BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dibahas beberapa konsep dan pengetahuan yang dipelajari dari berbagai sumber literatur untuk mendapatkan pemahaman dasar terkait dengan pengetahuan, proses pengelolaan pengetahuan, sistem pengelolaan pengetahuan, dan organisasi pembelajar.
II.1 Pengetahuan Hal yang mendasari konsep pengelolaan pengetahuan adalah pemahaman mengenai “pengetahuan” (knowledge) itu sendiri. Pembahasan dan pemahaman konseptual mengenai pengetahuan berada dalam perdebatan sehingga menghasilkan pemahaman ataupun definisi yang berbeda-beda. Berbagai penulis mencoba memberikan definisi dari pengetahuan. Pada Tabel II-1 dipaparkan beberapa definisi pengetahuan. Tabel II-1 Definisi pengetahuan
Penulis Karl Wiig [FIR01]
Definisi Knowledge can be thought of as the body of understandings, generalizations, and abstractions that we carry with us on a permanent or semi-permanent basis and apply to interpret and manage the world around us. … we will consider knowledge to be the collection of mental units of all kinds that provides us with understanding and insights. Alavi dan Leidner Justified personal belief that increases an individual’s capacity [AKH05] to take action. Davenport dan Prusak Knowledge is a fluid mix of framed experience, values, [AKH05] contextual information, and expert insight that provides a framework for evaluating and incorporating new experiences and information. It originates in the minds of knowers. In organizations, it often becomes embedded not only in documents or repositories but also in organizational routines, processes, practices, and norms. Standards Australia A body of understanding and skills that is constructed by [DEL04a] people. Knowledge is increased through interaction with information (typically from other people). Lendy Widayana [WID05]
Knowledge adalah informasi yang dilengkapi dengan pemahaman pola hubungan dari informasi disertai pengalaman, baik individu maupun kelompok dalam organisasi. Knowledge merupakan penerapan informasi yang diyakini dapat langsung digunakan untuk mengambil suatu keputusan untuk bertindak.
II-1
II-2
Pemahaman mengenai pengetahuan umumnya terkait dengan hubungan antara data, informasi, dan pengetahuan – hal tersebut akan dibahas pada subbab II.1.1. Selain itu, terdapat juga pengelompokan jenis pengetahuan, yang akan dibahas pada subbab II.1.2.
II.1.1 Data, Informasi, dan Pengetahuan Neil Flemming (1996) berpendapat bahwa kumpulan data bukanlah informasi, kumpulan informasi bukanlah pengetahuan (a collection of data is not information, a collection of information is not knowledge) [BEL04]. Oleh karena itu, perlu terlebih dahulu dipahami perbedaan antara data, informasi, dan pengetahuan. Data merupakan fakta mentah atau simbol, yang dengan sendirinya tidak memiliki makna tertentu. Informasi merupakan kumpulan data yang dikelola sedemikian rupa sehingga memiliki suatu makna tertentu. Pengetahuan merupakan pengelolaan lebih lanjut dari informasi untuk suatu tujuan tertentu. Dapat dipahami bahwa data, informasi, dan pengetahuan saling terkait satu dengan lainnya, hanya saja tidak dapat dipahami sebagai suatu kesatuan [DEL04a]. Dengan demikian data akan menjadi suatu informasi berdasarkan adanya suatu makna dan informasi akan menjadi pengetahuan berdasarkan adanya suatu tujuan – lihat Gambar II-1.
Gambar II-1 Keterkaitan data, informasi, dan pengetahuan [Telstra, 2003 dalam DEL04a]
Selain itu, Russell Ackoff juga memaparkan mengenai keterkaitan data, informasi, dan pengetahuan dengan menjelaskan bahwa kandungan dalam pikiran manusia dapat diklasifikasikan dalam lima kategori, yaitu data, informasi, knowledge, understanding, dan wisdom [BEL08]. Penjelasan lebih lanjut mengenai kelima kategori tersebut, dipaparkan sebagai berikut:
II-3
1. Data dapat berupa apa saja, bersifat mentah, berguna ataupun tidak. Data itu ada tetapi tidak memiliki suatu arti dengan keberadaannya. 2. Informasi (information) merupakan data yang telah memiliki/diberikan makna berdasarkan suatu relasi/keterhubungan. 3. Knowledge merupakan suatu kumpulan yang tepat mengenai suatu informasi, ditujukan untuk kegunaan tertentu. 4. Understanding dapat dipahami sebagai suatu proses interpolatif (interpolative) dan berdasarkan probabilitas; bersifat kognitif dan analitis. 5. Wisdom dapat dipahami sebagai suatu proses ekstrapolatif (extrapolative), nondeterminatif, dan tidak berdasarkan suatu probabilitas. Wisdom merupakan bentuk penyelidikan
filosofis
dan
mengisyarakan
suatu
bentuk
pemahaman
(understanding) terhadap sesuatu yang sebelumnya tidak terdapat pemahaman. Terhadap kelima kategori tersebut, Bellinger, et al. menggambarkan keterhubungan antara satu dengan lainnya melalui Gambar II-2 berikut.
