BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komitmen Beragama 2.1.1 Definisi Komitmen Beragama Komitmen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) adalah perjanjian (keterikatan) untuk melakukan sesuatu. Sedangkan komitmen menurut Kamus Psikologi (1987) adalah keputusan yang diambil berdasarkan sikap-sikap dan perjanjian yang dianut pada saat Itu dan tercermin dalam sikap yang cenderung permanen (menetap). Dari kedua definisi dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan keterikatan yang tercermin dalam sikap yang cenderung menetap. Agama selalu diterima dan dialami secara subyektif. Oleh karena Itu, orang sering mendefinisikan agama sesuai pengalamannya dan penghayatan pada agama yang dianutnya (Jalaluddin Rakhmat, 2003). Hal ini menyebabkan adanya kesulitan dalam mendefinisikan agama. Berikut beberapa definisi tentang agama:
11
“Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya.’’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001)
“Agama adalah kepercayaan terhadap Tuhan yang selalu hidup, yakni pada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia” (Martineu dalam Rakhmat, 2003) Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa agama merupakan ajaran, sistem
kepercayaan
terhadap
Tuhan
yang
mengatur
alam
semesta
dan
berhubungan dengan pergaulan dengan umat manusia. Jadi komitmen beragama adalah keterikatan terhadap ajaran dan sistem kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa dan berhubungan secara moral dengan umat manusia. Agama dapat berfungsi sebagai pengalaman personal dan lembaga sosial. Pada tingkat personal agama berkaitan dengan apa yang dipercayai secara pribadi, bagaimana agama berfungsi dalam kehidupan serta pengaruh agama pada pikiran, perasaan dan tingkah laku individu. Sedangkan pada tingkat sosial agama terlihat pada kelompok-kelompok sosial keagamaan. Agama berinteraksi dengan bagian-bagian masyarakat dan menjadi bagian dari dinamika kelompok di masyarakat.
12
2.1.2 Dimensi Komitmen Beragama Agama terdiri dari beberapa aspek yang disebut sebagai dimensi komitmen beragama (Glock dan Stark, dalam Paloutzian 1996). Mereka juga mengilustrasikan bagaimana aspek tersebut (belief, pengetahuan, pengaruh, dll) dapat terjadi dalam berbagai kombinasi. Kombinasi-kombinasi tersebut dapat mempermudah hubungan antara variabel kognitif (religious belief knowledge), variabel emosi (religious feelings) dan variabel tingkah laku (religious practice dan effect. Glock (dalam Palaoutzian,1996) menurut garis batas yang jelas antara apa yang orang percaya sebagai kebenaran religius, apa yang mereka kerjakan sebagai bagian dari praktek keagamaan, bagaimana emosi tentang pengalaman yang terjadi pada diri mereka, apa yang mereka ketahui tentang agamanya, serta bagaimana kehidupan mereka dipengaruhi oleh agama yang mereka anut. Kemudian dia membagi hal-hal tersebut dalam lima dimensi yang disebut sebagai dimensi komitmen beragama yaitu: 1. Dimensi Ideologis Dimensi ideologis merupakan dimensi mengenai apa yang diyakini dalam agama tersebut serta seberapa kuat keyakinan tersebut dipegang. Individu meyakini
kebenaran
konsep-konsep
yang
menjadi
ajaran
agamanya
dan
menunjukkan bahwa dia memiliki komitmen tinggi terhadap agama yang
13
dianutnya. Dasar dimensi ini adalah doktrin agama. Dimensi inilah yang membedaan agama satu dengan agama lainnya. Terdapat 3 kategori dalam dimensi ideologi yaitu: a. Keyakinan mengenai eksistensi agama Keyakinan tentang adanya Tuhan, konsep Tuhan dalam agama, serta keyakinan tentang aspek yang mendasar dalam agama. Misalnya: percaya pada Yesus Kristus merupakan dasar ajaran agama Kristen, percaya pada Al-Qur’an sebagai kitab sucinya merupakan dasar ajaran agama Islam. b. Keyakinan terhadap tujuan manusia dalam beragama Tujuan penciptaan manusia dan tujuan yang harus diorientasikan manusia dalam aktivitas keagamaan merupakan bagian dari kategori ini. c. Keyakinan bagaimana mencapai tujuan tersebut Yang termasuk dalam kategori ini adalah bagaimana cara mencapai tujuan beragama serta bagaimana cara terbaik dalam mengimplementasikan hakekat manusia. 2. Dimensi Ritual Berhubungan dengan perilaku individu yang telah meyakini ajaran agamanya, serta beberapa tingkah laku yang seharusnya dilakukan oleh penganut agama. Dimensi ini mencakup ritual agama, bagaimana ritual agama tersebut dilakukan, macam-macam ritual agama, tata cara berdoa, dll. Misalnya:
14
shalat, puasa dan zakat bagi umat Islam, Misa bagi umat Katolik, serta dupa atau sesajen sebagai cara berdoa umat Hindu. Komitmen individu tergambar dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang diperintahkan agamanya serta frekuensi pelaksanaan
ritual tersebut.
