BAB II TINJAUAN PUSTAKA Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya, konsentrasi analisis pada paradigma konstruksionis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2002). Dimana paradigma ini memandang bahwa realitas yang ada bukan secara natural, melainkan hasil dari konstruksi. Analisa framing ini juga dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media. 2.1 Analisis Framing Menurut Eriyanto (2002) ada beberapa definisi mengenai framing yang disampaikan oleh beberapa ahli yang berbeda, yaitu : 1. Robert N. Entman : Framing merupakan proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasiinformasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain. 2. William A. Gamson : Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam suatu kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesanpesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima. 3. Tood Gitlin : Strategio bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak 1
menonjol dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. 4. David E. Snow and Robert Benford : pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu. 5. Amy Binder : Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks kedalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa. 6. Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki : Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dakam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita. Meskipun berbeda dalam penekanan dan pengertian, ada titik singgung utama dari definisi tersebut. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Framing adalah sebuah cara bagaimana peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara berita tertentu dari suatu realitas/peristiwa (Eriyanto, 2008). Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang tersebutlah yang pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa kemana berita tersebut. Dalam penelitian mengenai kasus Quick Count pilpres 2014 ini peneliti menggunakan analisis framing dari konsep William A. Gamson, karena konsep dari William A. Gamson dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana masing-masing media
2
televisi yaitu TV One, Kompas TV, dan Metro TV membingkai berita mengenai quick count. William A. Gamson adalah salah satu ahli yang paling banyak menulis mengenai framing. Gagasan Gamson terutama menghubungkan wacana media di satu sisi dengan pendapat umum di sisi yang lain. Dalam pandangan Gamson wacana media adalah elemen yang penting untuk memahami dan mengerti pendapat umum yang berkembang atas suatu isu atau peristiwa. Pendapat umum tidak cukup kalau hanya didasarkan pada data survei khalayak. Data-data itu perlu dihubungkan dan diperbandingkan dengan bagaimana media mengemas dan menyajikan suatu isu. Sebab, bagaimana media menyajikan suatu isu itu menentukan bagaimana khalayak memahami dan mengerti suatu isu. Baik pendapat umum maupun wacana media mempunyai hubungan yang paralel. Perubahan dalam pendapat umum, mempengaruhi pendapat umum. Setiap sistem berinteraksi antara satu dengan lainnya; wacana media adalah saluran individu mengkonstruksi makna, dan pendapat umum adalah bagian dari proses melalui mana wartawan dan pekerja media membangun dan mengkonstruksi realitas yang yang disajikannya ke dalam berita. Media dalam perpektif ini memainkan peranan dan fungsi yang kompleks. Perhatian Gamson terutama pada studi mengenai gerakan sosial yang mau tidak mau menyinggung studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Frame menunjuk pada skema pemahaman individu sehingga seseorang dapat menempatkan, mempersepsi, mengidentifikasi, dan memberi label peristiwa dalam pemahaman tertentu. Dalam suatu peristiwa frame berperan dalam mengorganisasi pengalaman dan petunjuk tindakan, baik secara individu maupun kolektif. Gamson membentuk perpektif teori framing dan penjelasannya mengenai bagaimana berita memiliki pengaruh dalam dunia sosial. Gamson berpendapat bahwa framing dalam banyak peristiwa sisial sangat dipertentangkan. Oleh karena itu, kerangka yang digunakan dalam diskursus publik dikembangkan dan dipromosikan oleh individu atau kelompok yang berkepentingan dalam menguatkan sudut pandang tertentu dibanding sudut pandang yang lain di dalam dunia sosial. Gamson menyatakan bahwa lembaga sosial dan elita yang memimpinnya mampu mendominasi dunia sosial dengan memaksakan frame yang mendukung kepentingan mereka. 3
