BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Kerangka Konseptual a. Tinjauan tentang Inkonsistensi Hukum 1) Pengertian Inkonsistensi Hukum dan Akibatnya Hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan yang telah disahkan oleh institusi negara yang memiliki otoritas untuk itu1. Menurut M.H. Tirtaatmidjaja, pengertian hukum yaitu seluruh aturan (norma) yang harus diikuti dalam tindakantindakan tingkah laku dalam pergaulan hidup. Bagi orang yang melanggar akan diancam denda, kurungan, penjara dan bentuk sanksi lainnya. Adapun yang menaati hukum akan memperoleh kebahagian2, sedangkan pengertian hukum menurut Philips S. James adalah sekumpulan aturan-aturan untuk membimbing perilaku manusia yang ditetapkan dan ditegakkan di antara anggota suatu masyarakat, sedangkan menurut Utrecht, hukum itu adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu3. Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum adalah seperangkat peraturan yang dibuat pihak yang berwenang atau pemerintah berbentuk peraturan perundang-undangan yang berisi perintah dan larangan yang harus ditaati keberlakuannya oleh masyarakat pada suatu negara yang dapat dipaksakan keberlakuannya dengan pemberian sanksi bagi pelanggarnya. 1
Merdi Hajiji, “Relasi Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Jurnal Rechtvinding Volume 2 Nomor 3 Desember 2013 2 Wawan Muhwan Hariri, Pengantar Ilmu Hukum, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm 13 3 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum., PT. RajaGrafindo 10 Persada, Jakarta, 2008, hlm 6-7
Konsepsi hukum adalah sebagai sarana pembaruan masyarakat di dalam pembangunan. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan masyarakat merupakan suatu yang dianggap penting dan diperlukan4. Kata konsistensi berasal dari kata konsisten, dari bahasa Latin con-sistere yang artinya berdiri bersama . Bila diartikan, kata konsisten artinya sesuai, harmoni, atau memiliki hubungan logis. Selanjutnya, perubahan kata sifat konsisten menjadi kata benda disebut sebagai konsistensi dengan pengertian kesesuaian, keharmonisan dan keadaan memiliki hubungan logis 5. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata konsistensi adalah ketetapan dan kemantapan (dalam bertindak) 6, sedangkan arti kata inkonsisten adalah kontradiktif, bertentangan, mempunyai bagian-bagian yang tidak bersesuaian7. Berdasarkan pengertianpengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa inkonsistensi hukum adalah terdapatnya beberapa ketentuan pasal di dalam suatu peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai satu sama lain, sehingga menyebabkan peraturan perundangundangan tersebut menjadi tidak taat asas dan menjadi samar pengaturannya atas suatu hal tertentu. Akibat adanya inkonsistensi suatu peraturan perundangundangan adalah menimbulkan kerancuan bagi masyarakat sehingga peraturan perundang-undangan tersebut menjadi tidak optimal untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi dan dapat mengakibatkan perselisihan antar individu terkait 4
Mochtar Kususmaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hlm 3 5 Fidelis Harefa, Konsistensi Menjalankan Hukum Yang Benar Dalam Perspektif Filsafat Hukum, http://fidelis.harefa.com/2015/11/konsistensi-menjalankan-hukum-yang.html, diakses tanggal 14 Juni 2016 Pukul 10:00 WIB 6 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hlm. 556 7 Ibid, hlm. 749
perbedaan penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan tersebut. 2) Konsistensi Peraturan Perundang-undangan Peraturan
perundang-undangan
merupakan
produk
hukum yang memberikan pengaturan terkait hak dan kewajiban setiap individu, untuk memahami hubungan suatu peraturan perundang-undangan satu dengan yang lainnya adalah dengan memahami hierarki tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang berbunyi: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”. Berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut, maka produk hukum yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan produk hukum yang memiliki kedudukan lebih tinggi, apabila ketentuan tersebut dilanggar maka produk hukum yang kedudukannya lebih rendah tersebut dapat dibatalkan keberlakuannya, sehingga berdasarkan hal tersebut maka apabila terdapat ketidaksesuaian antar peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan cara melakukan sinkronisasi.
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun
yang
sinkronisasi
mengatur
peraturan
suatu
bertujuan
bidang
tertentu.
Proses
untuk
melihat
adanya
keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara8. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan selain memperhatikan susunan hirarki peraturan perundang-undangan juga memperhatikan tentang asas dan norma yang terkandung didalamnya9.
Sinkronisasi
hukum
terhadap
peraturan
perundang-undangan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Sinkronisasi Vertikal Dilakukan dengan cara menganalisis materi muatan produk hukum tersebut apakah bertentangan dengan produk hukum yang memiliki kedudukan lebih tinggi, produk hukum yang lebih tinggi akan tetap dipakai dan produk hukum yang lebih rendah menjadi tidak berlaku. Menurut Bambang Sunggono, Sinkronisasi secara vertikal tersebut di atas, pada dasarnya bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada10. 8
Novianto M.Hantaro,, Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai Peraturan Daerah,Serta Uji Materi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029(dikutip dari http://www.penataanruang.net), Bappenas , 2012, Jakarta, hlm 8 9 Shandra Lisya Wandasari, “Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan dalam Mewujudkan Pengurangan Risiko Bencana”, dalam UNNES Law Journal, 2013, hlm 146 10 Budi Agus Riswandi, “Sinkronisasi Pengadopsian Doktin Perlindungan Hak Cipta Atas Pengaturan Teknologi Pengaman Dalam Perundang-Undangan Hak Cipta DI Indonesia”, Penelitian Disertasi Doktor, UII, 2014, hlm 629
b) Sinkronisasi Horizontal Sinkronisasi ini dilakukan dengan cara menganalisis materi muatan setiap produk hukum yang memiliki tingkatan yang sama dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Dilakukan
dengan
melihat
pada
berbagai
peraturan
perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horizontal juga harus dilakukan secara kronologis, sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya
peraturan
perundangan-undangan
yang
bersangkutan11.Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, sinkronisasi secara horizontal bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauhmana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasianantara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama12. Terkait dengan pengaturan mengenai penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang dilakukan oleh UU Kepailitan dan PKPU bukan merupakan problematika sinkronisasai, hal ini dikarenakan UU Kepailitan dan PKPU telah mengakui adanya kreditor pemegang hak tanggungan yang memiliki hak eksekusi meskipun terjadi kepailitan
pada
debitor,
sehingga
tidak
perlu
untuk
disinkronkan, akan tetapi yang perlu menjadi perhatian adalah sikap inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU yang memberikan penegasan pengakuan tersebut pada Pasal 55 ayat (1) menjadi tidak konsisten dengan pemberlakuan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi yang diatur Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1). Suatu peraturan perundang-
11 12
Novianto M.Hantaro, Loc. cit Budi Agus Riswandi, Loc. cit
undangan harus konsisten di dalam setiap materi muatannya, sehingga pasal demi pasalnya harus selaras dan sejalan.
