BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi, Fungsi dan Peranan Jalan Menurut UU No 38 tahun 2004 tentang Jalan, sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Berdasarkan fungsinya, jalan dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan ratarata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
9
10
Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan, politik, serta pertahanan dan keamanan. Dari aspek ekonomi, jalan sebagai modal sosial masyarakat merupakan katalisator di antara proses produksi, pasar, dan konsumen akhir. Dari aspek sosial budaya, keberadaan jalan membuka cakrawala masyarakat yang dapat menjadi wahana perubahan sosial, membangun toleransi, dan mencairkan sekat budaya. Dari aspek lingkungan, keberadaan jalan diperlukan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Dari aspek politik, keberadaan jalan menghubungkan dan mengikat antardaerah, sedangkan dari aspek pertahanan dan keamanan, keberadaan jalan memberikan akses dan mobilitas dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan.
2.2 Peranan Sektor Transportasi Dalam Pembangunan Salah satu ciri negara berkembang adalah adanya pembangunan di berbagai sektor baik ekonomi, fisik maupun. Dalam pembangunan tersebut, prasarana transportasi memiliki peranan penting sebagai sistem yang menghubungkan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Meskipun bukan merupakan satu-satunya prasarana yang penting, prasarana transportasi merupakan suatu syarat yang perlu (necessary condition) bagi ekonomi suatu daerah untuk berkembang (LPM-ITB, 1997). Fungsi ini sangat efektif khususnya di bidang jaringan jalan, mengingat sifatnya yang dapat melayani kebutuhan transportasi door to door yang praktis dan
11
tidak dapat disamakan dengan sistem jaringan transportasi lainnya. Secara umum peranan sistem transportasi dapat dibedakan menjadi dua (LPM-ITB, 1997) yaitu: 1.
Membangkitkan kebutuhan (generate the demand) Peran transportasi dalam membangkitkan kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat jelas. Namun peranan ini dapat bervariasi tingkat kontribusinya dari suatu daerah ke daerah lainnya.
2.
Mengikuti pertumbuhan kebutuhan (follow the demand) Pada daerah-daerah yang sangat berkembang ekonominya, kekuatan pasar akan menentukan prasarana transportasi atau perkembangan sistem transportasi akan mengikuti tuntutan aktivitas ekonomi.
2.3 Pergerakan di Wilayah Perkotaan Pada dasarnya pergerakan yang terjadi di wilayah perkotaan disebabkan oleh sebaran spasial pola tata guna lahan untuk berbagai aktivitas masyarakat. Hal ini disebabkan terpisahnya satu lokasi aktivitas dengan aktivitas lainnya yaitu: pemukiman,
perkantoran,
pendidikan,
rekreasi
dan
sebagainya
sehingga
memunculkan kebutuhan untuk melakukan pergerakan. Dalam ilmu transportasi, pergerakan dalam suatu wilayah terbentuk berdasarkan karakteristik non spasial dan spasial (Morlok, 1991). Karakteristik pergerakan non spasial berkaitan dengan beberapa aspek yaitu: 1. Sebab terjadinya pergerakan Dapat dibedakan menurut maksud/tujuan perjalanan sesuai karakteristik dasarnya yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.
12
Yang dimaksud pergerakan
dengan maksud/tujuan ekonomi
adalah
pergerakan dari dan menuju tempat kerja untuk pergerakan yang berkaitan dengan bekerja, dari dan menuju pusat perbelanjaan untuk pergerakan yang berkaitan dengan berbelanja atau bisnis dan pergerakan untuk kepentingan pribadi. Pergerakan dengan maksud sosial merupakan pergerakan dari dan menuju rumah saudara, serta dari dan menuju tempat pertemuan bukan rumah. Pergerakan dengan maksud pendidikan adalah pergerakan dari dan menuju sekolah, kampus serta tempat lain yang digunakan untuk kegiatan pendidikan. Pergerakan dengan maksud rekreasi adalah pergerakan dari dan menuju tempat rekreasi atau pergerakan dengan kepentingan hiburan. 2. Waktu terjadinya pergerakan Waktu terjadinya pergerakan sangat tergantung pada waktu dimana seseorang melakukan aktivitas dalam kegiatan sehari-harinya. Perjalanan dengan maksud bekerja biasanya mengikuti pola jam bekerjanya, perjalanan dengan maksud pendidikan umumnya mengikuti pola waktu pendidikannya dan perjalanan dengan maksud berbelanja memiliki pola menyebar. Jika ditinjau secara keseluruhan maka pola perjalanan harian masyarakat perkotaan pada dasarnya merupakan gabungan dari pola perjalanan dengan maksud/tujuan bekerja, pendidikan, berbelanja serta kegiatan sosial lainnya. 3. Jenis moda yang digunakan Dalam menentukan pilihan jenis moda yang akan digunakan, maka pengguna akan mempertimbangkan beberapa faktor antara lain: maksud/tujuan perjalanan, jarak tempuh, biaya serta tingkat kenyamanan. Untuk perjalanan
13
dengan jarak dekat (< 2 km) pada umumnya seseorang akan cenderung memilih untuk berjalan kaki, walaupun ada beberapa orang yang tetap memilih menggunakan kendaraan. Adanya peningkatan jarak perjalanan merupakan
salah
satu
faktor
yang
menyebabkan
seseorang
untuk
menggunakan kendaraannya. Karakteristik pergerakan spasial berkaitan dengan aspek sebagai berikut: 1. Pola perjalanan orang Pola perjalanan orang pada kawasan perkotaan sangat dipengaruhi oleh pola sebaran tata guna lahan dari suatu kota. Sebaran spasial dari lokasi industri, perkantoran, pendidikan, pemukiman dan pertokoan sangat mempengaruhi pola perjalanan orang. 2. Pola perjalanan barang Pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh aktivitas produksi dan konsumsi, dimana sangat tergantung dari pola sebaran tata guna lahan pemukiman, industri, pertanian dan perkebunan.
2.4
Prediksi Lalu Lintas Adanya perkembangan wilayah maupun perubahan penggunaan lahan dapat
berdampak pola pergerakan arus lalu lintas termasuk besarannya pada lingkungan sekitar dalam radius tertentu. Hal ini, sering pula mengakibatkan perlunya ada perubahan didalam sistem lalu lintas jalan dan angkutan yang antara lain dapat meliputi prasarana jalan (pelebaran atau penambahan/perluasan jaringan jalan), sarana angkutan (pengaturan baru/penambahan trayek angkutan umum, perubahan
14
arus pergerakan lalu lintas, dll.), penyedian fasilitas pejalan kaki atau pembangunan jembatan penyebrangan orang, dll. Untuk
itu,
maka
setiap
adanya
perubahan
fungsi
bangunan
atau
pengembangan baru, diperlukan suatu kajian kuantitatif dan penilaian atas dampak lalu lintas pada jaringan jalan yang berpotensi terjadi, berupa prediksi arus lalu lintas yang pada akhirnya akan mencerminkan pola pergerakan arus lalu lintas baru. 2.4.1 Arus dan Komposisi Lalu Lintas Volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu ruas jalan pada periode waktu tertentu. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik pengamatan pada suatu ruas jalan dalam satu hari (Departemen PU, 1997). Berdasarkan cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis LHR yaitu: lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian rata-rata. LHRT merupakan arus lalu lintas rata-rata yang melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun. LHR merupakan arus lalu lintas yang diperoleh selama pengamatan dibagi dengan lamanya waktu pengamatan. LHR dan LHRT dinyatakan dalam satuan kendaraan/hari/arah. Sedangkan volume jam perencanaan (VJP) adalah arus jam puncak yang digunakan untuk perancangan (design) dan perencanaan (planning). Besarnya nilai VJP dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut (Departemen PU, 1997): VJP
= LHRT x K/F……………………………………………..……. (2.1)
dimana: VJP
= volume jam perencanaan (smp/jam)
15
LHRT = lalu lintas harian rata-rata tahunan (smp/hari) K
= faktor volume lalu lintas jam sibuk (%)
F
= faktor variasi tingkat lalu lintas per-1/4 jam, dalam satu jam
Adapun nilai K seperti rumus diatas dipengaruhi oleh besarnya volume lalulintas harian yang ditunjukkan pada dibawah: Tabel 2.1 Penentuan Faktor-K dan Faktor-F LHR (smp/hari)
Faktor-K (%)
Faktor-F (%)
> 50.000
4,00 - 6,00
0,9 - 1
30.000 - 50.000
6,00 - 8,00
0,8 - 1
10.000 - 30.000
6,00 - 8,00
0,8 - 1
5.000 - 10.000
8,00 - 10,00
0,6 - 0,8
1.000 - 5.000
10,00 - 12,00
0,6 - 0,8
1.000
12,00 - 16,00
< 0,6
Sumber: Departemen PU, 1997 Untuk menghitung LHRT harus tersedia data jumlah kendaraan yang terus menerus
selama
satu
tahun
penuh.
Mengingat
keterbatasan
biaya
dan
membandingkan ketelitian yang dicapai serta tidak semua tempat di Indonesia mempunyai volume lalu lintas selama satu tahun penuh maka untuk kondisi tersebut dapat digunakan lalu lintas harian rata-rata. Analisa kapasitas jalan dilakukan untuk periode satu jam puncak; arus dan kecepatan rata-rata ditentukan untuk periode tersebut. Penggunaan periode analisa satu hari penuh (LHRT) terlalu kasar untuk analisa operasional dan perencanaan. Di lain pihak, penggunaan 15 menit puncak dari jam puncak terlalu rinci.