Gambar II-2 Hierarki DIKW [BEL08]
Pada Gambar II-2 dijelaskan perubahan dari data menuju wisdom dengan berdasarkan pada sumbu understanding dan sumbu connectedness. Connectedness menunjukkan kohesivitas (tingkat kohesif) dari data, informasi, knowledge, dan wisdom. Semakin ke atas pada sumbu connectedness, semakin tinggi tingkat kohesivitas yang dimiliki. Berdasarkan pada sumbu understanding, ditunjukkan perubahan data menjadi informasi berdasarkan understanding terhadap relations (keterhubungan); perubahan informasi menjadi knowledge berdasarkan understanding terhadap patterns (pola); dan perubahan knowledge menjadi wisdom berdasarkan understanding terhadap principles (prinsip).
II-4
Hal senada juga disampaikan oleh Alavi dan Leidner (2001) yang menyatakan bahwa data, informasi, dan pengetahuan memiliki keterkaitan dengan bagaimana pemahaman keterhubungan (relasi, pola, ataupun prinsip) yang terdapat di dalamnya – perbedaan yang ada relatif terhadap konteks penggunaan dan tingkat pemahaman. Lebih lanjut, ditegaskan bahwa kunci dalam memahami suatu pengetahuan tidak dapat semata-mata berdasarkan isi, struktur, ataupun ketepatan yang terdapat di dalamnya dikarenakan pengetahuan merupakan informasi yang bersifat personal dan terkait dengan proses, konsep, interpretasi, ide, pengamatan, dan penilaian setiap orang [ALA01].
II.1.2 Jenis pengetahuan Ikojiru Nonaka (1994) menjelaskan bahwa suatu pengetahuan dapat dipahami berdasarkan dua bentuk/jenis, yaitu pengetahuan eksplisit (explicit knowledge) dan pengetahuan tasit (tacit knowledge) [ALA01, AKH05, BEC06]. 1. Pengetahuan eksplisit dapat dipahami sebagai suatu pengetahuan yang telah tertuang/tertulis pada suatu bentuk dokumen (hardcopy ataupun elektronik/digital) 2. Pengetahuan tasit merupakan pengetahuan yang masih tersimpan di dalam pikiran seseorang dan umumnya dimiliki melalui proses pembelajaran ataupun pengalaman.
II.2 Knowledge Management Beragam pendapat dan pemahaman terhadap pengetahuan juga mengakibatkan beragam pendapat dan pemahaman terhadap KM. Oleh karenanya, belum terdapat satu definisi KM yang diakui secara umum sehingga pemahaman akan KM menjadi beragam, ambigu, dan besifat abstrak [MAI06]. Walaupun demikian, terdapat beberapa definisi yang dapat ditinjau untuk dapat memberikan gambaran mengenai KM, di antaranya adalah: 1. Sijing menjelaskan bahwa “Pengelolaan pengetahuan merupakan proses untuk mendapatkan dan menggunakan pengetahuan dan teknik pada suatu organisasi” [SIJ07]. 2. Tjakraatmadja menjelaskan bahwa “Knowledge management dapat dijelaskan sebagai langkah-langkah sistematik untuk mengelola pengetahuan dalam organisasi untuk menciptakan nilai dan meningkatkan keunggulan kompetitif” [TJA06].