Menurut Scobie (1975) tingkat ketaatan dalam melakukan ritual agama dalam kehidupan
sehari-hari
dapat
dijadikan
sebagai
ukuran
tinggi
rendahnya
komitmen beragama seseorang. 3. Dimensi Eksperiensial Dimensi ini berhubungan dengan keadaan emosional individu yang menggambarkan
kondisi mental
individu. Pengalaman
ini dialami
secara
subyektif seperti perasaan damai, ketenangan jiwa serta kedekatan dengan Tuhan. Kondisi ini dapat berfungsi motivasional misalnya perasaan kehilangan dapat membuat seseorang kembali ke agamanya dan mendekatkan diri pada Tuhannya. Individu yang religius akan merasakan kedamaian, ketentraman dan ketenangan batin. 4. Dimensi Intelektual Dimensi
ini merujuk pada pengetahuan
individu
mengenai
ajaran
agamanya meliputi pemahaman akan perintah utama dalam agamanya, larangan melakukan perbuatan tertentu, tata cara beribadah, serta hal-hal yang berkaitan dengan agamanya. Dimensi ini juga mencakup sikap individu (terbuka-tertutup)
15
terhadap pandangan yang bertentangan dengan apa yang diketahui tentang agamanya. Dimensi ini lebih meneliti tentang pemahaman individu tentang ajaran agamanya. Orang dengan pemahaman agama yang lebih tinggi memiliki komitmen beragama yang tinggi sebaliknya orang dengan pemahaman agama yang rendah memiliki komitmen beragama yang rendah. 5. Dimensi Konsekuensial Dimensi ini mencakup tentang pengaruh dari agama bagi seseorang terhadap kehidupan sehari-hari secara umum. Misalnya: Sikap terhadap orang lain, Kejujuran. Orang yang religius cenderung akan menghindari perilaku yang dianggap tidak baik oleh agamanya dan menjalankan apa yang telah diatur oleh agamanya berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.
16
2.2
Perkembangan Agama
2.2.1 Perkembangan Agama Pada Masa Kanak-Kanak Menurut Woodworth (dalam Jalaluddin,1996) bayi dilahirkan sudah memiliki beberapa insting diantaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak disebabkan karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting tersebut belum sempurna. Konsep keagamaan pada anak dipengaruhi oleh faktor yang ada di luar dirinya. Mereka melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan oleh orang dewasa disekitar mereka tentang sesuatu yang berhubungan tentang agama. Misalnya: seorang anak belajar tentang shalat dengan cara melihat dan mengikuti gerakan yang dilakukan orang tuanya. Ketaatan terhadap ajaran agama merupakan kebiasaan yang mereka pelajari dari orang dewasa yang ada disekitar mereka misalnya orang tua atau guru. Bagi mereka sangat mudah menerima ajaran dari orang dewasa walaupun mereka belum menyadari manfaat dari ajaran tersebut. Bentuk-bentuk dan sifat agama pada diri anak, antara lain: 1. Unreflective (tidak mendalam) Kebenaran yang diterima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang kurang masuk akal. Misal: Tuhan akan marah dengan makhluk yang nakal.
