4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah Lanskap sejarah (historical landscape) menurut Harris dan Dines (1988), dapat dinyatakan sebagai suatu bentukan lanskap pada masa lalu yang terdiri dari bukti-bukti fisik tentang keberadaan manusia pada suatu tempat. Lanskap sejarah juga memiliki fokus kepada lanskap budaya di antara kontribusi manusia terhadap keadaan awal suatu tempat. Nurisjah dan Pramukanto (2009) menyebutkan bahwa lanskap sejarah penting dilestarikan untuk memberikan suatu makna simbolis bagi peristiwa terdahulu. Lingkungan fisik yang tertata merupakan suatu penghubung antara peristiwa masa lalu yang mempengaruhi kita dengan peristiwa yang menentukan masa depan. Tanpa suatu kesan konteks fisik, maka pengetahuan kita mengenai peristiwa sejarah terbatas pada catatan lisan dan gambar-gambar grafis. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), lanskap sejarah merupakan suatu kawasan geografis yang merupakan obyek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Suatu bentukan lanskap dikatakan memiliki nilai sejarah jika memiliki minimal satu kriteria umum, yaitu: 1. Etnografis merupakan produk khas suatu sistem ekonomi dan sosial suatu kelompok/suku masyarakat (etnik). Dua bentuk utama dari lanskap ini, yaitu lanskap pedesaan (rural landscape) dan lanskap perkotaan (urban landscape). Lanskap pedesaan merupakan suatu bentuk lanskap yang dapat dinyatakan sebagai cerminan aspek ekonomi pedesaan dan berbagai kehidupan pedesaan. Lanskap perkotaan merupakan suatu bentuk lanskap yang berhubungan dengan pembangunan kota dan kehidupan perkotaan. 2. Associative merupakan suatu bentuk lanskap yang berasosiasi atau yang dapat dihubungkan dengan suatu peristiwa, personal, masyarakat, legenda, pelukis, estetika dan sebagainya. 3. Adjoining merupakan bentukan lanskap yang dijadikan sebagai bagian dari suatu unit tertentu, bagian monumen atau bagian struktur bangunan tertentu.
5
2.2 Pelestarian Lanskap Sejarah Kegiatan pelestarian merupakan usaha manusia untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Pelestarian tersebut tidak hanya memberikan manfaat terhadap objek yang dilestarikan, namun juga memberikan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik berdasarkan kekuatan aset-aset budaya lama dan melakukan pencangkokan program-program yang menarik, kreatif, berkelanjutan serta merencanakan program partisipatif dengan memperhitungkan estimasi ekonomi (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), kawasan sejarah merupakan lokasi (situs) bagi peristiwa sejarah yang penting dilestarikan untuk memberikan suatu makna bagi peristiwa terdahulu. Tindakan pelestarian lanskap sejarah dapat dilakukan dengan suatu bentuk pendekatan atau kombinasi beberapa pendekatan. Pendekatan ini terutama diterapkan terhadap nilai-nilai, makna atau arti kesejarahan yang dimiliki oleh suatu tatanan lanskap (landscape fabric) dan bentang alam atau taman tersebut secara fisik. Pendekatan ini umumnya mempertimbangkan aspek-aspek yang berperan dalam dinamika perubahan lanskap tersebut yang meliputi aspek sejarah, aspek arkeologis, aspek etnografis, dan nilai-nilai desain yang dimilikinya (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Tindakan pelestarian yang dapat dilakukan sangat beragam. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2001), dalam upaya pengelolaan untuk pelestarian lanskap tersebut, beberapa tindakan teknis yang umumnya digunakan adalah adaptive use (penggunaan adaptif), rekonstruksi, rehabilitasi, restorasi, stabilisasi, konservasi, interpretasi, periode setting (replikasi imitasi), release dan replacement. Dalam penelitian ini, salah satu tindakan teknis yang diterapkan untuk pelestarian lanskap sejarah, yaitu tindakan dalam bentuk interpretasi. Interpretasi merupakan usaha pelestarian yang mendasar untuk mempertahankan lanskap asli/alami secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga dapat menampung kebutuhan dan kepentingan baru, serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa ini dan yang akan datang.