16
LHR atau LHRT untuk perencanaan jalan baru didapat dari analisa data yang diperoleh berdasarkan survei volume lalu lintas (traffic counting) dan survei asal tujuan di jalan tersebut atau jalan sekitarnya untuk pembangunan jalan baru. Tipe kendaraan dikelompokkan menjadi: a. Kendaraan ringan (light vehicle/LV) meliputi: mobil penumpang, opelet, mikrobis, pick up dan truk kecil. b. Kendaraan berat (heavy vehicle/HV) meliputi: truk dan bus. c. Sepeda motor (motorcycle/MC) meliputi: kendaraan bermotor beroda dua atau termasuk sepeda motor dan sekuter. d. Kendaraan tak bermotor meliputi: kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia atau hewan termasuk sepeda, becak, kereta kuda dan gerobak atau kereta dorong. Akibat bervariasinya komposisi kendaraan pada suatu ruas jalan maka diperlukan adanya konversi satuan. Untuk memperoleh volume lalu lintas dalam satuan mobil penumpang (smp) dibutuhkan faktor konversi dari berbagai jenis kendaraan menjadi kendaraan penumpang. Ekivalensi mobil penumpang (emp) digunakan untuk merubah berbagai jenis kendaraan dalam arus lalu lintas ke dalam smp. Nilai emp untuk kendaraan ringan besarnya selalu 1,00. Besarnya nilai emp untuk tiap-tiap kendaraan pada jalan perkotaan dapat dilihat dari Tabel 2.2 dan Tabel 2.3 berikut :
17
Tabel 2.2 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi Tipe Jalan Jalan Tak Terbagi
Dua lajur tak terbagi (2/2 UD) Empat lajur tak terbagi (4/2 UD)
Arus Lalu Lintas Total Dua Arah (kend/jam) 0 ≥ 1800
Emp HV
1,3 1,2
0 ≥ 3700
MC Lebar Jalur Lalu Lintas (Wc) ≤6m > 6m 0,5 0,4 0,35 0,25
1,3 1,2
0,4 0,25
Sumber: Departemen PU, 1997
Tabel 2.3 Nilai Ekivalensi Mobil Penumpang untuk Jalan Perkotaan Terbagi Tipe Jalan Jalan Satu Arah dan Jalan Terbagi Dua lajur satu arah (2/1) Empat lajut terbagi (2/4 D) Tiga lajur satu arah (3/1) Enam lajur terbagi (6/2 D) Sumber: Departemen PU, 1997
Arus Lalu Lintas Per Lajur (kend/jam) 0 ≥ 1050 0 ≥ 1100
Emp HV
MC
1,3 1,2 1,3 1,2
0,40 0,25 0,40 0,25
2.4.2 Metode Prediksi Arus Lalu Lintas Prediksi arus lalu lintas didasarkan atas arus lalu lintas saat ini pada jalan eksisting sebagai data awal dan menganalisis kebutuhan perjalanannya untuk menghasilkan proyeksi lalu lintas yang akan melalui jalan rencana. Secara kualitatif prediksi arus lalu lintas dapat memberikan gambaran umum tentang pola arus lalu lintas sehingga sangat penting bagi instansi terkait maupun perencana dalam
18
menetapkan kebijakan pembinaan jaringan jalan, mengambil keputusan terhadap alternatif perbaikan jalan atau infrastruktur lainnya dan strategi untuk mengendalikan tata guna lahan di sekitar jalur utama. Salah satu metode untuk memprediksi arus lalu lintas dan pergerakan adalah dengan menghitung faktor pertumbuhan lalu lintas dan selanjutnya jumlah arus lalu lintas yang akan datang dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Q’
= Q ( 1 + i )n ………………………………………………...….… (2.2)
dimana : Q’
= arus lalu lintas n tahun yang akan datang (smp/jam)
Q
= arus lalu lintas saat ini (smp/jam)
i
= faktor pertumbuhan lalu lintas (%/thn)
n
= jumlah tahun rencana (tahun) Besarnya faktor pertumbuhan lalu lintas (i %) diperoleh melalui analisis
berdasarkan rata-rata lalu lintas harian lima tahun terakhir, pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan inflasi, pertumbuhan kepemilikan kendaraan lima tahun terakhir dan pertumbuhan ekonomi lima tahun terakhir. 2.4.3 Volume Lalu Lintas Jumlah kendaraan yang akan memakai jalan dinyatakan dalam volume lalu lintas, biasanya ditetapkan dalam variasi tahunan, harian, jam-jaman atau dalam satuan yang lebih kecil. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011, volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melewati suatu titik tertentu pada ruas jalan per satuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan/jam atau smp/jam.
19
Volume lalu lintas tidak selalu tetap dalam operasionalnya dan bukan arus yang homogen dari kendaraan melainkan terdiri dari berbagai jenis kendaraan. Volume kendaraan dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut :
Q
N ……………………………………………………………..…….. (2.3) T
dimana: Q = volume (kendaraan/jam) N = jumlah kendaraan (kendaraan) T = waktu pengamatan (jam)
2.5 Analisis Kinerja Ruas Jalan Analisis kinerja ruas jalan akibat perilaku arus lalu lintas yang ada atau yang diramalkan untuk tipe jalan perkotaan dapat dihitung dengan prosedur analisis sebagai berikut (Departemen PU, 1997) : 1. Kecepatan arus bebas 2. Kapasitas 3. Derajat kejenuhan 4. Arus lalu lintas yang dapat dilewatkan oleh segmen jalan tertentu dengan mempertahankan tingkat kecepatan atau derajat kejenuhan tertentu 5. Kecepatan pada kondisi arus sesungguhnya 2.5.1 Kecepatan Arus Bebas Kecepatan arus bebas (FV) merupaan kecepatan pada tingkat arus nol yaitu: kecepatan yang akan dipilih pengemudi bila mengendarai kendaraan bermotor tanpa dipengaruhi oleh kendaraan bermotor lain di jalan (Departemen PU, 1997).
20
Kecepatan arus bebas kendaraan ringan telah dipilih sebagai kriteria dasar untuk kinerja segmen jalan pada arus sebesar nol. Persamaan untuk menentukan arus kecepatan bebas mempunyai bentuk umum sebagai berikut: FV
= (Fvo + FVw) x FFVsf x FFVcs …………………………..…… (2.4)
dimana : FV
= kecepatan arus bebas kendaraan ringan (km/jam)
FVo
= kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam), sesuai Tabel 2.4
FVw
= penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat lebar jalur lalu lintas (km/jam), sesuai Tabel 2.5
FFVsf = faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat hambatan samping sebagai fungsi lebar bahu atau jarak kereb-penghalang, sesuai Tabel 2.6 dan Tabel 2.7 FFVcs = faktor penyesuaian untuk kecepatan arus bebas akibat ukuran kota, sesuai Tabel 2.8 Besarnya FVo dan penyesuaian FVw, FFVsf dan FFVcs pada jalan perkotaan berdasarkan tabel dalam MKJI (Departemen PU, 1997).
21
Tabel 2.4 Kecepatan Arus Bebas Dasar untuk Jalan Perkotaan Tipe Jalan Kendaraan Ringan Enam lajur terbagi (6/2 D) atau Tiga lajur satu arah (3/1) Empat lajur terbagi (4/2 D) atau Dua lajur satu arah (2/1) Empat lajur tak terbagi (4/2UD) Dua lajur tak terbagi (2/2 UD)
61
Kecepatan Arus Bebas Dasar (km/jam) Kendaraan Sepeda Semua Berat Motor Kendaraan (Rata-Rata) 52 48 57
57
50
47
55
53
46
43
51
44
40
40
42
Sumber: Departemen PU, 1997 Tabel 2.5 Penyesuaian untuk Pengaruh Lebar Jalur Lalu Lintas Pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan, Jalan Perkotaan Tipe Jalan
Empat lajur terbagi atau jalan satu arah
Empat lajur tak tebagi
Dua lajur tak terbagi
Lebar Jalur Lalu Lintas Efektif (Wc) (m) per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 per lajur 3,00 3,25 3,50 3,75 4,00 total dua arah 5 6 7 8 9 10 11
Sumber: Departemen PU, 1997
FVw (km/jam)
-4 -2 0 2 4 -4 -2 0 2 4 -9,5 -3 0 3 4 6 7
22
Tabel 2.6 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar Bahu Pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan untuk Jalan Perkotaan dengan Bahu Tipe
Kelas
Faktor Penyesuaian Hambatan
Jalan
Hambatan
Samping dan Lebar Bahu
Samping
Lebar Bahu Efektif (Ws) (m)
(Side Friction Class/ SFC) 4/2 D
4/2 UD
2/2 UD atau jalan satu arah
≤ 0,5 m
1,0 m
1,5 m
≥ 2,0 m
VL (very low)
1,02
1,03
1,03
1,04
L (low)
0,98
1,00
1,02
1,03
M (medium)
0,94
0,97
1,00
1,02
H (high)
0,89
0,93
0,96
0,99
VH (very high)
0,84
0,88
0,92
0,96
VL
1,02
1,03
1,03
1,04
L
0,98
1,00
1,02
1,03
M
0,93
0,96
0,99
1,02
H
0,87
0,91
0,94
0,98
VH
0,80
0,86
0,90
0,95
VL
1,00
1,01
1,01
1,01
L
0,96
0,98
0,99
1,00
M
0,91
0,93
0,96
0,99
H
0,82
0,86
0,90
0,95
VH
0,73
0,79
0,85
0,91
Sumber: Departemen PU, 1997
23
Tabel 2.7 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Jarak Kereb-Penghalang Pada Kecepatan Arus Bebas Kendaraan Ringan untuk Jalan Perkotaan dengan Kereb Tipe Jalan
Kelas Hambatan
4/2 D
Samping (SFC) VL
4/2 UD
2/2 UD atau jalan satu arah
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Jarak KerebPenghalang Lebar Bahu Efektif (Wk) (m) ≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥ 2,0 m 1,00 1,01 1,01 1,02
L
0,97
0,98
0,99
1,00
M
0,93
0,95
0,97
0,99
H
0,87
0,90
0,93
0,96
VH
0,81
0,85
0,88
0,92
VL
1,00
1,01
1,01
1,02
L
0,96
0,98
0,99
1,00
M
0,91
0,93
0,96
0,98
H
0,84
0,87
0,90
0,94
VH
0,77
0,81
0,85
0,90
VL
0,98
0,99
0,99
1,00
L
0,93
0,95
0,96
0,98
M
0,87
0,89
0,92
0,95
H
0,78
0,81
0,84
0,88
VH
0,68
0.72
0,77
0.82
Sumber: Departemen PU, 1997
24
Tabel 2.8 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas untuk Ukuran Kota Ukuran Kota
Faktor Penyesuaian
(juta jiwa)
Ukuran Kota
< 0,1
0,90
0,1 ≤ X < 0,5
0,93
0,5 ≤ X <1,0
0,95
1,0 ≤ X < 3,0
1,00
≥ 3,0
1,03
Sumber: Departemen PU, 1997
2.5.2 Kapasitas jalan Kapasitas suatu ruas jalan didefinisikan sebagai volume lalu lintas maksimum melalui suatu titik di jalan yang dapat dipertahankan per satuan waktu (Departemen PU, 1997). Ukuran kapasitas umumnya adalah kendaraan/jam atau smp/jam. Kapasitas jalan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: C
= Co x FCW x FCSP x FCSF x FCCS ……...………………..……… (2.5)
dimana : C
= kapasitas (smp/jam)
Co
= kapasitas dasar (smp/jam)
FCW = faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat lebar jalur lalu lintas FCSP = faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat pemisahan arah FCSF = faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat hambatan samping FCCS = faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota
25
Jika kejadian di lapangan menyerupai kondisi ideal maka semua faktor penyesuaian dianggap sama dengan satu sehingga kapasitas yang sesungguhnya menjadi sama dengan kapasitas dasar. Tabel 2.9 Kapasitas Dasar untuk Jalan Perkotaan Tipe Jalan
Kapasitas Dasar
Catatan
(smp/jam) Empat lajur terbagi atau
1650
per lajur
Empat lajur tak terbagi
1500
per lajur
Dua lajur tak terbagi
2900
total dua lajur
jalan satu arah
Sumber: Departemen PU, 1997 2.5.2.1 Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas untuk jalan perkotaan Penentuan FCw berdasarkan lebar jalur lalu lintas efektif. Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan lebih dari empat lajur ditentukan dengan menggunakan nilai per lajur seperti yang diberikan untuk jalan empat lajur seperti pada Tabel 2.10 (Departemen PU, 1997).
