BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pembubutan Proses pemotongan dengan logam merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengubah bentuk suatu produk dari logam (komponen mesin) dengan cara memotong. Prinsip pemotongan logam dapat didefenisikan sebagai sebuah aksi dari alat potong yang dikontakkan dengan sebuah benda kerja untuk membuang permukaan benda kerja tersebut dalam bentuk geram (Yuliarman, 2008). Proses bubut merupakan satu diantara 7 (tujuh) jenis proses pemesinan yang digunakan pada pemotongan logam. Dalam prosesnya digunakan mesin bubut yang memiliki chuck atau pencekam dan berputar pada sebuah sumbu, alat potong bergerak arah aksial terhadap benda kerja sehingga terjadi pemotongan dan menghasilkan permukaan yang konsentris dengan sumbu putar benda kerja. Proses pembubutan biasanya digunakan untuk memproses benda kerja dengan hasil atau bentuk penampang lingkaran atau benda kerja berbentuk silinder (Fajar Kurniawan, 2008). Gambar 2.1 adalah skematis dari sebuah proses bubut dengan N adalah putaran poros utama, f adalah pemakanan, dan a adalah kedalaman potong.
Gambar 2.1 Proses Bubut (Sumber : T. Gutowski, 2009) .
Universitas Sumatera Utara
Bagian-bagian serta penamaan (nomenclature) dari alat potong yang digunakan pada proses bubut dijelaskan pada gambar 2.2. Radius pahat potong menghubungkan sisi dengan ujung pootong (cutting edge) dan berpengaruh terhadap umur pahat, gaya radial, dan permukaan akhir
(a)
(b)
Gambar 2.2 Penamaan (nomenclature) pahat kanan
Ada tiga parameter utama yang mempengaruhi gaya potong, peningkatan panas, keausan, dan integritas permukaan benda yang dihasilkan. Ketiga parameter itu adalah kecepatan potong (v), pemakanan (f), dan kedalaman potong (a). Kecepatan potong adalah kecepatan keliling benda kerja dengan satuan (m/min). Pemakanan adalah perpindahan atau jarak tempuh pahat tiap satu putaran benda kerja (mm/rev). Kedalaman potong merupakan tebal material terbuang pada arah radial (mm) (Bobby Umroh, 2010). Menurut Rochim (1993), kecepatan pembuangan geram dapat dipilih agar waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini dimaksudkan agar produktivitas permesinan dapat optimal. Untuk itu perlu dipahami lima elemen dasar proses permesinan, yaitu: 1) kecepatan potong (cutting speed) : v (m/min) 2) kecepatan makan (feeding speed) : vf (mm/min) 3) kedalaman potong (depth of cut)
: a (mm)
4) waktu pemotongan (cutting time) : tc (min), dan 5) kecepatan penghasilan geram
: z (cm3/min)
Universitas Sumatera Utara
Kelima elemen proses permesinan di atas dihitung berdasarkan dimensi benda kerja dan/atau pahat serta besaran dari mesin yang digunakan. Dikarenakan besaran mesin pemotongan logam yang dapat diatur ada bermacam-macam dan bergantung pada jenis mesin pemotong, maka rumus yang digunakan untuk menghitung setiap elemen proses permesinan dapat berlainan. Untuk
proses
bubut
elemen
dasarnya
dapat
diketahui
dengan
memperhatikan gambar di bawah ini
Gambar 2.3 proses bubut (Sumber : Rochim, 1993)
Geometri benda kerja ; do = diameter mula (mm) dm= diameter akhir (mm) lt = panjang permesinan Pahat : Kr = sudut potong utama o = sudut geram Mesin bubut : a = kedalaman potong a=
(mm)
f = pemakanan (mm/putaran) n = putaran poros utama (rpm)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan besaran-besaran di atas, maka kondisi pemotongan dapat ditentukan sebagai berikut:
laju pemotongan (velocity of cut) (2.1) dengan,
v = laju pemotongan (m/min) n = putaran spindle (benda kerja) (rpm) d = diameter rata-rata (mm)
yaitu
(2.2)
dimana:
do = diameter mula benda kerja (mm) dm = diameter akhir benda kerja (mm)
laju pemakanan (feeding velocity) (2.3) Dimana : Vf = laju pemakanan (mm/min) f = pemakanan (rev/min) n = putaran spindle / benda kerja (rpm)