6
2.3 Wisata Sejarah Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Menurut Yoeti (1996), wisatawan adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan tujuan menikmati perjalanan dan kunjungannya itu. Sedangkan pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dalam menikmati perjalanan dan kunjungan itu. Untuk menunjang suatu kawasan wisata sejarah, maka perlu dipahami mengenai tentang suatu sistem rekreasi. Dalam suatu sistem rekreasi, terdapat hubungan erat antara sisi supply dan demand. Supply dalam rekreasi didefinisikan sebagai semua pengembangan fisik dan program yang memenuhi kebutuhan dan keinginan pengunjung. Kebutuhan dan keinginan pengunjung inilah yang disebut dengan demand. Elemen lanskap yang dirancang juga merupakan salah satu supply rekreasi. Supply rekreasi ini terdiri dari attraction, services, transportation, information, dan promotion (Gunn, 1997). Menurut Gunn (1994), pengembangan suatu kawasan wisata, selain informasi dan promosi, maka terdapat faktor-faktor yang harus diperhatikan, yaitu ketersediaan dari objek wisata sejarah dan atraksi wisata, pelayanan wisata dan transportasi pendukung. Objek dan daya tarik wisata merupakan andalan utama untuk pengembangan kawasan wisata. keduanya didefinisikan sebagai suatu keadaan alam dan perwujudan dari ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya, serta sejarah dan tempat yang memiliki daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Sedangkan atraksi wisata adalah segala perwujudan dan sajian alam serta kebudayaan yang secara nyata dapat dikunjungi, disaksikan dan dinikmati wisatawan di suatu kawasan wisata. Benda-benda cagar budaya juga termasuk dalam benda-benda bersejarah yang dapat dijadikan sebagai objek wisata sejarah. Berdasarkan undang-undang No. 5 tahun 1992, benda cagar budaya adalah suatu benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang merupakan kesatuan atau kelompok, atau
7
bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya, berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa gaya yang sekurang-kurangnya berumur 50 (lima puluh tahun), serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Wujud benda cagar budaya sesuai dengan UU No. 5 tahun 1992 terbagi dua, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah benda yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain, contohnya adalah patung, alat-alat upacara dan sebagainya. Benda cagar budaya yang tidak bergerak, yaitu benda yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lainnya. Situs, monumen dan kawasan sejarah merupakan contoh-contoh benda cagar budaya yang tidak bergerak (Allindani, 2007).
2.4 Perencanaan Lanskap Menurut Gold (1980), perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis dan dapat digunakan untuk menentukan awal suatu keadaan dan merupakan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut. Perencanaaan lanskap merupakan suatu bentuk produk utama dari suatu kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan lanskap ini merupakan kegiatan penataan lahan berdasarkan pada lahan (land based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai. Selain itu, perencanaan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetika dan lestari yang mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan termasuk kesehatannya. Secara praktikal, kegiatan merencanakan suatu lanskap merupakan suatu proses pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep kehidupan manusia/masyarakat ke arah suatu bentuk lanskap atau bentuk alam yang nyata dan berkelanjutan (Nurisjah dan Pramukanto, 2009). Dalam kegiatan perencanaan lanskap, proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu sama lainnya. Proses ini merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik dan fungsi lain/tapak/bentang alam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk
8
mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisjah dan Pramukanto, 2009). Simonds (1983) menyebutkan bahwa proses perencanaan merupakan suatu alat yang sistematik yang digunakan untuk menentukan saat awal keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan tersebut. Hal-hal yang harus dilestarikan mencakup pemandangan dari suatu lanskap, ekosistem serta unsurunsur langka untuk mencapai penggunaan terbaik dari suatu lanskap. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), proses perencanaan lanskap terdiri dari enam tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah persiapan, inventarisasi (pengumpulan data dan informasi), analisis, sintesis, perencanaan dan perancangan. Perancangan lanskap yang umum dikenal sebagai bentuk akhir dari rekayasa lanskap merupakan tahap lanjutan dari perencanaan lanskap. Perancangan lanskap merupakan tahap kegiatan atau kerja keenam. Bentuk hasil akhir dari kegiatan perencanaan lanskap bukanlah suatu pendugaan atau prakonsep yang masih mentah, tetapi konsep yang dihasilkan merupakan suatu kumpulan kebijakan atau kriteria yang dapat mewakili nilai, aspirasi dan keinginan dari masyarakat yang menggunakan lanskap tersebut.
