9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kajian Pustaka Sebelum penelitian ini dilaksanakan, sudah terdapat penelitian yang
dilakukan mengenai permasalahan tentang implementasi kebijakan alokasi dana desa. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, berikut ini akan dicantumkan beberapa penelitian yang dapat menjadi referensi bagi usulan penelitian ini yang dilakukan oleh Elkana Goro Leba (2013), dengan penelitian yang berjudul “Pengelolaan Kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam Meningkatkan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Manulai I, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang”. Penelitian ini menggunakan konsep desentralisasi dan otonomi daerah dalam penerapan otonomi desa untuk pengelolaan alokasi dana desa. Penelitian lainnya dilakukan oleh Virgie Delawillia Kharisma, Anwar, dan Supranoto (2013), dengan jurnal yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemanfaatan Alokasi Dana Desa”. Jurnal ini mencoba menganalisis tentang implementasi kebijakan alokasi dana desa yang difokuskan pada pembangunan fisik yaitu pembangunan sarana dan prasarana pemerintahan desa, serta pembangunan sarana dan prasarana perhubungan. Kedua penelitian tersebut merupakan peneliatan yang menggunakan metode kualitatif. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Nurliana (2013), dengan jurnal yang berjudul “Pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) Dalam Pembangunan Fisik Di Desa Sukomulyo Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara”.
10
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dimana penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menggambarkan pengelolaan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam pembangunan fisik di Desa Sukomulyo Kecamatan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Ni Putu Mulya Resdiyanti (2014) dengan penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa Dalam Pengelolaan Potensi Desa di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung”. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa diadakannya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa dalam pengelolaan Potensi yang dimiliki oleh Desa Kutuh pada tahun 2008-2013. Dalam penelitian ini penulis
menggungakan
metode
deskriptif
kualitatif
sebagai
metode
pennelitiannya. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti berupaya mendeskripsikan secara sistematis mengenai implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa dalam pengelolaan potensi desa. hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa dalam pengelolaan potensi desa di Desa Kutuh sudah berjalan dengan baik, namun sering terjadi keterlambatan terhadap penyaluran ADD sehingga menghambat pemerintah desa dalam pelaksanaan program kerja yang telah dibuat. Dari beberapa penelitian diatas terdapat beberapa kesamaan dengan penelitian yang dilakukan, yaitu pada tema penelitian yang menyangkut tentang implementasi Alokasi Dana Desa. Kesamaan yang lainnya juga terdapat pada metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Namun dalam penelitian ini juga terdapat perbedaan dengan beberapa penelitian di atas yang
11
telah dilakukan sebelumnya yaitu pada tahun dilaksanakannya penelititan dan lokasi tempat dilaksanakannya penelitian, dimana pada penelitian kali ini penulis mengadakan penelitian di Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali yang memiliki kondisi desa yang berbeda.
2.2
Kerangka Konseptual
2.2.1 Konsep Desa Desa merupakan unit Pemerintahan yang berada pada level paling bawah, dimana Desa merupakan unit Pemerintahan yang bersentuhan dan berhubungan langsung dengan masyarakat dan bertugas untuk menjalankan Pemerintahan Desa. Keberadaan Desa diakui oleh Pemerintah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Soenarjo dalam Nurcholis (2011; 4) desa adalah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
12
Menurut Beratha dalam Nurcholis (2011; 4) desa atau dengan nama aslinya yang setingkat merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli adalah suatu “badan hukum” dan adalah pula “Badan Pemerintahan”, yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah yang melingkunginya. Desa adalah suatu wilayah yang memiliki batas-batas tertentu yang ditempati oleh sejumlah orang yang disebut masyarakat yang memiliki satu kesatuan dan adat istiadat yang hidup saling mengenal dan bergotong-royong. Masyarakat desa sebagian besar mencari nafkah dengan bekerja sebagai petani atau nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Desa ditempati oleh masyarakat yang saling mengenal yang didasari oleh hubungan kekerabatan, kepentingan politik, sosial, ekonomi dan keamanan yang menjadikannya sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berdasarkan pada adat istiadat, sehingga akan terwujut ikatan lahir batin diantara warga masyarakat.