Struktur framing model William A. Gamson didasari konstruksionis yang terlihat representatif media berita dan artikel, terdiri atas package interpretative yang mengandung konstruksi makna tertentu. Dalam package mempunyai dua unsur, yaitu gagasan sentral (core frame) dan simbol yang dimanfaatkan (condensing symbol) struktur pertama merupakan pusat organisasi elemen-elemen ide yang membantu komunikator untuk menunjukkan substansi isu yang tengah dibicarakan. Sedangkan struktur yang kedua mengandung dua subtruktur, yaitu perangkat framing (Framing devices) dan perangkat penalaran (Reasioning devices). Framing analisis yang dikembangkan oleh Gamson memahami wacana media sebagai satu gugusan prespektif interpretasi (interpretative package) saat mengkonstruksi dan memberi makna suatu isu. William A. Gamson dan Modigliani memandang frame memberikan petunjuk yang mana isu-isu yang relevan untuk diwacanakan, problem-problem apa yang memerlukan tindakan politis, solusi apa yang pantas diambil, serta pihak mana yang legitimate dalam wacana terbentuk. Wacana media terdiri dari sejumlah package interpretif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana. Berikut ini adalah tabel dari Analisis Framing Model William A. Gamson dan Modigliani : Tabel 2.1 Perangkat Analisis Framing Model William A. Gamson dan Modigliani Framing Device (Perangkat Framing)
Reasioning Device (Perangkat Penalaran)
Methapors (Perumpamaan atau pengandaian) Catchphrases (Frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana. Umumnya berupa jargon atau slogan)
Roots (Analisis klausal atau sebab akibat) Appeals to principle (Premis dasar, klaim-klaim moral)
Exemplar Consequences (Mengaitkan bingkai dengan contoh, (Efek atau konsekuensi bingkai) uraian (bisa teori, perbandingan yang didapat dari yang memperjelas bingkai.)) Depiction (Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Defiction ini
4
umumnya berupa kosa kata, leksikon untuk melabeli sesuatu.) Visual Image (Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun atau grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan.) Sunber : (Eriyanto, 2002: 225) Keadaan package pada wacana dicirikan dengan adanya ide yang didukung dengan perangkat wacana seperti methapors, depiction, catchphrase, exemplars dan visual image, root, consequencies, dan appeals to principle. Perangkat tersebut mempunyai arti sebagai berikut : 1. Methapors adalah cara memindahkan makna dengan menggabungkan dua fakta melalui analogi, seperti kiasan : bak, bagai, laksana, dan sebagainya. 2. Exemplars adalah mengemas fakta tertentu secara mendalam agar memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan/ pelajaran, bisa juga menjadi pelengkap dalam wacana untuk membenarkan suatu perspektif. 3. Catchphrases merupakan bentuk kata, atau frase khas cerminan fakta yang merujuk pada pemikiran atau semangat sosial tertentu. Dalam wacana berita, catchphrases biasanya berupa jargon, slogan, atau semboyan. 4. Depictions adalah penggambaran fakta memakai kata, istilah, kalimat bermakna konotatif, dan bertendensi khusus agar pemahaman khalayak terarah ke citra tertentu, misalnya gairah, harapan, posisi, moral, serta perubahan. 5. Visual Image adalah pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan sejenisnya untuk mengekspresikan kesan, misalnya, perhatian (penegasan) atau penolakan (kontras), menggunakan huruf yang dibesar kecilkan, ditebalkan, dimiringkan atau digaris bawahi, serta pemakaian bermacam warna. Tata letak halaman juga merupakan bagian dari dimensi visual wacana, seperti lebar kolom, penempatan halaman, dan panjang berita. 5
6. Roots merupakan analisis kausal dengan mengedepankan hubungan yang melibatkan suatu objek atau lebih yang dianggap sebagai sebab terjadinya hal yang lain, digunakan sebagai pemberi alasan pembenaran dan penyimpulan. 7. Appeals to principle adalah upaya memberikan alasan pembenaran dengan memakai logika dan prinsip moral untuk mengklaim sebuah kebenaran saat membangun wacana. Yang mempunyai sifat apriori, dogmatis, simplistik, dan monokausal kadang membuat khalayak tak berdaya menyanggah isi argumentasi. 8. Consequences berupa efek yang didapati dari bingkai. Hal ini sejalan dengan penggunaan model framing Gamson dan Modigliani yang semua perangkat pada analisisnya mengacu pada pandangan tertentu, dan masingmasing kelompok menarik dukungan publik. Dengan memperbagus kemasan (package) dari sebuah isu, maka opini publik yang berkembang mendukung mereka, atau mengindahkan kebenaran versi mereka.