2.5 Perencanaan Lanskap Kawasan Wisata Sejarah Merencanakan suatu kawasan wisata adalah upaya untuk menata dan mengembangkan suatu areal dan jalur pergerakan pendukung kegiatan wisata, sehingga kerusakan lingkungan akibat pembangunannya dapat diminimumkan, tetapi pada saat yang bersamaan kepuasaan wisatawan dapat terwujudkan. Dalam kegiatan perencanaan lanskap, proses perencanaan dinyatakan sebagai suatu proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Proses ini merupakan suatu alat terstruktur dan sistematis yang digunakan untuk menentukan
keadaan
awal
dari
suatu
bentukan
fisik
dan
fungsi
lahan/tapak/bentangalam, keadaan yang diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan tersebut (Nurisjah dan Pramukanto, 2009). Menurut Gold (1980), perencanaan wisata dapat diklasifikasikan melalui lingkup perencanaan, orientasi, area geografis atau pengguna. Dalam konteks perkotaan, perencanaan wisata telah berubah dari identitas sumberdaya dan
9
perencanaan fasilitas menjadi identitas kota dan perencanaan lingkungan, dalam konteks desain lingkungan. Komponen dari perencanaan rekreasi harus dapat disukai oleh populasi khusus. Perencanaan wisata juga dapat diklasifikasi melalui pengguna, area perencanaan atau level dari pelayanan pemerintah. Perbedaan ini dijelaskan melalui orientasi, skala analisis dan produk dari perencanaan wisata. Perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, antara lain (Gold, 1980): 1. Pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe-tipe aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya. 2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe-tipe aktivitas berdasarkan seleksi aktivitas terhadap masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang. 3. Pendekatan ekonomi, yaitu penentuan jumlah, tipe dan lokasi, serta kemungkinan-kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi. 4. Pendekatan
perilaku,
yaitu
penentuan
kemungkinan-kemungkinan
aktivitas berdasarkan pertimbangan perilaku manusia. Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), perencanaan daerah kawasan bersejarah
dan
bangunan-bangunan
arsitektural
harus
dilakukan
secara
menyeluruh dengan mempertimbangkan bagian-bagian lain dari kota atau lokasi dimana objek tersebut berada dan juga permasalahan fisik, ekonomi dan sosial dari daerah tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan kawasan bersejarah, yaitu: 1. Mempelajari hubungan antara daerah bersejarah ini dengan daerah dan lingkungan sekitarnya. 2. Memperhatikan
keharmonisan
antar
daerah
dengan
tapak
yang
direncanakan. 3. Membuat objek menjadi menarik. 4. Merencanakan objek sehingga menghasilkan suatu tapak yang dapat menampilkan masa lalunya.
10
2.6 Sejarah Pusat Kota Banda Aceh Pusat Kota Banda Aceh terdiri dari beberapa wisata sejarah yang sangat penting untuk dikenang. Beberapa wisata sejarah tersebut terdiri dari Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda, Museum Aceh, Pendopo, Pemakaman Belanda (Kerkhof Peutjoet), Mesjid Raya Baiturrahman, Monumen Pesawat RI 001 Seulawah di Lapangan Blang Padang dan Museum Tsunami. Wisata sejarah pada kawasan ini merupakan peninggalan sejarah yang berbeda masanya, sehingga setiap tempat memiliki nilai historis tersendiri. Sejarah Kota Banda Aceh dimulai dari masa Kerajaan Aceh yang meninggalkan situs sejarah berupa Taman Putroe Phang, Makam Sultan Iskandar Muda dan Museum Aceh. Pada masa itu, Taman Putroe Phang merupakan bagian dari wilayah kompleks Istana Sultan Aceh di Banda Aceh. Taman ini dibuat khusus untuk sang Permaisuri Sultan Iskandar Muda bernama Putroe Phang yang berarti Putri Pahang, yang berasal dari Pahang, Malaysia. Pada awalnya, area Taman Putroe Phang digunakan untuk kepentingan serdadu kerajaan. Namun seiring berjalan dengan waktu, Taman Putroe Phang menjadi bagian dari taman sultan (Lowres, 2007). Pada Taman Putroe Phang juga terdapat sebuah monumen yang bernama Gunongan. Lokasi monumen ini dipisahkan oleh jalan raya dari Taman Putroe Phang, tetapi monumen ini tetap termasuk ke dalam lingkup area Taman Putroe Phang. Penamaan Gunongan dibuat oleh masyarakat setempat karena bangunan ini dibuat menyerupai bukit-bukit yang terletak di Pahang, Malaysia. Pembuatan bangunan ini didasari atas permintaan sang Permaisuri sendiri yang selalu rindu kampung halamannya. Selain itu, bersebelah dengan Gunongan terdapat Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani yang merupakan putra dari Sultan Iskandar Muda (Lowres, 2007). Situs sejarah lain pada masa Kerajaan Aceh adalah Kompleks Makam Sultan Iskandar Muda dan Museum Aceh. Sultan Iskandar Muda merupakan tokoh penting dalam sejarah Aceh. Aceh pernah mengalami kejayaan saat Sultan memerintah Kerajaan Aceh pada tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda mampu menempatkan Kerajaan Aceh pada peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke-16. Beberapa peninggalan Kerajaan Aceh, termasuk
11