2.2.1.1 Otonomi Desa Di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkann bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan diberikannya kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya, artiya desa tersebut memiliki otonomi untuk memmbuat kebijakan yang mengatur dan berwenang untuk membuat aturan pelaksanaan.
13
Namun otonomi yang dimiliki oleh desa merupakan otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat istiadat. Artinya otonomi desa bukan merupakan akibat dari peraturan perundang-undangan, melainkan berasal dari asal-usul dan adat istiadat desa yang dikembangkan, dipelihara, dan digunakan oleh masyarakat desa dari dulu hingga sekarang. Menurut Nurcholis (2011: 65-66) terdapat empat tipe desa di Indonesia yaitu: 1.
Desa Adat (self-governing community) merupakan bentuk desa asli dan tertua di Indonesia yang mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas administratif yang diberikan oleh negara. Contoh desa adat adalah Desa Pekraman di Bali.
2.
Desa Administrasi (local state government) merupakan satuan wilayah administrasi, yaitu satuan pemerintahan terendah untuk memberikan pelayanan administrasi dari pemerintah pusat. Desa administrasi dibentuk oleh negara dan merupakan kepanjangan negara untuk menjalankan tugastugas administrasi yang diberikan negara. Desa administrasi secara substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi.
3.
Desa Otonom sebagai local self-government merupakan desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dengan undang-undang yang memiliki kewenangan
yang
jelas
karena
diatur
dalam
undang-undang
pembentukannnya, sehingga desa otonom memiliki kewenangan penuh mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
14
4.
Desa Campuran (adat dan semiotonom), merupakan tipe desa yang mempunyai kewenangan campuran antara otonomi asli dan semi otonomi formal. Disebut campuran antara otonomi aslinya diakui oleh undangundang dan juga diberi penyerahan kewenangan dari kabupaten/kota. Disebut semiotonom karena model penyerahan urusan pemerintahan dari daerah otonom kepada satuan pemerintahan di bawahnya ini tidak dikenal dalam teori desentralisasi. Menurut teori desentralisasi atau otonomi daerah, penyerahan urusan pemerintahan hanya dari pemerintah pusat. Desa di bawah UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 adalah tipe desa campuran semacam ini. Bali merupakan wilayah yang terdiri dari Desa Adat dan Desa Dinas (Desa
Otonom). Desa Dalung juga termasuk kedalam desa yang berorientasi kepada Desa Adat dan Desa Dinas atau Perbekel (Desa Otonom) yang berada pada satu wilayah yang memiliki kewajiban yang berbeda seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga Desa Dinas Dalung atau disebut juga Perbekel Desa Dalung merupakan pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk mengatur, mengurus, mengelola dan bertanggungjawab terhadap Alokasi Dana Desa.
2.2.1.2 Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan mitra Kepala Desa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Anggota BPD merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. Jumlah anggota BPD paling sedikit lima orang dan paling banyak sembilan orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk,
15
dan kemampuan keuangan Desa. Peresmian BPD ditetapkan dengan keputusan Bupati/Walikota. Masa kerja BDP selama 6 tahun dan dapat dipilih kembali selama 3 kali secara berturut-turut. Menurut PP. No. 72 Tahun 2005 pasal 1, Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh BPD bersama dengan Kepala Desa. Kepala Desa bersama dengan BPD membentuk peraturan Desa dengan tujuan untuk penyelenggaraan Pemerintahan Desa dimana peraturan Desa merupakan check balances bagi Pemerintah Desa dan BPD. Dalam penyusunan Peraturan Desa harus didasarkan pada kebutuhan dan kondisi Desa setempat, mengacu kepada peraturan perundang-undangan Desa, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, serta tidak boleh merugikan kepentingan umum. Karena merupakan produk politik, maka peraturan Desa harus disusun secara demokratis dan partisipatif sehingga masyarakat berhak memberikan masukan lisan maupun tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan Desa. Selanjutnya Peraturan Desa yang telah selesai dibuat akan dilaksanakan oleh Kepala Desa, sementara BPD selaku mitra Kepala Desa berhak mengawasi dan mengevaluasi hasil pelaksanaan peraturan Desa tersebut. Masyarakat selaku penerima manfaat juga berhak melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan Desa. 2.2.1.3 Keuangan Desa Keuangan desa adalah hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban desa tersebut.