II-5
3. Angus, Patel, dan Harty (1998) menjelaskan bahwa “knowledge management is defined as the concept under which information is turned into actionable knowledge and made available in a usable form to the individuals who need it and can apply it to solving problems” [DEL04b]. 4. Bhatt (2001) menjelaskan “KM is a process of knowledge creation, validation, presentation, distribution, and application” [KAN08]. 5. Holm (2001) menjelaskan “KM is getting the right information to the right people at the right time, helping people create knowledge and sharing and acting on information” [KAN08]. Penjelasan yang cukup menyeluruh terkait dengan KM disampaikan oleh Thomas Davenport sebagai berikut: “Knowledge management is concerned with the exploitation and development of the knowledge assets of an organization with a view to furthering the organization’s objectives. The knowledge to be managed includes explicit, documented knowledge and tacit, subjective knowledge. Management of this knowledge entails all the processes associated with the identification, sharing and creation of knowledge. This requires systems for the creation and maintenance of knowledge repositories, and to cultivate and facilitate the sharing of knowledge and organization learning. Organizations that succeed in knowledge management are likely to view knowledge as an asset and to develop organizational norms and values, which support the creation and sharing of knowledge” [SUR07]. Prusak dan Davenport (1998) menyatakan bahwa pada umumnya suatu proyek KM memiliki salah satu dari tiga tujuan berikut [ALA01]: 1. Menunjukkan terdapat suatu pengetahuan serta peran pengetahuan tersebut terhadap organisasi, sebagian besar melalui suatu bentuk pemetaan (maps), yellowpages, dan hypertext tools. 2. Mengembangkan suatu budaya berbasis pengetahuan dengan mendorong dan menyokong perilaku untuk saling berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dan sikap proaktif dalam mencari ataupun memberikan pengetahuan. 3. Membangun suatu infrastruktur pengetahuan tidak hanya pada suatu sistem yang bersifat teknis, tetapi juga suatu bentuk jaringan yang menghubungkan manusia
II-6
dengan tersedianya ruang, waktu, alat, dan suatu semangat untuk melakukan interaksi dan kolaborasi.
II.2.1 Aliran Pengetahuan Pada dasarnya sulit untuk melakukan pengelolaan terhadap pengetahuan seutuhnya, melainkan pengelolaan dilakukan terhadap proses atau perilaku yang terdapat di dalamnya [NEW00]. Sekumpulan proses dan aktivitas dimana terjadinya perubahan keadaan (state) terhadap data, informasi, pengetahuan, dan meta-pengetahuan disebut sebagai aliran pengetahuan. Model mengenai aliran pengetahuan kemudian disebut sebagai general knowledge model (GKM) – dapat dilihat pada Gambar II-3 – yang menggambarkan bahwa pengetahuan mengalir dalam empat proses utama, yaitu: creation, retention, transfer, dan utilization. Secara alami, proses-proses dalam GKM bersifat rekursif (recursive). Pada setiap proses terdapat proses dan siklus aliran pengetahuan yang lebih dalam.
Gambar II-3 General knowledge model [NEW00].
1. Knowledge creation (penciptaan pengetahuan) merupakan proses penciptaan pengetahuan baru, dapat dilakukan dengan proses pengembangan (development), penemuan (discovery), ataupun penangkapan (capture) pengetahuan. 2. Knowledge retention (penyimpanan pengetahuan) merupakan proses yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara serta pengambilan-kembali pengetahuan yang ada. 3. Knowledge
transfer
(pemindahan
pengetahuan)
merupakan
proses
untuk
mengalirkan pengetahuan dari satu pihak ke pihak yang lainnya, meliputi proses komunikasi, penterjemahan, pengubahan, dan juga pemilahan. Knowledge transfer dapat juga dipahami sebagai knowledge sharing (penyebarluasan pengetahuan). 4. Knowledge utilization (pemanfaatan pengetahuan) merupakan proses yang berkaitan dengan pemanfaatan pengetahuan yang ada.
II-7
II.2.2 Model SECI Ikojiru Nonaka (1994) memberikan suatu model yang digunakan untuk melakukan pengelolaan suatu pengetahuan yang terdiri dari empat proses yaitu Socialization, Externalization, Combination, dan Internalization (SECI) [BEC06, GRA06]. Keempat proses tersebut dapat dilihat pada Gambar II-4 berikut.
Gambar II-4 Diagram SECI – Nonaka [GRA06].