26
Tabel 2.10 Penyesuaian Kapasitas untuk Masing-Masing Lebar Jalan Pada Jalan Perkotaan Tipe Jalan
Lebar Jalur Lalu Lintas
FCw
Efektif (Wc) (m) Empat lajur
per lajur
terbagi atau
3,00
0,92
jalan satu arah
3,25
0,96
3,50
1,00
3,75
1,04
4,00
1,08
Empat lajur
per lajur
tak tebagi
Dua lajur tak
3,00
0,91
3,25
0,95
3,50
1,00
3,75
1,05
4,00
1,09
total dua arah
terbagi
Sumber: Departemen PU, 1997
5
0,56
6
0,87
7
1,00
8
1,14
9
1,25
10
1,29
11
1,34
27
2.5.2.2 Faktor penyesuaian pemisah arah (FCsp) Untuk menentukan FCsp untuk jalan dua lajur dua arah (2/2) dan empat lajur dua arah (4/2) tak terbagi (UD) didapat dari Tabel 2.11. Tabel 2.11 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pemisah Arah Pemisah Arah SP
50-50
55-45
60-40
65-35
70-30
2/2 UD
1,00
0,97
0,94
0,91
0,88
4/2 UD
1,00
0,985
0,97
0,955
0,94
(% sd %) FC Sp
Sumber: Departemen PU, 1997
2.5.2.3 Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan atau kereb (FCsf) Hambatan samping yang berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan meliputi: - Pejalan kaki - Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti - Kendaraan tidak bermotor - Kendaraan keluar dan masuk dari lahan di samping jalan. Untuk menyederhanakan peranannya dalam prosedur perhitungan, tingkat hambatan samping telah dikelompokkan dalam lima kelas dari sangat rendah sampai sangat tinggi sebagai fungsi dari frekuensi hambatan samping sepanjang jalan yang diamati. Hambatan samping merupakan dampak terhadap kinerja lalu lintas terhadap kinerja jalan seperti pejalan kaki (bobot = 0,5); kendaraan umum atau kendaraan lain berhenti (bobot = 1,0); kendaraan masuk atau keluar sisi jalan
28
(bobot = 0,7) dan kendaraan tidak bermotor (bobot = 0,4). Adapun kelas hambatan samping pada suatu ruas jalan dapat dilihat dari Tabel 2.12. Menurut Departemen PU, 1997 untuk menentukan kelas hambatan samping digunakan data frekwensi hambatan samping per jam per 200 m pada kedua sisi segmen yang diamati. Dalam penelitian ini, data rinci hambatan samping tidak tersedia sehingga kelas hambatan samping ditentukan berdasarkan kondisi tata guna lahan (kondisi khusus) untuk mewakili keadaan segmen jalan yang dianalisa. Dalam menentukan FCsf dapat dibagi menjadi dua yaitu: jalan dengan bahu dan jalan dengan kereb. Tabel 2.12 Kelas Hambatan Samping Kelas Hambatan Samping
Kode
Jumlah Berbobot Kejadian Per 200 m Per Jam (Dua Sisi) < 100
Sangat rendah
VL (very low)
Rendah
L (low)
100-299
Sedang
M (medium)
300-499
Tinggi
H (high)
500-899
Sangat tinggi
VH (very high)
> 900
Sumber: Departemen PU, 1997
Kondisi Khusus
Daerah pemukiman: jalan samping tersedia Daerah pemukiman: beberapa kendaraan umum dsb Daerah industri: beberapa toko di sisi jalan Daerah komersial: aktivitas sisi jalan tinggi Daerah komersial: aktivitas pasar di samping jalan
29
a.
Jalan dengan bahu Faktor penyesuaian kapasitas untuk pengaruh hambatan samping dan bahu jalan (FCsf) pada jalan perkotaan dapat dilihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Lebar Bahu Pada Jalan Perkotaan Tipe Jalan
Kelas
Faktor Penyesuaian Hambatan
Hambatan
Samping dan Lebar Bahu
Samping
Lebar Bahu Efektif (Ws) (m)
(SFC)
< 0,5 m
1,0 m
1,5 m
> 2,0 m
VL
0,96
0,98
1,01
1,03
L
0,94
0,97
1,00
1,02
M
0,92
0,95
0,98
1,00
H
0,88
0,92
0,95
0,98
VH
0,84
0,88
0,92
0,96
VL
0,96
0,99
1,01
1,03
L
0,94
0,97
1,00
1,02
M
0,92
0,95
0,98
1,00
H
0,87
0,91
0,94
0,98
VH
0,80
0,86
0,90
0,95
2/2 UD atau
VL
0,94
0,96
0,99
1,01
jalan satu arah
L
0,92
0,94
0,97
1,00
M
0,89
0,92
0,95
0,98
H
0,82
0,86
0,90
0,95
VH
0,73
0,79
0,85
0,91
4/2 D
4/2 UD
Sumber: Departemen PU, 1997
30
b.
Jalan dengan kereb FCsf didapat dari Tabel 2.14 adalah berdasarkan jarak antar kereb dan penghalang pada trotoar dan kelas hambatan samping (SCsf). Tabel 2.14 Faktor Penyesuaian Kapasitas untuk Pengaruh Hambatan Samping dan Kereb Jalan Pada Jalan Perkotaan Tipe Jalan
Kelas Hambatan
Samping (SFC) 4/2 D VL L M H VH 4/2 UD VL L M H VH 2/2 UD atau VL jalan satu arah L M H VH Sumber: Departemen PU, 1997
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping dan Jarak KerebPenghalang Jarak Kereb-Penghalang (Wk) (m) < 0,5 m 1,0 m 1,5 m > 2,0 m 0,95 0,97 0,99 1,01 0,94 0,96 0,98 1,00 0,91 0,93 0,95 0,98 0,86 0,89 0,92 0,95 0,81 0,85 0,88 0,92 0,95 0,97 0,99 1,01 0,93 0,95 0,97 1,00 0,90 0,92 0,95 0,97 0,84 0,87 0,90 0,93 0,77 0,81 0,85 0,90 0,93 0,95 0,97 0,99 0,90 0,92 0,95 0,97 0,86 0,88 0,91 0,94 0,78 0,81 0,84 0,88 0,68 0,72 0,77 0,82
2.5.2.4 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCcs) Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota disesuaikan dengan jumlah penduduk (juta jiwa), data jumlah penduduk didapat dari BPS. Faktor penyesuaian untuk kapasitas dasar akibat ukuran kota dapat dilihat pada Tabel 2.15.
31
Tabel 2.15 Faktor Penyesuaian untuk Pengaruh Ukuran Kota Pada Kapasitas Jalan Perkotaan Ukuran Kota
Faktor Penyesuaian Ukuran
(Juta Jiwa)
Kota
< 0,1
0,86
0,1 ≤ X < 0,5
0,90
0,5 ≤ X < 1,0
0,94
1,0 ≤ X < 3,0
1,00
≥ 3,0
1,04
Sumber: Departemen PU, 1997
2.5.3 Tingkat Pelayanan Jalan Konsep tingkat pelayanan jalan digunakan sebagai ukuran kualitas pelayanan jalan yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap kapasitas (Q/C). Ukuran yang cocok untuk menentukan tingkat pelayanan jalan dapat diidentifikasi dari kecepatan atau volume kendaraan yang melewati suatu ruas jalan. Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan rasio Q/C namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas jalan. Kecepatan operasi dapat diketahui dari survei langsung di lapangan. Apabila kecepatan operasi telah didapat maka dapat dibandingkan dengan kecepatan optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi tertentu). Tingkat pelayanan berdasarkan volume dengan kapasitas yang dibandingkan dengan kecepatan operasi dapat dilihat dari Gambar 2.1.
32
A B C D
Kecepatan operasi (km/jam)
E
F
0
Perbandingan volume dengan kapasitas (Q/C)
1
Gambar 2.1 Tingkat Pelayanan Jalan Sumber: Tamin, 2000 Untuk tingkat pelayanan berdasarkan perbandingan karakteristik arus lalu lintas dan rasio Q/C ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri dari enam kelompok yaitu: tingkat pelayanan A, B, C, D, E dan F (Departemen PU, 1997). Pengelompokan ini didasarkan atas rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan serta rasio antara kecepatan aktual terhadap kecepatan arus bebas. Secara umum dapat disampaikan penjelasan terkait dengan tingkat pelayanan pada jalan arteri perkotaan dan semi perkotaan (Transportation Research Board, 1994): 1. Tingkat Pelayanan A: menggambarkan kondisi operasional dimana sebagian besar arus lalu lintas berada pada kecepatan perjalanan rata- rata pada kondisi arus bebas, umumnya berkisar pada posisi 90% dari kecepatan arus bebas sesuai klasifikasi jalan. Kendaraan sepenuhnya dapat bermanuver
33
dengan leluasa pada kondisi arus lalu lintas yang ada. Tundaan henti pada simpang bersinyal sangat sedikit. 2. Tingkat Pelayanan B: menggambarkan kondisi operasional dimana terdapat sedikit hambatan lalu lintas pada kondisi kecepatan perjalanan rata-rata. Biasanya berkisar pada 70% dari kecepatan arus bebas. Kemampuan kendaraan untuk bermanuver pada kondisi arus lalu lintas yang ada hanya sedikit terganggu dan tundaan henti pada simpang bersinyal tidak terlalu mengkhawatirkan. Pengemudi umumnya tidak merasakan adanya tekanan. 3. Tingkat Pelayanan C : menggambarkan kondisi yang stabil meskipun demikian pergerakan kendaraan dan perpindahan lajur kendaraan terutama pada lokasi lajur tengah tidak senyaman sebagaimana pada tingkat pelayanan B dan terdapat antrian yang panjang koordinasi sinyal yang kurang baik atau keduanya dapat menyebabkan rendahnya kecepatan ratarata perjalanan sekitar 50% dari rata-rata kecepatan arus bebas. Pengemudi akan merasakan adanya tekanan selama mengendarai kendaraan. 4. Tingkat Pelayanan D : merupakan batas pada suatu rentang dimana penambahan sedikit arus lalu lintas akan menyebabkan bertambahnya tundaan dan menyebabkan menurunnya kecepatan. Tingkat pelayanan D ini juga diakibatkan oleh kurang baiknya perkembangan pengaturan sinyal, kurang tepatnya pemberian waktu sinyal, volume lalu lintas yang tinggi atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Rata-rata waktu perjalanan sekitar angka 40% dari kecepatan arus bebas.