16
Keuangan desa berasal dari pendapatan asli desa, APBD, dan APBN. Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa yang menjadi kewenangan desa didanai dari APBDes, bantuan pemerintah pusat, dan bantuan pemerintah daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang diselenggarakan oleh pemerintah desa didanai dari APBN. Dikutip dari Nurcholis (2011; 82) pendapatan desa bersumber dari: 1.
Pendapatan asli desa yang berasal dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong-royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;
2.
Bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus)
untuk
desa
dari
retribusi
kabupaten/kota
yang sebagian
diperuntukan bagi desa; 3.
Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang dibagi ke setiap desa secara proposional yang merupakan alokasi dana desa;
4.
Bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;
5.
Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.
2.2.1.4 Alokasi Dana Desa (ADD) Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Desa untuk mendanai kebutuhan Desa
dalam
rangka
penyelenggaraan
Pemerintahan
dan
pelaksanaan
17
pembangunan serta pelayanan masyarakat. Alokasi Dana Desa diperoleh dari dana perimbangan APBN yang diterima oleh Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar 10%. Rumus yang digunakan dalam Alokasi Dana Desa adalah: 1.
Asas Merata, yaitu besarnya bagian alokasi dana desa yang sama untuk setiap desa, yang selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Minimal (ADDM);
2.
Asas Adil, yaitu besarnya bagian alokasi dana desa berdasarkan Nilai Bobot Desa (BDx) yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu (misalnya kemiskinan, keterjangkauan, pendidikan dasar, kesehatan, dll), selanjutnya disebut Alokasi Dana Desa Proposional (ADDP). Besarnya prosentase perbandingan antara asas merata dan adil adalah besarnya ADDM adalah 60% (enampuluh persen) dari jumlah ADD dan besarnya ADDP adalah 40% (empatpuluh persen) dari jumlah ADD. Pemberian Alokasi Dana Desa (ADD) yang merupakan wujud dari
pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonomi Desa agar tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari Desa itu sendiri berdasarkan keanekaragaman, partisipatif, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan mayarakat. Untuk memaksimalkan pengelolaan ADD yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten kepada Desa, maka ADD memiliki tujuan antara lain (Hanif Nurcholis, 2011; 89): 1.
Menaggulangi kemiskinan dan mengurangi kesenjangan;
2.
Meningkatkan perencanaan dan penganggaran pembangunan di tingkat Desa dan pemberdayaan masyarakat;
3.
Meningkatkan pembangunan infrastruktur Desa;
18
4.
Meningkatkan pengamalan nilai-nilai keagamaan, sosial budaya dalam rangka mewujudkan peningkatan sosial;
5.
Meningkatkan ketentraman dan ketertiban masyarakat;
6.
Meningkatkan
pelayanan
pada
masyarakat
Desa
dalam
rangka
pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat; 7.
Mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong-royong masyarakat;
8.
Meningkatkan pendapatan Desa dan masyarakat Desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).
2.2.2 Konsep Implementasi Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaaan sudah dianggap sempurna. Berikut ini adalah pengertian tentang implentasi menurut para ahli. Menurut Nurdin Usman (Usman, 2002: 70) dalam bukunya yang berjudul Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan. Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem, implemantasi bukan sekedar aktivitas, tapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan.