Pada diagram SECI milik Nonaka dapat dipahami bahwa adanya keterkaitan antara pengetahuan tasit dengan pengetahuan eksplisit dan juga KM dapat terjadi dengan adanya interaksi antara kedua jenis pengetahuan tersebut. Contoh penerapan model SECI sebagai proses KM dapat dilihat pada LAMPIRAN A. 1. Proses socialization merupakan proses yang paling dasar dalam melakukan penyebarluasan suatu pengetahuan. Pada proses socialization terjadi interaksi sosial antar individu sehingga terjadi interaksi antar pengetahuan tasit, umumnya bentuk proses socialization adalah diskusi, cerita, ataupun sharing (berbagi) pengalaman. 2. Proses externalization merupakan proses pengubahan/penerjemahan pengetahuan dalam bentuk tasit menjadi pengetahuan yang eksplisit (nyata), umumnya dalam bentuk tulisan ataupun gambar. Proses externalization tersebut dapat membantu pengubahan pengetahuan tasit seseorang ke dalam bentuk pengetahuan eksplisit yang dapat dipahami dengan mudah oleh orang lain. 3. Proses combination terjadi penyebarluasan dan/atau pengembangan dari pengetahuan-pengetahuan eksplisit yang telah ada. Pengetahuan yang telah
II-8
terdokumentasikan dapat disebarluaskan melalui suatu pertemuan dalam bentuk dokumen ataupun melalui suatu proses pendidikan atau pelatihan. Pengetahuan dapat dikembangkan lebih lanjut dengan menggabungkan dan/atau mengolah berbagai pengetahuan – dapat juga mencakup data dan/atau informasi – yang telah ada sehingga didapatkan ataupun dihasilkan suatu pengetahuan yang baru. 4. Proses internalization, terjadi perubahan pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan tasit, umumnya dilakukan melalui proses belajar dan/atau penelitian yang dilakukan ataupun pengalaman yang dilalui oleh setiap individu.
II.2.3 People-focused Knowledge Management [WII04] Karl Wiig (2004) menyampaikan bahwa dalam era yang terus tumbuh dan berkembang kini, suatu organisasi yang akan bertahan dan terus berkembang adalah organisasi yang berdasar pada suatu pemahaman dasar bahwa kinerja dan keberhasilan suatu organisasi merupakan hasil dari tindakan efektif yang dilakukan oleh manusia berpengetahuan, sehingga pengelolaan pengetahuan merupakan hal yang sangat penting. Lalu, manusia dalam organisasi tersebut akan dapat bertindak efektif apabila terdapat suatu pemahaman bersama mengenai apa yang dikerjakan, situasi yang dihadapi, serta keterhubungan yang terdapat di dalamnya. Selain itu, apabila manusia tersebut diperlakukan dengan “benar” maka dapat mendorong motivasi dan kinerja serta meningkatkan produktivitas. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka dapat dipahami bahwa manusia yang tergabung di dalam organisasi merupakan salah satu faktor utama keberhasilan organisasi tersebut sehingga pengelolaan pengetahuan sebaiknya dilakukan dengan berfokus pada manusia (people-focused). KM dengan fokus pada manusia (people-focused KM) dapat ditinjau berdasar pada bentuk pemahaman terhadap sifat alami suatu pengetahuan (intelek) ataupun manusia berpengetahuan/cendekiawan, bentuk pekerjaan dengan pemberdayaan suatu pengetahuan (knowledge-intensive works), proses penanganan situasi ataupun tindakan dengan berdasar pada pengetahuan seperti model mental, serta pada tindakan dan perilaku manusia secara umum.
II-9
II.3 Knowledge Management System Pemanfaatan teknologi informasi kini sudah mencakup berbagai aspek kehidupan dan salah satunya teknologi informasi dipandang dapat diterapkan untuk mendukung proses pengelolaan pengetahuan organisasi. Alavi dan Leidner mendefinisikan knowledge management system (KMS) sebagai suatu sistem berbasis teknologi informasi (IT-based system) yang dikembangkan untuk mendukung dan meningkatkan proses penciptaan, penyimpanan/pengambilan-kembali, pemindahan/penyebarluasan, dan penggunaan pengetahuan organisasi [ALA01]. Seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, Dr David J. Skyrme mencoba untuk menjelaskan secara eksplisit kontribusi teknologi komunikasi dan informasi dalam upaya untuk mendukung proses KM. Skyrme berpendapat bahwa terdapat dua strategi utama yang mendorong perlunya proses KM, yaitu (1) pemanfaatan/penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki – ataupun tersedia – di dalam suatu organisasi, dan (2) inovasi ataupun penciptaan pengetahuan yang dapat digunakan untuk menghasilkan dan/atau meningkatkan nilai suatu produk dan jasa. Dengan demikian, terdapat skema umum (Gambar II-5) untuk memberikan gambaran keterkaitan proses KM dengan penerapan teknologi komunikasi dan informasi.