17
2.
Egosentris Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangan
dan
berkembang
sejalan
dengan
pertambahan
pengalamannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. 3. Antropomorphis Konsep mengenai Ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya saat
berhubungan
dengan
orang
lain. Konsep
yang
mereka
miliki
menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka tentang Tuhan sama dengan manusia. Misalnya: Tuhan berupa manusia besar memiliki wajah seperti manusia dengan telinga besar dan
berjenggot. Konsep
ke-Tuhanan
yang
dimiliki
berbeda-beda
dan
dibentuk berdasarkan fantasi mereka masing-masing. 4.
Verbalis dan Ritualis Kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh secara verbal. Mereka menghafal secara verbal kata atau kalimat yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan. Selain Itu ritual dilakukan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Latihan yang
18
bersifat verbalis dan upacara. Keagamaan yang bersifat riual merupakan hal yang berpengaruh pada perkembangan agama ditahap selanjutnya. 5.
Imitatif Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak diperoleh dari meniru perbuatan orang dewasa yang berada disekitarnya. Pendidikan keagamaan di masa dewasa (religious paedagogis) sangat mempengaruhi terwujudnya tingkah laku keagamaan (religious behavior) melalui sifat meniru yang dilakukan
6.
Rasa Heran Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan terakhir pada anak. Mereka kagum terhadap keindahan lahiriah dan membuat anak terdorong untuk mengenal sesuatu yang baru. Rasa kagum Itu dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub. Misalnya: cerita tentang kekuatan dewa yang dimiliki oleh umat Hindu membuat anak tertarik dan ingin mengenal tentang agamanya.
2.2.2 Perkembangan Agama Pada Masa Remaja Penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan jasmani dan rohaninya, Menurut Starbuck (dalam Jalaludin,1996) perkembangan
19
agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Faktor-faktor tersebut antara lain: a. Pertumbuhan pikiran dan mental Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanakkanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Agama yang ajarannya lebih konservatif lebih banyak berpengaruh pada para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya. Sebaliknya agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan ajarannya agamanya. b. Perkembangan perasaan Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan relijius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat ke arah hidup yang relijius pula. c. Pertimbangan sosial Corak keagamaan para remaja sosial. Dalam
kehidupan
juga ditandai oleh adanya pertimbangan
keagamaan
mereka
timbul
konflik
antara
pertimbangan moral dan material. Kehidupan duniawi yang bersifat materi
20
membuat mereka bingung untuk menentukan pilihan antara kehidupan keagamaan dan kehidupan dunia d. Perkembangan moral Perkembangan moral remaja bertitik
tolak dari rasa berdosa dan usaha
untuk mencari proteksi. e. Sikap dan minat Sikap dan minat remaja pada masalah keagamaan tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka. Pada Tahap ini muncul pada konflik keraguan diri mereka tentang ajaran agama yang mereka ketahui sebelumnya. Penyebab timbulnya keraguan tersebut menurut Starbuck (dalam Jalaludin, 1996) antara lain: 1. Kepribadian Hal ini dapat menyebabkan kesalah penafsiran tentang Tuhan. Seseorang dengan kepribadian Introvert, kegagalan mendapat pertolongan dari Tuhan saat dia mengalami kesulitan dapat menyebabkan salah tafsir dari sifat Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang. Misalnya: seseorang yang meminta penyembuhan terhadap keluarganya yang sedang sakit. Ketika keinginan tidak terkabul maka timbul keraguan akan sifat Tuhan mereka.
21
2. Jenis Kelamin Wanita lebih cepat matang dalam perkembangan agamanya dan lebih cepat menunjukkan keraguan daripada remaja pria. Keraguan remaja wanita lebih bersifat alami sedang remaja pria lebih bersifat intelek. 3.
Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama Berbagai lembaga keagamaan, organisasi dan aliran keagamaan kadang menimbulkan kesan adanya pertentangan dalam ajaran agamanya. Hal ini dapat menimbulkan keraguan pada diri remaja terutama berkaitan dengan penentuan ajaran mana yang paling benar. Selain itu tindak-tanduk pemuka agama
yang
tidak
sepenuhnya
menuruti
tuntunan
agama
akan
menimbulkan keraguan terhadap ajaran agamanya. 4. Kebiasaan Seseorang yang terbiasa akan suatu tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran ajaran agama yang baru diterima atau dilihatnya. 5. Pendidikan Dasar pengetahuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki berpengaruh pada sikap seseorang
terhadap ajaran agamanya. Remaja yang terpelajar akan
menjadi lebih kritis terhadap ajaran agamanya, terutama ajaran agama yang bersifat dogmatis. Demikian pula bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk menafsirkan ajaran agama yang dianut secara rasional.
22
2.3
Perkawinan Beda Agama
2.3.1 Definisi Perkawinan Beda Agama Perkawinan beda agama menurut Handrianto (dalam Hikmatunnisa dan Takwin, 2007) adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.(Mandra dan Artadi, 1988)
Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan perbedaannya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rozakis (2001), mendefinisikan perkawinan beda agama sebagai hubungan dimana pasangan memeluk agama atau kepercayaan yang berbeda. Yoeb (1988), mengartikan pernikahan beda agama sebagai suatu hubungan yang menyatukan dua orang yang berlainan agama Berdasarkan beberapa definisi tersebut, perkawinan beda agama adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanIta yang berbeda agama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.
23
2.3.2 Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Islam Di dalam Islam terdapat ayat yang menyatakan seorang pria muslim boleh mengawini ahlul kitab. Sebagai yang dinyatakan pada surat Al-Maidah ayat 5 : “Dan dihalakan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan, diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan adalah orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu. Bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik..” ( Al-Maidah : 5)
Namun menurut Amidhan (dalam Munir, 2008), ada dua pendapat para ulama menyangkut ahlul kitab.Pendapat menyatakan bahwa ahlul sudah tidak ada lagi sekarang ini. Sementara pendapat kedua menyebut bahwa ahlul kitab adalah wanita penganut Nasrani dan Yahudi dan mereka boleh nikahi pria muslim. Amidhan sendiri justru menyerukan menghindari pernikahan beda agama dengan alasa selain bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, juga dikhawatirkan menimbulkan pergeseran makna menurut ajaran Islam. Sementara itu Rusli dan Tama (dalam Paramita, 2002) menjelaskan agama Islam memandang perkawinan beda agama sebagai berikut : 1.
Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang yang beragama menyembah berhala,politeisme,agama yang tidak memiliki kitab suci dan kaum atheis.
2.
Melarang perkawinan antara wanita islam dengan pria non islam
3.
Mengenai perkawinan antara laki-laki islam dengan wanita bukan islam yang ahli kitab, terdapat tiga macam pendapatan : melarang secara
24
mutlak,memperkenan secara mutlak dan memperkenankan dengan syarat, yaitu bila pria muslim kuat imannya Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan dalam agama Islam perkawinan satu agama adalah yang dianjurkan, namum bagi pria muslim (walaupun terdapat berbagai pendapat), diperkenankan melakukan perkawinan beda agama dengan wanita ahlul kitab, sedangkan wanita muslim tidak diperkenan untuk melakukan perkawinan beda agama. Meskipun demikian perkawinan dengan pihak non muslin tetap dipertentangkan dan tidak disukai.
2.3.3 Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Kristen Katolik Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu perbedaan agama. Gereja Katolik menganggap bahwa perkawinan antar individu yang beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik, dan tidak dilakukan menurut hukum Agama Katolik dianggap tidak sah. Disamping itu, perkawinan antara seseorang yang beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik bukanlah merupakan perkawinan yang ideal. Hal ini dapat dimengerti karena Agama Katolik memandang perkawinan sebagai sakramen sedangkan agama lainnya (kecuali Hindu) tidak demikian karena itu Katolik menganjurkan agar pengahutnya kawin dengan orang yang beragama Katolik. (Munir,2008).