Waktu pemotongan (cutting time) (2.4) Dimana : tc = waktu pemotongan (min) lt = panjang permesinan (mm) Vf = laju pemakanan (mm/min)
laju pembuangan geram (metal removal rate) Z = A.v dengan,
(2.5)
Z = laju pembuangan geram (cm3/min) v = laju pemotongan (m/min) A = Penampang geram sebelum terpotong (mm2) A = f.a
(2.6)
maka
Universitas Sumatera Utara
Z = f.a.v
(2.7)
Sudut potong utama (principal cutting edge angle/Kr) adalah sudut antara mata potong utama dengan laju pemakanan (Vf), besarnya sudut tersebut ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan pada mesin bubut. Untuk nilai pemakanan (f ) dan kedalaman potong (a) yang tetap maka sudut ini akan mempengaruhi lebar pemotongan (b) dan tebal geram sebelum terpotong (h) sebagai berikut :
Lebar pemotongan b=
(mm)
(2.8) Tebal geram sebelum terpotong (h)
h=
(mm)
(2.9)
Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong adalah : A = f.a =b.h
(mm)
(2.10)
2.2 Teori Orthogonal Merchant Suatu analisis mekanisme pembentukan geram yang dikemukakan oleh Merchant mendasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (Orthogonal Sistem). Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem pemotongan miring (Oblique System) dimana gaya diuraikan menjadi komponennya pada suatu bidang. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis model tersebut adalah: a) Mata potong pahat sangat tajam sehingga tidak menggosok atau menggaruk benda kerja b) Deformasi terjadi hanya dua dimensi, c) Distribusi tegangan yang merata pada bidang geser, dan d) Gaya aksi dan reaksi pahat terhadap bidang geram adalah sama besar dan segaris (tidak menimbulkan momen kopel) Karena berasal dari satu gaya yang sama mereka dapat dilukiskan pada suatu lingkaran dengan diameter yang sama dengan gaya total (F), lihat gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Lingkaran Gaya Pemotongan (Lingkaran Merchant) (Sumber : Rochim 1993) Lingkaran tersebut digambarkan persis diujung pahat sedemikian rupa sehingga semua komponen menempati lokasi seperti yang dimaksud. Gambar ini merupakan sistem gaya pada pemotongan orthogonal dan dalam prakteknya dapat didekati dengan menggunakan pahat dengan sudut kr = 90o dan sudut s = 0o dengan kecepatan potong jauh lebih tinggi daripada kecepatan makan. Berdasarkan analisis geometric dari lingkaran gaya (Merchant) dapat diturunkan rumus dasar gaya potong (Fv) : (2.11) dan (2.12) Dari kedua rumus di atas, maka :
(2.13)
Gaya geser Fs dapat digantikan dengan penampang bidang geser dan tegangan geser yang terjadi padanya yaitu:
(2.14)
dengan :
= Tegangan geser pada bidang geser (N/mm2)
Universitas Sumatera Utara
= Penampang bidang geser, = A/sin A
; mm2
= penampang geram sebelum terpotong, = b.h ; mm2
Dengan demikian rumus gaya potong adalah,
(2.15) Rumus teoritik di atas diturunkan dalam analisa proses pemotongan Orthogonal yang berarti Kr = 90o dan s = 0o. Pada kondisi di atas, hanya faktor sudut potong utama Kr dan kondisi bahan yang diperhatikan sedangkan faktor – faktor koreksi untuk kondisi pemotongan , seperti kecepatan potong, kecepatan makan dan lain – lain belum dipertimbangkan. Dari pernyataan diatas, dapat digunakan rumus empiris yang lebih kompleks, yaitu:
(2.16) dimana: Ks = gaya potong spesifik (N/mm2) A = penampang geram sebelum terpotong (mm2) =h.b = f.a Gaya potong spesifik Ks akan dipengaruhi oleh pahat (jenis dan geometri), benda kerja (jenis dan kondisi pengerjaan), dan kondisi pemotongan serta jenis permesinan yang dapat berciri spesifik.
(2.17)
Ks1.1 = gaya potong spesifik referensi (N/mm2) Z
= pangkat tebal geram = 0.2
Ck
= faktor sudut potong utama (Kr)
C
= faktor koreksi sudut geram (o)
CVB = faktor koreksi keausan (VB) CV
= faktor koreksi kecepatan potong (v)
Universitas Sumatera Utara
Nilai Ks1.1 dapat diperoleh dari persamaan gaya potong spesifik referensi dengan kekuatan tarik.