19
Menurut Hanifah (Harsono, 2002: 67) dalam bukunya yang berjudul Implementasi Kebijakan dan Politik mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kegiatan menjadi tindakan kebijakan dari politik kedalam administrasi. Pengembangan suatu kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program. Menurut Guntur Setiawan (Setiawan, 2004: 39) dalam bukunya yang berjudul
Implementasi
dalam
Birokrasi
Pembangunan
mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif. Sedangkan menurut Van Meter dan Van Hom dalam Wahab (2014: 135) merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individual maupun pejabat-pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu maupun pejabat pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu yang di dalamnya terkadang berisi muatan politik. Dalam studi kebijakan publik terdapat beberapa model implementasi kebijakan publik yang dapat digunakan sebagai acuan untuk mencapai keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Salah satu model implementasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model implementasi kebijakan yang
20
dijelaskan oleh George C. Edward III yang akan digunakan oleh penulis untuk menganalisis implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung. Dalam Agustino (2012: 149-154) dijelaskan bahwa model implementasi kebijakan yang memiliki perspektif top down dikembangkan oleh George C. Edwards III. Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: 1.
Komunikasi Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan telah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan atau dikomunikasikan kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor menjadi semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilah komunikasi a.
Transmisi Trasmisi meupakan penyaluran komunikasi. Dimana komunikasi yang baik dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Sering kali terjadi dalam penyaluran komunikasi adanya salah pengertian yang disebab kan
21
karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan bisa tersampaikan mengalami terdistorsi di tengah jalan. b.
Kejelasan Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-levelbureuacrats) harus jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu). Ketidak jelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi. Pada tataran
tertentu,
para
pelaksana
membutuhkan
fleksibilitas
dalam
melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c.
Konsistensi Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu kebijakan haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan dan dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi para pelaksana di lapangan.
2.
Sumberdaya Sumberdaya merupakan faktor penting untuk implementasi kebijakan agar
efektif. Apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanankan suatu implementasi kebijakan, maka implementasi tersebut tidak akan berjalan secara efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yaitu kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya tersebut terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
22
a.
Staf Staf merupakan sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun kurang berkompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b.
Informasi Dalam implementasi suatu kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu: pertama, informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk malakukan tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksanan terhadap peraturan dan regulasi pemerintah telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
c.
Wewenang Pada umumnya wewenang harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan, tetapi disisi lain efektivitas akan menyurut
23
manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingan kelompoknya. d.
Fasilitas Fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti yang harus dilakukannya dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya. Tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak berhasil.
3.
Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka kebijakan akan dapat berjalan dengan baik dan efektif sesuai apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Beberapa hal yang perlu dicermati dalam variabel disposisi yaitu: a.
Pengangkatan birokrasi Disposisi atau sikap para pelaksana dapat menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginakan oleh pejabat-pejabat tinggi. Oleh karena itu, pemilihan dan pengangkatann personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan lebih khusus lagi pada kepentingan masyarakat.
b.
Insentif Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi
masalah
kecenderungan
para
pelaksana
adalah
dengan
24
memenipulasi insentif. Oleh karena itu pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka manipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin dapat menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi. 4.
Struktur Birokrasi Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP) yang menjadi pedoman bagi setiap pemangku kebijakan dalam berindak. Model implementasi kebijakan George C. Edwards III digunakan dalam penelitian ini karena model ini dapat digunakan secara menyeluruh dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga penulis lebih mudah untuk memahami faktorfaktor penentu keberhasilan implementasi kebijakan publik. Untuk mengetahui keberhasilan implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung, maka keempat faktor tersebut dapat menjadi: 1.
Komunikasi yang dimaksudkan adalah komunikasi antara pemerintah desa dan pemerintah kecamatan, kabupaten/kota maupun komunikasi yang terkait dengan penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa Dalung.
25
2.
Sumberdaya yang dimaksudkan adalah sumberdaya fisik dan non-fisik yang terkait dengan pelaksanaan implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung.
3.
Disposisi merupakan sikap yang ditunjukan oleh pemerintah desa yaitu prebekel dan perangkat desa dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung.
4.
