bertahan lama, terutama saat penyimpanannya. Stabilitas yang ingin dijaga berhubungan dengan komponen-komponen yang ada dalam skin lotion, termasuk komponen aroma. Lotion sebaiknya disimpan dalam wadah yang tertutup pada tempat yang sejuk (WHO 1997).
8
Ditambahkan lagi, penyimpanan produk sebaiknya terproteksi dari cahaya matahari. Hal yang sama dikemukakan oleh Ecolab (2007) yang memroduksi Endure ® Revitalizing Skin Lotion. Ecolab menuliskan bahwa skin lotion disimpan dalam wadah tertutup pada temperatur ruang, tidak disimpan di bawah 0oC, dan tidak dicampur dengan bahan lainnya. Metode yang digunakan untuk menguji penyimpanan kosmetik adalah metode akselerasi, yaitu suatu metode yang mengatur suatu kondisi penyimpanan di luar kondisi normal. Terdapat beberapa suhu dan jangka waktu sebagai panduan dalam menentukan tingkat kestabilan produk kosmetik yang mengacu pada metode Accelerated Storage (Tabel 4). Tabel 4. Suhu dan jangka waktu sebagai panduan stabilitas Suhu (oC) Lama Pengamatan (bulan) 25 12 37 6 45 3 50 1 4 1 -20 1 Sumber : Connors et al. (1992)
Umur simpan produk (bulan) 12 9 9 9 9 9
2.5 SIKLODEKSTRIN Siklodekstrin adalah oligosakarida siklik yang dibangun dari unit 6, 7, atau 8 α(1-4) ikatan anhidroglukosa. Produksi α-, β-, atau γ-siklodekstrin melalui konversi pati yang berbeda diameter ruang hidrofobiknya dan biasanya cocok untuk inklusi beberapa zat lipofilik (Regiert dan Kupka 2010). Sama halnya dengan Otero (1991) yang menjelaskan bahwa siklodekstrin (sikloamilosa) adalah oligosakarida dalam bentuk siklik yang diproduksi secara enzimatik dari pati. Siklodekstrin utama (α, β, dan γ-siklodekstrin) disusun dari enam, tujuh, atau delapan unit D-glukosa yang diikat dengan ikatan α-1,4-glikosidik (Otero 1991). Menurut Lee dan Kim (1991), siklodekstrin adalah senyawaan siklik dari oligosakarida non reduksi yang diikat oleh α1,4-glikosidik. Penamaan α, β, dan γ menurut jumlah unit glukosanya, α sebanyak 6 unit, β sebanyak 7 unit, dan γ sebanyak 8 unit. Struktur molekul α, β, dan γ siklodekstrin dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 5. Struktur molekul α, β, dan γ siklodekstrin (Skowron 2006) Siklodekstrin memiliki struktur molekul yang siklik berbentuk torus seperti kue donat. Pada bagian kulit luar bersifat hidrofilik dan bagian dalam (rongga) bersifat hidrofobik (Otero 1991). Menurut Lee dan Kim (1991), bentuk dan ukuran tersebut ditentukan oleh jumlah unit glukosanya. Bagian dalam siklodekstrin relatif non-polar dibandingkan dengan air. Sehingga siklodekstrin lebih mudah membentuk kompleks dengan senyawa organik lain.
9
Tabel 5. Sifat fisik siklodekstrin standar Ukuran Molekul (Ao) Jenis Unit BM Diameter CD Glukosa Tinggi Dalam Luar Α 6 973 5,7 13,7 7,0 Β 7 1135 7,8 15,3 7,0 Γ 8 1297 9,5 16,9 7,0 Sumber : Pszezola (1988)
Kelarutan (air) 25 0C (g/100 ml) 14,5 1,85 23,2
[α] D20 (H2O.1%) 150,5o 162,5 o 117,4 o
Lee dan Kim (1990) menyatakan bahwa dari ketiga jenis siklodekstrin yang paling banyak digunakan adalah β-siklodekstrin karena kompleks inklusi yang terjadi di dalamnya lebih stabil, mudah, ukuran rongganya dapat memuat banyak molekul, serta paling mudah dipisahkan dengan produk tanpa harus menggunakan pelarut organik karena kelarutan β-siklodekstrin sangat rendah. Pada umunya, produksi siklodekstrin dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan likuifikasi pati dengan panas, dengan atau tanpa enzim penghidrolisis, kemudian baru ditambahkan CGTase untuk sintesis siklodekstrin. Proses tersebut akan menjadi sulit pada konsentrasi pati yang tinggi karena viskositas larutan pati akan meningkat dengan cepat pada saat proses likuifikasi (Lee dan Kim 1991). Pembentukan siklodekstrin mengalami peningkatan dengan penambahan pelarut organik (etanol, asetan, dan propanol) ke dalam medium reaksi. Peningkatan tertinggi diperoleh pada penambahan etanol 10% (v/v), yakni mengalami peningkatan sekitar 100% (Lee dan Kim 1991). Penambahan pelarut organik ke dalam medium reaksi dapat meningkatkan perolehan siklodektrin. Hal tersebut disebabkan karena terbentuknya kompleks inklusi antara siklodekstrin dengan pelarut organik. Terbentuknya kompleks inklusi tersebut menyebabkan perubahan struktur molekul siklodekstrin, sehingga CGTase tidak dapat mengenali siklodekstrin. Perubahan tersebut menyebabkan proses hidrolisis dapat dihindari pada molekul siklodekstrin (Lee dan Kim 1991). Kompleks inklusi (Gambar 6) adalah komponen molekular yang memiliki karakteristik struktur dari pengadukan, yaitu satu komponen (molekul tuan rumah) secara spasial menyertakan lainnya. Komponen yang disertakan (molekul tamu) diletakkan pada rongga molekul tuan rumah tanpa memengaruhi struktur rangka dari molekul tuan rumah. Siklodekstrin dapat berinteraksi dengan bermacam-macam jenis ion dan molekul. Hasil dari komponen inklusi tergantung pada tipe kompleks “tuan rumah-tamu”. Beberapa persyaratan harus dipenuhi agar terbentuk hubungan “tuan rumah-tamu”. Letak ikatan dari molekul tuan rumah dan tamu harus melengkapi stereoelectronically. Karakteristik utama dari molekul tuan rumah adalah letak ikatan berorientasi pada arah spasial yang sama, sedangkan pada molekul tamu, letak ikatan divergen dalam kompleks. Ini adalah hubungan letak ikatan yang konvergen dan divergen di mana kompleks dari tuan rumah-tamu terbentuk (Szejtli 1988).
