BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja 1. Pengertian remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata lain adolecere (kata belanda, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istiliah adosecence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, spasial dan fisik (Hurlock dalam Sarwono, 2011). Hurlock dalam (Sarwono, 2011) juga menjelaskan bahwa berdasarkan usia adalah antara 13-18 tahun. Masa ini dibagi menjadi usia 13-16 tahun sebagai masa remaja awal dan usia 16-18 tahun disebut sebagai masa remaja akhir. 2. Ciri-ciri remaja Hurlock (2000) menyebutkan bahwa remaja memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Masa remaja sebagai periode yang penting Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya, dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.
7
8
c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat. Perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih tetap penting bagi remaja, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing
dan
mengawasi
kehidupan
remaja
muda
takut
bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagai apa adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistic cita-citanya maka ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.
9
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks, mereka mengganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan. 3. Perkembangan Remaja Setiap tahap usia manusia pasti ada tugas-tugas perkembangan yang harus dilalui. Perkembangan remaja meliputi perkembangan fisik, sosial, emosi, moral dan kepribadian (Monks, dkk, 2007). a. Perkembangan fisik remaja Seperti pada semua usia, dalam perubahan fisik juga terdapat perbedaan individual. Perbedaan seks sangat jelas. Meskipun anak laki-laki memulai pertumbuhan pesatnya lebih lambat daripada anak perempuan. Hal ini menyebabkan pada saat matang anak laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Setelah masa puber, kekuatan anak laki-laki melebihi kekuatan anak perempuan. Perbedaan individual juga dipengaruhi oleh usia kematangan. Anak yang matangnya terlambat cenderung mempunyai bahu yang lebih lebar dari pada anak yang matang lebih awal (Monks, dkk. 2007). Perubahan-perubahan
fisik
pada
remaja
yang
terbesar
pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi makin panjang dan tinggi), mulai berfungsi alatalat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono, 2011). b. Perkembangan sosial Salah satu tugas perkembangan remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus
10
menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah (Monks, dkk. 2007). Upaya untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Hal yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilainilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin (Monks, dkk. 2007). c. Perkembangan emosi Masa remaja ini biasa juga dinyatakan sebagai periode “badai dan tekanan”, yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya perubahan emosi ini dikarenakan adanya tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru. Pada masa ini remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, atau dengan suara keras mengritik orang-orang yang menyebabkan amarah. d. Perkembangan moral Pada perkembangan moral ini remaja telah dapat mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok daripadanya kemudian mau membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak (Monks, dkk. 2007). Pada tahap ini remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya (Monks, dkk. 2007).
11
e. Perkembangan kepribadian Pada masa remaja, anak laki-laki dan anak perempuan sudah menyadari sifat-sifat yang baik dan yang buruk, dan mereka menilai sifat-sifat ini sesuai dengan sifat teman-teman mereka. Mereka juga sadar akan peran kepribadian dalam hubungan-hubungan sosial dan oleh karenanya terdorong untuk memperbaiki kepribadian mereka (Monks, dkk. 2007). Banyak remaja menggunakan standar kelompok sebagai dasar konsep mereka mengenai kepribadian “ideal”. Tidak banyak yang merasa dapat mencapai gambaran yang ideal ini dan mereka yang tidak berhasil ingin mengubah kepribadian mereka (Monks, dkk. 2007).
B. Perilaku menyimpang remaja 1. Pengertian Perilaku menyimpang adalah hal yang cukup sulit dilakukan. Hal ini karena
sangat
tergantung
dari
bentuk
penyimpangannya
seperti
penyimpangan terhadap peraturan orang tua, penyimpangan terhadap tata krama, atau penyimpangan terhadap hukum. Gold dan Petronio (dalam Sarwono, 2011) mendefinisikan salah satu bentuk penyimpangan sebagai kenakaan remaja. Kenakalan remaja ini merupakan tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya tidak sempat diketahui oleh petugas hukum maka dirinya dapat dikenai hukuman. Sarwono (2011) mendefinisikan perilaku menyimpang remaja merupakan tingkah laku yang menyimpang dari norma agama, etika, peraturan sekolah dan keluarga, namun jika penyimpangan tersebut terjadi terhadap norma-norma hukum pidana baru disebut kenakalan.