25
2.3.4 Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Protestan Pada prinsipnya agama Kristen Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Dalam hal terjadi perkawinan antara seseorang yang beragma Protestan dengan pihak yang menganut agama lain, menurut Pdt. Dr. Fridolin Ukur (1987), maka mereka dianjurkan untuk menikah secara sipil di mana kedua belah pihak tetap menganut agama masing-masing. Kepada mereka diadakan pengembalaan khusus, pada umumnya gereja tidak memberkati perkawinan mereka Ada gereja-gereja tertentu yang memberkati perkawinan campur ini beda agama ini, setelah pihak yang bukan protestan membuat pernyataan bahwa ia bersedia ikut agama Protestan. Keterbukaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa pasangan yang tidak seiman itu dikuduskan oleh suami atau isteri yang beriman. Ada pula gereja tertentu yang bukan hanya tidak memberkati, malah anggota gereja yang kawin dengan orang yang tidak seagama itu dikeluarkan dari gereja. (Munir,2008).
2.3.5 Perkawinan Beda Agama menurut Agama Hindu Perkawinan orang yang beragama Hindu yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan. Menurut Pudja (1975), suatu perkawinan batal karena tidak memenuhi syarat bila perkawinan Itu dilakukan menurut Hukum Hindu tetapi tidak memenuhi
26
syarat untuk pengesahannya, misalnya mereka tidak menganut agama yang sama pada saat upacara perkawinan itu dilakukan, atau dalam hal perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan menurut hukum agama Hindu. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mensahkan suatu perkawinan menurut agama Hindu, harus dilakukan oleh Pedande/Pendeta yang memenuhi syarat untuk Itu. Di samping Itu tampak bahwa dalam hukum perkawinan Hindu tidak dibenarkan adanya perkawinan antar penganut agama Hindu dan bukan Hindu yang disahkan oleh Pedande. Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan antar agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan, hal ini melanggar ketentuan dalam Seloka V89 kitab Manawadharmasastra, yang berbunyi: “Air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggal bunuh diri”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan antar agama dimana salah satu calon mempelai beragama Hindu tidak boleh dan pendande/Pendeta akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut. (Munir,2008).
27
2.3.6 Perkawinan Beda Agama Menurut Agama Budha Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka yang merupakan dewa-dewa umat Budha. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain. Akan tetapi kalau penganut agama lainnya maka harus dilakukan menurut agama Budha. Di samping Itu, dalam upacara perkawinan Itu kedua mempelai diwajibkan untuk mengucapkan atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak langsug berarti bahwa calon mempelai yang tidak beragama Budha menjadi penganut agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya menundukkan diri pada kaidah agama Budha pada saat perkawinan itu dilangsungkan. Untuk menghadapi praktek perkawinan yang demikian mungkin bagi calon mempelai yang tidak beragama Budha akan merasa keberatan. (Munir,2008)
28
2.4
Fungsi Perkawinan
Menurut Soewondo (2001), fungsi dari perkawinan, yaitu: a. Memberikan dan meneruskan afeksi antara suami, istri, dan generalisasi berikut dengan cinta dan kasih sayang sebagai produknya. b. Menyediakan rasa aman dan rasa dIterima agar hidup berarti dan berharga c. Menunjukkan pencapaian kebutuhan-kebutuhan untuk seluruh anggota. d. Memberikan kepuasan fisik, seksual, maupun kepuasan psikis e. Memberikan jaminan kontinuItas persahabatan f. Menyediakan status social dan kesempatan bersosialisasi
2.5
Bentuk Perkawinan Beda Agama Menurut Duvall dan Miller (1985), bentuk-bentuk yang terjadi dalam pernikahan
beda agama:
a. Satu pihak berasal dari salah satu jenis agama tertentu dan yang satu berasal dari salah satu jenis agama tertentu dan pihak lainya berasal dari suatu kepercayaan Etis Non-Teologis, misalnya antara Katolik dengan seorang Humanis. b. Kedua pihak memeluk agama yang bertolak belakang, satu agama yang berasal dari belahan bumi Barat dan yang satu lagi berasal dari belahan bumi bagian Timur, seperti antara pemeluk Agama Kristen dengan pemeluk agama Taoisme, Hindu, atau Budha.