Gambar II-5 Skema proses pengelolaan pengetahuan terkait dengan penerapan teknologi komunikasi dan informasi [SKY07].
Skema yang diajukan oleh Skyrme [SKY07], terdiri dari: 1. Proses Indentify (identifikasi) dan Create (menciptakan) Indentify (identifikasi) ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan yang telah ada dan dimiliki oleh organisasi sedangkan create (menciptakan) ditujukan pada inovasi ataupun penciptaan pengetahuan yang baru. Proses identifikasi dan
II-10
penciptaan pengetahuan dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi conceptual mapping, data mining, text retrieval/mining, ataupun penggunaan kakas pencarian pengetahuan. 2. Proses Collect/Codify (mengumpulkan/kodifikasi) Hasil dari identifikasi dan penciptaan pengetahuan tersebut dikumpulkan (collect) dan dilakukan kodifikasi (codify). Proses pengumpulan dan kodifikasi pengetahuan dapat dilakukan dengan teknologi berbasis pengetahuan atau inteligensi buatan (artificial intelligence) seperti information feeds ataupun intelligent agents. 3. Knowledge Database (basisdata pengetahuan) Hasil dari proses pengumpulan dan kodifikasi pengetahuan disimpan dalam basisdata pengetahuan (knowledge database). 4. Proses Diffuse/Use (menyebarluaskan/menggunakan) Pengetahuan yang telah disimpan pada basisdata kemudian dapat disebarluaskan (diffuse) dan digunakan (use) melalui berbagai bentuk aplikasi seperti sistem pendukung keputusan (decision support system), groupware, videoconference, email, dan sebagainya. 5. Infrastructure (infrastruktur) Suatu infrastruktur dibutuhkan untuk mendukung proses-proses pengelolaan pengetahuan yang terjadi (identify, create, collect/codify, diffuse/use). Dalam hal ini, infrastruktur dimaksudkan untuk mendukung jaringan komunikasi seperti internet, intranet, dsb. Menurut Becerra-Fernandez dan Sabherwal (2006) KM dipahami terdiri dari prosesproses discovery (penemuan), capture (penangkapan), sharing (penyebarluasan), dan application (penggunaan) pengetahuan. Oleh karenanya, penggunaan teknologi untuk mendukung proses KM dibedakan menjadi empat jenis sistem, yaitu [BEC06]: 1. Knowledge-discovery systems. Sistem ditujukan untuk mendukung proses penemuan ataupun pengembangan pengetahuan dari informasi dan/atau data atau perpaduan dari pengetahuan yang telah ada. 2. Knowledge-capture systems. Sistem ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan yang terdapat pada manusia ataupun entitas yang terdapat di dalam organisasi.
II-11
3. Knowledge-sharing systems. Sistem ditujukan untuk mendukung proses penyebarluasan
pengetahuan
dan
komunikasi
antar
individu
sehingga
memungkinkan terjadinya pertukaran ataupun diskusi pengetahuan. 4. Knowledge-application systems. Sistem ditujukan untuk pemanfaatan dan penggunaan pengetahuan sehingga dapat membantu proses atau aktivitas yang dilakukan oleh individu ataupun organisasi. Terkait dengan KMS, Bambang Setiarso (2003) mengajukan OKMS (organizational knowledge management system) [SET03]. Pada OKMS, Setiarso mengusulkan bahwa untuk merancang sistem KM yang dapat membantu suatu lembaga meningkatkan kinerjanya, diperlukan empat komponen berikut: 1. Manusia, disarankan pada organisasi untuk mempekerjakan document control atau knowledge manager yang bertanggung jawab mengelola sistem KM dengan cara mendorong para karyawan untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan knowledge, mengatur file, menghapus knowledge yang sudah tidak relevan dan mengatur sistem reward/punishment. 2. Proses, dirancang serangkaian proses yang mengaplikasikan konsep model SECI dalam pelaksanaannya. Penjelasan mengenai model SECI dapat dilihat pada subbab II.2.2. 3. Teknologi, dibuat usulan penambahan infrastruktur yang diperlukan untuk menunjang berjalannya sistem KM yang efektif. 4. Content (isi), dirancang content dari sistem KM berupa database knowledge dan dokumen yang dibutuhkan karyawan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya.