6
2.2 Ruang Publik Jurgen Habermas Menurut Habermas ruang publik adalah ruang di mana warga negara bisa berunding mengenai hubungan bersama mereka sehingga merupakan sebuah arena institusi untuk berinteraksi pada hal-hal berbeda. Selain itu, ruang publik secara konseptual juga berbeda dengan ekonomi resmi, yaitu bukannya tempat untuk hubungan pasar seperti berjualan dan pembelian, tetapi merupakan tempat untuk hubungan yang berbeda-beda dan menjadi tempat untuk melakukan perdebatan dan permusyawaratan. Menurut Habermas dalam ruang publik “private persons” bergabung untuk mendiskusikan hal-hal yang menjadi perhatian publik atau kepentingan bersama ruang publik ini ditujukan sebagai mediasi antara masyarakat dan negara dengan memegang tanggung jawab negara pada masyarakat melalui publisitas. Berbicara mengenai ruang publik di media massa berarti membicarakan otoritas individu atau warganegara sebagai pengguna dan pemanfaat media yang memiliki otonomi, sehingga dalam ruang publik tersebut anggota masyarakat dari bebagai latar belakang yang berbeda sebagai warga negara yang posisinya setara (memiliki hak dan kebebasan yang sama) melakukan diskursus tanpa mengalami kendala struktural. 1Media massa dalam konteks ini memiliki fungsi memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperlukan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dengan menempatkan dirinya sebagai wadah independen di mana isu-isu permasalahan umum dapat diperdebatkan. Oleh karena itu media massa harus memiliki kemandirian serta bebas dari pengaruh dan dominasi kelompok-kelompok yang ada dalam publik, kepentingan negara serta tekanan pasar. Public sphere sebaiknya menjamin terjadinya dikursus nasional untuk mencapai konsensus publik yang sah. Apalagi ketika media menjalankan fungsi ideologisnya yang menentukan kepentingan apa, masalah siapa, perpektif mana yang akan diakses ke dalam media mereka (ruang publik media). Permasalahan inilah yang harus benar-benar dicermati dalam pemberitaan media massa saat ini untuk menciptakan fungsi public sphere yang ideal. Hal ini bisa dikaji melalui pcngamatan tentang sejauh mana kemampuan media massa terlepas dari dominasi-dominasi golongan-golongan tertentu dan
1
Dedy N.Hidayat, Media dan Pertarungan Wacana, LKiS, 2001.
7
sejauh mana media memberikan akses berimbang pada publik yang terkait tanpa memberikan keistimewaan pada kelompok tertentu. Menurut Habermas, pemanfaatan Public sphere di bidang politik secara optimal ditandai dengan adanya kondisi demokratis dalam skala yang luas yang ditandai dengan berfungsinya public sphere, yaitu ruang yang mempertemukan kehidupan politis dan sosial, di luar alat-alat/lembaga-lembaga negara yang formal, yang terdiri atas warganegara yang terlibat dalam debat-debat publik yang penting. Pada masa rezim orde baru, media massa didominasi oleh negara yang memiliki legalitas untuk mengontrol media serta memonopoli lisensi pemberitaan dan di sisi lain para pemilik modal di sektor media memiliki kekuasaan terhadap para pekerjanya. Pada masa pasca orde baru kehidupan media lebih banyak mendapatkan angin kebebasan. Ada kecenderungan bahwa kebebasan yang ada sekarang adalah kebebasan yang sebebas-bebasnya. Media tidak mengenal batasan apapun, mereka menganggap bebas memberitakan apapun yang pantas untuk dicetak. Faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor- faktor itulah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan sebuah media hendak diarahkan. 2.3 Quick Count Quick count merupakan prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Sehingga quick count tidak sama dengan jejak pendapat terhadap pemilih yang baru saja mencoblos atau yang biasa disebut exit poll. Menurut Sumargo (2006) keberhasilan pelaksanaan quick count ditentukan beberapa faktor, diantaranya:
Syarat yaitu adanya akses ke TPS, kredibilitas dan independensi, jaringan di akar rumput (grass root), dan dukungan komunikasi data.