Gambar 6. Skema pembentukan kompleks inklusi siklodekstrin (Szejtli 1988)
10
2.6 PENGONTROL PELEPASAN AROMA Kandungan aroma dapat menurun selama penyimpanan, atau rasio dari konstituen pada aroma yang dapat berubah. Evaporasi substansi yang mengandung aroma dan volatil dapat dihindari dengan inklusi. Siklodekstrin merupakan salah satu bahan inklusi yang ditambahkan pada minyak atsiri yang mudah menguap. Beberapa minyak atsiri telah diteliti bagaimana kandungan setelah penyimpanan dengan atau tanpa inklusi (Frömming dan Szejtli 1993).
Gambar 7. Stabilitas minyak jeruk dalam formulasi inklusi dengan β-Siklodekstrin (Thoβ 1990 dalam Frömming dan Szejtli 1993) Analasis kromatografi gas pada sampel yang berbeda pada minyak jeruk menunjukkan tidak ada perubahan yang luar biasa setelah 7 bulan penyimpanan dalam keadaan terbuka pada βCD kompleks dari minyak ini. Sampel dari minyak murni bagaimanapun memiliki sedikit perbedaan setelah empat minggu penyimpanan (Thoβ 1990 dalam Frömming dan Szejtli 1993). Siklodekstrin dapat digunakan dalam berbagai indsutri seperti pada industri kimia, farmasi, pangan, dan kosmetika. Hal ini disebabkan karena siklodekstrin mempunyai sifat enkapsulasi, termasuk peningkatan kelarutan dan perlindungan komponen kimia yang labil dari pengaruh oksidasi. Langourieux dan Crouzet dalam Reineccius et al. (2006) memublikasikan beberapa temuan dari inklusi (interaksi) dari β-siklodekstrin dan komponen volatil (β-ionone dan limonene). Mereka menemukan interaksi kuat antara siklodekstrin dan pengujian kedua volatil. Hasil terkini oleh Reineccius et al. (2006), yang termasuk tiga jenis siklodekstrin (α, β, γ), mendukung hasil sebelumnya. Interaksi bergantung pada komponen aroma, siklodekstrin, konsentrasi dari komponen aroma dan siklodekstrin, serta temperatur. Dalam studi karbohidrat, siklodekstrin menunjukkan interaksi dalam jumlah yang besar dengan komponen aroma. Selain siklodekstrin, bahan lain yang memiliki fungsi sama adalah minyak nilam. Menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2006), minyak nilam memiliki potensi sebagai bahan pengikat aroma wangi pada parfum dan kosmetika. Namun, harga minyak nilam (40 USD/kg
11
(NEDFi 2002)) di pasaran lebih tinggi daripada siklodekstrin, khususnya β-siklodekstrin (2,7 USD/kg (Mengzhou Huaxing Biochemistry Co. 2010) yang banyak digunakan pada kosmetik. Aroma dapat dilindungi dari perubahan kimia dengan enkapsulasi. Bahan yang cocok digunakan untuk inklusi adalah polisakarida, seperti gum arabic, maltodekstrin, pati termodifikasi, dan siklodekstrin. Enkapsulasi dilakukan melalui proses spray drying, ekstrusi, atau membentuk kompleks inklusi. Untuk spray drying, zat aroma diemulsikan dalam larutan atau suspensi polisakarida, yang mengandung penyalut dalam tambahan pada agen pengemulsi. Dalam persiapan ekstrusi, lelehan dari bahan dinding, zat aroma, dan emulsifier diproduksi. Ekstrusi dilakukan pada celupan yang dingin, misalnya isopropanol. β-siklodekstrin, di antara komponen lainnya, dapat digunakan untuk pembentukan kompleksi inklusi. Bersama dengan zat aroma, mereka terlarut dalam campuran air/etanol dengan pemanasan. Kriteria untuk mengevaluasi pengenkapsulasian aroma adalah stabilitas dari aroma, konsentrasi zat aroma, dan jumlah zat aroma yang melekat pada permukaan kapsul (Belitz et al. 2009).
12