(2.18) Dimana: u = kekuatan tarik (N/mm2)
Untuk menentukan besar gaya gesek dan gaya normal pada bidang geram (Fγ dan Fγn) dapat diturunkan dari gaya potong dan gaya makan (Fv dan Ff), yaitu :
(2.19) dan (2.20) Maka kombinasi dari dua formula di atas diperoleh formula koefisien gaya gesek adalah: (2.21)
Dari formula diatas dapat dinyatakan bahwa koefisien gesek dipengaruhi oleh sudut geram. Tetapi rumus tersebut tidak menyatakan bahwa dengan mengubah sudut geram gaya potong dan gaya makan tidak berubah. Dalam kenyataan, gaya potong dan gaya makan berubah dengan berubahnya sudut geram dan hal ini disebabkan oleh perubahan sudut geser Ф. Dari persamaan (2.15), dikarenakan gaya potong (Fv) merupakan fungsi dari sudut geser (Ф) maka sudut geser maksimum dapat dicari dengan cara deferensiasi dan hasilnya disamakan dengan nol, dengan menyederhanakan persamaan tersebut diperoleh
(2.22)
Rasio Pemampatan Tebal Geram yang merupakan perbandingan antara tebal geram dengan tebal geram sebelum terpotong. Rasio ini dapat dinyatakan :
Universitas Sumatera Utara
(2.24)
Dari rumus diatas maka sudut geser ( ) berdasarkan pengukuran
dapat
diturunkan sebagai berikut:
(2.24) Adapun hubungan antara sudut geram sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram h untuk sudut o = 20o, 0o, dan -20o.
Gambar 2.5 Sudut geser sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram h (Sumber : Rochim, 1993)
Jika sudut geram telah ditetapkan, maka sudut geser dapat dihitung dengan mengukur rasio pemampatan tebal geram. Akan tetapi tebal geram tak dapat diukur secara langsung tanpa mengakibatkan kesalahan pengukuran sebab, a. Permukaan geram relatif kasar, dan b. Geram tidak lurus karena dalam kenyataan bidang geser tidak lurus melainkan melengkung yang diakibatkan oleh distribusi tegangan geser yang tidak merata. Rasio pemampatan tebal geram merupakan karakteristik dari proses permesinan berarti dipengaruhi oleh material benda kerja, jenis pahat, sudut pahat, kecepatan potong, kecepatan makan dan pemakaian cairan pendingin.
Universitas Sumatera Utara
Dikarenakan adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Gambar 2.6 menunjukkan kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v).
Gambar 2.6 Arah kecepatan geser (vs), kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v). Sumber : Rochim, (1993)
Dari Gambar 2.6 diatas, arah kecepatan geser (vs) ditentukan oleh kecepatan aliran geram (vc) dan kecepatan potong (v). Berdasarkan aturan/kaidah tangan kanan, dari Gambar 2.6 arah pergerakan mata pahat (vf) searah pada sumbu x, dan kecepatan potong (v) yang terbentuk terletak pada sumbu z. Kecepatan geser (vs) akan lebih tinggi daripada kecepatan potong (v) untuk sudut geram γ0 negatif (Rochim, 1993). Sehingga berdasarkan polygon kecepatan tersebut maka dapat dirumuskan sebagai berikut :
(2.25)
dengan : vc = kecepatan aliran geram v = kecepatan potong karena, (2.26)
Maka:
(2.27)
Universitas Sumatera Utara
Karena λh > 1 maka kecepatan geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Selanjutnya kecepatan geser dapat diketahui dari poligon yaitu ;
(2.28)
atau (2.29)
Persamaan diatas menunjukkan bahwa kecepatan geser vs akan lebih tinggi daripada kecepatan potong v untuk sudut geram
negatif atau nol.
2.3 Geram Geram merupakan bagian dari material yang terbuang yang dihasilkan dari proses pemesinan. Selama proses pembubutan berlangsung bahan dibuang akibat perputaran benda kerja sebagai suatu geram tunggal, tergantung pada parameter kerja mesin.
2.3.1 Proses Pembentukan Geram Geram yang dihasilkan berupa suatu tali berkelanjutan atau berupa potongan-potongan, dalam banyak kasus formasi geram yang terjadi adalah seperti pada gambar 2.7. Dari gambar 2.7 menunjukkan bahwa pemotongan adalah proses diskontinu dan gaya antara geram dan alat potong tidak konstan (Kalpakjian, et.al, 2002) Formasi geram yang dihasilkan juga dapat dilakukan dengan pendekatan model pemesinan Orthogonal sebagaimana yang dikemukakan oleh Merchant, model ini mengasumsikan formasi geram dengan dua dimensi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Formasi geram pada proses bubut menurut analogi kartu (Sumber : Rochim, 1993)
Dari gambar di atas terlihat bahwa terbentuknya geram dapat dianalogikan sebagai tumpukan kartu dengan posisi sedikit miring kemudian didorong dengan papan (penggaris) yang membuat sudut terhadap garis vertical (sesuai dengan sudut geram) maka kartu bergeser ke atas relatif terhadap kartu di belakangnya. Pergeseran tersebut berlangsung secara berurutan dan kartu terdorong melewati bidang atas papan. Analogi kartu tersebut menerangkan keadaan sesungguhnya dari kristal logam (struktur butir metalografis) yang terdeformasi sehingga merupakan lapisan tipis yang bergeser pada bidang geser.