II.4 Organisasi Pembelajar Organisasi pembelajar merupakan konsep mengenai bentuk organisasi yang ditujukan untuk dapat menghadapi tantangan dan perubahan pada era pengetahuan. Konsep mengenai organisasi pembelajar tersebut diajukan sebagai konsep bentuk organisasi yang akan bertahan hidup dan terus berkembang. Terdapat beberapa penulis yang mengajukan suatu definisi mengenai konsep organisasi pembelajar (learning organization). Pada Tabel II-2 berikut ini dipaparkan definisi organisasi pembelajar yang diajukan oleh beberapa penulis [KIN99]:
II-12
Tabel II-2 Definisi organisasi pembelajar
Penulis Peter Senge
David Garvin Michael Marquardt
Definisi Organisasi Pembelajar an organization where people continually expand their capacity to create results they truly desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free and where people are continually learning how to learn. an organization skilled at creating, acquiring, and transferring knowledge, and at modifying its behavior to reflect new knowledge and insights. organization that are continually transforming themselves to better manage knowledge, utilize technologies, empower people, and expand learning to better adapt and succeed in the changing environments.
II.4.1 Aktivitas Utama Organisasi Pembelajar (David Garvin, 1993) David Garvin (1993) memaparkan lebih lanjut bahwa terdapat lima aktivitas utama yang mendasari suatu organisasi pembelajar [KIN99], yaitu: 1. Pemecahan masalah secara sistematis; dengan menggunakan pola pikir sistem (system thinking) dan metode ilmiah dalam mendiagnosa suatu masalah, bekerja berdasarkan fakta yang ada dan juga penggunaan pendekatan statistik dalam mengelola data dan memberikan suatu kesimpulan. 2. Penggunaan ataupun uji coba pendekatan-pendekatan (approaches) baru – menjamin terjadinya inovasi, kreativitas, serta suatu dorongan untuk berani mengambil risiko. 3. Pembelajaran terhadap pengalaman atau sejarah – melakukan indentifikasi pengalaman (keberhasilan dan/atau kegagalan) di masa lalu sebagai proses pembelajaran dan perbaikan untuk masa yang akan datang. 4. Pembelajaran terhadap best practices dan pengalaman orang lain. 5. Penyebarluasan pengetahuan secara cepat dan efisien di dalam organisasi – dapat berupa suatu bentuk laporan, tugas dinas, rotasi anggota, pelatihan, dsb. Lebih lanjut, Garvin menegaskan bahwa untuk mewujudkan suatu bentuk organisasi pembelajar dapat dimulai dengan melakukan beberapa langkah sederhana seperti mengembangkan lingkungan/suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, mengembangkan pola pikir yang terbuka sehingga dapat merangsang inovasi, kreativitas, dan pertukaran ide, serta menciptakan suatu forum pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk pembahasan pengetahuan-pengetahuan baru.
II-13
II.4.2 Subsistem pada Organisasi Pembelajar (Michael Marquardt) Michael Marquardt mengajukan bahwa untuk mencapai keberhasilan suatu organisasi pembelajar terdapat lima subsistem yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya [KIN99]. Kelima subsistem tersebut adalah sebagai berikut: 1. Learning (proses pembelajaran). Proses pembelajaran merupakan proses utama yang mendasari organisasi pembelajar. Proses tersebut mencakup proses pembelajaran yang dilakukan oleh individu, proses pembelajaran oleh grup atau tim, dan proses pembelajaran oleh organisasi. 2. Organization
(organisasi).