b. Tinjauan tentang Kepailitan 1) Pengertian Kepailitan Menurut bahasa Prancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut Le Failli. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillite yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam Inggris dipergunakan istilah to fail, dan dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure13. Pengertian kepailitan menurut Rahayu Hartini, adalah sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai utang, yang dilakukan dengan dengan pengawasan pihak yang berwajib 14. Menurut Munir Fuady, pailit atau bangkrut itu adalah suatu sitaan umum atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para kreditor15. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU Kepailitan dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan
Debitor
Pailit
yang
pengurusan
dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepailitan adalah upaya hukum bagi kreditor-kreditor untuk melindungi hak dan kepentingannya atas 13
Sunarmi, Op.cit, hlm. 23 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang , 2007, hlm. 6 15 Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2014, hlm. 8 14
pembayaran piutang-piutangnya dari debitor pailit dengan jalan melakukan sita umum atas harta kekayaan debitor pailit, yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh seorang atau lebih kurator di bawah pengawasan hakim pengawas, untuk selanjutnya membagi harta kekayaan debitor pailit tersebut secara adil (pro rata) kepada para kreditornya berdasarkan besar kecilnya piutang yang dimiliki oleh tiap-tiap kreditor dengan mendahulukan bagi kreditor pemegang hak jaminan kebendaan untuk mendapatkan pelunasan atas benda jaminan yang merupakan bagian dari kekayaan debitor pailit. Setelah adanya putusan kepailitan maka terhadap boedel pailit berlaku keadaan diam (stay).The automatic stay generally acts as an injunction against a creditor with a pre-bankruptcy claim from exercising its rights or remedies in any way against the debtor or the debtor’s assets post-bankruptcy16. Berdasarkan pendapat dari Arnold Gulkowitz dan Brian E. Goldberg tersebut, keadaan diam merupakan suatu ketentuan dari pengadilan untuk melarang atau mencegah adanya upaya dari kreditor sebelum adanya putusan pailit untuk menuntut hak-haknya atau melakukan tindakan lain kepada debitor atau harta kekayaan debitor pailit. 2) Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia Pada awalnya pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia diatur dengan Buku III Weetboek Van Koophandel (WvK) yaitu ketentuan mengenai ketidakmampuan pedagang, ketentuan ini mengatur mengenai kepailitan pedagang saja, selain itu terdapat juga ketentuan lainnya mengenai kepailitan yaitu Reglement op de Rechtvoordering (Rv) S. 1847-52 bsd 1849-63 buku ketiga bab ketujuh mengenai keadaan nyata-nyata 16
Arnold Gulkowitz dan Brian E. Goldberg, “Looking For Light at The End of The Tunnel-Navigating The Subprime Mortgage Derivatives Market in Banckruptcy”, dalam Jurnal Bloomberg Corporate Law Journal Volume 2, 2007, hlm. 626
tidak mampu. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanannya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan antara lain17: a) Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya. b) Biaya tinggi. c) Pengaruh kreditor terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan. d) Perlu waktu yang cukup lama. Untuk mengatasi hal tersebut kemudian dikeluarkanlah Faillissementsverordering (FV) Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, tetapi ketentuan yang terdapat di dalam FV ini hanya berlaku bagi golongan eropa, cina, dan timur asing, serta golongan pribumi yang melakukan penundukan diri. Selain itu, ternyata FV tidak dapat memberikan sarana hukum penyelesaian utang-piutang yang cepat, adil, terbuka dan efektif, padahal pada tahun 1998 terjadi krisis moneter di Indonesia. Berdasarkan alasan tersebut Pemerintah
Indonesia
untuk
mengeluarkan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Kemudian PERPU ini ditetapkan menjadi UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang, kemudian direvisi dengan Undangundang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Ada beberapa materi baru yang terdapat dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, antara lain 18: 17
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 66 18 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Forum Sahabat, Jakarta, 2009, hlm. 13
a) Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam Undangundang Kepailitan dan PKPU, maka pengertian utang diberikan batasan secara tegas dan demikian juga terhadap pengertian jatuh waktu. b) Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan dan permohonan PKPU termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau PKPU. 3) Pengertian Utang Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, utang adalah perikatan, yang merupakan prestasi atau kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang harus dipenuhi oleh setiap debitor dan bila tidak dipenuhi, kreditor berhak mendapat pemenuhannya dari harta debitor19. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (6) UU Kepailitan dan PKPU, Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Pemberian definisi mengenai utang sangat penting, karena dengan pemberian definisi tersebut akan semakin memperjelas sifat ataupun jenis utang yang dapat diajukan dasar untuk
memenuhi
persyaraan
permohonan
pailit,
yang
sebelumnya tidak terdapat penjelasan mengenai definisi utang. Pemberian definisi mengenai utang oleh UU Kepailitan dan PKPU telah menghilangkan silang pendapat mengenai definisi 19
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 10-11
utang dari para pihak, sehingga dengan adanya definisi memberikan kepastian hukum terkait sifat atau jenis utang yang memenuhi persyaraan permohonan pailit. 4) Tujuan dan Fungsi Kepailitan Hukum kepailitan memiliki fungsi penting, yaitu sebagai realisasi dua pasal KUH Perdata yaituPasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”, dan Pasal 1132 KUH Perdata, yang berbunyi: “Kebendaan tersebut menjadi
jaminan
bersama-sama
bagi
semuaorang
yang
mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Kedua pasal tersebut mengandung arti bahwa debitor wajib bertanggungjawab
terhadap
seluruh
utangnya
dengan
memberikan jaminan pelunasan kepada para kreditornya berupa benda bergerak maupun tidak bergerak dan baik yang sudah ada maupun baru akan ada di masa mendatang kepada seluruh kreditor untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kreditorkreditor secara seimbang menurut besar kecilnya piutang yang dimiliki oleh masing-masing kreditor, kewajiban ini baru hilang apabila debitor telah melunasi semua utangnya kepada kreditor beserta bunga-bunga yang telah ditentukan. Dengan kata lain Kedua pasal ini akan memberikan jaminan bagi para kreditor untuk mendapatkan pelunasan piutang-piutang yang mereka miliki terhadap debitor. Tujuan kepailitan dapat dipahami dari penjelasan umum UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan: “Mengenai
beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu: a) Untuk menghindari perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. b) Untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya. c) Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang
dari
Debitor
untuk
melarikan
semua
harta
kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, hukum kepailitan mempunyai beberapa tujuan, yaitu20: a) Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya atas jaminan. b) Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor diantara para kreditor sesuai dengan asas pari passu (membagi secara proposional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren berdasarkan perimbangan besarnya tagihan masingmasing). c) Mencegah
debitor
melakukan
perbuatan
yang
dapat
merugikan kepentingan para kreditor.
20
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, hlm. 29-30
d) Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya. e) Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. f) Memberi kesempatan kepada debitor dan para kreditornya untuk berunding dan membuat kesepakatan mengenai restrurisasi utang-utang debitor. 5) Syarat-Syarat Mengajukkan Kepailitan Permohonan
penyataan
pailit
harus
memenuhi
ketentuan-ketentuan yang dipersyaratkan oleh UU Kepailitan dan PKPU sehingga permohonan pernyataan pailit yang diajukan diterima dan diputus oleh Pengadilan Niaga. Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa, syarat untuk mengajukan kepailitan adalah: a) Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor (concursus creditorum) Adanya ketentuan ini, merupakan realisasi dari Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan salah satu landasan adanya UU Kepailitan dan PKPU. Hal ini juga sejalan dengan pengertian kepailitan menurut Pasal 1 angka (1) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan kepailitan merupakan sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit. Kata “Sita Umum” berarti bahwa kepailitan diperuntukkan bagi lebih dari satu orang kreditor guna mendapatkan pelunasan
pembayaran utang dari kreditor. Berdasarkan ketentuan ini maka
pemohon
pernyataan
kepailitan
hanya
dapat
mengajukan permohonan pernyataan kepailitan apabila dapat membuktikan adanya lebih dari satu kreditor yang memiliki piutang kepada debitor. b) Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada salah satu kreditornya Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. c) Permohonan pailit diajukan oleh debitor sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditor Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh debitor sendiri maupun oleh satu atau lebih kreditor dengan dapat membuktikan bahwa permohonan pernyataan pailit telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, yaitu debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada salah satu kreditornya. Atas permohonan tersebut kemudian Pengadilan Niaga akan memberikan putusannya. Syarat-syarat ini harus dipenuhi seluruhnya untuk kemudian majelis hakim dapat menjatuhkan putusannya berupa pernyataan pailit kepada debitor, sehingga selama proses persidangan majelis hakim harus memiliki keyakinan
atas bukti-bukti yang diajukan oleh pihak pemohon pailit atas terpenuhinya syarat-syarat tersebut. 6) Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan a) Debitor sendiri. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, permohonan pernyataan pailit
terhadap debitor dapat
dilakukan sendiri oleh debitor tersebut. Apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) terhadap dirinya, maka berlaku ketentuan dalam Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang berbunyi: “Direksi tak berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”. Berdasarkan ketentuan ini, maka dalam hal PT akan mengajukan kepailitan untuk dirinya sendiri dapat dilakukan oleh direksi PT, asalkan mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). b) Seorang atau lebih kreditor. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh seorang atau lebih kreditor. c) Kejaksaan untuk kepentingan umum. Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU, berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum”. Selanjutnya dalam penjelasan, dijelaskan bahwa Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit. Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan /atau kepentingan masyarakat luas, misalnya: (1) Debitor melarikan diri; (2) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; (3) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; (4)Debitor
mempunyai
utang
yang
berasal
dari
penghimpunan dana dari masyarakat luas; (5)Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau (6)Dalam
hal
lainnya
menurut
kejaksaan
merupakan
kepentingan umum. Persyaratan
Kejaksaan
dapat
mengajukan
permohonan pailit diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Permohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum, apabila21: (1)Debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; dan (2)Tidak
ada
pihak
yang
mengajukan
permohonan
pernyataan pailit. d) Bank Indonesia (BI). Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU, berbunyi: “Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan 21
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 17 Tahun 2000TentangPermohonan Pernyataan Pailit Untuk Kepentingan Umum
pailit
hanya
Selanjutnya pengajuan
dapat dalam
diajukan
oleh
penjelasannya,
permohonan
pernyataan
Bank
Indonesia”.
dijelaskan pailit
bagi
bahwa bank
sepenuhnya merupakan kewenangan BI dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan perbankan secara keseluruhan. Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU tentang wewenang Bank Indonesia untuk mempailitkan bank masih diperlukan mengingat jika ada pihak lain yang dapat mengajukan permohonan pailit untuk bank maka dampaknya akan
lebih
berbahaya
bagi dunia perbankan karena
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan akan hilang22. e) Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal. f) Menteri Keuangan. Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU, berbunyi: “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”. Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. 22
Ferdinando Emanuel Gudipung, “Implementasi Kewenangan Bank Indonesia dalam Kepailitan Lembaga Perbankan”, dalam Jurnal Hukum Universitas Atma Jaya YogyakartaFakultas Hukum 2015, hlm 20
Pengertian mengenai BUMN menurut definisi pasal ini, juga memiliki persamaan dengan pengertian Perusahaan Umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usahan Milik Negara, yang berbunyi: “Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar
keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan
perusahaan”. 7) Pihak-Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit a) Orang-perorangan Permohonan pernyataan pailit yang diajukan kepada debitor perorangan harus diajukan kepada pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. b) Badan-badan hukum Menurut ketentuan Pasal 3 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU, dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. c) Perkumpulan-perkumpulan bukan badan hukum Perkumpulan-perkumpulan bukan badan hukum, yaitu firma, yang menurut Pasal 3 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU, dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan
yang
kedudukan
hukum
daerah firma
hukumnya tersebut
meliputi juga
tempat
berwenang
memutuskan. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal masing-masing
persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma23. d) Harta warisan atau harta peninggalan Pasal 207 UU Kepailitan dan PKPU berbunyi: “Harta kekayaan orang yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau lebih Kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa: (1)Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau (2)Pada
saat
meninggalnya
orang
tersebut,
harta
peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya”. Permohonan pernyataan pailit terhadap harta warisan atau harta peninggalan harus diajukan kepada pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal terakhir debitor yang meninggal24. Permohonan pernyataan pailit harus diajukan kepada pengadilan niaga paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah Debitor meninggal25. Ketentuan mengenai perdamaian tidak berlaku terhadap kepailitan harta peninggalan, kecuali apabila warisannya telah diterima oleh ahli waris secara murni26. Putusan pernyataan pailit berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari harta kekayaan ahli warisnya 27. e) Penjamin (Guarantor) Menurut Pasal 1820 KUH Perdata, Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi
23
Pasal 5 UU Kepailitan dan PKPU Pasal 208 UU Kepailitan dan PKPU 25 Pasal 210 UU Kepailitan dan PKPU 26 Pasal 211 UU Kepailitan dan PKPU 27 Pasal 209 UU Kepailitan dan PKPU 24
perikatan
debitur,
bila
debitur
itu
tidak
memenuhi
perikatannya. Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan undang-undang ini seorang penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee atau perusahaan yang memberikan corporate guarantee dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit. 28 8) Mekanisme Permohonan Kepailitan Mekanisme pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor ke Pengadilan Niaga dilakukan sebagai berikut: a) Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada pengadilan niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan debitor29. b) Permohonan pernyataan pailit
diajukan kepada ketua
pengadilan melalui Panitera Pengadilan Niaga. c) Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran30. d) Panitera
menyampaikan permohonan pernyataan pailit
kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan31. e) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal
permohonan
pernyataan
pailit
didaftarkan,
Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang32.