2.3.2 Morfologi Geram Geram yang dihasilkan dari proses pemesinan untuk logam dan paduan logam pada umumnya dapat diklasifikan menjadi tiga kategori berdasarkan perbedaan geometri bentuk geram. Beberapa morfologi geram tersebut diantaranya: 1. Geram Kontinu (continuous / Flow chips) Geram kontinu dihasilkan pada pemesinan untuk bahan yang liat (dutile) dan geram ini dikelompokkan dengan jenis penampang lintang yang seragam (uniform crosssection).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Geram kontinu (continuous / Flow chips) (Sumber : Sutter et. al, 1997)
2. Geram Bersegmen atau Seperti Mata Gergaji (Segmented or Saw-Tooth chips) Geram seperti mata gergaji biasanya dinamakan geram bersegmen adalah geram semikontinu dan memiliki kawasan regangan geser yang kecil (untuk geram kontinu) dan regangan geser yang tinggi (untuk geram tidak kontinu).
Gambar 2.9 Geram Bersegmen atau Seperti Mata Gergaji (Segmented or Saw-Tooth chips) (Sumber : Sutter et. al, 1997) 3. Geram Tidak Kontinu (Discontinuous chips) Geram tidak kontinu biasanya terbentuk pada pemesinan untuk bahan yang getas (brittle) pada kecepatan pemotongan yang rendah, pemakanan dan kedalaman pemotongan yang tinggi dan gesekan antar pahat dan geram yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.10 Geram Tidak Kontinu (Discontinuous chips) (Sumber : Matthew et. al, 2001)
2.4 Pemesinan Keras Proses Pemesinan keras sama dengan bubut biasa, tetapi pada proses pemesinan keras pemotongan dilakukan terhadap benda kerja dengan kekerasan lebih besar dari 40 HRC. Prinsip kerja proses bubut biasa pada dasarnya diterapkan pada proses bubut keras. Bagaimanapun terdapat perbedaan karakteristik sebagai akibat tingginya kekerasan material yang akan dipotong. Material yang keras memiliki sifat abrasive, dan nilai kekerasan atau young modulus ratio yang tinggi. Akibat dari semua itu maka pada proses bubut keras dibutuhkan alat potong yang jauh lebih keras dan tahan terhadap abrasive dibanding proses bubut biasa. Proses bubut keras dapat dilakukan terhadap berbagai macam jenis logam seperti baja paduan (steel alloy), baja untuk bantalan (bearing steel), hot and coldwork tool steel, high speed steel, die steel, dan baja tuang yang dikeraskan (Baggio,1996). Proses bubut keras dapat menjadi solusi untuk mengurangi waktu produksi melalui pengurangan jumlah proses (tahapan), setup peralatan dan waktu untuk inspeksi karena proses bubut keras dapat dilakukan pada mesin bubut yang sama dimana proses bubut konvensional dilakukan, peralatan yang sama dapat digunakan
dan
tanpa
membutuhkan
tambahan
sebuah
mesin
gerinda.
Bagaimanapun mesin untuk bubut keras memiliki kebutuhan spasi ruangan yang lebih kecil dibandingkan mesin gerinda. Dibutuhkan investasi yang lebih kecil untuk sebuah mesin bubut CNC dibandingkan sebuah mesin gerinda presisi. Keuntungan yang sangat signifikan dari pahat potong bermata tunggal (single point cutting tool) sebagaimana yang digunakan pada proses bubut dapat
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk pekerjaan dengan kontur permukaan yang rumit, tidak demikian halnya dengan proses gerinda. Pertimbangan bagi dunia industri untuk menggunakan proses bubut keras adalah ratio antara biaya peralatan khususnya pahat potong yang digunakan terhadap umur dari pahat tersebut harus rendah (Harrison, 2004). Intan diketahui sebagai material yang paling keras akan tetapi tidak cocok digunakan untuk pemesinan logam ferro karena intan mengandung banyak unsur karbon yang dapat dengan mudah mengalami diffusi kedalam besi dan bagaimanapun intan sangat mahal dan memiliki umur pendek untuk pemesinan tehadap besi. Material yang khusus digunakan untuk proses bubut keras adalah cubic boron nitride (CBN), Keramik, dan cermet (Dawson, 1999).CBN adalah material yang paling keras selain intan, dan sangat cocok digunakan pada proses bubut keras. Insert CBN mulai meningkat popularitasnya setelah General Electric menemukan kombinasi CBN dengan serbuk titanium nitride sehingga dapat meningkatkan umur pahat menjadi lima kali (Baggio, 1996).