34
5. Tingkat Pelayanan E : merupakan karakteristik dari tundaan yang sangat jelas dan rata-rata waktu perjalanan adalah 1/3 dari kecepatan arus bebas atau kurang. Pada beberapa kondisi hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi antara kurang baiknya pengaturan sinyal, waktu sinyal yang lama, volume arus lalu lintas yang tinggi, bertambahnya tundaan pada persimpangan yang kritis dan volume arus yang tinggi dan pemberian waktu sinyal yang kurang tepat. 6. Tingkat Pelayanan F: menggambarkan karakteristik kondisi arus lalu lintas yang sangat ekstrim dimana kecepatan sangat rendah dibawah 1/3 sampai 1/4 dari kecepatan arus bebas. Kemacetan pada persimpangan, dimana tundaan sangat tinggi dan antrean yang panjang. Kondisi tingkat pelayanan jalan sesuai kondisi di Indonesia akan lebih baik ditentukan berdasarkan prosentase kecepatan terhadap kecepatan arus bebas dan tingkat kejenuhan lalu lintas seperti tercantum pada Tabel 2.16. Tabel 2.16 Indeks Tingkat Pelayanan Berdasarkan Kecepatan Arus Bebas dan Tingkat Kejenuhan Lalu Lintas Tingkat Pelayanan A B C D E F
% Kecepatan Arus Bebas ≥ 90 ≥ 70 ≥ 50 ≥ 40 ≥ 33 ≥ 33
Sumber: Tamin dan Nahdalina, 1998
Tingkat Kejenuhan Lalu Lintas ≤ 0,35 ≤ 0,54 ≤ 0,77 ≤ 0,93 ≤ 1,00 > 1,00
35
2.5.4 Derajat Kejenuhan Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation) didefinisikan sebagai rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas jalan, digunakan sebagai faktor utama yang menentukan tingkat kinerja suatu segmen jalan (Departemen PU, 1997). Nilai derajat kejenuhan menunjukkan apakah segmen jalan akan mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Derajat kejenuhan dinyatakan dalam smp/jam yang dapat dirumuskan sebagai berikut: DS = Q / C …………………………………..…………….…................... (2.6) dimana : DS = derajat kejenuhan Q = arus lalu lintas total maksimum (smp/jam) C = kapasitas jalan (smp/jam) 2.5.5 Kecepatan dan Waktu Tempuh Waktu tempuh adalah waktu rata-rata yang digunakan kendaraan untuk menempuh segmen jalan dengan panjang tertentu, termasuk semua tundaan dan waktu berhenti dinyatakan dalam satu satuan waktu. Kecepatan perjalanan adalah kecepatan rata-rata antara dua titik tertentu yang ditentukan berdasarkan jarak perjalanan dibagi waktu tempuh rata-rata kendaraan yang melalui segmen jalan, termasuk tundaan yang dialami selama perjalanan dalam km/jam (Departemen PU, 1997). MKJI menggunakan kecepatan tempuh sebagai ukuran utama kinerja segmen jalan. Kecepatan tempuh didefinisikan sebagai kecepatan rata-rata ruang dari kendaraan ringan sepanjang segmen jalan. Persamaan umum kecepatan rata-rata ruang sebagai berikut:
36
V = L / TT ……………………………………..………..….................. (2.7) dimana : V = kecepatan rata-rata ruang kendaraan ringan (km/jam) L = panjang segmen (km) TT = waktu tempuh rata-rata kendaraan ringan sepanjang segmen (jam) Kecepatan perjalanan yang rendah menyebabkan BOK meningkat. Beberapa faktor yang menyebabkan kecepatan perjalanan rata-rata rendah adalah sebagai berikut : 1. Lalu lintas harian dan volume jam puncak tinggi 2. Kondisi fisik, geometri dan lingkungan jalan 3. Komposisi kendaraan berat cukup besar 4. Aktivitas tata guna lahan sepanjang koridor jalan yang banyak memanfaatkan badan jalan dan adanya jalan-jalan akses ke jalan utama sehingga dapat menghemat perjalanan. Selanjutnya dengan grafik pada Gambar 2.2 atau 2.3 dapat diketahui kecepatan sesungguhnya sehingga waktu tempuh dihitung dengan persamaan: T = L / V …………………………………………………….................... (2.8) dimana : T = waktu tempuh (jam) L = jarak (km) V= kecepatan (km/jam)
37
Gambar 2.2 Kecepatan sebagai Fungsi dari Derajat Kejenuhan untuk Jalan Dua Lajur Dua Arah Tak Terbagi (2/2 UD) Sumber: Departemen PU, 1997
Gambar 2.3 Kecepatan sebagai Fungsi Derajat Kejenuhan untuk Jalan Banyak Lajur dan Satu Arah Sumber: Departemen PU, 1997
38
Pada Gambar 2.2 dan 2.3 garis putus-putus menunjukkan keadaan arus yang tertahan atau arus terpaksa (force down), kecepatan rendah dan membentuk rentetan kendaraan, sering terjadi kemacetan dalam waktu yang cukup lama. Dalam keadaan ekstrem, kecepatan dan volume dapat turun mencapai nol. Gambar 2.2 dan 2.3 digunakan untuk menentukan kecepatan pada kondisi lalulintas sesungguhnya dengan menggunakan hubungan antara derajat kejenuhan dan kecepatan arus bebas. Pada penelitian ini, data kecepatan tidak diperoleh melalui survei primer karena tahun dasar penelitian adalah tahun 2019 sehingga untuk memprediksi kecepatan digunakan hubungan antara derajat kejenuhan dan kecepatan arus bebas.
2.6 Biaya Operasional Kendaraan Beberapa faktor yang mempengaruhi BOK meliputi: kondisi dan jenis kendaraan, lingkungan, kebiasaan pengemudi, kondisi jalan serta arus lalu lintas. Dalam praktiknya biaya tersebut diestimasi untuk tiap jenis kendaraan yang mewakili golongannya dan dinyatakan dalam satuan moneter per satuan jarak (Rp/km). 2.6.1 Model dan Metode Perhitungan BOK Model dan metode dalam perhitungan BOK yang berasal dari luar antara lain: Pacific Consultans International (PCI), Highway Design and Maintenance (HDM) World Bank, Transport and Road Research Laboratory (TRRL), Abelson, NIMPAC (NAASRA Improved Model for Project Assessment and Costing), Indonesian Highway Capacity Manual (IHCM) dan Central Road Research Institute (CRRI). Model perhitungan BOK untuk biaya tidak tetap yang dikeluarkan oleh Departemen PU tahun 2005 merupakan salah satu model yang dimiliki oleh Indonesia. Model
39
perhitungan BOK dikembangkan untuk keperluan studi kelayakan jalan serta sistem pengelolaan dan pemeliharaan jalan. Pada Tabel 2.17 dapat dilihat rangkuman modelmodel BOK yang di titik beratkan pada tingkat ketelitian model yang ditinjau. Tabel 2.17 Tingkat Ketelitian Model Biaya Operasional Kendaraan Komponen
Model Biaya Operasi Kendaraan HDM-III
PCI
TRRL
Abelson
CRRI
IHCM
NIMPAC
Bahan Bakar
***
*
*
***
***
***
Oli
***
*
*
**
**
***
Ban
***
*
*
*
***
**
***
Suku Cadang
***
*
*
*
***
*
***
Tenaga Kerja
***
*
**
*
*
*
Depresiasi
*
*
**
*
Tt
tt
tt
Bunga Modal
*
*
tt
tt
Tt
tt
tt
Asuransi
tt
*
tt
tt
Tt
tt
tt
Overhead, dll
**
*
tt
tt
Tt
tt
tt
Sumber: LPM-ITB, 1997 Keterangan: *
= sederhana (mudah diterapkan)
**
= menengah
***
= sangat detail dan memiliki tingkat kebutuhan data yang tinggi
t.t
= tidak tersedia PT. Jasa Marga periode tahun 1979-1997 memakai model yang pernah dibuat
oleh PCI. Seluruh komponen BOK pada model PCI dalam spesifikasinya tidak ekstensif misalnya: geometrik jalan, kekasaran dan lain-lain. Model ini hanya memasukkan kecepatan sebagai variabelnya. Ini merupakan model yang cukup sederhana, dimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komponen BOK tidak dimodelkan secara eksplisit. Berdasarkan hasil studi LPM-ITB (1997) dikembangkan
40
model yang menyempurnakan model yang telah digunakan sebelumnya dengan mereview seluruh model yang ada dan melakukan survei pada beberapa jalan tol maupun non tol dengan kondisi geometrik yang berbeda-beda. Model BOK yang dibuat hanya menggunakan variabel yang sederhana dan mudah diukur seperti jarak, kecepatan dan rasio volume dengan kapasitas. Komponen-komponen yang diperhitungkan adalah yang berkontribusi besar terhadap BOK dan meskipun masih banyak komponen lain yang perlu diperhitungkan namun komponen tersebut tidak terlalu dominan. Berdasarkan adaptasi dari beberapa persamaan serta parameter yang ada di HDM IV tahun 2000 dan hasil penelitian yang telah dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Prasarana Transportasi maka Departemen PU tahun 2005 mengeluarkan Pedoman Teknik Nomor: Pd.T-15-2005-B Tentang Pedoman Perhitungan BOK untuk Biaya Tidak Tetap. Penyusunan pedoman ini bertujuan untuk memudahkan dan menyeragamkan metoda perhitungan biaya operasi kendaraan dan mencakup uraian tentang ketentuan umum, ketentuan teknik dan cara pengerjaan. 2.6.2 Komponen-komponen BOK Menurut pedoman perhitungan BOK yang dikeluarkan oleh Departemen PU, komponen BOK terdiri dari biaya tidak tetap (running cost or variable cost) dan biaya tetap (standing cost or fixed cost), yang secara detail terdiri dari komponenkomponen sebagai berikut (Departemen PU, 2005) :
Biaya tidak tetap a. Pemakaian bahan bakar
41
b. Pemakaian minyak pelumas c. Pemakaian suku cadang d. Upah tenaga pemelihara e. Pemakaian ban
Biaya tetap a. Biaya penyusutan (depresiasi) b. Bunga modal c. Asuransi Faktor-faktor yang mempengaruhi komponen BOK antara lain:
1. Konsumsi bahan bakar Terdapat korelasi mendasar antara konsumsi bahan bakar dan kecepatan, diluar pengaruh geometrik, kekasaran permukaan dan kondisi lalu lintas. Konsumsi bahan bakar ini disebut konsumsi bahan bakar dasar (basic fuel) yang didefinisikan sebagai konsumsi pada kondisi lalu lintas bebas (free flow), kelandaian yang datar (0%) dan ketidakrataan permukaan jalan yang relatif tidak mempengaruhi konsumsi bahan bakar. 2. Konsumsi minyak pelumas Konsumsi minyak pelumas harus memperhatikan pengaruh dari kecepatan perjalanan dan kekasaran permukaan (roughness). 3. Pemakaian ban Ada tiga faktor yang mempengaruhi kondisi atau umur ban yaitu: gesekan antara ban dengan permukaan jalan (rolling friction), gaya longitudinal dan tranversal yang terjadi akibat pengereman, akselerasi dan tikungan yang
42
menyebabkan gesekan pada sebagian permukaan ban serta akibat tekanan udara yang terjadi pada saat kendaraan melakukan tanjakan dan atau pengurangan kecepatan (driving force). 4. Pemeliharaan Biaya pemeliharaan terdiri dari biaya suku cadang dan upah montir untuk melakukan perbaikan maupun pemeliharaan kendaraan. 5. Penyusutan Persamaan untuk biaya penyusutan besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan. 6. Bunga modal Persamaan komponen bunga modal besarnya juga berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan 7. Asuransi Persamaan komponen asuransi besarnya berbanding lurus dengan kecepatan kendaraan 2.6.3 Analisis BOK untuk mobil BOK untuk mobil dihitung berdasarkan pedoman penghitungan BOK yang dikeluarkan oleh Departemen PU (Departemen PU, 2005). 1. Pemakaian bahan bakar Pemakaian bahan bakar pada kendaraan merupakan komponen yang memberikan sumbangan yang dominan dalam menghitung biaya operasi kendaraan. Modelnya sangat bervariasi dari model seketika (ins antaneous) yang sangat teliti, hingga model sederhana yang didasarkan pada kecepatan rata-rata. Pengukuran bahan
43
bakar dapat dilakukan dengan fuel meter. Akhir-akhir ini terdapat alat yang dikembangkan di Tokyo, yang secara otomatis dapat merekam pemakaian bahan bakar secara teliti yang akan sangat memudahkan dalam pengembangan model pemakaian bahan bakar. Pada survei perbandingan pemakaian bahan bakar secara umum diperoleh bahwa rata-rata kecepatan pada jalan tol sebesar 50 km/jam sementara pada jalan arteri antara 30-35 km/jam. Pemakaian bahan bakar dalam perhitungan BOK dihitung dengan persamaan sebagai berikut: KBBMi = (α + β1/VR + β2 x VR2 + β3 x RR + β4 x FR2 + β5 x FR2 + β6 x DTR + β7 x AR + β8 x SA + β9 x BK + β10 x BK x AR + β11 x BK x SAR)/1000………………………………………………………...(2.9) Dimana: KBBMi = konsumsi bahan bakar minyak untuk jenis kendaraan i (liter/km) α
= konstanta (didapat dari Tabel 2.18)
β1…β11
= koefisien-koefisien parameter (didapat dari Tabel 2.18)
VR
= kecepatan rata-rata
RR
= tanjakan rata-rata (didapat dari Tabel 2.19)
FR
= turunan rata-rata (didapat dari Tabel 2.19)
DTR
= derajat tikungan rata-rata (didapat dari Tabel 2.20)
AR
= percepatan rata-rata (didapat dari Persamaan 2.10)
SA
= simpangan baku percepatan (didapat dari Persamaan 2.11)
BK
= berat kendaraan
44
Nilai percepatan rata-rata pada ruas jalan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: AR
= 0,0128 x (V/C)……………………………………...................... (2.10)
dimana: AR
= percepatan lalu lintas
V
= volume lalu lintas (smp/jam)
C
= kapasitas jalan (smp/jam)
Nilai SA pada ruas jalan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: SA
= SAmax x 1,04/(1+e a0 + a1 x V/C).......................................................(2.11)
dimana: SA
= simpangan baku percepatan (m/s2)
SAmax = simpangan baku percepatan maksimum (m/s2) (tipikal/default = 0,75) a0, a1 = koefisien parameter (tipikal/default a0 = 5,140; a1 = -8,264) V
= volume lalu lintas (smp/jam)
C
= kapasitas jalan (smp/jam)
Tabel 2.18 Nilai Konstanta Koefisien-Koefisien Parameter Model Konsumsi BBM 1/VR
VR2
RR
FR
FR2
DTR
AR
SA
BK
BK x AR
BK x SAR
α
β1
β2
β3
β4
β5
β6
β7
β8
β9
β 10
β11
Sedan
23,78
1.181,20
0,0037
1,265
0,634
-
-
-0,638
36,21
-
-
-
Utiliti
29,61
1.256,80
0,0059
1,765
1,197
-
-
132,2
42,84
-
-
-
Bus Kecil
94,35
1.058,90
0,0094
1,607
1,488
-
-
166,1
49,58
-
-
-
Bus Besar
129,60 1.912,20
0,0092
7,231
2,790
-
-
266,4
13,86
-
-
-
Truk Ringan
70,00
524,60
0,0020
1,732
0,945
-
-
124,4
-
-
-
50,02
Truk Sedang
97,70
-
0,0135
0,7365
5,706
0,0378
-0,0858
-
-
6,661
36,46
17,28
Truk Besar
190,30 3.829,70
0,0196
14,536
7,225
-
-
-
-
-
11,41
10,92
Jenis Kendaraan
Sumber: Departemen PU, 2005
45
46
Tabel 2.19 Alinemen Vertikal yang Direkomendasikan Pada Berbagai Medan Jalan
No.
Kondisi Medan
Tanjakan
Turunan
Rata-Rata
Rata-Rata
(m/km)
(m/km)
1
Datar
2,5
-2,5
2
Bukit
12,5
-12,5
3
Pegunungan
22,5
-22,5
Sumber: Departemen PU, 2005 Tabel 2.20 Nilai Tipikal Derajat Tikungan Pada Berbagai Medan Jalan No. Kondisi Medan
Derajat Tikungan (o/km)
1
Datar
15
2
Bukit
115
3
Pegunungan
200
Sumber: Departemen PU, 2005 2. Pemakaian Minyak Pelumas Pemakaian minyak pelumas pada tiap jenis kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: KOi
= OHKi + OHOi x KBBMi…………………………………… (2.12)
dimana: OHKi = oli akibat kontaminasi (liter/km), nilainya sesuai Persamaan 2.13 OHOi = oli hilang akibat operasi (liter/km), nilainya sesuai Tabel 2.21 KBBMi = konsumsi bahan bakar (liter/km) Nilai OHKi dihitung dengan persamaan sebagai berikut: OHKi = KPOi/JPOi……………………………………………………..(2.13)
47
dimana: KPOi = kapasitas oli (liter), nilainya sesuai Tabel 2.21 JPOi
= jarak penggantian oli (km), nilainya sesuai Tabel 2.21 Tabel 2.21 Nilai Tipikal JPOi, KPOi dan OHOi Jenis
JPOi
KPOi
OHOi
Kendaraan
(km)
(liter)
(liter/km)
Sedan
2.000
3,50
0,0000028
Utiliti
2.000
3,50
0,0000028
Bus Kecil
2.000
6,00
0,0000021
Bus Besar
2.000
12,00
0,0000021
Truk Ringan
2.000
6,00
0,0000021
Truk Sedang
2.000
12,00
0,0000021
Truk Besar
2.000
24,00
0,0000021
Sumber: Departemen PU, 2005 3. Biaya konsumsi suku cadang Besarnya biaya konsumsi suku cadang dihitung berdasarkan persamaan berikut: BPi
= Pi x HKBi/ 1.000.000………………………………………… (2.14)
dimana: BPi
= biaya suku cadang kendaraan untuk jenis kendaraan i (Rp/km)
HKBi = harga kendaraan baru rata-rata untuk jenis kendaraan i (Rp) Pi
= nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru jenis i (berdasarkan Persamaan 2.15)
i
= jenis kendaraan
48
Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru jenis i dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: Pi
= (ϕ + γ1 x IRI) x (KJTi/100.000) γ2……………………..................(2.15)
dimana: Pi
= konsumsi suku cadang kendaraan jenis i per juta kilometer
ϕ
= konstanta (nilainya sesuai Tabel 2.22)
γ1, γ2 = koefisien-koefisien parameter (nilainya sesuai Tabel 2.22) IRI = kekasaran jalan (m/km) KJTi = komulatif jarak tempuh kendaraan jenis i (km) Tabel 2.22 Nilai Tipikal Φ, γ1 dan γ1 Jenis Kendaraan
Koefisien Parameter Φ
γ1
γ2
Sedan
-0,69
0,42
0,10
Utiliti
-0,69
0,42
0,10
Bus Kecil
-0,73
0,43
0,10
Bus Besar
-0,15
0,13
0,10
Truk Ringan
-0,64
0,27
0,20
Truk Sedang
-1,26
0,46
0,10
Truk Besar
-0,86
0,32
0,40
Sumber: Departemen PU, 2005 4. Biaya upah tenaga pemeliharaan (BU) BU untuk tiap jenis kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: BUi = JPi x UTP/1000……………………………………………………(2.16) dimana: BUi = biaya upah perbaikan kendaraan (Rp/km)
49
JPi
= jumlah jam pemeliharaan (jam/1000 km), sesuai Persamaan 2.17
UTP = upah tenaga pemelihara (Rp/jam) JPi dihitung dengan persamaan sebagai berikut: JPi
= a0 x Pi a1…………………………………………………………..(2.17)
dimana: JPi
= jam montir per 1000 km
Pi
= kecepatan berjalan (km/jam)
a0, a1 = konstanta (nilainya sesuai Tabel 2.23) Tabel 2.23 Nilai Tipikal a0 dan a1 Jenis Kendaraan
a0
a1
Sedan
77,14
0,547
Utiliti
77,14
0,547
Bus Kecil
242,03
0,519
Bus Besar
293,44
0,517
Truk Ringan
242,03
0,519
Truk Sedang
242,03
0,517
Truk Besar
301,46
0,519
Sumber: Departemen PU, 2005 5. Biaya pemakaian ban Biaya pemakaian ban untuk tiap jenis kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: BBi = KBi x HBj/1000…………………………………………………..(2.18) dimana: BBi = biaya pemakaian ban untuk tiap jenis kendaraan i (Rp/km)
50
KBi = konsumsi ban untuk jenis kendaraan i, nilainya sesuai Persamaan 2.19. HBj = harga ban baru jenis j (Rp/ban baru) Konsumsi ban utuk tiap kendaraan dihitung dengan persamaan sebagai berikut: KBi
= χ + δ1 x IRI + δ2 x TTR + δ3 x DTR…………………………......(2.19)
dimana: χ
= konstanta (nilainya sesuai Tabel 2.24)
δ1… δ3 = koefisien-koefisien parameter (nilainya sesuai Tabel 2.24) TTR
= tanjakan dan turunan rata-rata (nilainya sesuai Tabel 2.24)
DTR
= derajat tikungan rata-rata (nilainya sesuai Tabel 2.20) Tabel 2.24 Nilai Tipikal χ, δ1, δ2 dan δ3 Jenis Kendaraan
χ
IRI
TTR
DTR
δ1
δ2
δ3
0,003500 0,000963 0,003500 0,001783 0,002560
0,000670 0,000244 0,000670 0,000184 0,000280
Sedan -0,014710 0,01489 Utiliti 0,019050 0,01489 Bus Kecil 0,024000 0,02500 Bus Besar 0,101530 Truk Ringan 0,024000 0,01489 Truk Sedang 0,095835 Truk Besar 0,158350 Sumber: Departemen PU, 2005
51
Tabel 2.25 Nilai Tipikal Tanjakan dan Turunan Pada Berbagai Medan Jalan No.