Struktur birokrasi yang dimaksudkan adalah organisasi-organisasi yang terdapat di dalam Pemerintahan Desa Dalung yang terkait dalam pelaksanaan dan pengeloaan Alokasi Dana Desa yang nantinya dapat memutuskan
kebijakan
yang
berpengaruh
terhadap
keberhasilan
implementasi Alokasi Dana Desa di Desa Dalung. 2.2.3 Kebijakan Publik Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yang bermuara pada keputusan tentang alternatif yang terbaik. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Dalam bahasa Inggris kebijakan sering disebut dengan istilah policy. Menurut Thomas R. Dye dalam Pasolong (2013: 39) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah “apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Dye mengatakan bahwa bila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (objektifnya) dan kebijakan publik itu meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.
26
Menurut William N. Dunn dalam Pasolong (2013: 39) kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain. Kemudian menurut Chandler dan Plano Pasolong (2013: 38), mengatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah publik atau pemerintah. Bahkan mereka beranggapan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk investasi yang kontinu oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Sedangkan menurut James E. Anderson dalam Subarsono (2011: 2) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badanbadan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor dari luar pemerintah. Sehingga dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah suatu keputusan atau tindakan nyata dari pemerintah yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah sebagai hasil dari keputusan politik yang merupakan alat untuk melaksanakan tujuan yang hendak dicapai sesuai dengan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu Alokasi Dana Desa yang diberikan oleh pemerintah pusat merupakan suatu keputusan dan tindakan nyata pemerintah terhadap suatu permasalahan yang pada akhirnya menjadi sebuah kebijakan yang telah melalui tahapan pembentukannya yang memiliki tujuan untuk meningkatkan pembangunan desa.
27
Kebijakan publik seperti yang telah dijelaskan terbentuk melalui beberapa tahapan. Menurut Michael Howlet dan M. Ramesh dalam Subarsono (2011: 1314) menyatakan bahwa proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan sebagai berikut: 1.
Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah.
2.
Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses perumusan pilihanpilihan kebijakan oleh pemerintah.
3.
Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan.
4.
Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.
5.
Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan. Kebijakan publik termasuk kedalam ruang lingkup administrasi publik
karena administrasi publik merupakan suatu ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting dalam kehidupan bernegara yang meliputi lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta hal-hal yang berkaitan dengan urusan publik yang meliputi kebijakan publik, manajemen publik, administrasi pembangunan, tujuan negara, dan etika yang mengatur tentang penyelenggaraan negara. Dalam Pasolong (2013: 19-20) Nicholas Henry menyatakan bahwa ruang lingkup administrasi publik dapat dilihat dari topik-topik yang dibahas selain perkembangan ilmu administrasi publik itu sendiri, antara lain:
28
1.
Organisasi publik, pada prinsipnya berkenaan dengan model-model organisasi dan perilaku birokrasi.
2.
Manajemen publik, yaitu berkenaan dengan sistem dan ilmu manajemen, evaluasi program dan produktivitas, anggaran publik dan manajemen sumber daya manusia.
3.
Implementasi yaitu menyangkut pendekatan terhadap kebijakan publik dan implementasinya, privatisasi, administrasi antar pemerintahan, dan etika birokrasi. Oleh karena itu, letak kebijakan publik di dalam ranah administrasi publik
terutama pada proses kebijakan publik yang menyangkut analisis kebijakan, pengesahan kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan.
29
2.3 Kerangka Pemikiran
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Desa Dalung merupakan salah satu desa di Kabupaten Badung dengan penerimaan Alokasi Dana Desa (ADD) yang cukup besar
Bagaimana implementasi kebijakan terhadap pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004?
Untuk mengetahui implementasi kebijakan dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Komunikasi Model George C. Edwards IIIdigunakan untuk menganalisis Implementasi kebijakan publik
Pengaruh Perbekel, SDM dan kinerja Perangkat Desa, sarana dan prasarana yang menunjang implementasi kebijakan dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung
Keberhasilan implementasi kebijakan dalam pengelolaan Alokasi Dana Desa di Desa Dalung
Sumberdaya Disposisi Struktur Birokrasi
Deskriptif Kualitatif