2.5 Pemesinan Kering Pada umumnya pemesinan untuk
memfabrikasi komponen–komponen
mesin dilakukan dengan metode pemesinan basah (wet machining )(Sreejith dan Ngoi ,2000). Pada metode ini sejumlah cairan pemotongan dialirkan ke kawasan pemotong selama proses pemesinan
dengan tujuan menurunkan suhu
pemotongan dan melumasi bagian-bagian pemesinan
sehingga diharapkan
permukaan pemesinan memiliki suatu integritas permukaan (surface integrity) yang baik . Fenomena kegagalan
pahat dan penggunaan cairan pemotongan
merupakan salah satu masalah yang telah banyak dikaji dan mendapat perhatian dalam kaitannya yang sangat berpengaruh terhadap kekasaran permukaan hasil pengerjaan, ketelitian geometri produk dan mekanisme keausan pahat serta umur pahat (Ginting A, 2003). Graham (2000) juga melaporkan bahwa perubahan dari pemesinan yang menggunakan cairan pemotongan ke pemesinan kering dapat dilakukan untuk beberapa logam seperti baja, besi tuang dan aluminium. Namun harus dipahami dalam hal ini bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan keuntungan yang ada
Universitas Sumatera Utara
pada pemesinan basah tidak terjadi pada proses pemesinan kering. Pemesinan basah merupakan pemesinan yang pada prosesnya dilakukan dengan cairan pendingin. Fungsi utama dari cairan pendingin adalah untuk menurunkan suhu pemotongan dengan mengurangi gaya gesek dan sebagai media pembawa panas dari daerah pemotongan juga berfungsi sebagai pembawa geram. Dengan turunnya suhu pemotongan tersebut maka umur pahat akan meningkat. Hal tersebut akan berbeda dengan pemesinan kering dimana pada prosesnya pemesinan kering dapat menyebabkan gaya gesek yang besar pada proses pemesinan sehingga suhu pemotongan menjadi tinggi dan pada akhirnya akan menurunkan umur pahat. Dari pemaparan di atas dapat dinyatakan hubungan geometri geram yang terbentuk dari pemesinan basah dan kering, bahwa pada pemesinan
basah
suhu
pemotongan
cenderung
lebih
rendah
sehingga
dimungkinkan geometri geram yang terbentuk memiliki tebal geram yang lebih tipis dengan jarak antar puncak gergaji yang renggang dibanding pada pemesinan kering. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Varadarajan et. al (2001). Perbandingan bentuk geram yang dihasilkan dari pemesinan kering dan basah dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2.1 Bentuk geram yang dihasilkan dari proses pemesinan kering dan basah Kecepatan Pemotongan (m/min) 40
53
80
91
120
Pemesinan Kering
Pemesinan Basah
(Sumber : Varadarajan et. al, 2001) .
Universitas Sumatera Utara
2.6 Pemesinan Laju Tinggi Meningkatnya permintaan untuk memperbesar produktivitas dengan biaya produksi rendah, menuntut untuk dilakukannya pemesinan yang cepat maka dilakukan pemesinan dengan cara meningkatkan kecepatan pemesinan. Teknologi pemesinan kecepatan tinggi (high speed machining) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas. Dengan kecepatan potong yang tinggi, maka volume pelepasan material dari material induk akan meningkat sehingga akan diperoleh penghematan waktu pemesinan yang cukup berarti. Di samping itu pemesinan kecepatan
tinggi
mampu
menghasilkan
produk
yang halus
permukaannya serta ukuran yang lebih presisi.
Gambar 2.11 Kecepatan Potong pada Proses Laju Tinggi Sumber : Schultz dan Moriwaki 1992
Defenisi tentang proses pemesinan kecepatan tinggi (high speed machining) yang dikemukakan oleh para ahli dan masing masing terdapat perbedaan namun sebagian besar menyatakan bahwa kecepatan potong merupakan variable penentu terhadap pendefenisian tersebut seperti yang dikemukakan oleh Salomon pada tahun 1931 menyatakan bahwa Proses pemesinan kecepatan tinggi adalah proses pemesinan dengan kecepatan potong sebesar 5 – 10 kali lebih besar daripada proses konvensional (Schulz. 1999), dan (Schulz et.al. 1992) mengatakan bahwa Proses pemesinan kecepatan tinggi ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan.