29
c. Kedua pihak memeluk agama yang berbeda, namun mempunyai sedikit banyak persamaan. Agama-agama ini termasuk dalam agama ahli kitab, seperti antar pemeluk Agama Islam, Kristen, dan Yahudi. d. Kedua pihak pemeluk agama yang berbeda, namun merupakan pembagian besar dari satu agama yang sama, seperti antara pemeluk agama Kristen Protestan dengan Katolik 2.6.
Alasan Yang Mendorong Perkawinan Beda Agama Menurut Blood dan Duval (1964) alasan yang mendorong seseorang
melakukan perkawinan beda agama antara lain: a. Kecocokan pada hal-hal lain Sebagian besar pernikahan beda agama terjadi karena masing-masing pihak memiliki kesamaan nilai atau minat dan dapat saling memenuhi kebutuhan pasangannya. Pasangan ini biasanya memiliki persamaan dalam aspek-aspek lain diluar agama, misalnya; latar belakang keluarga, pendidikan, usia, status ekonomi, dan etnik. Kesamaan latar belakang ini menyediakan dasar bagi mereka untuk mengatasi stress atau tekanan yang timbul karena perbedaan agama. Kesamaan diantara mereka menjadi sangat penting sehingga isu seperti perbedaan agama tidak dipermasalahkan. Terkadang pasangan yang berbeda agama ini, dengan segala persamaan dan kecocokannya, dirasakan sebagai pilihan yang terbaik.
30
b. Pemberontakan Seseorang
dapat
melakukan
pernikahan
beda
agama
sebagai
bentuk
pemberontakan. Misalnya, kepada orang tua dan keluarga yang terlalu mengekang. Mereka berusaha keluar atau menunjukan keberatan mereka atas kekangan tersebut dengan cara melakukan perkawinan di luar harapan orang tua dan keluarganya. c. Pencapaian tujuan pribadi Perkawinan beda agama dapat pula dilakukan untuk mencapai tujuan pribadi tertentu, misalnya untuk mencapai status sosial yang lebih tinggi. Dengan motif ini, individu tidak mempedulikan agama calon pasangannya dengan harapan naiknya status sosial atau diperolehnya tujuan lain setelah pernikahan. d. Menikah terpaksa Seseorang dapat melakukan pernikahan beda agama karena terpaksa melakukannya, seperti seseorang yang terpaksa menikah karena hamil diluar nikah. Dengan keadaan yang terpaksa ini seseorang tidak mempedulikan atau terpaksa mengesampingkan agama yang dipeluk pasangannya. Perkawinan beda agama dapat juga terjadi karena hanya ini kesempatan menikah yang dapat dilakukan oleh seseorang. . 2.7. Faktor-faktor Yang Mendorong Perkawinan Beda Agama Faktor-faktor yang mendorong perkawinan beda agama menurut Walgito (2002), antara lain:
31
a. Kenyataan di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen, yang terdiri dari bermacam macam suku bangsa, juga adanya agama yang beranekaragam di Indonesia. Hal ini akan sangat berpengaruh dalam pergaulan sehari-hari, dalam kehidupan bermasyarakat, bergaul begitu erat dan tidak membedakan agama satu dengan yang lain. b. Dengan majunya zaman, makin banyak anggota masyarakat yang dapat menikmati pendidikan, dan makin banyak sekolah yang menggunakan system campuran, misalnya campuran dalam hal agama, yang berarti tidak adanya batasan agama tertentu. c. Makin terasa usang terhadap pendapat bahwa keluarga mempunyai peranan penentu dalam
pemilihan calon pasangan bagi anak-anaknya, bahwa
merekaharus menikah dengan orang yang mempunyai agama yang sama. d. Makin meningkatnya pendapat bahwa adanya kebebasan memilih calon pasangannya, dan pemilihan tersebut berdasarkan atas cinta. Jika cinta telah mendasarinya dalam hubungan seorang pria dan seorang wanita, tidak jarang pertimbangan secara matang, juga termasuk menyangkut agama, kurang dapat berperan. e. Dengan meningkatnya hubungan anak-anak muda indonesia dengan anak anak muda dari manca negara, sebagai akibat globalisasi dengan berbagai macam bangsa, kebudayaan, agama serta latar belakang yang berbeda; hal tersebut akan sedikit atau banyak ikut menjadi pendorong atau melatar belakangi terjadinya
32
pernikahan beda agama. Sehingga bagi anak-anak muda menikah dengan agama yang berbeda-beda seakan-akan sudah tidak menjadi masalah lagi.