Kondisi Medan
TT (m/km)
1
Datar
5
2
Bukit
25
3
Pegunungan
45
Sumber: Departemen PU, 2005 6. Biaya penyusutan Biaya penyusutan yang berlaku dalam perhitungan BOK pada jalan arteri, besarnya berbanding terbalik dengan kecepatan kendaraan. Biaya tersebut dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut: Untuk jalan arteri: a. Kend. Ringan
: Y = 1 / (2,5 S + 100) ……………………………….(2.20)
b. Bus
: Y = 1 / (9 S + 315) ………………………………. (2.21)
c. Truk
: Y = 1 / (6 S + 210) ………………………………. (2.22)
dimana : Y = biaya penyusutan per 1000 km S = kecepatan berjalan (km/jam) 7. Biaya bunga modal Biaya suku bunga modal untuk perhitungan BOK baik pada jalan arteri sesuai dengan persamaan berikut ini: a. Kend. Ringan
: Y = 150 / (500 S) ……………………………...........(2.23)
b. Bus
: Y = 150 / (2571,42857 S) ………………..………....(2.24)
c. Truk
: Y = 150 / (1714,28571 S) ………………..………...(2.25)
52
dimana: Y = biaya suku bunga kendaraan per 1000 km S = kecepatan berjalan (km/jam) 8. Biaya asuransi Komponen biaya asuransi pada perhitungan BOK model PCI berlaku pada jalan arteri. Asuransi diasumsikan sebesar 3,8% per tahun. Biaya asuransi dalam hubungannya dengan kecepatan dihitung dengan cara yang sama seperti pada perhitungan biaya bunga modal dengan jarak tempuh tahunan. Untuk sepeda motor besarnya biaya asuransi tidak diperhitungkan. Persamaan yang dipakai untuk menghitung besarnya biaya asuransi adalah sebagai berikut: a. Kend. Ringan
: Y = 38 / (500 S) ………………………………….....(2.26)
b. Bus
: Y = 60 / (2571,42857 S) ……………………………(2.27)
c. Truk
: Y = 61 / (1714,28571 S) ……………………………(2.28)
dimana: Y = biaya asuransi per 1000 km S = kecepatan berjalan (km/jam) 2.6.4 Analisis BOK untuk sepeda motor Sepeda
motor
merupakan
mayoritas
kendaraan
yang
digunakan
masyarakat Bali dan berpengaruh signifikan terhadap karakteristik transportasi di Bali. Perhitungan BOK sepeda motor mengacu pada metode yang digunakan oleh Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Provinsi Bali-Konsultan Public Transport Study (PTS) pada tahun 1999. Persamaan dalam perhitungan BOK untuk sepeda motor adalah sebagai berikut:
53
VOC = a + b / V + cV²…………………………………………………...(2.29) dimana: VOC = biaya operasi kendaraan (per km) V
= kecepatan rata-rata (km/jam)
a
= konstanta dengan nilai a = 24
b,c
= koefisien dengan nilai b = 596 dan c = 0,00370
Persamaan diatas belum termasuk biaya akibat bahan bakar, suku cadang, oli, ban, biaya servis dan jasa montir sehingga perlu adanya penyesuaian dengan nilai pertumbuhan inflasi. Nilai pertumbuhan inflasi yang digunakan yaitu dari awal rumus DLLAJ dikeluarkan sampai survei ini dilakukan (1999-2016). Persamaan perhitungan BOK akibat pertumbuhan inflasi adalah sebagai berikut: = P0 ( 1 + i )n...................…………………………………………..(2.30)
P
dimana : P
= nilai BOK setelah adanya inflasi
P0
= nilai BOK awal
i
= nilai rata-rata pertumbuhan inflasi (%)
n
= jumlah tahun
2.7 Studi Kelayakan Proyek Studi kelayakan adalah suatu kegiatan penelitian atau studi yang dilakukan secara komprehensif dari berbagai aspek dalam usaha mengkaji tingkat kelayakan dari suatu proyek (LPM-ITB, 1997). Studi kelayakan proyek merupakan tahap awal yang dipandang cukup penting dari serangkaian siklus proyek. Hal tersebut dikarenakan sumber daya baik manusia, waktu maupun dana makin sulit untuk
54
diperoleh. Hasil dari studi kelayakan merupakan rekomendasi mengenai perlu tidaknya proyek itu ditindak lanjutkan. Studi kelayakan proyek menekankan pada 2 (dua) macam analisis yaitu : analisis finansial dan analisis ekonomi. Analisis finansial adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut pandang investor (pihak yang berkepentingan langsung dengan proyek). Dalam analisis finansial yang diperhatikan didalamnya adalah dari segi cash-flow yaitu perbandingan antara hasil penerimaan dengan jumlah biaya-biaya (total cost) yang dinyatakan dalam nilai sekarang untuk mengetahui kriteria kelayakan atau keuntungan suatu proyek. Hasil finansial sering juga disebut “private returns”. Analisis ekonomi adalah analisis kelayakan yang melihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan. Dalam analisis ekonomi yang diperhatikan ialah hasil total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian sebagai keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “the social returns” atau “the economic returns”. 2.7.1 Tujuan dan Manfaat Studi Kelayakan Santosa (2011) menyebutkan bahwa suatu studi kelayakan memiliki tujuan antara lain: a. Menghindari terjadinya keterlanjuran penanaman modal yang tidak menguntungkan. b. Memaksimalkan keuntungan.
55
c. Mengevaluasi aspek-aspek yang mempengaruhi suatu studi. d. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan. e. Mengidentifikasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Suatu proyek dinilai bermanfaat dari segi finansial jika nilai ekonomis dari proyek tersebut dapat menguntungkan bila dibandingkan dengan resiko yang ditimbulkan. Manfaat ekonomi yang dimaksudkan adalah manfaat proyek tersebut di tempat pelaksanaannya dan berpengaruh luas terhadap wilayah sekitarnya. Manfaat sosial ialah manfaat yang dihasilkan darimana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Manfaat lingkungan mencakup polusi udara, air, tanah maupun suara yang ditinjau dari tahap pra pelaksanaan sampai pasca proyek. Manfaatmanfaat tersebut berlaku untuk setiap studi kelayakan, baik itu yang bersifat komersil maupun proyek investasi. 2.7.2 Aspek-Aspek Studi Kelayakan Beberapa aspek yang biasa digunakan untuk melakukan sebuah kajian kelayakan meliputi : a. Aspek Ekonomi Aspek ekonomi berkaitan dengan dampak yang didapat oleh Negara dan masyarakat dari adanya pelaksanaan suatu proyek. Pelaksanaan proyek dapat mengubah kehidupan ekonomi negara dan masyarakat menjadi lebih baik atau dapat juga makin memburuk. b. Aspek Finansial Dari aspek finansial yang dimaksud adalah apakah proyek itu dipandang menguntungkan bila dibanding dengan risiko yang ditimbulkan. Dalam
56
aspek ini dibahas mengenai sumber pendanaan, taksiran penghasilan, keuntungan (benefit) dan biaya, keuangan proyek dan aliran kas (cash flow). c. Aspek Teknis Aspek ini merupakan aspek yang berkaitan dengan proses pembangunan proyek secara teknis dan pengoperasiaanya setelah proyek tersebut selesai dibangun. Aspek teknis menyangkut lokasi dan lahan tempat proyek dilaksanakan, kebutuhan tempat sesuai dengan prakiraan jumlah penduduk dan lalu lintas di masa yang akan datang. Dalam aspek teknis dibahas mengenai skala prioritas, perlengkapan, tata letak, site planning, penjadwalan dan manajemen teknologi. d. Aspek Lingkungan Aspek lingkungan mencakup telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting dari suatu proyek. Dampak yang timbul dapat langsung mempengaruhi proyek pada saat ini ataupun akan timbul di masa mendatang. e. Aspek Sosial Budaya Aspek sosial budaya yang timbul akibat adanya suatu proyek atau investasi meliputi komponen demografi (struktur penduduk, tingkat pendapatan penduduk, pertumbuhan penduduk, tenaga kerja), komponen budaya (adat istiadat, nilai dan norma budaya), kesehatan masyarakat (parameter lingkungan masyarakat yang diperkirakan terkena dampak rencana pembangunan pencemaran, potensi besarnya dampak timbulnya
57
penyakit, kondisi lingkungan yang dapat memperburuk proses penyebaran penyakit). Sementara itu dampak negatif dari aspek sosial meliputi ; perubahan gaya hidup, budaya, adat istiadat , struktur sosial lainnya serta meningkatnya kriminalitas.