Universitas Sumatera Utara
2.7 AISI 4140 Material logam umumnya digolongkan menjadi dua yaitu Ferrous Metal dan NonFerrous Metal. Ferrous metal atau bahan logam ferro merupakan suatu logam yang memiliki dasar paduan besi (ferrous), sedangkan unsur lain hanyalah sebagai unsur tambahan untuk mendapatkan sifat bahan sesuai dengan aplikasi dalam penggunaannya. Bahan logam non ferro adalah bahan yang memiliki unsur logam tetapi tidak ada unsur besi (ferrous). Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel. Penamaan AISI 4140 berdasarkan pada standard yang ditetapkan oleh American Iron Steel Institute (AISI). Angka pertama yaitu 4 menunjukkan jenis dari baja tersebut yaitu baja chrom, angka kedua menujukkan modifikasi jenis baja paduan untuk baja paduan yang kompleks, untuk jenis AISI 4140 angka 1 menandakan bahwa jenis tersebut merupakan baja chrom – molybdenum, sedangkan dua angka terakhir menunjukkan kadar karbon perseratus persen yaitu 0,40 % C. AISI 4140 memiliki kemampuan mesin, stabilitas dimensi saat mengalami perlakuan panas (heat treatment), dengan kekerasan permukaan yang tinggi. Pada proses perlakuan panas temperatur adalah variabel utama yang sangat berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanik bahan, dimana masing-masing bahan memiliki level temperatur dan menggunakan media pendingin spesifik saat dilakukan proses perlakuan panas. Kekerasan pada AISI 4140 dapat ditingkatkan melalui proses quenching (dipanaskan sampai pada suhu austenit kemudian didinginkan secara cepat akan terbentuk struktur martensit yang memiliki kekerasan yang lebih tinggi dari struktur perlit maupun ferit) dengan metode air tersirkulasi (Gunawan Dwi Haryadi, 2006). Baja AISI 4140 merupakan material yang banyak dipakai sebagai bahan dasar dari crankshaft, shaft, gear, gandar, dan berbagai part mesin dimana bagian – bagian tersebut membutuhkan sifat tahan aus, kekerasan yang tinggi dan tangguh, disamping itu pada industri perminyakan digunakan untuk pump liner (Parker.ER, 1967). Selain itu, AISI 4140 juga digunakan sebagai bahan landing gear pesawat terbang. Landing gear pada pesawat terbang adalah komponen
Universitas Sumatera Utara
peralatan pada pesawat terbang yang terbuat dari baja perkakas. Kekerasan komponen ini basanya berkisar antara 54 s/d 62 HRC.
2.8 Pahat CBN Dalam industri manufaktur, ada tujuh bahan pahat yang dapat digunakan untuk proses pemotongan logam diantaranya: karbon tinggi (High Carbon Steel, Carbon Tool Steels, CTS), HSS (High Speed Steels, tool Steels), Paduan Cor Nonfero (Cast Nonferous Alloys, Cast Carbides), Karbida (Cermented Carbides, Harmetals), Keramik (Ceramic), CBN (Cubic Boron Nitride), Intan (Sintered Diamonds and Natural Diamonds). Diantara ketujuh bahan pahat potong tersebut, CBN merupakan satu diantara bahan pahat yang dapat digunakan untuk proses permesinan dengan tiga kondisi yang berbeda yaitu permesinan laju tinggi, keras dan kering. CBN termasuk jenis keramik dan mulai diperkenalkan oleh GE di USA pada tahun 1957 (Borazon). CBN dibuat dengan penekanan panas (HIP, 60 kbar, 1500oC) sehingga serbuk graphit putih nitride Boron dengan struktur heksagonal berubah menjadi struktur kubik. Hot Hardness CBN ini sangat tinggi dibandingkan dengan jenis pahat yang lain. CBN dapat digunakan untuk permesinan berbagai jenis baja dalam keadaan dikeraskan, besi cor, HSS maupun karbida semen. Afinitas terhadap baja sangat kecil dan tahan terhadap perubahan reaksi kimiawi sampai dengan temperatur pemotongan 1300oC (Rochim, 1993). Cubic Boron Nitride adalah material pahat untuk pembubutan keras. Mulai diperkenalkan pada tahun 1970 CBN dalam bentuk padatan. Pahat