Pelatihan, seluruh elemen yang terlibat dalam kegiatan ini diberi pelatihan.
Quality Control yaitu (i) kepada relawan diminta untuk melakukan validasi hasil pencatatan perolehan suara (ii) validasi dilakukan dengan meminta 8
tandatangan ketua pada TPS yang dipantau (iii) satu minggu sebelum hari pemilu dilaksanakan dilakukan monitoring untuk memastikan apakah proses persiapan pemantauan berjalan sebagaimana seharusnya (iv) memastikan apakah data yang diperoleh adalah benar dan valid dengan spotcheck (v) daerah ataupun TPS yang dikunjungi untuk spotcheck dipilih secara acak.
Gambar 1. Perbandingan Quick Count dan Exit Poll Jumlah lokasi pantauan (TPS) yang mencapai ribuan dengan melibatkan ribuan orang relawan, tentu bukan pekerjaan sederhana, terutama dalam aspek komunikasi data. Organisasi pelaksana harus menyiapkan perangkat komunikasi data yang terpusat. Arus komunikasi dilakukan dua arah : dari relawan (di lokasi TPS terpantau) untuk pengiriman data lapangan dan dari pusat untuk tujuan pengecekan. Tahapan proses quick count secara singkat menurut LSI & JIP (2007) adalah 1. Menentukan jumlah TPS yang akan diamati 2. Memilih TPS yang akan diamati secara acak 3. Manajemen data (pengamatan, pencatatan, dan analisa data hasil perhitungan suara) 4. Publikasi hasil quick count
9
Quick count mempunyai fungsi utama sebagai alat kontrol terhadap penyelenggara pemilu dan memperkirakan perolehan suara pemilu. Sebagai alat kontrol, quick count mampu mendeteksi dan melaporkan penyimpangan atau mengungkapkan kecurangan. Banyak sampel membuktikan quick count dapat membangun kepercayaan atas kinerja penyelenggara pemilu dan memberikan legitimasi terhadap proses pemilu.
2.4 Media Televisi Kata televisi berasal dari kata “tele” yang berarti “jarak” dalam bahasa yunani dan kata “visi” yang berarti “citra atau gambar” dalam bahasa latin. Jadi kata televisi berarti suatu sistem penyajian gambar berikut suaranya dari suatu tempat yang berjarak jauh. Media televisi menyandang tiga fungsi yang batas-batasnya tidak dapat dijelaskan secara tajam, yaitu sebagai wahana hiburan, penyebaran informasi, dan pendidikan. Setiap media pasti memiliki beberapa karakteristik tertentu beberapa karakteristik media televisi adalah : 1. Memilik jangkauan yang luas dan segera dapat menyentuh rangsang penglihatan dan pendengaran manusia. 2. Dapat menghadirkan objek yang amat kecil/besar, berbahaya, atau yang langka. 3. Menyajikan pengalaman langsung kepada penonton. 4. Dapat dikatakan “meniadakan” perbedaan jarak dan waktu. 5. Mampu menyajikan unsur warna, gerakan, bunyi, dan proses dengan baik. 6. Dapat mengkoordinasikan pemanfaatan berbagai media lain, seperti film, foto, dan gambar dengan baik. 7. Dapat
menyimpan
berbagai
data,
informasi,
dan
serentak
menyebarluaskannya dengan cepat ke berbagai tempat yang berjauhan. 10
8. Mudah ditonton tanpa perlu menggelapkan ruangan. 9. Membangkitkan perasaan intim atau media personal. Selain kelebihan tersebut, media televisi juga mengandung kelemahan, yaitu : 1. Merupakan media satu arah, hanya mampu menyampaikan pesan, namun tidak bisa menerima umpan balik secara cepat. 2. Layar pesawat penerima yang sempit tidak memberikan keleluasaan penonton. 3. Bingkai cahaya (flash) dan rangsang kedip cahaya (flicker) dapat merusak atau mengganggu penglihatan penonton. 