2.8
Nilai Waktu
2.8.1 Pengertian dan Kegunaannya Nilai waktu atau nilai penghematan waktu didefinisikan sebagai jumlah uang yang rela dikorbankan seseorang untuk menghemat satu satuan waktu perjalanan (Hensher, et.al, 1988). Besarnya nilai waktu bagi pengguna jalan merupakan gambaran dari layanan konsumen yang diberikan oleh jalan kepada pengguna jalan tersebut (LPM-ITB, 1997). Dalam studi kelayakan proyek jalan, nilai waktu digunakan untuk menghitung besarnya manfaat yang didapat oleh pengguna jalan akibat adanya penghematan waktu jika melewati jalan baru. Biasanya nilai penghematan per satuan waktu yang diambil adalah satuan per jam. Nilai ini nantinya menjadi masukan dalam perhitungan total nilai penghematan harian. 2.8.2 Estimasi Nilai Waktu Tak ada nilai langsung yang dapat diterapkan dalam mencerminkan kenyamanan pengguna jalan namun banyak pengguna jalan yang ingin mempersingkat waktu perjalanannya. Salah satu cara untuk menghitung nilai ini dengan menggambarkan nilai waktu sebagai biaya peluang (opportunity cost)
58
yang dikeluarkan akibat hilangnya kesempatan produktif karena adanya kebutuhan perjalanan. Faktor penting dalam menentukan nilai waktu seseorang adalah dengan mengidentifikasi tujuan perjalanannya. Tujuan perjalanan dibagi menjadi dua yaitu: tujuan bisnis dan non bisnis. Perjalanan bisnis tak termasuk perjalanan pergi ke kantor atau pulang ke rumah yang dilakukan tidak pada jam kerja, dimana tidak mengakibatkan kerugian produksi ekonomi. Perjalanan non bisnis termasuk semua bentuk perjalanan seperti ke kantor, rumah, sekolah, tempat hiburan dan sebagainya. Nilai perjalanan bisnis dikuantifikasikan sebagai nilai waktu per jam diasumsikan berdasarkan hasil studi dari PTS-BUIP Pemerintah Provinsi Bali, yang menetapkan bahwa nilai waktu rata-rata untuk perjalanan bisnis adalah sebesar 50% dari pendapatan. Sementara nilai perjalanan non bisnis ditetapkan 25% dari nilai perjalanan bisnis. Pendekatan untuk perhitungan nilai waktu dalam studi ini adalah pendapatan per kapita dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Denpasar. Pendapatan per kapita adalah besarnya pendapatan ratarata penduduk di suatu wilayah per tahun. Pendapatan per kapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan wilayah (PDRB) dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan per kapita juga merefleksikan PDRB per kapita. 2.8.3 Pendapatan Domestik Regional Bruto Pendapatan Domestik Regional Bruto adalah keseluruhan nilai tambah dari sektor-sektor ekonomi yang ada di suatu daerah dalam periode waktu tertentu. PDRB merupakan penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu daerah tertentu (provinsi dan
59
kabupaten) dan dalam satu periode waktu tertentu (satu tahun kelender). Kegiatan ekonomi yang dimaksud meliputi: kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan, transportasi sampai dengan jasa. 2.8.3.1
Produk Domestik dan Produk Regional Semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang
beroperasi di wilayah domestik tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya berasal dari atau dimiliki oleh penduduk wilayah tersebut merupakan produk domestik wilayah bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya kegiatan produksi tersebut merupakan pendapatan. Dengan adanya arus pendapatan yang mengalir antar daerah (termasuk juga dari dan ke luar negeri) yang pada umumnya berupa upah atau gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka timbul perbedaan antara produk domestik dan produk regional. Produk Regional adalah produk domestik ditambah dengan pendapatan yang diterima dari luar daerah atau negeri dikurangi dengan pendapatan yang dibayarkan keluar daerah atau negeri tersebut. Akan tetapi untuk mendapatkan angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar dan masuk ke suatu daerah (yang secara nasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih sangat sulit saat ini, hingga produk regional belum dapat dihitung. Untuk sementara dalam perhitungan, produk regional diasumsikan sama dengan Produk Domestik Regional Netto (PDRN) atas dasar biaya faktor. Apabila pendapatan regional ini dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah tersebut maka diperoleh pendapatan per kapita.
60
2.8.3.2 PDRB Atas Dasar Harga Pasar Angka PDRB atas dasar harga pasar diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor ekonomi di wilayah itu. Nilai tambah bruto adalah nilai lebih yang timbul setelah melalui suatu proses produksi atau nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara. Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung netto. Dengan menghitung nilai tambah bruto dari tiap-tiap sektor dan menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor maka akan diperoleh produk PDRB atas dasar harga pasar. 2.8.3.3 PDRN Atas Dasar Harga Pasar PDRB atas dasar harga pasar dikurangi penyusutan akan diperoleh PDRN atas dasar harga pasar. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut dari barangbarang modal yang terjadi selama barang tersebut ikut serta dalam proses produksi. 2.8.3.4 PDRN Atas Dasar Biaya Faktor Perbedaan antara konsep biaya faktor dengan harga pasar adalah karena adanya pajak tidak langsung yang dipungut oleh pemerintah dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada unit-unit produksi. Pajak tidak langsung yang dibayar oleh perusahaan terdiri dari iuran wajib ke pemerintah yang diberlakukan sebagai biaya untuk kegiatan produksi. Pajak tidak langsung mencakup segala jenis pajak yang dikenakan atas kegiatan produksi, penjualan, pembelian atau penggunaan barang dan jasa oleh perusahaan. Perusahaan dapat membayar pajak
61
tidak langsung kepada Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Pajak tidak langsung meliputi: pajak penjualan, bea ekspor, cukai dan lain-lain kecuali pajak pendapatan dan pajak perseorangan. Pajak tidak langsung dan subsidi memiliki pengaruh terhadap harga barang-barang. Pajak berpengaruh menaikkan harga sedangkan subsidi menurunkan harga. Pajak tidak langsung netto diperoleh dari pajak tidak langsung dikurangi subsidi. PDRN atas dasar harga pasar dikurangi pajak tidak langsung netto hasilnya PDRN atas dasar biaya faktor. Pendekatan untuk perhitungan nilai waktu dalam penelitian ini menggunakan data pendapatan perkapita dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Kota Denpasar. Berikut ini adalah data PDRB perkapita Kota Denpasar mulai tahun 2010 hingga 2014. Tabel 2.26 Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Kota Denpasar Tahun 2010-2014 Tahun
PDRB Per Kapita (Rp)
Pertumbuhan (%)
2010
25.753.804
-
2011
26.838.582
4,21
2012
28.226.775
5,17
2013
29.575.017
4,78
2014
31.006.811
4,84
Sumber: BPS Propinsi Bali, 2015 Untuk menghitung nilai waktu penumpang menurut jenis kendaraan, dengan asumsi bahwa perjalanan seseorang biasanya menggunakan kendaraan maka diperlukan nilai rata-rata jumlah penumpang per jenis kendaraan (average vehicle occupancy). Pada Tabel 2.27 dapat dilihat jumlah penumpang per jenis kendaraan berdasarkan hasil studi terdahulu yang dilakukan oleh Dewi (2012).
62
Tabel 2.27 Rata-Rata Jumlah Penumpang untuk Tiap Jenis Kendaraan No.
Jenis Kendaraan
Rata-Rata Jumlah Penumpang (jiwa)
1 Sepeda Motor
1,35
2 Kendaraan Ringan
2,70
3 Bus
17,4
4 Truk
1,98
Sumber: Dewi, 2012
2.9
Penghematan Biaya Pemakai Jalan Nilai manfaat dari pembangunan jalan baru bagi pengguna jalan berupa
penghematan biaya pemakai jalan (PBPJ) yang terdiri atas penghematan BOK dan penghematan nilai waktu perjalanan. Besarnya penghematan kedua komponen tersebut dihitung menurut persamaan dibawah: PB
= (BOKek x Dek – BOKalt x Dalt) + {(Dek/Vek – Dalt/Valt) x Tv} ……………………………………………………….…………(2.31)
dimana : PB
= penghematan biaya pengguna (Rp)
BOKek
= biaya operasi kendaraan di jalan eksisting (Rp/km)
BOKalt = biaya operasi kendaraan di jalan alternatif (Rp/km) Dek
= panjang jalan eksisting (km)
Dalt
= panjang jalan alternatif (km)
Vek
= kecepatan di jalan eksisting (km/jam)
Valt
= kecepatan di jalan alternatif (km/jam)
Tv
= nilai waktu kendaraan (Rp/jam)
63
2.10
Biaya Proyek Berbeda dengan biaya yang dihitung saat studi awal yang biasanya masih
kasar, biaya proyek yang dihitung untuk studi kelayakan ini lebih baik nilainya. Biaya proyek secara lebih detail dapat dihitung karena ada rancangan detail dari proyek (detail engineering design/ DED). Biaya suatu proyek dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni biaya modal dan biaya operasional (LPM-ITB, 1997) sebagai berikut: 1. Biaya modal adalah biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan dana proyek, melakukan studi, penyiapan dokumen pembangunan
atau
pelaksanaan konstruksi, pengawasan pembangunan dan manajemen proyek. 2. Biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan operasional
meliputi:
proses
menjalankan
proyek,
pemeliharaan,
perbaikan serta pengelolaan selama masa pelayanan.
2.11
Manfaat Proyek Manfaat proyek adalah penerimaan (revenue) yang dihasilkan suatu
proyek sebelum dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan. Manfaat proyek dapat dibagi menjadi tiga yakni : Manfaat langsung (direct benefits), Manfaat tidak langsung (indirect benefits) dan Manfaat tidak kentara (intangible benefits).
64
2.11.1 Manfaat Langsung Manfaat langsung merupakan manfaat yang diterima sebagai akibat adanya proyek, seperti naiknya nilai hasil/output produksi barang atau jasa, perubahan bentuk, serta penurunan biaya. Kenaikan
dalam
nilai
hasil/output
produksi
disebabkan
karena
meningkatnya jumlah produk dan kualitas dari produk sebagai akibat adanya proyek. Sedangkan penurunan biaya dapat berupa keuntungan dari mekanisme, penurunan biaya pengangkutan atau penghindaran kerugian. 2.11.2 Manfaat Tidak Langsung Merupakan manfaat yang timbul atau dirasakan di luar proyek karena adanya realisasi suatu proyek. Ada tiga macam manfaat tidak langsung yakni : a. Manfaat proyek yang timbul sebagai dampak multiplier effects dari proyek yang dibangun terhadap kegiatan pembangunan lainnya. Contoh: perbaikan jalan menyebabkan timbulnya berbagai kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan potensi ekonomi di sepanjang jalan yang dibangun. b. Manfaat yang disebabkan oleh adanya keunggulan skala besar (economies of scale) c. Manfaat yang muncul karena adanya pengaruh sekunder dinamik (dynamic secondary effects), misalnya berupa perubahan dalam produktivitas tenaga kerja yang disebabkan adanya perbaikan kesehatan atau pendidikan. 2.11.3 Manfaat yang tidak dapat dinyatakan dengan jelas (Intangible Benefit) Merupakan manfaat dari pembangunan proyek yang sulit diukur/dinilai dalam bentuk uang, seperti perubahan pola pikir masyarakat, perbaikan
65
lingkungan hidup, berkurangnya pengangguran, peningkatan ketahanan nasional, kemantapan tingkat harga, dan sebagainya.