28
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hlm. 97 Pasal 3 ayat (1)UU Kepailitan dan PKPU 30 Pasal 6 ayat (2)UU Kepailitan dan PKPU 31 Pasal 6 ayat (4)UU Kepailitan dan PKPU 32 Pasal 6 ayat (5)UU Kepailitan dan PKPU 29
f) Pengadilan wajib memanggil Debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor33. g) Pengadilan
dapat
memanggil
Kreditor,
dalam
hal
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi34. h) Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan35. Dalam proses beracara di pengadilan niaga, kreditor wajib menggunakan bantuan ahli hukum atau advokat36. Hal ini tidak berlaku dalam hal permohonan diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan37. i) Sidang
pemeriksaan
permohonan
pernyataan
pailit
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan 38. j) Atas permohonan Debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan39. k) Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan40. l) Salinan putusan Pengadilan wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor, pemohon pernyataan pailit, Kurator, dan Hakim Pengawas paling 33
Pasal 8 ayat (1) huruf aUU Kepailitan dan PKPU Pasal 8 ayat (1) huruf bUU Kepailitan dan PKPU 35 Pasal 8 ayat (2)UU Kepailitan dan PKPU 36 Pasal 7 ayat (1)UU Kepailitan dan PKPU 37 Pasal 7 ayat (2)UU Kepailitan dan PKPU 38 Pasal 6 ayat (6)UU Kepailitan dan PKPU 39 Pasal 6 ayat (7)UU Kepailitan dan PKPU 40 Pasal 8 ayat (5)UU Kepailitan dan PKPU 34
lambat 3 hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan41. 9) Akibat Kepailitan Bagi Debitor Adanya pernyataan kepailitan menyebabkan beberapa akibat yang harus dihadapi oleh debitor, diantaranya adalah: a) Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan42. b) Semua perikatan Debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit 43. c) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan44. Hal ini juga berlaku dalam akta autentik yang dibuat oleh notaris yang meskipun mempunyai kekuatan yang sempurna akan tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena pihak didalamnya tidak cakap melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang mensyaratkan
penghadap
haruslah
cakap
melakukan
perbuatan hukum. d) Hibah yang dilakukan Debitor dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan, apabila Kurator dapat membuktikan bahwa
41
pada
saat
hibah
Pasal 9UU Kepailitan dan PKPU Pasal 24 ayat (1)UU Kepailitan dan PKPU 43 Pasal 25 ayat (1)UU Kepailitan dan PKPU 44 Pasal 41 ayat (1)UU Kepailitan dan PKPU 42
tersebut
dilakukan
Debitor
mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor45. e) Putusan Pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor46. Berdasarkan ketentuan ini maka terhadap boedel pailit berlaku keadaan diam (automatic stay). The purpose of the automatic stay is to stop all collection efforts against the debtor and its assets, including actions to realize the value of collateral securing an obligation of the debtor, and to give the debtor breathing room to attempt to develop a repayment plan that will satisfy the debtors outstanding obligations47. Berdasarkan pendapat dari Judith Greenstone Miller dan John C. Murray tersebut, maka fungsi dari adanya keadaan diam adalah untuk menghentikan segala tindakan yang dilakukan untuk melawan debitor dan harta kekayaannya, termasuk tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan pemenuhan kewajiban debitor, dan keadaan diam juga berfungsi memberikan keleluasan bagi debitor untuk berusaha mengatur rencana pembayaran kembali yangdapat memuaskan terkait dengan kewajibankewajiban terhadap utang yang belum dilunasi. Upon the filing of a bankruptcy petition, an automatic stay goes intoeffect which applies to all creditors, including a spouse or former spouseof the debtor. The automatic stay prohibits
45
Pasal 43UU Kepailitan dan PKPU Pasal 31 ayat (1)UU Kepailitan dan PKPU 47 Judith Greenstone Miller dan John C. Murray, “Waivers of Automatic Stay: Are They Enforceable (And Does the New Bankruptcy Act Make a Difference)?. Probate and Trust Law Journal. Volume 41, No. 2, 2006, hlm. 358 46
creditors from attemptingto collect claims against the debtor or against property of the debtor’sbankruptcy estate 48. Automatic stay ini berlaku terhadap seluruh kreditor atas seluruh boedel pailit, apabila debitor pailt terikat persatuan harta bersama maka ketentuan ini berlaku juga terhadap pasangan debitor pailit tersebut. f) Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), menentukan bahwa dalam hal debitornya berupa PT, perubahan anggaran dasar perseroan yang telah dinyatakan pailit tidak dapat dilakukan, kecuali dengan persetujuan kurator. PT dapat dibubarkan apabila harta yang dimiliki PT tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan49. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap: a) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaan, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; b) Segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
48
Mark P. Cornell dan Kelly Ovitt Puc, “Debts, Divorce And Bankruptcy Representing Family LawClients In A Down Economy”, New Hampshire Bar Journal, 2009, hlm 23 49 Pasal 142 ayat (1) huruf d dan e UUPT
c) uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang50. 10) Upaya Hukum Pada Proses Kepailitan Upaya hukum merupakan prosedur beracara yang dapat ditempuh bagi pihak yang tidak menerima putusan yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim pada tingkat sebelumnya. Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 8 (delapan) hari terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera pengadilan niaga yang telah memutus permohonan pernyataan pailit. Permohonan kasasi ini dapat diajukan oleh debitor dan kreditor yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, juga dapat diajukan oleh kreditor lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit 51. Terhadap putusan, atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung 52. Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan, apabila53: a) Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau b) Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.
50
Pasal 22UU Kepailitan dan PKPU Pasal 11 ayat (1), (2), dan (3)UU Kepailitan dan PKPU 52 Pasal 14 dan Pasal 295 ayat (1)UU Kepailitan dan PKPU 53 Pasal 295 ayat (2)UU Kepailitan dan PKPU 51
c. Tinjauan tentang Pihak-Pihak dalam Kepailitan 1) Debitor Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan 54. 2) Kreditor Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Di dalam kepailitan dikenal adanya tiga golongan kreditor berdasarkan sifat-sifatnya berkenaan dengan prosedur pembayaran utang, yaitu kreditor preferen, separatis, serta konkuren. Penggolongan kreditor ini ada sejak dilakukannya rapat verifikasi guna melakukan pencocokan atau pengujian utang debitor yang diakui oleh kreditor-kreditornya55. 3) Kurator Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas56. Menurut Ricardo Simanjuntak Kurator adalah profesional yang diangkat oleh Pengadilan Niaga untuk melakukan pengurusan dan pemberesan. Maksud pengurusan di sini yaitu mencatat, menemukan, mempertahankan nilai, mengamankan, dan membereskan harta dengan cara dijual melalui lelang. “Orang yang bertugas memastikan barang yang disita bisa diindentifikasi, di-manage, dipertahankan, bahkan dikembangkan nilainya untuk dijual dan dibagikan hasilnya kepada kreditor57. Berdasarkan pengertian tersebut kurator
54
Pasal 1 angka (3)UU Kepailitan dan PKPU Pasal 1 angka (2)UU Kepailitan dan PKPU 56 Pasal 1 angka (5)UU Kepailitan dan PKPU 57 LCDC FH UGM.Profesi Hukum – Kurator. http://lcdc.law.ugm.ac.id/detail_profesi296-profesi-hukum--kurator.html, diakses tanggal 1 April 2016 Pukul 06:30 WIB 55
merupakan pihak yang memiliki peran penting terkait terjadinya kepailitan karena keberhasilan pengurusan dan pemberesan boedel pailit ditentukan oleh profesionalitas kurator saat melaksanakan kewenangannya tersebut. Tugas Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan
harta
pailit.Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Kurator58: a) Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan; b) Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, hanya dalam rangka meningkatkan nilai harta pailit. Terkait dengan perbuatan hukum atas boedel pailit yang dilakukan dengan akta autentik, maka kurator yang berwenang dan memiliki legal standing untuk menghadap kepada notaris. Legal standing adalah kewenangan bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum59. Dasar hukum yang digunakan oleh kurator pada saat menghadap notaris adalah salinan putusan pengadilan niaga yang menunjuknya sebagai kurator.