2.8
Masalah-masalah Perkawinan Beda Agama Latar
belakang
agama
merupakan
bagian
penting
dalam
diri
seseorang.Tertanam sejak kelahiran, agama membentuk cara pandang dan nilai seseorang.
Perbedaan
agama
dengan
pasangan
dalam
perkawinan
dapat
menimbulkan banyak permasalahan (Rozakis, 2001). Perbedaan tersebut dapat menyebabkan perbedaan pandangan menyangkut berbagai isu dalam kehidupan pernikahan (Yoeb, 1998). Menurut beberapa ahli masalah-masalah yang dapat timbul akibat perbedaan agama dengan pasangan dalam sebuah perkawinan beda agama adalah sebagai berikut: a. Hubungan dengan Keluarga Tak jarang pihak keluarga menganggap pasangan suami istri ini melakukan pelanggaran terhadap tradisi yang ada dan telah mempermalukan keberadaan keluarga. Sebagian besar keluarga menginginkan keturunannya untuk menikah dengan pasangan yang satu agama. Kenyataan bahwa perkawinan yang mereka lakukan adalah perkawinan beda agama, tentunya menghadirkan permasalahan tersendiri. Rusaknya hubungan dengan pihak keluarga mewarnai kehidupan banyak pasangan perkawinan suami istri tersebut (Bossard, 1957; Rosenbaum, 1999; Rozakis 2001). Faktor penerimaan dari pihak keluarga dan orang tua
33
mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan perkawinan beda agama (Rosenbau dan Rosenbaum, 1999). b. Pelaksanaan ibadah Masing-masing agama mempunyai tata cara sendiri dalam pelaksanaan ibadahnya. Tak jarang, perbedaan tata cara ini menimbulkan permasalahan di antara pasangan. Dibutuhkan toleransi yang sangat besar untuk membiasakan diri dengan perilaku ibadah yang berbeda dari yang biasa dilakukan seseorang. Masalah juga timbul ketika hari raya tiba, perbedaan agama pasangan dapat menimbulkan masalah dalam perayaan hari raya masingmasing pihak. Hal-hal kecil seperti perjamuan hari raya, dan makanan hari raya dapat mendatangkan masalah di antara pasangan (Bossard, 1957;Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). c. Anak Keberadaan seorang anak membawa permasalahan yang cukup berat bagi pasangan. Masalah-masalah yang dapat muncul antara lain: bagaimana upacara kelahiran anak (adzan, sunat, atau pembaptisan), nama anak, agama anak, pendidikan dan pendalaman agama anak, sekolah anak, dan lain-lain.Masalah berkaitan dengan anak ini, menurut Cowan dan Cowan (1987), akan semakin terasa ketika anak mulai dapat berbicara dan menayakan identitasnya (Bossard, 1957; Rosenbaum, 1999; Rozakis, 2001). Masalah yang menyangkut anak merupakan masalah yang cukup serius dalam perkawinan beda agama. Pasangan suami istri mungkin telah mempunyai kesepakatan tertentu menyangkut anak, namun pihak lain diluar pasangan,
34
seperti orang tua dan keluarga, dapat memberi tekanan tertentu kepada pasangan. Orang tua, misalnya tidak menyetujui kesepakatan yang telah dibuat pasangan menyangkut agama anak, dan hal ini tentunya menimbulkan permasalahan tersendiri di antara pasangan. Perkawinan beda agama selain membawa masalah bagi pasangan juga dapat mendatangkanmasalah bagi anak dari perkawinan beda agama tersebut (Landis, 1970) d.