Organisasi
merupakan
tempat
terjadi
proses
pembelajaran oleh individu yang tergabung di dalamnya yang kemudian dapat menciptakan pembelajaran organisasi. Dengan demikian untuk terbentuknya organisasi pembelajar, suatu organisasi perlu memperhatikan empat dimensi dalam organisasi yang terdiri dari visi, budaya, struktur, dan strategi. 3. People (manusia). Pada dasarnya manusia merupakan inti dari suatu organisasi. Begitu pula dalam organisasi pembelajar, pada kenyataannya manusialah yang belajar. Manusia merupakan ahli dalam mengelola informasi sehingga dapat dihasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya dan organisasi. Oleh karenanya,
dalam
organisasi
pembelajar
perlu
untuk
memperhatikan
pemahaman, pemberdayaan, dan pengembangan potensi manusia. 4. Knowledge (pengetahuan). Pengetahuan dipahami sebagai sumber daya yang digunakan dalam penyelenggaraan kegiatan organisasi. Tradisi, budaya, operasi, prosedur, sistem, dan teknologi yang digunakan dalam suatu organisasi, semua berlandaskan pada pengetahuan dan keahlian. Subsistem pengetahuan meliputi proses-proses untuk mendapatkan (acquire), menciptakan (create), menyimpan (store), memindahkan (transfer), dan menggunakan (utilize) pengetahuan. 5. Technology (teknologi). Daya saing dan keberhasilan organisasi akan ditentukan juga oleh bagaimana organisasi tersebut dapat memanfaatkan teknologi untuk mendukung dan meningkatkan proses pembelajaran di dalamnya. Marquardt menekankan tiga dimensi teknologi yang terkait dengan organisasi pembelajar, yaitu teknologi informasi, proses pembelajaran berbasis teknologi, dan teknologi sistem pendukung (supporting systems).
II-14
II.4.3 Social Learning Konsep mengenai organisasi pembelajar pada dasarnya mengacu pada proses belajar manusia, yang kemudian melahirkan istilah pembelajaran organisasi. Ali, et al. (2006) menjelaskan bahwa proses pembelajaran organisasi berdasar pada proses pembelajaran manusia yang umum dilakukan dalam kesehariannya; proses pembelajaran manusia merupakan proses pembelajaran yang berbasis pada kegiatan sosial. Jordan (1993) menjelaskan bahwa manusia belajar melalui interaksi antar rekan, antar jenis kelamin (gender), antar grup, dan melintasi suatu hierarki, dan semua itu terjadi dalam suatu cara yang tidak disadari sebagai proses pembelajaran [ALI06]. Dengan demikian dalam penggunaan istilah social learning menggambarkan bahwa organisasi, unit organisasi, kelompok kerja (workgroups), ataupun kelompok belajar merupakan bentuk kelompok (cluster) dalam masyarakat tempat terjadinya proses belajar dalam konteks sosial. Social learning dapat didefinisikan sebagai suatu proses pembelajaran yang terjadi di dalam suatu grup, organisasi, ataupun kelompok budaya lainnya dan terdapat proses pengiriman/penyampaian pengetahuan dan praktek lintas situasi dan lintas waktu serta terdapatnya proses pembelajaran generatif – proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan organisasi dalam menghadapi tantangan yang dinamik dan tak terduga serta untuk dapat bereaksi secara kreatif [ALI06]. Social learning menggambarkan suatu proses penting yang mengembangkan kemampuan individu untuk dapat memahami informasi, mengembangkan pengetahuan dari informasi tersebut, dan menyebarluaskan mengenai hal-hal yang diketahuinya. Hal ini sejalan dengan pemahaman proses yang terjadi di dalam organisasi pembelajar. Terdapat dua faktor utama yang mendukung dan menentukan keefektifan terjadinya proses social learning, yaitu learning capability development dan enablers. a. Learning capability development, menunjukkan pada karakteristik di dalam lingkungan sehingga memungkinkan dan mendukung terjadinya proses pembelajaran, seperti struktur ataupun budaya organisasi. b. Enablers, meliputi strategi dan proses yang dilakukan untuk mewujudkan terbentuknya lingkungan yang kondusif untuk proses pembelajaran sosial (social learning).
II-15
Kedua faktor tersebut akan saling mempengaruhi satu dengan lainnya dan juga dipengaruhi oleh tantangan (challengers) dan hambatan (inhibitors) – dapat bersifat internal, berasal dari dalam organisasi, ataupun eksternal, berasal dari luar organisasi. Keterkaitan dan implikasi antara faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar II-6.
Gambar II-6 Keterkaitan faktor-faktor dalam social learning [ALI06].
Penelitian lebih lanjut pada aspek budaya organisasi menyatakan bahwa kebebasan dalam berkomunikasi, sikap saling menghormati dan mempercayai, serta kepemimpinan yang baik merupakan aspek-aspek yang membantu perkembangan proses pembelajaran organisasi. Schein (1993) dan Philips (1997) menyatakan bahwa penyebarluasan (sharing) informasi akan memajukan sikap saling pengertian, saling mempercayai, dan proses pembelajaran organisasi serta terkait langsung dengan budaya organisasi yang menunjang pembelajaran generatif. Dengan demikian sikap saling terbuka dan saling berbagi di dalam organisasi dapat mendorong kebersamaan dan kesatuan serta adaptasi organisasi dalam menghadapi ataupun melakukan suatu perubahan/pembelajaran.