ini dibuat dengan lapisan 0.5 – 1 mm policristal cubic boron nitride menjadi kobalt melalui substrasi karbida pada suhu dan tekanan yang tinggi. Pahat CBN merupakan pahat yang tahan terhadap kekerasan yang tinggi dan ketangguhan patah pada permesinan kecepatan tinggi. CBN menunjukkan performa yang sangat baik dalam proses gerinda untuk material dengan sifat kekerasan tinggi dan kuat. Perbedaan kekerasan, ketangguhan, komposisi kimia dan stabilitas panas dan ketahanan aus berperan penting untuk perkembangan pahat potong CBN termasuk untuk laju pembuangan geram dan juga memberikan permesinan yang presisi
Universitas Sumatera Utara
untuk menghasilkan kekasaran permukaan yang sangat baik. (Advanced Cutting Tool Materials: IIT Kharagpur) Dalam permesinan untuk baja keras pahat potong CBN merupakan pilihan yang tepat karena pahat ini memiliki sifat tahan untuk temperatur pemotongan yang tinggi, keras, daya larut yang rendah dalam pembuatan, dan ketangguhan patah yang baik (Kalpakjian, 20010). Pahat ini memberikan kemungkinan proses permesinan fleksibel yang sangat baik, mengurangi waktu permesinan, hemat energi, dan memungkinkan untuk didaur ulang. Pada umumnya, ada dua kategori dari pahat CBN. 1). memiliki sekitar 90% butir CBN dengan bahan pengikat logam (seperti kobalt, yang digunakan untuk memberikan peningkatan ketangguhan patah agar CBN menjadi keras dan getas), biasanya disebut pahat CBN tingkat tinggi. 2). memiliki konsentrasi CBN yang rendah sekitar 50% sampai 70%, dengan bahan pengikat keramik (seperti : TiN atau TiC), biasanya disebut sebagai pahat CBN tingkat rendah. Ada beberapa studi yang mempelajari karakteristik aus pahat untuk pahat CBN tingkat tinggi dan CBN tingkat rendah. Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa CBN tingkat rendah memiliki umur pahat yang lebih lama dan memberikan kekasaran yang lebih baik daripada CBN tingkat tinggi dalam penyelesaian pembubutan keras walaupun pada akhirnya memiliki kekerasan dan ketangguhan patah yang sangat tinggi (Chou, 1999). Pahat potong CBN digunakan untuk permesinan yang materialnya terbuat dari ferrous paduan dengan kecepatan potong yang tinggi (Ibrahim A. Al-Zkeri, M.S, 2007). Kekhusunan Pahat CBN ialah memiliki manfaat dan efektivitas untuk digunakan dipermesinan dengan bermacam-macam material berlapiskan baja karbon tinggi dan baja paduan, logam non-ferrous dan logam paduan, logam exotic seperti nikel yang dikeraskan, inconel, Nimonic lainnya dan material nonlogam lainnya yang begitu sulit untuk dimesin dengan pahat konvensional. Pahat CBN dapat digunakan pada suhu sampai 1400oC.
Universitas Sumatera Utara
Adapun range kecepatan yang dapat diporasikan untuk CBN jika permesinan menggunakan baja cor abu-abu adalah 300 – 400 m/min. berikut ini merupakan range kecepatan untuk material lainnya • besi cor yang dikeraskan (> 400 BHN) : 80 – 300 m/min • Super paduan (> 35 R ) : 80 – 140 m/min C
• Baja yang dikeraskan (> 45 R ) : 100 – 300 m/min C
In addition to speed, the most important factor that affects performance of CBN inserts is the preparation of cutting edge. It is best to use cBN tools with a honed or chamfered edge preparation, especially for interrupted cuts. Like ceramics, CBN tools are also available only in the form of indexable inserts. The only limitation of it is its high cost (Advanced Cutting Tool Materials: IIT Kharagpur). Dalam kasus baja paduan, beberapa peneliti melaporkan bahwa karbida berlapis keramik, CBN dan PCD sangat sangat potensial digunakan (Che Haron et al 2001, Grzesik and Nieslony 2003). Selain itu, CBN dan PCD telah banyak digunakan untuk permesinan kering kecepatan tinggi 1000 m/menit.