2.12
Pendekatan Kelayakan Investasi Untuk menentukan layak atau tidaknya investasi pembangunan jalan dari
sisi ekonomi terdapat dua metode yang biasa digunakan yaitu: Cost Benefit Analysis (Analisa Biaya Manfaat) dan Cost Effectiveness. Metode pertama digunakan untuk menyatakan kelayakan suatu proyek menurut perbandingan manfaat yang akan diperoleh dan biaya yang akan dikeluarkan. Metode ini digunakan dalam kondisi dimana dana terbatas sedangkan metode kedua umumnya dilakukan pada kondisi dimana dana yang tersedia cukup banyak sehingga perlu membandingkan dua alternatif proyek hanya dilakukan dengan membandingkan biaya yang diperlukan (Adler, 1969). Kriteria dasar untuk mengukur manfaat suatu investasi pada bidang transportasi adalah dengan melakukan perhitungan “dengan” dan “tanpa” (“with” and “without”) pembangunan jalan baru sehingga diketahui keuntungan yang timbul karena adanya pembangunan jalan baru tersebut. Adapun kriteria yang biasa digunakan untuk menentukan kelayakan suatu usaha atau investasi antara lain 2.12.1 Net Present Value (NPV) Metode NPV adalah metode yang membandingkan semua komponen biaya dan manfaat suatu proyek dengan acuan yang sama agar dapat diperbandingkan satu dengan lainnya (LPM-ITB, 1997). Acuan yang digunakan
66
adalah besaran netto saat ini (net present value) artinya semua besaran biaya dan manfaat diubah dalam besaran nilai sekarang. Selanjutnya NPV didefinisikan sebagai selisih antara nilai saat ini (present value) dari komponen manfaat dan present value dari komponen biaya. Secara matematis persamaannya adalah sebagai berikut: NPV = PV B – PV C
n Bt Ct NPV ………………………………….………………(2.32) t (1 i) t=0 dimana : PV B = present value benefit PV C = present value cost Bt
= besaran total dari komponen manfaat proyek pada tahun t
Ct
= besaran total dari komponen biaya pada tahun t
i
= tingkat suku bunga (% per tahun)
t
= jumlah tahun
Berdasarkan kriteria ini dapat dikatakan bahwa proyek layak dilaksanakan jika nilai NPV > 0 sementara jika nilai NPV < 0 artinya proyek tidak layak dan jika nilai NPV = 0 artinya tingkat pengembaliannya setara dengan suku bunga patokan (suku bunga bank) atau dapat dikatakan bahwa proyek mengembalikan dananya persis sebesar Opportunity Cost of Capital, mengingat ada penggunaan lain yang lebih menguntungkan.
67
2.12.2 Benefit Cost Ratio (BCR) Metode ini pada prinsipnya membandingkan semua pemasukan yang diterima (dihitung pada kondisi saat ini) dengan semua pengeluaran yang telah dilakukan (dihitung pada kondisi saat ini). Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: BCR
= PV B/PV C ………………………………………….………(2.33)
n Bt t = 0 (1 i) t BCR n Ct t = 0 (1 i) t
dimana: Bt
= besaran total dari komponen manfaat proyek pada tahun t
Ct
= besaran total dari komponen biaya pada tahun t
i
= tingkat suku bunga (% per tahun)
t
= jumlah tahun
Bila nilai indeks BCR > 1 maka proyek layak untuk dilaksanakan tetapi jika nilai indeks BCR < 1 maka proyek tidak layak untuk dikerjakan mengingat biaya (cost) lebih besar dari pada manfaat (benefit) yang diterima. Namun hal ini tidak sepenuhnya dapat ditentukan bahwa proyek layak jika BCR-nya > 1 karena hal tersebut hanya menunjukkan bahwa manfaat lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Sementara untuk lebih teliti menyatakan layak tidaknya suatu proyek harus dibandingkan dengan tingkat suku bunga (discount rate) yang berlaku. Dengan kata lain harus diketahui nilai laju pengembalian modalnya atau IRR untuk dapat dibandingkan dengan discount rate yang berlaku.
68
2.12.3 Internal Rate Of Return (IRR) Internal rate of return adalah besaran yang menunjukkan harga discount rate pada saat NPV = 0. IRR sering juga disebut sebagai laju pengembalian modal. Dalam hal ini laju pengembalian modal dapat dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek. Jika besarnya laju pengembalian modal ini melebihi nilai discount rate maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa proyek menguntungkan dan layak untuk dikerjakan namun jika lebih kecil dari discount rate sekalipun nilai BCR-nya >1, kelayakan proyek masih perlu ditinjau ulang karena secara finansial lebih baik menyimpan modal di bank. Jadi kriteria untuk menetapkan kelayakan suatu proyek adalah bila IRR-nya lebih besar dari discount rate. IRR dapat dicari dengan metode coba-coba (trial and error) yakni dengan memasukkan nilai i berulang-ulang hingga didapatkan NPV=0, dan dengan cara interpolasi dengan persamaan berikut :
IRR i2
NPV2 x (i2 - i1) ………………………………..……(2.34) NPV1 NPV2
dimana : i1
= tingkat bunga 1 (tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1)
i2
= tingkat bunga 2 (tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2)
NPV1 = net present value 1 NPV2 = net present value 2
2.12.4 Payback Period Metode payback period merupakan teknik penilaian terhadap jangka waktu pengembalian investasi suatu proyek atau usaha. Perhitungan ini dapat
69
dilihat dari perhitungan kas bersih yang diperoleh setiap tahun. Nilai kas bersih merupakan penjumlahan laba setelah pajak ditambah dengan penyusutan. Keuntungan dari metode Pay Back Period ini adalah : -
Mudah dimengerti
-
Lebih mengutamakan investasi yang menghasilkan aliran kas yang lebih cepat
-
Beranggapan bahwa semakin lama waktu pengembalian, semakin tinggi resikonya
-
Cukup akurat untuk mengukur nilai investasi yang diperbandingkan untuk beberapa kasus dan bagi pembuat keputusan.
Kelemahan metode Pay Back Period ini adalah : -
Mengabaikan nilai waktu dari pada uang (time value of money)
-
Mengabaikan penerimaan–penerimaan investasi atau proceeds setelah Pay Back Period tercapai.
2.12.5 Accounting Rate of Return Metode ini menggunakan persentase keuntungan netto setelah pajak atas investasi awal atau rata-rata investasi awal. Data keuntungan dalam perhitungan ini diperoleh dari reported accounting income (laba dari pembukuan akuntansi). Kelebihan dari metode ini adalah: -
Sederhana dan mudah dimengerti
-
Metode ini menggunakan data akuntansi yang sudah tersedia sehingga tidak memerlukan perhitungan tambahan.
Kekurangan utama dari metode ini adalah:
70
-
Tidak memperhitungkan “time value of money”
-
Menitik beratkan pada laba akuntansi dan bukan pada arus kas dari investasi bersangkutan
-
Merupakan pendekatan jangka pendek dengan menggunakan angka ratarata yang dapat menyesatkan
-
Kurang memperhitungkan jangka waktu investasi
2.12.6 Average Rate of Return Metode penilaian investasi ini berusaha menunjukkan ratio atau perbandingan antara keuntungan neto tahunan terhadap nilai investasi yang diperlukan untuk memperoleh laba/keuntungan tersebut baik diperhitungkan dengan nilai investasi
atau rata – rata investasi. Penilaian investasi dengan
metode Average Rate of Return didasarkan pada jumlah keuntungan bersih sesudah pajak. Kelebihan dari metode ini adalah: -
Sederhana dan mudah dimengerti
-
Metode ini menggunakan data akuntansi yang sudah tersedia sehingga tidak memerlukan perhitungan tambahan.
Kekurangan utama dari metode ini adalah: -
Tidak memperhitungkan “time value of money”
-
Menitik beratkan pada laba akuntansi dan bukan pada arus kas dari investasi bersangkutan
-
Merupakan pendekatan jangka pendek dengan menggunakan angka ratarata yang dapat menyesatkan
-
Kurang memperhitungkan jangka waktu investasi
71
2.12.7 Profitability Indeks (PI) Metode Profitability Index adalah menghitung melalui perbandingan antara lain nilai sekarang (present value) dari rencana penerimaan–penerimaan kas bersih di masa yang akan datang dengan nilai sekarang (present value) dari investasi yang telah dilaksanakan, jadi perhitungan profitability Index dapat dihitung dengan membandingkan antara Present Value kas masuk dengan Present Value kas keluar. Keuntungan metode Profitability Index : -
Memperhitungkan nilai waktu dari pada uang (time value of money)
-
Menentukan terlebih dahulu tingkat bunga yang akan digunakan
-
Konsisten dengan tujuan perusahaan, yaitu memaksimalkan kekayaan pemegang saham.
Kelemahan metode Profitability Index : -
Dapat memberikan panduan dan pilihan yang salah pada proyek-proyekproyek yang mutually exsclusive yang memiliki unsur ekonomis dan skala yang berbeda
2.13
Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan apabila hasil analisis kelayakan ekonomi
dinyatakan layak secara ekonomi (memenuhi kriteria investasi NPV > 0, BCR > 1, dan IRR > i). Nilai-nilai parameter dalam studi kelayakan proyek biasanya diestimasikan besarnya maka jelas nilai-nilai tersebut tidak dapat lepas dari kesalahan. Maksudnya dapat saja nilai tersebut lebih besar ataupun lebih kecil dari hasil estimasi yang diperoleh atau berubah pada saat-saat tertentu. Perubahan yang
72
terjadi pada nilai parameter tentunya akan mengakibatkan perubahan-perubahan pula pada tingkat outputnya. Untuk mengetahui seberapa sensitif suatu keputusan terhadap perubahan faktor-faktor atau parameter yang mempengaruhinya maka setiap pengambilan keputusan dalam ekonomi teknik sebaiknya disertai dengan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas merupakan kajian sejauh mana suatu keputusan cukup kuat berhadapan dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Analisis sensitivitas dilakukan dengan mengubah nilai suatu parameter pada suatu saat, untuk kemudian dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap akseptabilitas suatu alternatif investasi. Parameter-parameter yang biasanya berubah dan mempengaruhi keputusan dalam analisis meliputi: biaya investasi, nilai manfaat, tingkat suku bunga dan lain sebagainya.