Seksualitas Perbedaan agama dapat pula menimbulkan masalah sekitar kehidupan seksual pasangan. Permasalahan yang dapat timbul antara lain menyangkut tujuan hubungan seksual, isu kontrasepsi, aborsi, dan lain-lain (Rosenbaum.1999 dan Rozakis, 2001). Masalah dapat timbul apabila pasangan, akibat perbedaan agama, mempunyai pandangan yang berbeda akan tujuan seksual. Menurut Rozakis (2001) agama Kristen memandang hubungan seksual sebagai ekspresi cinta kedua pasangan dan tidak selalu bertujuan untuk mendapatkan keturunan. Agama Islam, sebagai contoh menganjurkan pemeluknya untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya dan hubungan seksual lebih ditunjukan untuk memperoleh keturunan. Oleh sebab itu kenikmatan yang dirasakan pasangan suami istri bukanlah hal yang dianggap penting. Perlu dipahami, pandangan seperti ini menyangkut hubungan seksual tidak dimiliki oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan.
35
e.
Kehidupan sehari-hari Perbedaan agama dapat pula menimbulkan masalah sekitar makanan, pakaian, pemilihan aktivitas rekreasi, pemilihan kata-kata, dan humor yang dilontarkan di antara pasangan (Rosenbaum, 1999 dan Rozakis, 2001). Agama Islam contohnya tidak memperkenankan pemeluknya mengkonsumsi makanan yang berasal dari daging babi atau hewan lain yang hidup pada dua alam. Hal seperti ini membutuhkan toleransi di antara pasangan sehingga diantara mereka terdapat saling pengertian.
f.
Menghadapi masa sulit Perbedaan agama dapat menimbulkan permasalahan ketika pasangan sedang menghadapi musibah dan kesulitan tak jarang seseorang berpaling keTuhan dan agamanya. Berbedanya tempat berpaling antara suami dan istri di saat sulit dapat mendatangkan masalah. Sebagai contoh, pasangan dapat mempunyai keinginan untuk melakukan doa bersama dalam menghadapi sebuah kesulitan (Rosenbaum, 1999).
2.9 Beberapa Bentuk Pengaturan Peran Dalam Keluarga Beda Agama Menurut Bossard dan Boll (1957) pengaturan peran dalam keluarga beda agama memiliki pola-pola yang berkaitan
dengan sosialisasi agama pada
anak.Beberapa pola tersebut antara lain:
36
1. ‘Pengambilalihan’ anak oleh salah satu pihak orang
tua. Hal ini dapat
menimbulkan simpati pada anak kepada pihak yang lemah termasuk dalam hal pemilihan agama. 2. Kedua orang tua cenderung tidak tertarik terhadap pilihan agama
yang
dibuat anak. Hal ini dapat menyebabkan tekanan yang muncul dari pihak keluarga besar terhadap penentuan agama bagi anak. 3. Pembagian anak dengan perjanjian sebelum perkawinan dilakukan. Misalnya: Anak laki-laki akan ikut agama ayahnya dan anak perempuan akan ikut ajaran agama ibu. 4. Kedua orang tua berusaha ‘menarik’ anak-anaknya untuk memilih agama yang sama dengan dirinya. Hal ini dapat menimbulkan konflik dalam diri anak saat harus menentukan pilihan agamanya. 5. Orang tua tidak menunjukkan identitasnya sebagai bagian agama tertentu dan memberikan kebebasan pada anak-anak untuk menentukan pilihan agamanyanya. Misalnya: anak diperbolehkan untuk mendatangi tempattempat keagamaan dan melakukan ritual keagamaan yang mereka inginkan.. 6. Orang
tua tidak terlalu ikut campur dalam masalah agama anak namun
memegang
kendali
dalam
beberapa
aspek
kehidupan
anak
misalnya:
pendidikan
37