4. Kualitas gambar yang dipancarkan lebih rendah dibandingkan dengan visual yang diproyeksikan. 2.5 Kajian Hasil Penelitian Sebelumnya/ Originalitas Penelitian Dalam penelitian sebelumnya Shifa Mirandari yang merupakan mahasiswi dari Perguruan Tinggi Negri Universitas Padjajaran Bandung Fakultas Ilmu Komunikasi telah meneliti tentang kasus quick count pilpres 2009 pada Surat Kabar Kompas dengan Media Indonesia. Ia meneliti dengan menggunakan analisis framing, dimana terdapat perbedaan antara Surat Kabar Kompas dengan Media Indonesia dalam membingkai fakta sintaksis, skrip, tematik, dan retoris mengenai pemberitaan perolehan suara Pilpres 2009 berdasarkan quick count. Peneliti menggunakan analisis framing Model Zongdang Pan dan Gerald M. Kosicki untuk membedah bingkai dari berita-berita berkaitan dengan perolehan suara sementara Pilpres 2009 berdasarkan quick count di Surat Kabar Kompas dan Media Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan bingkai pemberitaan antara Surat Kabar Kompas dengan Media Indonesia dalam mengonstruksi realitas. Surat Kabar kompas menyikapi hasil quick count Pilpres dengan mengkritisi permasalahan Pilpres dan independensi lembaga survei. Sedangkan Surat Kabar Media Indonesia memandang hasil quick count Pilpres Metro TV merupakan representasi pilihan rakyat. Simpulan dari 11
penelitian ini menunjukkan loyalitas masing-masing media massa. Surat Kabar Kompas tetap mengutamakan loyalitas pada warga sedangkan Surat Kabar Media Indonesia mengutamakan loyalitas perusahaan karena menonjolkan validitas hasil quick count dan independensi Metro TV.
12
2.6 Kerangka Pikir Kasus Quick Count Pilpres 2014
TV One
Kompas TV
Metro TV
Pengemasan berita yang ditayangkan
Analisis Framing
Pembingkaian Berita
William A. Gamson
Perangkat Framing (Framing devices) :
Methapors (membuat kiasan)
Exemplars (mengemas fakta)
Catchphrases (membuat slogan)
Depictions (kalimat makna konotatif)
Visual Image (gambar virtual : foto)
Reasioning Device ((Perangkat Penalaran)
Roots (analisa kausal)
Appeals to principle (untuk memberikan alasan pembenaran dengan logika)
Consequences (efek dari bingkai)
Bagan 2.6.1 Kerangka Pikir Penelitian
13
Pemilihan presiden 2014 yang telah berlangsung pada tanggal 9 Juli 2014 yang telah selesai kemudian di langsung diadakan penghitungan cepat atau quick count. Quick count ditanyangkan oleh semua media televisi. Masing-masing televisi memiliki caranya sendiri dalam menyampaikan berita tentang quick count tersebut. Masing-masing televisi juga mempunyai hasil penghitungan suara yang berbeda-beda. Dari banyaknya media televisi ada tiga televisi yang menjadi perhatian penulis, yaitu Metro TV dimana Metro TV merupakan media televisi yang lebih condong terhadap capres nomer urut dua, TV One merupakan media televisi yang lebih condong terhadap capres nomer urut satu, dan Kompas TV yang dianggap sebagai media televisi yang netral antara pemberitaan capres nomer urut satu dan dua. Dari ketiga media tersebut, masing-masing media memiliki caranya sendiri dalam menyampaikan pemberitaan mengenai quick count. Oleh karena itu penulis ingin melihat bagaimana masingmasing media mengemas berita tersebut yang disampaikan terhadap khalayak dengan cara mengamati video pemberitaan tersebut dan menganalisisnya menggunakan teori analisis framing dari konsep framing William A. Gamson.
14