Menurut
G.H.S
Lumbun
Tobing,
lembaga
kenotariatan timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia yang menghendaki adanya suatu alat bukti mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada atau terjadi diantara mereka60. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang dapat diandalkan, segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang 58
Pasal 69 ayat (1) dan (2)UU Kepailitan dan PKPU Mulyoto, Legal Standing, Cakrawala Media, Yogyakarta, 2016, hlm. 1 60 G.H.S. Lumbun Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1999, hlm. 2 59
kuat dalam suatu proses hukum61. Akta yang dibuat Notaris memiliki kekuatan pembuktian sempurna tidak seperti pada akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum62. Akta adalah suatu tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dapat dijadikan bukti bila ada suatu peristiwa dan ditanda tangani63. Akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan
sekaligus
bagi
masyarakat
secara
64
keseluruhan . Jika tindakan yang dilakukan oleh kurator terjadi penyelewengan
maka
pihak
terkait
dapat
mengajukan
keberatan atas perbuatan tersebut dengan cara melaporkannya kepada hakim pengawas, sedangkan bagi notaris jika penyelewengan yang dilakukan oleh kurator tersebut diluar sepengetahuannya
maka
tidak
dapat
dipersalahkan.
Pencantuman nama notaris pada akta notaris, tidak berarti pihak di dalamnya turut serta, menyuruh atau membantu melakukan suatu tindakan hukum tertentu yang dilakukan para pihak para pihak atau penghadap, tetapi hal tersebut merupakan aspek formal akta notaris sesuai UUJN 65. 61
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktik Notaris, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2011, hlm. 444 62 A.A. Andi Prayitno, Apa dan Siapa Notaris di Indonesia?, Putra MediaNusantara, Surabaya, 2010, hlm. 51 63 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradinya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 48 64 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Prespektif Hukum dan Etika, UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 16 65 Habib Adjie, Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 31
Terkait dengan akibat kepailitan terhadap Perseroan Terbatas mengakibatkan seluruh kegiatan Perseroan Terbatas yang sebelumnya dilakukan oleh organ Perseroan Terbatas beralih menjadi kewenangan kurator. Selanjutnya dapat diinventarisir bahwa kewenangan Kurator yang berkenaan dengan harta kekayaan Perseroan Terbatas, telah mengurangi dan mengambil alih kewenangan Direksi dalam hal66: a) Berkenaan dengan tugas pengurusan Direksi. b) Direksi kehilangan kewenangan atau hak menguasai dan mengurus kekayaan PT yang termasuk dalam harta pailit terhitung sejak putusan pailit diucapkan. c) Direksi tidak bewenang menjalankan kegiatan usaha PT apabila dalam proses kepailitan, kegiatan perseroan tersebut akan dijalankan kembali. Yang berwenang adalah Kurator dengan persetujuan dari Panitia Kreditur (jika ada) atau ijin dari Hakim Pengawas. Creditors and other parties-in-interest involved in bankruptcy proceedings have a variety of tools that they can utilize to obtain the best possible position in a debtor’s bankruptcy case. One of the tools that provides great leverage for a creditor is a motion requesting the appointment of an examiner in a bankruptcy case67. Di Amerika Serikat keberadaan
kurator
sangat
penting
untuk
melindungi
kepentingan seluruh kreditor karena adanya kewenangan yang dimiliki
olehnya
untuk
melakukan
pemeriksaan
dan
penyelidikan aset-aset yang dimiliki debitor pailit guna melindungi boedel pailit, hal ini juga berlaku di hukum
66
Hotmian Helena Samosir, Permasalahan Atas Wajib Pajak Yang Dinyatakan Pailit Terkait Pemenuhan Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Perpajakan, diakses tanggal 4 April 2011 Pukul 07:10 WIB. 67 Ted A. Berkowitz dan Veronique A. Urban, “Is Good Faith a Required Element?”,Pratt‟s Journal of Bankruptcy Law, Vol 8, Number 4, 2012, hlm 310
kepailitan di Indonesia yaitu dengan pemberian kewenangan kepada kurator terkait pengurusan dan pemberesan boedel pailit. 4) Hakim Pengawas Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang68. Hakim Pengawas mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit, berkenaan dengan tugas tersebut, pengadilan niaga wajib mendengar pendapat Hakim Pengawas,
sebelum
mengambil suatu putusan
mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit 69. Kedudukan hakim pengawas sangatlah penting karena sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pemberesan harta pailit, Pengadilan Niaga wajib mendengarkan pendapat/nasehat terlebih dahulu dari hakim pengawas Bentuk-bentuk pengawasan yang dapat dilakukan oleh Hakim Pengawas terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit yaitu 70: a) Perizinan oleh Hakim Pengawas kepada kurator; b) Penetapan dari Hakim Pengawas; c) Persetujuan dari Hakim Pengawas; d) Pemberian usul oleh Hakim Pengawas; e) Pemberian perintah oleh Hakim Pengawas. Pada asasnya, ruang lingkup tugas Hakim Pengawas tidak terbatas hanya untuk memberikan persetujuan atau izin kepada Kurator saja, melainkan jugaberwenang memberikan instruksi kepada Kurator untuk melakukan atau tidak
68
Pasal 1 angka 8UU Kepailitan dan PKPU Pasal 65 juncto Pasal 66UU Kepailitan dan PKPU 70 Murdiono Sahupala, Tugas Dan Wewenang Hakim Pengawas Terhadap Pengurusan Dan Pemberesan Harta Debitor Pailit, artikel dalam Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016, hlm. 64 69
melakukan sesuatu sehubungan dengan harta pailit, serta Hakim
Pengawas
wajib
didengar
pendapatnya
oleh
Pengadilan Niaga sebelum mengambil putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit 71.
d. Tinjauan tentang Penggolongan Kreditor Kepailitan Verifikasi dalam peraturan kepailitan ialah prosedur untuk menetapkan hak menagih. Hal itu berarti bahwa verifikasi menetapkan tentang tata cara kreditor menyampaikan tagihannya agar tagihan itu dapat diakui dan ditetapkan72. Pada rapat verifikasi ini, kreditor akan berusaha untuk meyakinkan kepada kurator mengenai kebenaran piutang yang dimilikinya terhadap debitor pailit dengan bukti-bukti yang dimilikinya, dengan tujuan agar piutangnya diterima sebagai utang debitor pailit untuk kemudian dibayar dengan boedel pailit, sedangkan kurator akan menguji kebenaran pencocokan piutang yang dimiliki kreditor tersebut untuk kemudian mencatatkannya sebagai piutang yang diakui dan dapat dibayar dengan boedel pailit. Sebagai tambahan dari Rapat Verifikasi, seluruh Kreditor dapat dipanggil untuk bertemu dan mendiskusikan hal-hal berikut ini, antara lain 73: 1) Usul untuk pemecatan atau penggantian kurator; 2) Usul untuk pembubaran atau penggantian panitia kreditor sementara (yang telah ditunjuk oleh Pengadilan sebelumnya) dan menggantinya dengan panitia kreditor tetap. 3) Usul untuk menyetujui rencana perdamaian; 71
Mulyadi Lilik, Tugas dan Wewenang Hakim Pengawas Dalam Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, http://www.pn-bengkayang.go.id/files/download/ e733b0809734fe0, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 07:00 WIB 72 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2013, hlm. 86 73 PN Semarang. Menjadi Kreditor yang Efektifdalam Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), diakses tanggal 11 April 2016 Pukul 07:00 WIB
4) Cara untuk menjual harta atau aset debitor dalam perkara kepailitan. Ketentuan Pasal 113 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa: “Paling lambat 14 (empat belas) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, Hakim Pengawas harus menetapkan: 1) Batas akhir pengajuan tagihan; 2) Batas akhir verifikasi pajak untuk menentukan besarnya kewajiban pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; 3) Hari, tanggal, waktu, dan tempat rapat Kreditor untuk mengadakan pencocokan piutang”. Semua kreditor wajib menyerahkan piutangnya masingmasing kepada kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menunjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan surat bukti atau salinannya, dan suatu pernyataan ada atau tidaknya Kreditor mempunyai suatu hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda. Atas penyerahan piutang tersebut, kreditor berhak meminta suatu tanda terima dari kurator74. Kurator wajib memasukkan piutang yang disetujuinya ke dalam suatu daftar piutang yang sementara diakui, sedangkan piutang yang dibantah termasuk alasannya dimasukkan ke dalam daftar tersendiri75. Daftar tersebut, dibubuhkan pula catatan terhadap setiap piutang apakah menurut pendapat kurator piutang yang bersangkutan diistimewakan atau dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda bagi tagihan 74 75
Pasal 115UU Kepailitan dan PKPU Pasal 117UU Kepailitan dan PKPU
yang bersangkutan dapat dilaksanakan. Apabila kurator hanya membantah adanya hak untuk didahulukan atau adanya hak untuk menahan benda, piutang yang bersangkutan harus dimasukkan dalam daftar piutang yang untuk sementara diakui berikut catatan kurator tentang bantahan serta alasannya76. Menurut pendapat Paulus E. Lotulung, Penentuan klasifikasi tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap Harta Pailit debitor, guna diperinci tentang berapa besarnya piutang-piutang yang dapat dibayarkan kepada masing-masing Kreditor, yang diklasifikasikan menjadi daftar piutang yang diakui maupun yang dibantah atau yang sementara diakui77. Berdasarkan rapat verifikasi, kemudian muncul tiga golongan kreditor yang berhak untuk memperoleh pembayaran piutang dari boedel pailit, yaitu: 1) Kreditor Konkuren Kreditor konkuren adalah para kreditor dengan hak pari passu dan pro rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada hak yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitor tersebut. 2) Kreditor Preferen Berdasarkan Pasal 1134 KUH Perdata, kreditor preferen merupakan kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang yang
berpiutang
lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat
piutangnya. 3) Kreditor Separatis 76
Pasal 118 UU Kepailitan dan PKPU Hukumonline, Kepailitan (2), http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4504/kepailitan-%282%29, diakses tanggal 8 April 2016 Pukul 15:30 WIB 77
Kreditor separatis yaitu kreditor pemegang jaminan hak kebendaan in rem, yang dalam KUH Perdata disebut dengan nama gadai dan hipotek. Pada saat ini, sistem hukum jaminan Indonesia mengenal 4 (empat) macam jaminan, antara lain: Hipotek, Gadai, Hak Tanggungan, serta Fidusia 78. Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor79, sedangkan menurut J. Andy Hartanto, Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindaksendiri, merupakan golongan kreditor yang tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor80. Kedudukan bagi kreditor separatis untuk didahulukan pembayaran piutangnya ditegaskan oleh KUH Perdata, yaitu Pasal 1132 KUH Perdata yang berbunyi: “Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor terhadapnya, hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasanalasan sah untuk didahulukan”, Pasal 1133 KUH Perdata, yang berbunyi: “Hak untuk didahulukan di antara para kreditor bersumber pada hak istimewa, pada gadai, dan pada hipotek”, serta Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata, yang berbunyi: “Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya”. 78
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 5-8 Royke A. Taroreh, Hak Kreditor Separatis Dalam Mengeksekusi Benda Jaminan Debitor Pailit, artikel dalam Jurnal Hukum Universitas Samratulangi, Vol.II/No.2/Januari-Maret /2014 Edisi Khusus, hlm. 115 80 J. Andy Hartanto, Hukum Jaminan dan Kepailitan-Hak Kreditor Separatis dalam Pembagian Hasil Penjualan Benda Jaminan Debitor Pailit,LaksBang Justitia, Surabaya, 2015, hlm. 91 79
Menurut hukum walaupun pihak pengadilan telah menunjuk kurator yang bertugas melakukan pengurusan terkait boedel pailit, namun kreditor separatis tetap memiliki hak untuk melakukan
eksekusi
dimilikinya. Eksekusi
sendiri tersebut
terhadap dapat
jaminan
dilakukan
yang setelah
berakhirnya masa penangguhan atau dimulainya keadaan insolvensi81. Kreditor separatis memiliki kedudukan yang diutamakan, didahulukan serta kedudukan yang dipisahkan terkait pembayaran piutang yang dimiliki olehnya dari kreditor konkuren, akan tetapi hak kreditor separatis tersebut dibatasi oleh ketentuan pemamgguhan eksekusi (stay) selama 90 (sembilan puluh) hari dan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 56 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU.