peninggalan milik Sultan Iskandar Muda terdapat pada Museum Aceh. Museum ini termasuk salah satu dari 18 museum terpenting yang ada di Indonesia karena memiliki koleksi yang langka dan lengkap. Salah satunya adalah manuskrip literatur kuno hasil karya penulis ulama nusantara dan Melayu kuno, koleksi etnis botani dan benda purbakal lainnya. Koleksi tersebut merupakan warisan dari perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sejak dari Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Iskandar Muda hingga Sultan Muhammad Daud Syah. Selain itu, pada museum ini juga terdapat Rumah Tradisional Aceh dan Cakra Donya yang merupakan salah satu simbol dari Kota Banda Aceh. Pada abad ke-16, Belanda memasuki tanah Aceh. Kedatangan Belanda perlahan memudarkan kejayaan Kerajaan Aceh. Pada tahun 1880, salah satu situs sejarah pada masa penjajahan Belanda yang bernama Pendopo dibangun di bekas peninggalan Kerajaan Aceh. Pendopo merupakan salah satu pembangunan awal kolonial Belanda di Aceh. Pendopo juga merupakan bekas kediaman Gubernur Belanda dan sekarang menjadi rumah dinas Gubernur Aceh (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2011). Pada masa penjajahan Belanda, Belanda bersama koloninya berniat ingin menguasai tanah Aceh, sehingga banyak pertempuran yang terjadi antara pasukan Belanda dengan masyarakat Aceh. Salah satu peperangan besar yang pernah tercatat dalam sejarah adalah peperangan yang terjadi di Masjid Raya Baiturrahman. Banyak korban yang berjatuhan pada perang tersebut, hingga seorang jenderal Belanda yang bernama Kohler juga tewas tertembak. Pada peperangan ini, Mesjid Raya Baiturrahmann juga mengalami kerusakan dan terbakar habis. Akan tetapi, pada tahun 1935 M, Mesjid Raya Baiturrahman ini dibangun kembali dan diperluas bahagian kanan serta kirinya dengan tambahan dua kubah. Pada tahun 1975 M, terjadinya perluasan kembali. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Pada perluasan kedua ini, Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan diselesaikan hingga tahun 1967 M. Selain itu, tahap pengembangan ini juga dibuat sebuah menara atau tugu yang disebut dengan Menara /Tugu Modal (Badrudin, 2009).
12
Selama masa penjajahan Belanda di Aceh banyak memakan korban, baik dari pihak masyarakat Aceh maupun dari pihak serdadu Belanda. Beberapa serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan atau mati terkena wabah penyakit dimakamkan pada sebuah pemakaman umum Belanda. Pemakaman umum Belanda ini dinamakan dengan Kerkhof Peutjoet. Saat ini, pemakaman Belanda tersebut telah menjadi salah satu objek wisata di Kota Banda Aceh. Pada pemakaman ini terdapat kurang lebih sekitar 2.200 makam orang Belanda, mulai dari yang berpangkat serdadu sampai dengan yang berpangkat Jenderal. Makamnya mulai dari berbagai suku bangsa yang tergabung dalam tentara kolonial Belanda pada saat itu sampai kepada makam sekelompok orang Yahudi yang dulu pernah tinggal di Aceh. Bahkan, pada kuburan tersebut masih dapat dibaca nama-nama dan pangkat para tentara serta tahun-tahun dan tempat-tempat dimana mereka gugur. Pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia (RI), masyarakat Aceh turut berpartisipasi dalam membantu Soekarno sebagai Presiden RI yang pertama pada masa itu untuk menjalankan tugas kenegaraan. Pesawat RI 001 Seulawah merupakan bukti nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam proses perjalanan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya. Pesawat ini merupakan angkutan udara pertama yang dimiliki Indonesia dan dibeli dengan sumbangan ikhlas Rakyat Aceh pada awal Kemerdekaan. Pesawat ini disumbangkan melalui pengumpulan harta pribadi masyarakat dan saudagar Aceh, sehingga Presiden Soekarno menyebut “Daerah Aceh adalah Daerah Modal bagi Republik Indonesia”. Untuk mengenang jasa masyarakat Aceh tersebut, maka dibuat replika Pesawat RI 001 Seulawah sebagai monumen yang berada di Lapangan Blang Padang, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh (Bagusriyanto, 2009). Pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, kota ini juga mengalami peristiwa tsunami yang diakibatkan oleh gempa 9 Skala Richter di Samudera Indonesia. Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota. Salah satu obyek wisata sejarah yang dibuat untuk mengenang peristiwa tsunami adalah Museum Tsunami Aceh yang dibangun di Pusat Kota Banda Aceh kira-kira 1 km dari Mesjid Raya Baiturrahman. Fungsi
13
dari museum ini adalah sebagai objek sejarah yang menjadi pusat penelitian dan pembelajaran tentang bencana tsunami. Selain itu, Museum Tsunami merupakan simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. Selain museum, untuk memperingati bencana tsunami ini juga dibuatkan dua buah tugu di Lapangan Blang Padang yang berdekatan dengan Monumen Pesawat RI 001 Seulawah. Dua tugu tersebut adalah Tugu Peringatan Tsunami dan Tugu Aceh Thanks The World yang merupakan tugu untuk ucapan terima kasih kepada negara-negara yang telah memberikan bantuan untuk Aceh (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2011).