12
2. Jenis-jenis kenakalan remaja Kenakalan remaja merupakan perilaku yang menyimpang dari kebiasaan atau melanggar hukum. Jensen (1985 dalam Sarwono, 2011) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis, yaitu : a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain. b. Kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain. c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat. d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. 3. Pencegahan perilaku menyimpang Dalam menghadapi remaja, ada beberapa hal yang harus diingat yaitu bahwa remaja adalah jiwa yang penuh gejolak dan bahwa lingkungan sosial remaja juga ditandai dengan perubahan sosial yang cepat yang menyebabkakan kesimpangsiuran norma. Upaya untuk mengurangi benturan berbagai gejolak itu dan memberi kesempatan agar remaja dapat mengembangkan dirinya secara lebih optimal, perlu diciptakan kondisi lingkungan terdekat yang stabil mungkin, khususnya lingkungan keluarga (Sarwono, 2011). Keadaan keluarga yang ditandai dengan hubungan suami istri yang harmonis akan lebih menjamin remaja untuk dapat melewati masa transisinya dengan mulus. Kondisi dalam keluarga dengan adanya orang tua dan saudara-saudara akan lebih menjamin kesejahteraan jiwa remaja daripaa asrama atau lembaga pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal tersebut maka tindakan pencegahan yang paling utama adalah berusaha menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga sebaik mungkin.
13
Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa setiap remaja adalah unik. Kebiasaan menyamaratakan remaja dengan saudara-saudaranya sering kali bukan tindakan yang bijaksana karena justru akan menimbulkan rasa iri hati pada remaja (Sarwono, 2011). Di samping factor keluarga, pengembangan pribadi remaja yang optimal juga perlu diusahakan melalui pendidikan, khususnya sekolah. Pendidikan yang pada hakikatnya merupakan proses pengalihan norma-norma, jika dilakukan dengan sebaikbaiknya sejak usia dini, akan diserap dan dijadikan tolok ukur yang mapan pada saat anak memasuki usia remaja, dengan kata lain remaja yang sejak usia dini sudah dididik sedemikian rupa sehingga dirinya mempunyai nilai-nilai yang mantap dalam jiwanya, akan berkurang gejolak jiwanya sehingga akan bisa menghadapi gejolak di luar dirinya dengan lebih tenang (Sarwono, 2011). 4. Penanganan terhadap perilaku menyimpang remaja Roggers (dalam Sarwono, 2011) menyebutkan ada lima ketentuan yang akan dipenuhi untuk membantu remaja, yaitu : a. Kepercayaan, yaitu remaja harus mampu percaya kepada orang yang mau membantunya. Dirinya harus yakin bahwa penolong ini tidak akan membohonginya dan bahwa kata-akata penolong ini memang benar adanya. Berkaitan dengan hal ini, seringkali Tenaga professional lebih baik untuk menanganinya dari pada orang tua atau guru sendiri karena remaja yang bersangkutan sudah terlanjur mempunyai penilaian tertentu kepada orang tua atau gurunya sehingga apa pun yang dilakukan orang tua atau guru tidak akan dipercaya. b. Kemurnian hati. Remaja harus merasa bahwa penolong itu sungguhsungguh mau membantunya tanpa syarat. Remaja tidak suka kalau orang tua misalnya mengatakan “pelajaranmu itu kan penting, utamakan dulu pelajaranmu nanti yang lainnya mama yang bantu. Inikan buat kepentinganmu sendiri”. Bagi remaja yang terpenting kalau mau membantu tinggal dibantu saja tanpa ada penambahan halhal yang lain.
14
c. Kemampuan mengerti dan menghayati perasaan remaja. Posisi yang berbeda antara remaja dengan orang dewasa menyebabkan kesulitan bagi orang dewasa untuk berempati kepada remaja, karena setiap orang akan cenderung untuk melihatsegala persoalan dari sudut pandangnya sendiri. d. Kejujuran.