e. Tinjauan tentang Penangguhan Eksekusi Dan Pembatasan Jangka Waktu Eksekusi Pemegang Hak Tanggungan saat Kepailitan Pengertian Eksekusi
menurut
Kamus Besar
Bahasa
Indonesia adalah pelaksanaan putusan hakim atau penyitaan dan penjualan harta orang krn berutang 82. Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut83.
81
Fairus Harris, Keistimewaan Kreditor Separatis dalam Proses Kepailitan, http://strategihukum.net/ keistimewaan-kreditor-separatis-dalam-proses-kepailitan, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 07:30 WIB 82 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hlm. 377 83 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm. 239
Menurut M. Yahya Harahap, asas-asas eksekusi meliputi84: 1) Menjalankan putusan yang telah berkekuatan hokum tetap; 2) Putusan tidak dijalankan secara sukarela; 3) Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnatoir, yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur: “penghukuman”. Penghukuman dapat dirumuskan dalam
kalimat:
“menghukum
atau
memerintahkan
menyerahkan, mengosongkan , melakukan, penghentian atau pembayaran” apabila salah satu ciri tersebut terdapat dalam amar putusan, maka putusan tersebut bersifat kondemnatoir; 4) Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Setiap putusan hakim selalu diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”, kalimat tersebut juga tercantum pada sertifikat hak tanggungan, sehingga dengan adanya kalimat tersebut memberikan kekuatan layakna putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga tidak lagi diperlukan putusan pengadilan bagi kreditor untuk melakukan eksekusi atas obyek hak tanggungan apabila terjadi wanprestasi debitor, berdasarkan ketentuan Pasal 20 UUHT, kreditor pemegang hak tanggungan dapat melakukan eksekusi atas benda jaminan dengan cara parate executie, titel eksekutorial atau dengan cara penjualan di bawah tangan. UU Kepailitan dan PKPU memberikan ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi kepada hak pemegang hak tanggungan untuk melakukan 84
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.6
eksekusi atas benda jaminan debitor pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang berbunyi: “Hak eksekusi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Pasal 59 ayat (1) UU Kepailitan
dan
PKPU
yang
berbunyi:
“Dengan
tetap
memperhatikan ketentuan Pasal 56, Pasal 57, danPasal 58, Kreditor pemegang hak sebagaimana dimaksud dalamPasal 55 ayat (1) harus melaksanakan haknya tersebut dalamjangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1)”. Tujuan pemberlakuan penangguhan menurut Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, antara lain: 1) untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian; atau 2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit; atau 3) untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik Kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan. Pemberlakuan
penangguhan
eksekusi
(stay)
akan
memberikan konsekuensi bagi pemegang hak tanggungan yaitu hanya dapat melakukan haknya untuk mengeksekusi benda jaminan setelah lewatnya jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari atau setelah terjadinya insolvensi, sedangkan pemberlakuan ketentuan pembatasan jangka waktu eksekusi selama 2 (dua) bulan akan
memberikan konsekuensi bagi kreditor pemegang hak tanggungan, yaitu harus segera mengeksekusi benda jaminan selama jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut jika terlewati jangka waktu tersebut, maka kewenangan eksekusi akan beralih kepada kurator selaku pengurus dan pemberes boedel pailit.
f. Tinjauan tentang Hak Tanggungan 1) Pengertian Hak Tanggungan dan Kedudukannya Perkembangan perekonomian dan dunia bisnis akan selalu diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit, dan pemberian fasilitas kredit yang selalu memerlukan jaminan, hal ini demi keamanan pemberian kredit tersebut dalam arti putang yang meminjamkan akan terjamin dengan adanya jaminan 85. Istilah jaminan merupakan terjemahan dan istilah zekerheid atau cautie yaitu kemampuan debitor untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang dinilai ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitor terhadap kreditornya86. Hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit 87. Fungsi jaminan sebagai
salah satu aspek penilaian dalam analisis kredit
terhadap kemungkinan adanya Debitor yang tidak membayar kembali kredit yang diterimanya 88. Praktik pelaksanaan kredit, jaminan berupa benda tidak bergerak atau tanah merupakan 85
R. Subekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 5 86 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 66 87 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 6 88 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan, Intermedia, Jakarta, 1995, hlm. 99
jaminan yang paling diterima oleh setiap Bank, karena tanah mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan tidak akan mengalami penurunan nilainya89. Hak tanggungan merupakan salah satu jaminan kebendaan yangmempunyai sifat accesoir, yang timbul karena adanya perjanjian pokok berupa perjanjian utang piutang antara debitor dengan kreditor. Pasal 1 angka (1) UUHT berbunyi: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka terdapat elemen atau unsur-unsur dari Hak Tanggungan, yaitu 90: a) Hak Tangungan merupakan Hak Jaminan b) Hak Tanggungan dibebankan atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah c) Untuk pelunasan suatu utang tertentu d) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Kreditor tertentu terhadap kreditor lain. UU Nomor 4 Tahun 1996 mengatur lembaga jaminan yang
disebut
Hak Tanggungan.Lembaga
jaminan
Hak
Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan 89
Habib Adjie, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 2 90 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 65
tanah yang bersangkutan. Dengan berlakunya UU Nomor 4 Tahun 1996, maka hipotek yang diatur KUH Perdata dan credit verband yang sebelumnya digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang, untuk selanjutnya tidak dapat digunakan untuk mengikat tanah sebagai jaminan utang91. Pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis merupakan pihak yang didahulukan pelunasannya daripada kreditor biasa, dengan cara menjual benda jaminan melalui prosedur lelang atau menjual dibawah tangan, sehingga pemegang jaminan kebendaan terjamin pelunasan piutangnya. Pihak kreditor yang tidak memiliki hak jaminan disebut kreditor konkuren yang mendapatkan pembayaran piutangnya setelah dilakukan pembayaran kepada kreditor separatis terlebih dahulu, menerima pembayaran piutangnya secara seimbang sesuai dengan perbandingan besar kecilnya piutang yang dimiliki dengan kreditor konkuren lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 Pasal 1133, dan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata. Hal ini juga diakomodir dalam Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang berbunyi: “Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan”. Obyek hak tanggungan pada pokoknya adalah tanah, namun demikian hak tanggungan juga dapat dibebankan kepada barang-barang yang ada di atas tanah
91
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit perbankan Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 22
tersebut yang sifatnya menyatu dengan tanah92. Objek-objek Hak Tanggungan adalah93: a) Hak Milik b) Hak Guna Usaha c) Hak Guna Bangunan d) Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan e) Hak Pakai atas Hak Milik. Utang
yang dijamin pelunasannya dengan Hak
Tanggungan dapat berupa94: a) Utang yang telah ada (ditentukan dengan perjanjian kredit); b) Utang yang akan ada tetapi telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu (masih dalam tahap perjanjian, diperjanjikan dalam jumlah tertentu); c) Utang
yang akan ada
permohonan
eksekusi
yang Hak
jumlahnya pada saat Tanggungan
diajukan
(ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yangmenimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan). Contoh: akumulasi hutang. Pihak yang menjadi subyek hak tanggungan adalah pemberi dan penerima/pemegang hak tanggungan, pihak yang memiliki obyek hak tanggungan berkedudukan sebagai pemberi hak tanggungan, yang dapat pihak debitor sendiri maupun pihak lain yang telah memberikan persetujuannya untuk membebanibenda tidak bergerak miliknya menjadi 92
Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, PT. Kencana Prenamedia Group, Jakarta, 2014, hlm.113 93 Sutan Remi Sjahdeinni, Hak Tanggungan-Asas-Asas Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapii Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Jakarta, 1999, hlm. 63 94 Trias Consultant, Legal Memorandum tentang Hak Tanggungan, http://www.triasconsultant.com/legal-memorandum-tentang-hak-tanggungan/, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 09:45 WIB
obyek hak tanggungan, sedangkan pihak kreditor merupakan pihak yang memberikan pinjaman berupa utang kepada debitor, kreditor ini berkedudukan sebagai penerima/pemegang hak tanggungan. 2) Proses Terjadinya Hak Tanggungan Hak tanggungan didahului dengan adanya perjanjian pokok yaitu utang piutang antara debitor dan kreditor.Obyek yang dapat dikenai oleh hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangungan, serta hak pakai atas tanah negara yang menurut sifatnya wajib didaftarkan.Pihak debitor selaku pihak yang memiliki utang berkedudukan sebagai pemberi hak tanggungan sedangkan pihak kreditor selaku pihak yang memiliki piutang berkedudukan selaku penerima hak tanggungan, baik kreditor maupun debitor dapat berupa orang perseorangan maupun badan hukum. Proses terjadinya hak tanggungan diawali dengan dibuatnya perjanjian pokok yang mensyaratkan adanya pengikatan jaminan dengan menggunakan hak tanggungan, setelah itu maka dibuatlah Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dapat langsung dibuat atau dengan terlebih dahulu dibuatnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang dapat dibuat oleh Notaris maupun PPAT, notaris atau PPAT sebaiknya melakukan pengecekan ke kantor pertanahan untuk memastikan obyek yang menjadi hak tanggungan tidak sedang dijadikan jaimnan ataupun berstatus tanah sengketa. Menurut Ketentuan Pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. SKMHT ini pada prinsipnya dibuat karena belum dapat dibuatnya/ditandatanganinya
APHT
berdasarkan
alasan
tertentu. Jadi pada prinsipnya kegunaan atau fungsi dari SKMHT adalah agar kemudian hari sesuai waktu yang ditentukan pihak Bank/ Kreditor dapat mewakili pemberi jaminan untuk melaksanakan pembebanan hak tanggungan dengan menandatangani APHT95. SKMHT tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut96: a) Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan; b) Tidak memuat kuasa substitusi; c) Mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. SKMHT yang telah dibuat ini tidak dapat ditarik kembali atau dibatalkan kecuali jangka waktu telah diberikan untuk meningkatkannya menjadi APHT telah habis, yaitu dalam hal obyeknya berupa tanah yang sudah terdaftar haknya 1 (satu) bulan, sedangkan atas tanah yang belum tedaftar haknya selama 3 (tiga) bulan.Tahap selanjutnya setelah dibuatnya SKMHT adalah pembuatan APHT ataupun dapat juga langsung dibuat APHT tanpa terlebih dahulu dibuat SKMHT.
95
Alwesius, SKMHT: Problem Yang (Tak Boleh) Dipelihara, http://medianotaris.com/ skmht_problem_yang_tak_boleh_dipelihara_berita302.html, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 08:00 WIB 96 Pasal 15 ayat (1) UUHT
Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan97: a) Nama
dan
identitas
pemegang
dan
pemberi
Hak
Tanggungan; b) Domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih; c) Penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin d) Nilai tanggungan; e) Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Janji yang dilarang untuk dimuat dalam APHT menurut Pasal 12 UUHT adalah janji yang memberikan hak kepada penerima hak tanggungan untuk memiliki benda jaminan dalam hal debitor wanprestai, berdasarkan pasal ini maka pihak kreditor selaku penerima hak tanggungan tidak dapat menjadi pemilik obyek hak tanggungan meskipun debitor telah wanprestai. APHT ini wajib didaftrakan ke kantor pertanahan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal pembuatan APHT, untuk kemudian kantor pertanahan mendaftarkannya ke dalam buku tanah serta menyalinnya dalam sertifikat tanah, dan kemudian diterbitkan sertifikat hak tanggungan oleh kantor pertanahan. Sertifikat hak tanggungan yang dilekuarkan oleh kantor pertanahan ini terdapat kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”, kalimat ini yang menjadikan hak tanggungan memiliki 97
Pasal 11 ayat (1) UUHT
kekuatan eksekutorial layakna putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial. Pendaftaran APHT bertujuan agar sertipikat Hak Tanggungan dapat lahir dan kreditor sebagai pihak yang berkepentingan
dilindungi
hak-haknya
oleh
Hak
Tanggungan98. Berakhir atau hapusnya hak tanggungan dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu 99: a) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; b) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. 3) Akibat adanya Hak Tanggungan Dengan
adanya
hak
tanggungan
memberikan
konsekuensi yuridis bagi pihak pemberi dan penerima hak tanggungan, yaitu; a) Hak eksekusi atas benda jaminan apabila debitor melakukan wanprestasi. Kemudahan untuk melakukan eksekusi apabila debitor melakukan wanprestasi merupakan kelebihan yang dimiliki pranata hukum hak tanggungan, kelebihan itu yaitu adanya hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan untuk memperoleh pelunasan pembayaran piutangnya dengan melakukan eksekusi sendiri atas benda jaminan tersebut.
98
Surya Harinata, “Akibat Hukum Lewatnya Batas Waktu Kewajiban Mendaftarkan APHT Oleh PPAT”, dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Volume 3 Nomor 2 2014 99 Pasal 18 ayat (1) UUHT
Ketentuan ini tercantum pada Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi: “Debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya. Selanjutnya ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT menentukan bahwa: “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang
Hak
Tanggungan,
penjualan
obyek
Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut apabila debitor wanprestasi, maka kreditor pemegang hak tanggungan dapat melakukan eksekusi atas benda jaminan dengan 3 cara, yaitu: (1)Parate executie Parate executie merupakan hak kreditor pertama untuk menjual barang-barang tertentu milik debitor secara lelang tanpa terlebih dahulu mendapatkan fiat pengadilan100, sedangkan pengertian parate eksekusi menurut Sudarsono, adalah pelaksanaan lelang tanpa melalui proses pengadilan 101. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Parate executie 100
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2008, hlm. 128 101 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 39
merupakan kewenangan yang dimiliki oleh kreditor pemegang hak tanggungan untuk memenuhi haknya atas piutang yang dimiliki dengan cara menjual obyek hak tanggungan,
hal
ini
sesuai
dengan
ketentuan
sebagaimana diatur Pasal 6 UUHT yang berbunyi: “Apabila
debitor
cidera
janji,
pemegang
Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Menurut Pitlo, Parate Executie adalah suatu penjualan yang berada di luar wilayah hukum acara dan tidak perlu adanya penyitaan, tidak melibatkan jurusita, kesemuanya dilakukan seperti orang yang menjual barangnya sendiri di muka umum102. Ketentuan terkait parate executie ini juga terdapat pada Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT, yang berbunyi: “Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain: janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji”. Parate
executie
ini
dalam
pelaksanaanya
mengalami banyak hambatan. Pada kenyataanya, kantor lelang
negara
penjualan
yang tidak
lelang
obyek
bersedia Hak
melaksanakan
Tanggungan
atas
permohonan kreditor (bank) dengan alasan harus fiat dari ketua
Pengadilan
Negeri103.