2.9 Temperatur Pemotogan Selama pemotongan logam, temperatur panas dibangkitkan pada bagian sisi pahat potong, dan temperatur ini timbul akibat pengaruh dari laju aus pahat potong, dan gesekan antara geram dan pahat potong. Dikarenakan efek dari aus pahat, penelitian yang cukup panjang telah dilakukan di masa lalu untuk menentukan suhu dari pahat, geram dan benda kerja dalam pemotongan logam. Menurut
Boothroyd,
energi
yang
dikonsumsi
selama
permesinan
berlangsung adalah:
(2.30)
dengan: Pm = energi yang dikonsumsi (watt) Fc = gaya pemotongan (newton) V = kecepatan potong (m/s)
Universitas Sumatera Utara
Ketika material berubah menjadi elastis, energy yang dibutuhkan untuk operasi disimpan dalam material dalam energi regangan, dan tidak ada panas yang terjadi. Akan tetapi, jika material berubah menjadi plastis, energi yang digunakan diubah menjadi panas. Dalam pemotongan logam, material mengalami regangan sangat tinggi, dan deformasi elastis yang sangat kecil dari total deformasi, untuk itu dapat diasumsikan bahwa seluruh energi diubah menjadi panas. Perubahan energi menjadi panas terjadi di dua zona utama deformasi plastis, yaitu zona regangan atau zona deformasi utama dan zona deformasi kedua. Jika dalam suatu keadaan dimana pahat potong tidak terlalu tajam, sumber panas ketiga akan dihasilkan oleh gesekan antara pahat dan permukaan benda kerja lainnya. Namun, jika pahat aus, sumber panas yang dihasilkan akan menjadi kecil dan dapat diabaikan dalam analisis seperti ini. Maka:
(2.31)
Dengan: Pm= total laju panas yang dibangkitkan pada pemotongan logam (watt) Ps = laju panas yang dibangkitkan di zona deformasi utama (laju panas akibat gaya geser) (watt) Pf = laju panas uang dibangkitkan di zona defromasi kedua (laju panas akibat gaya gesek) (watt) Laju panas akibat gaya gesek dapat diperoleh dari
(2.32)
Karena :
(2.33)
Maka: (2.34)
Dengan : Pf = laju panas akibat gaya gesek (watt)
Universitas Sumatera Utara
Ff = Gaya gesek yang terjadi pada pemotongan logam (N) v = laju pemotongan logam (m/s) rc = rasio pemotongan rc= Menurut Boothryod, jumlah panas (R) yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.35)
dengan:
= massa jenis material benda kerja k = konduktivitas panas c = kapasitas panas spesifik v = kecepatan potong ac = tebal geram setelah terpotong
2.9.1 Temperatur Pada Zona Deformasi Pertama Menurut Boothryod, kenaikan temperatur rata-rata ( ) material yang melalui zona deformasi utama dapat dirumuskan :
(2.36)
dengan :
= Perbandingan konduksi panas pada benda kerja Ps = laju panas yang dibangkitkan di zona deformasi utama (J/s) = massa jenis material benda kerja (kg/m3) c = kapasitas panas spesifik v = kecepatan potong (m/min) ac = tebal geram setelah terpotong (mm) aw = tebal geram sebelum terpotong (mm)
Universitas Sumatera Utara
Untuk menentukan nilai perbandingan konduksi panas pada benda kerja ( ) terlebih dahulu ditentukan nilai R tan
. Kemudian nilai ( ) dapat dilihat pada
grafik di bawah ini.
Gambar 2.12 Perbandingan konduksi panas pada benda kerja ( ) vs R tan (Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)
2.9.2 Temperatur pada zona Deformasi kedua Temperatur maksimum pada geram terjadi pada saat material melewati zona deformasi kedua. Temperatur ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.37)
dengan :
= kenaikan temperatur material yang melalui zona deformasi kedua = kenaikan temperatur material yang melalui zona deformasi pertama = temperatur benda kerja
Dalam sebuah analisis temperatur geram oleh Rapier, diasumsikan bahwa sumber panas dihasilkan dari gesekan antara geram dan pahat dengan sumber panas yang kekuatannya seragam.
Universitas Sumatera Utara
Nilai
juga dapat diperoleh dari hubungan antara
dengan wo, dengan nilai
= 20, 40, 90, 160 dan
Gambar 2.13 Grafik hubungan antara
dengan wo
(Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)
Kenaikan suhu rata-rata geram dihasilkan dari deformasi kedua ( ), berdasarkan hal ini dapat diperoleh persamaan:
(2.39)
dimana: = suhu pada deformasi kedua Pf = laju panas akibat gaya gesek (watt) = massa jenis material benda kerja (kg/m3) c
= kapasitas panas spesifik
v
= kecepatan potong (m/min)
ac
= h = tebal geram sebelum terpotong (mm)
Universitas Sumatera Utara
aw = b = lebar pemotongan (mm)
Universitas Sumatera Utara