Remaja
menyampaikan
apa
mengharapkan adanya
kejujuran
termasuk
hal-hal
penolongnya yang
kurang
menyenangkan. e. Mengutamakan persepsi remaja sendiri. Remaja akan memandang segala sesuatu berdasarkan sudut pandangnya sendiri, terlepas dari kenyataan atau pandangan orang lain yang ada, pandangan remaja sendiri itulah yang merupakan kenyataan dan dirinya dapat berkreasi terhadap hal tersebut. 5. Faktor yang menyebabkan perilaku menyimpang Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan penyimpangan adalah (Sarwono, 2011) a. Pilhan yang rasional (Rational choice). Teori ini mengutamakan faktor individu dari pada faktor lingkungan. Kenakalan yang dilakukannya adalah
atas pilihan, interes, motivasi atau kemauannya sendiri. Di
Indonesia banyak yang percaya pada teori ini, misalnya kenakalan remaja dianggap sebagai kurang iman sehingga anak dikirim ke pesantren kilat atau dimasukkan ke sekolah agama, yang lain menganggap remaja yang nakal kurang disiplin sehingga diberi latihan kemiliteran. b. Ketidakteraturan social (Social disorganization). Kaum positivis pada umumnya lebih mengutamakan faktor budaya. Permasalahan yang menyebabkan
kenakalan
remaja
adalah
berkurangnya
atau
menghilangnya pranata-pranata masyarakat yang selama ini menjaga keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat. Orang tua yang sibuk dan
guru
yang
kelebihan
beban
merupakan
penyebab
dari
berkurangnya fungsi keluarga dan sekolah sebagai pranata kontrol.
15
Peran orang tua yang diwujudkan dalam pemilihan pola pengasuhan akan dapat menempatkan remaja untuk kembali kepada norma yang berlaku. Berdasarkan hal tersebut maka pola asuh orang tua menjadi penentu bagi remaja untuk tetap berada pada pranata social yang ada dalam masyarakat. Orang tua menjadi pembimbing, pemberi nasehat sekaligus dapat menjadi teman bagi kaum remaja sehingga kaum remaja dapat memahami keberadaannya didalam masyarakat tidak dapat berlaku dan bertindah sesukanya namun harus tetap pada aturan yang ada. c. Tekanan (Strain). Teori ini dikemukakan oleh Merton yang intinya adalah bahwa tekanan yang besar dalam masyarakat, misalnya kemiskinan, menyebabkan sebagian dari anggota masyarakat yang memilih jalan rebellion melakukan kejahatan atau kenakalan remaja. d. Salah pergaulan (Differential association). Menurut teori ini, kenakalan remaja adalah akibat salah pergaulan. Anak-anak nakal karena bergaulnya dengan anak-anak yang nakal juga. Paham ini banyak dianut orang tua di Indonesia, yang sering kali melarang anak-anaknya untuk bergaul dengan teman-teman yang dianggap nakal, dan menyuruh anak-anaknya untuk berkawan dengan teman-teman yang pandai dan rajin belajar. e. Labelling: Ada pendapat yang menyatakan bahwa anak nakal selalu dianggap atau dicap (diberi label) nakal Di Indonesia, banyak orang tua (khususnya ibu-ibu) yang ingin berbasabasi dengan tamunya, sehingga ketika anaknya muncul di ruang tamu, kemudian mengatakan pada tamunya, "Ini loh, mbakyu, anak sulung saya. Badannya saja yang tinggi, tetapi nakaaalnya bukan main". Hal ini kalau terlalu sering dilakukan, maka anak akan jadi betul-betul nakal. f. Male phenomenon: Teori ini percaya bahwa anak laki-laki lebih nakal daripada perempuan. Alasannya karena kenakalan memang adalah
16
sifat laki-laki atau karena budaya maskulinitas menyatakan bahwa wajar kalau laki-laki nakal.
C. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Pola asuh orang tua dapat diartikan sebagai interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pangasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat (Baumrind dalam Ignatius, 2008). Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dari segi negative maupun positif (Drey, 2006). Gaya pola asuh adalah kumpulan dari sikap, praktek dan ekspresi nonverbal orangtua yang bercirikan kealamian dari interaksi orangtua kepada anak sepanjang situasi yang berkembang. Gaya konseptual pola asuh Baumrind didasarkan pada pendekatan tipologis pada studi praktek sosialisasi keluarga. Pendekatan ini berfokus pada konfigurasi dari praktek pola asuh yang berbeda dan asumsi bahwa akibat dari salah satu praktek tersebut tergantung sebagian pada pengaturan kesemuanya. Variasi dari konfigurasi elemen utama pola asuh (seperti kehangatan, keterlibatan, tuntutan kematangan, dan supervisi) menghasilkan variasi dalam bagaimana seorang anak merespon pengaruh orangtua. Berdasarkan perspektif ini, gaya pola asuh dipandang sebagai karakteristik orang tua yang membedakan keefektifan dari praktek sosialisasi keluarga dan penerimaan anak pada praktek tersebut (Ignatius, 2008). Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak
17
menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Kaitan pola asuh dengan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh remaja adalah akibat kesalahan dari pemilihan pola asuh seperti perhatian yang rendah, serta komunikasi yang tidak lancar dari remaja dengan orangtuanya. 2. Tipe- tipe Pola Asuh Orang Tua Terdapat tiga macam jenis pola asuh orang tua yang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial remaja antara lain (Baumrind dalam Ignatius, 2008): a. Pola asuh autoritarian atau pola asuh otoriter Adalah gaya pola asuh orang tua yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat otoriter membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan otoriter ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang cakap. Remaja dengan orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter biasanya seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai sesuatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah. Kelebihan dari penerapan pola asuh ini sekilas anak akan nampak patuh dan menurut dengan orangtua.
b.
Pola asuh autoritatif (demokratis) Dimana pola asuh tersebut mendorong untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan- tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung secara
18
dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja. Pengasuhan dengan sistem demokratis berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten. Remaja dengan pola asuh ini akan mmempunyai kesadaran diri dan tanggung jawab sosial yang cukup tinggi. c. Pola asuh permisif Pola asuh permisif ini dapat dibedakan menjadi dua macam : 1) Pola
asuh
permisif
tidak
peduli
(Premissive-indiifferent
parenting) adalah suatu pola di mana orang tua tidak mau ikut campur dalam kehidupan remaja. Remaja sangat membutuhkan perhatian orang tua mereka, orang tua yang menerapkan pola asuh ini mendapat kesan bahwa aspek lain dari kehidupan orang tua lebih penting daripada anaknya. Remaja dengan pola asuh permisif
biasanya
tidak
cakap
secara
sosial,
mereka
menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik. 2) Pola asuh permisif dalam bentuk memanjakan (permissiveindulgent parenting) adalah suatu pola asuh dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permissife-memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kekurangannya dalam mengendalikan diri. Bagi remaja yang berkepribadian
baik
ada
kemungkinan
anak
dapat
mengembangkan diri dengan baik. Pola asuh ini mengizinkan remaja melakukan apa yang mereka inginkan dan akibatnya adalah remaja tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku remaja sendiri, dan selalu berharap mereka bisa
mendapat
semua
keinginannya.
Beberapa
orang
tua
memperlakukan anak remaja mereka secara demikian, karena mereka percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit batasan akan menghasilkan remaja yang kreatif dan percaya diri.
19
Kesalahan
pemilihan
penerapan
pola
asuh
yang
dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku pada remaja adalah bentuk pola asuh otoriter dan permisif. 3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalah : a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat berpengaruh dalam mengasuh anak. b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola–pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara–cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan–kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Pola–pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima di masyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar, 2000).
20
D. Kerangka Teori Rational choice (Pilihan yang rasional) Social disorganization (Ketidakteraturan sosial) -pola asuh Perilaku menyimpang remaja
Strain (Tekanan)
Differential association (Salah pergaulan)
Labelling (Pelabelan)
Male phenomenon (Fenomena jenis kelamin laki-laki) Gambar 1. Kerangka teori Sumber : Sarwono (2011)
E. Kerangka Konsep Variabel bebas
Variabel terikat
Pola asuh orang tua
Perilaku menyimpang remaja
Gambar 2 Kerangka Konsep
21
F. Variabel Penelitian 1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua 2. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah perilaku menyimpang remaja
G. Hipotesis Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan perilaku menyimpang remaja di Desa Balerejo Kecamatan Dempet Kabupaten Demak..