Pelaksanaan
Parate
Eksekusi Jaminan Utang Debitor melalui mekanisme Pelelangan Umum dilakukan dengan melalui tahapan102 103
J. Andy Hartanto, Op.cit. hlm 98 Ibid, hlm 100
tahapan sebagai berikut : 1) Tahap Pertama: pemeriksaan dokumen permohonan lelang parate eksekusi Hak tanggungan oleh pemohon lelang; 2) Tahap Kedua: penetapan jadwal pelaksanaan lelang; 3) Tahap Ketiga: kewajiban pemohon parate eksekusi (pihak kreditor) untuk mengumumkan kepada khalayak ramai atas rencana lelang parate eksekusi; 4) Tahap Keempat: pemeriksaan calon peserta lelang; 5) Tahap Kelima: pelaksanaan lelang dan penetapan pemenang lelang; 6) Tahap Keenam : pembuatan produk hukum berupa risalah lelang104. (2)Melakukan titel eksekutorial yang tercantum pada sertifikat hak tanggungan Adanya kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum pada sertifikat hak tanggungan memberikan kekuatan layakna putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), sehingga tidak lagi diperlukan putusan pengadilan bagi kreditor untuk melakukan eksekusi atas obyek hak tanggungan apabila terjadi wanprestasi debitor. Ketentuan terkait hal ini terdapat pada Pasal 14 ayat (3) UUHT, yang berbunyi: “Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah”. Dapat dikatakan bahwa prosedur eksekusi dengan titel eksekutorial harus melalui izin dan atas 104
Ni Nengah Sugihartini, Pelelangan Obyek Hak Tanggungan Karena Debitur Wanprestasi (Studi di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (KPKNL) Mataram), Dalam Jurnal IlmiahFakultas Hukum Universitas Mataram 2015, Hlm VI
perintah ketua pengadilan negeri (Fiat Ketua Pengadilan Negeri) terlebih dahulu, baru kemudian dapat dilanjutkan dengan pelelangan dimuka umum105. Ketentuan titel eksekutorial ini juga terdapat pada ketentuan
Pasal
224
Reglemen
Indonesia
yang
diperbaharui (RIB), yang berbunyi: “Grosse dari akta hipotek dan surat utang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya berbunyi "Demi keadilan berdasarkan KeTuhanan yang Maha Esa" berkekuatan sama dengan keputusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat demikian dijalankan dengan perintah dan di bawah pimpinan ketua pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya tempat diam atau tempat tinggal debitor itu atau tempat kedudukan yang dipilihnya, yaitu menurut cara yang dinyatakan pada pasal-pasal yang lalu dalam bagian ini, tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan hanya boleh dilakukan, jika sudah dengan keputusan hakim. Jika keputusan hakim itu harus dilaksanakan seluruhnya atau sebagian di luar daerah hukum
pengadilan
negeri
yang
memerintahkan
pelaksanaan keputusan itu, maka haruslah dituruti peraturan Pasal 195 ayat (2) dan seterusnya”. (3)Penjualan di bawah tangan Eksekusi berupa penjualan obyek hak tanggungan dapat dilakukan dengan penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan dengan debitor maupan dengan pelelangan umum dengan melalui kantor pelelangan negara. Ketentuan terkait hal ini terdapat pada Pasal 20 ayat (2) UUHT yang berbunyi: “Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan 105
J. Andy Hartanto, Op.cit. hlm. 102
obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak”. Diperbolehkannya
eksekusi
dengan
cara
penjualan dibawah tangan merupakan kemudahan yang diberikan UUHT supaya benda jaminan dapat dengan cepat dieksekusi oleh kreditor. mengantisipasi
tentang
Hal ini juga untuk
kemungkinan-kemungkinan
negatif dengan lelang umum, bisa saja harganya lebih rendah dan sebagainya dan di sebagian wilayah Indonesia ada keengganan untuk membeli benda-benda melalui lelang, karena katanya tidak ada ijab kabul dalam jual beli yang demikian106. Menurut Pasal 21 UUHT, adanya kepailitan tidak mengakibatkan hapusnya hak tanggungan, dan pemegang hak tanggungan dapat tetap melakukan hak-haknya. Eksekusi terhadap obyek jaminan yang telah dipasang Hak Tanggungan,
merupakan
suatu
bentuk
penyelamatan
terakhir yang dapat dilakukan oleh pihak kreditor apabila debitur telah cidera janji, dengan tujuan untuk memperoleh pelunasan utang-utang dari debitor kepada pihak kreditor107. b) Debitor
selama
berlangsungnya
pembebanan
hak
tanggungan dibatasi hak-haknya Hak debitor atas obyek hak tanggungan dibatasi dan untuk
tetap
dapat
melakukannya
maka
diperlukan
persetujuan tertulis dari kreditor. Hak-hak debitor yang dibatasi tersebut diantaranya:
106
A.P. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan & Sejarah Terbentuknya,CV. Mandar Maju, Bandung,1996, hlm. 65 107 David Adrian, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Atas Objek Hak Tanggungan Dari Upaya Sita Jaminan Oleh Pihak Ketiga,artikel dalam JurnalLex Privatum, Vol.II/No. 1/JanMar/2014, 2014, hlm. 150
(1) Hak untuk mengadakan sewa menyewa atas obyek hak tanggungan (2) Hak untuk melakukan perubahan susunan maupun bentuk atas obyek hak tanggungan (3) Hak untuk melakukan jual beli, hibah, maupun pelepasan atas obyek hak tanggungan.
g. Tinjauan tentang Teori Penerapan Hukum Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi 108. Menurut B.Arief Sidharta Teori Ilmu Hukum (rechtstheorie) secara umum dapat diartikan sebagai ilmu atau disiplin hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya mau pun dalam pengejawantahan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan masyarakat. Obyek telaahnya adalah gejala umum dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis bahan hukum, metode dalam hukum dan kritik ideologikal terhadap hukum109. Teori yang dipergunakan pada penulisan ini adalah teori keadilan. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat keseimbangan
yang 110
tertib,
menciptakan
ketertiban
dan
. Ketertiban dan keseimbangan merupakan tatanan
yang dikehendaki oleh hukum, karena dengan terciptanya ketertiban dan keseimbangan maka hak-hak para pihak yang terkait
108
J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, UI Press, Jakarta, 1996, hlm. 203 Krisnaptik, Teori Hukum Dan Pengertian, https://krisnaptik.com/polri-4/teori/teorihukum-dan-pengertian/, diakses tanggal 12 April 2016 Pukul 21:30 WIB 110 Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor, dan PihakPihak Berkepentingan dalam Kepailitan, PT. Alumni, Bandung, 2011, hlm. 22 109
di dalamnya akan terlindungi sehingga menciptakan keadilan bagi semua pihak dan mencegah terjadinya konflik. Ketertiban merupakan tatanan ideal di dalam masyarakat, karena dengan adanya ketertiban akan terjadi keseimbangan diantara hak dan kewajiban sehingga hak dan kewajiban tersebut dapat diakui dan dijamin eksistensinya oleh hukum. Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya 111. Keadilan terkait hal ini tidak dipandang sebagai penyemarataan bagian hak yang diterima oleh masing-masing pihak, akan tetapi berdasarkan prosentase besar kecilnya bagian masing-masing pihak. Menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan untuk mencapai keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang adil dan tidak. Dengan perkataan lain hukum menurut teori ini bertujuan merealisir atau mewujudkan keadilan 112. Keadilan erat kaitannya dengan terpenuhi hak-hak oleh pihak yang secara hukum memiliki kewenangan atas hak-hak tersebut di satu sisi, dan disisi lain terlaksananya kewajiban yang menjadi tanggung jawab pihak yang diharuskan melaksanakan kewajiban tersebut. Tokoh yang menganut teori etis adalah Aristoteles, menurut Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva
(distributive
justice)
dan
justitia
commutativa
(remedial justice). Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya: suum cuique 111
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid I, PT. Balai Pustaka (Persero), Jakarta, 2000, hlm. 15 112 Ibid, hlm. 23
tribuere (to each his own)113. Adil ialah apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya. Justitia distributiva merupakan tugas pemerintah terhadap warganya 114. Justitia commutativa
memberi kepada setiap orang sama
banyaknya. Tuntutan akan keadilan dan kepastian, menurut Radbruch, merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum, sedangkan finalitas mengandung unsur relativitas karena tujuan keadilan (sebagai isu hukum) untuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam hukum. Nilai kebaikan bagi manusia dimaksud, dapat dihubungkan dengan tiga subyek (yang hendak dimajukan kebaikannya), yakni individu, kolektivitas, dan kebudayaan115, sedangkan menurut Roscoe Pound, pada dasarnya, „kondisi awal‟ struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang terpinggirkan.Untuk menciptakan „dunia yang beradab‟, ketimpangan-ketimpangan struktural itu perlu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional 116. Menurut pendapat Mill keadilan bukan prinsip terpisah yang muncul secara indpenden, melainkan merupakan bagian dari kemanfaatan itu sendiri117. Teori keadilan ini akan penulis gunakan untuk menjawab rumusan masalah ke-1 (satu) pada penelitian ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa teori keadilan akan digunakan untuk menelaah inkonsistensi dan pertentangan UU Kepailitan dan PKPU dengan
113
Ibid, hlm. 24 Ibid 115 Bernard L. Tanya, dkk, Teori Hukum – Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 130 116 Ibid, hlm. 155 117 Karen Lebacqz, Six Theories of Justice (edisi terjemahan), Nusa Media, Bandung, 2013, hlm 18 114
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Selain menggunakan teori keadilan, penulis juga akan menggunakan teori perlindungan hukum. Menurut pendapat dari Philipus M. Hadjon, prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan perlindungan terhadapnya
secara
intrinsik
melekat
pada
Pancasila
dan
seyogyanya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang berdasarkan Pancasila118. Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sudah selayaknya dijadikan landasan dan sumber hukum bagi pembentukan hukum di Indonesia sehingga sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan kemudian dapat ditaati dan dipertahankan eksistensinya. Konsep perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia dapat diaktualisasikan dengan terjaminnya hak kreditor pemegang
hak
tanggungan
untuk
memperoleh
pelunasan
pembayaran piutangnya dari debitor pailit dengan melakukan eksekusi atas benda jaminan yang telah dijamin pelaksanaannya berdasarkan
UUHT.