II.5 Sistem Human-Computer Interaction Menurut Preece, et al. [PRE02, hal.1-6], hampir seluruh produk (termasuk sistem) yang melibatkan interaksi pengguna (interaktif) dalam mendukung pelaksanaan aktivitasnya tidak dirancang dengan keterlibatan faktor pengguna. Pada umumnya produk tersebut hanya direkayasa sebagai sistem untuk melakukan serangkaian fungsi (fungsionalitas).
II-16
Oleh karena itu, perancangan interaksi membawa sebuah paradigma baru dalam siklus pengembangan perangkat lunak (sistem) interaktif dengan melibatkan aspek usability dalam perancangan. Perancangan interaksi diartikan sebagai perancangan produk interaktif untuk mendukung manusia dalam menjalankan kegiatan dan kehidupannya sehari-hari. Interaksi manusia komputer atau Human-Computer Interaction (HCI) adalah suatu studi, perencanaan, dan perancangan mengenai aktivitas bekerja bersama antara manusia (user) dan suatu sistem berbasis komputer [HCI08]. HCI merupakan bagian dari konsep rekayasa interaksi yang merupakan fundamental dari seluruh disiplin, bidang, dan pendekatan mengenai perancangan, evaluasi, dan penerapan sistem interaktif berbasis komputer untuk penggunaannya oleh manusia [PRE02, hal.8]. Dalam konteks rekayasa interaksi, sistem HCI dipandang sebagai solusi, yaitu proses interaksi yang terjadi di antara pengguna dengan sistem interaktif [SAS99]. Sistem HCI – lihat Gambar II-7 – terdiri dari tiga komponen utama, yaitu: 1. User merepresentasikan pengguna (manusia), individu ataupun kelompok, yang menginginkan tujuan pekerjaannya tercapai dengan adanya pemanfaatan suatu sistem (teknologi). 2. System
merepresentasikan
teknologi
(komputer)
yang
digunakan
untuk
mengakomodasi tujuan penggunanya. 3. Dialog merepresentasikan komunikasi dua arah (interaksi) yang terjadi antara user dengan system.
Gambar II-7 Sistem HCI [SAS99].
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konsep dialog merupakan bentuk interaksi antara manusia (user) dan komputer (system) dalam sistem HCI; dalam dialog terjadi pertukaran instruksi dan informasi antara user dan system. Lebih lanjut, konsep dialog inilah yang kemudian membentuk antarmuka sebagai media interaksi perangkat lunak (sistem) dengan pengguna [SAS99].
II-17
Pada sistem HCI, perancangan interaksi merupakan proses perancangan produk yang interaktif untuk mendukung manusia dalam kegiatan sehari-hari. Sifat interaktif yang dimaksudkan tidak hanya mencakup pada aspek tampilan antarmuka produk saja, tetapi meliputi semua aspek yang memilik sisi interaksi dari produk tersebut, termasuk di dalamnya pada aspek fungsionalitas sebagai produk yang ditujukan untuk mendukung manusia dalam kegiatan sehari-hari. Terdapat dua fase utama dalam melakukan perancangan interaksi [SAS99], yaitu: 1. Fase kreatif Fase ini diawali dengan tahap pencarian domain yang lebih spesifik dari universe of discourse yang luas. Pada domain yang telah ditetapkan dilakukan identifikasi permasalahan (what dan why) sehingga dapat didefinisikan solusinya; atau prospek sehingga dapat didefinisikan future yang dapat dicapai melalui pengembangan suatu produk interaktif. Pada fase ini juga diidentifikasikan peran (role) dari setiap pengguna (who) yang berinteraksi dengan produk interaktif yang dirancang. 2. Fase perancangan Pada fase ini dilakukan pemodelan task (komponen aktivitas) yang terdiri dua tahap, yaitu (user) task analysis dan task design, dan pada task design terdapat juga dua tahap di dalamnya, yaitu task synthesis dan task optimation – lihat Gambar II-8. Task adalah urutan instruksi sebagai satuan unit kerja. Pemaparan lebih lanjut mengenai fase perancangan ini dapat dilihat pada LAMPIRAN B.
Gambar II-8 Pemodelan task dalam fase perancangan sistem HCI [SAS99].