Benturan
kepentingan
antara
kreditor
pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis yang memiliki hak eksekusi atas barang jaminan disatu sisi dan disisi lain adanya ketentuan kepailitan yang menentukan semua harta kekayaan debitor
menjadi
boedel
pailit
memberikan
konsekuensi
kemungkinan timbulnya konflik diantara kreditor separatis dan kreditor konkuren untuk memperoleh pelunasan piutang yang 118
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm 20
dimilikinya yang disebabkan oleh inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU yang mengakui keberadaan hak eksekusi pemegang hak tanggungan akan tetapi memberikan ketentuan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi, oleh karena itu diperlukanlah upaya untuk membuat konsisten UU Kepailitan dan PKPU dengan tetap mengakui dan menjamin sepenuhnya bagi kreditor pemegang hak tanggungan supaya dapat melakukan hak eksekusi atas benda jaminan saat debitor pailit. Soebekti menyatakan bahwa tujuan hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagian bagi rakyatnya. Artinya, tujuan hukum hendaknya memberikan manfaat yang seluas-luasnya dan sebesar-besarnya kepada warga masyarakat. Hal tersebut merupakan substansi dari ajaran moral teoritis. Hukum dipandang semata-mata untuk memberikan kebahagian bagi warga masyarakat, pelaksanaan hukum hendaknya tetap mengacu pada manfaat atau kegunaannya bagi warga masyarakat 119. Kata perlindungan hukum menunjukkan fungsi hukum sebagai sarana perlindungan kepentingan manusia sekaligus
menunjukkan
tujuan
hukum
untuk
menciptakan
ketertiban dan keseimbangan, sehingga di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi 120. Perlindungan hukum merupakan hal mutlak yang harus diciptakan oleh hukum untuk
menciptakan
masyarakat
sehingga
ketertiban tidak
dan
keseimbangan
menimbulkan
konflik
diantara yang
berkepanjangan sekaligus memberikan jaminan kepastian hukum kepada para pihak yang memiliki hak. Terkait dengan kepailitan, perlindungan hukum diberikan kepada seluruh pihak di dalamnya yaitu dengan memberikan 119
Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 118 120 Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor, dan PihakPihak Berkepentingan dalam Kepailitan, PT. Alumni, Bandung, 2011, hlm. 11
perlindungan atas boedel pailit, akan tetapi dengan tetap mengakui dan menjamin sepenuhnya hak kreditor pemegang hak tanggungan atas hak eksekusi yang dimilikinya. Perlindungan hukum erat kaitannya dengan jaminan kepastian hukum, dengan adanya perlindungan hukum dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan perbuatan hukum atas dasar hak-hak mereka yang telah dilindungi tersebut. Suatu produk hukum harus memiliki kejelasan terkait materi muatan di dalamnya sehingga tidak menimbulkan multitafsir dan hanya memiliki arti yang sama bagi semua orang yang membacanya. Teori perlindungan hukum ini akan penulis gunakan untuk menjawab rumusan masalah ke-2 (dua) pada penelitian ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini akan digunakan sebagai alat analisis upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi inkonsistensi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan pemberian perlindungan hukum terhadap hak kreditor pemegang hak tanggungan.
2. Penelitian yang Relevan a) Rudhy Fluorentinus Dewanto, 2009, “Kedudukan Kreditur Selaku Penerima Jaminan Fidusia Dalam Hal Debitur Pailit”, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2009. Kesamaan: sama-sama mengkaji pengaruh kepailitan terhadap kreditor pemegang hak jaminan kebendaan selaku kreditor separatis yang memiliki hak untuk diutamakan dan didahulukan pembayaran atas utang debitor. Perbedaan: jaminan kebendaan yang dikaji, yaitu jaminan fidusia, sedangkan penulis mengkaji hak tanggungan yang memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda, selain itu penulis
juga menelaah permasalahan inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU terkait
pengaturan hak eksekusi pemegang
hak
tanggungan pada saat terjadinya kepailitan dengan adanya pemberlakuan penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi. b) Sri Juni Dharmawati, 2010, “Lelang Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Berdasarkan
Pasal
6
Undang-Undang
Hak
Tanggungan Di KPKNL Semarang”, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2010. Kesamaan: sama-sama mengkaji eksekusi hak tanggungan akibat terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh debitor. Perbedaan: eksekusi yang dilakukan oleh pemegang hak tanggungan tidak terkait dengan adanya kepailitan debitor sedangkan penelitian yang dilakukan penulis dikaitkan dalam hal terjadi kepailitan debitor sehingga terjadi pada kondisi yang berbeda dan memiliki akibat hukum yang berbeda pula. c) Sri Muryanto, 2005, “Kedudukan Kreditor Separatis dalam Kepailitan”, Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Kajian Hukum Ekonomi dan Teknologi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2005. Kesamaan: sama-sama mengkaji kedudukan kreditor pemegang hak jaminan kebendaan selaku kreditor separatis dalam kepailitan yang memiliki hak untuk didahulukan dan diutamakan dalam pembayaran utang debitor pailit . Perbedaan:
membahas
secara
global
kreditor
separatis
sedangkan penelitian penulis lebih mengkhususkan kepada kreditor pemegang hak tanggungan dan penulis juga melakukan telaah
dan
pengkajian
yang
mendalam
terkait
adanya
inkonsistensi UU Kepailitan dan PKPU dengan pemberlakuan pengaturan mengenai hak eksekusi pemegang hak tanggungan pada saat terjadinya kepailitan.
B. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan bagan yang menggambarkan alur berpikir dari peneliti yang dibuat secara ringkas dan langsung pada pokok-pokok inti dari penelitian tersebut, sehingga dengan demikian akan memudahkan bagi peneliti dalam menyusun penelitiannya dan memudahkan pembaca dalam memahami alur penelitian peneliti. Semua pembahasan di atas dianalisis secara normatif. Adapun kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat dalam bagan berikut ini: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Berkaitan dengan Tanah
Utang
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana
Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit,
pemegang
berwenang
Hak
melakukan
Tanggungan segala
hak
dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap
tetap yang
sesuai
Kreditor
pemegang
gadai,
jaminan
fidusia,
hak
tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan
diperolehnya menurut ketentuan Undang-Undang
lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak
ini (Pasal 21)
terjadi kepailitan. (Pasal 55 ayat (1))
Inkonsistensi
Pembatasan Hak Kreditor Pemegang
Hak eksekusi Kreditor untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan Debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk
Hak Tanggungan
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 56 ayat (1))
Upaya Konsistensi dan Perlindungan Hak
Kreditor
Tanggungan
Pemegang
Hak
Kreditor pemegang hak kebendaan harus melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi (59 ayat (1))
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penjelasan kerangka pemikiran: Perjanjian utang piutang antara kreditor dan debitor tidak jarang berakhir dengan terjadinya wanprestasi, yaitu debitor tidak memiliki kemampuan untuk membayar utangnya terhadap kreditor, salah satu upaya penyelesaiannya adalah dengan mengajukan permohonan pailit agar debitor dinyatakan pailit sehingga dapat dilakukan sita umum atas harta kekayaan debitor. Setelah adanya putusan pailit kemudian akan diadakan rapat verifikasi untuk melakukan pencocokan utang, dalam rapat verifikasi ini juga akan dilakukan penggolongan kreditor berdasarkan sifat-sifat piutang yang dimilikinya terhadap debitor tersebut, sehingga kemudian terdapat tiga golongan kreditor yaitu kreditor preferen, kreditor separatis, serta kreditor konkuren. Kreditor pemegang hak tanggungan yang berkedudukan sebagai kreditor separatis memiliki hak untuk diutamakan dan didahulukan pembayaran piutangnya dibandingkan kreditor lainnya. Apabila debitor melakukan wanprestasi sehingga tidak terpenuhinya hak kreditor pemegang hak tanggungan atas pembayaran piutang yang dimilikinya, maka kreditor pemegang hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 UUHT dapat melakukan eksekusi atas benda jaminan dengan cara: parate executie, melaksanakan titel eksekutorial atau penjualan di bawah tangan. Titel eksekutorial yang terdapat di dalam sertifikat hak tanggungan memberikan kemudahan kepada kreditor pemegang haknya untuk melakukan eksekusi langsung terhadap benda jaminan apabila debitor wanprestasi, titel eksekutorial ini memiliki kekuatan layakna putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Permasalahan yang timbul kemudian, apabila benda yang telah dibebani hak tanggungan tersebut menjadi boedel pailit yang terjadi akibat dijatuhinya putusan pailit terhadap debitor, kedudukan kreditor pemegang
hak
tanggungan
sebagai
kreditor
separatis
yang
didahulukan dan diutamakan tetap diakui walaupun terjadi kepailitan, baik oleh UUHT dan UU Kepailitan dan PKPU, sebagaimana tercantum pada Pasal 21 UUHT yang menentukan adanya kepailitan tidak akan menyebabkan hilangnya hak eksekusi bagi pemegang hak tanggungan, dan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menentukan setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Akan tetapi dalam pelaksanaan haknya
tersebut,
kreditor
pemegang
hak
tanggungan ditangguhkan dan dibatasi jangka waktu eksekusinya sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan 59 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU sehingga dengan adanya ketentuan ini mengakibatkan adanya inkonsistensi hukum pada UU Kepailitan dan PKPU mengakui adanya hak eksekusi bagi pemegang hak tanggungan akan tetapi membatasi hak tersebut dengan adanya ketentuan terkait penangguhan eksekusi (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi, implikasi yuridis adanya penangguhan (stay) dan pembatasan jangka waktu eksekusi akan berpengaruh terhadap hak eksekusi yang dimiliki oleh pemegang hak tanggungan selaku kreditor separatis yang harus tunduk pada ketentuan UU Kepailitan dan PKPU tersebut, selain itu ada
kemungkinan
pemegang
hak
tanggungan
tidak
dapat
melaksanakan hak eksekusi tersebut karena telah lewat waktu jangka waktu eksekusi yang berakibat eksekusi penjualan benda jaminan dilakukan oleh kurator dan pemegang hak tanggungan memperoleh bagian dari hasil penjualan setelah dikurangi biaya pajak dan biaya kepailitan yang mempunyai kedudukan sebagai kreditor preferen (istimewa). Berdasarkan hal tersebut, maka kemudian akan dilakukan telaah yuridis untuk mengetahui perlunya dilakukannya konsistensi terhadap UU Kepailitan dan PKPU serta perlindungan hak bagi kreditor pemegang hak tanggungan.