BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Otonomi Daerah
Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat aturan (hukum) sendiri, mengatur diri sendiri, dan berjuang berdasarkan kewenangan kekuasaan dan prakasa sendiri (Suryadi 2000). Menurut Basri (2002), otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Sedangkan Supriady dan Solihin (2001) mendefinisikan otonomi daerah adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan megurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut UU No. 33 Tahun 2004 bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat tiga bentuk pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yaitu : a. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah.
c. Tugas Perbantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Prinsip otonomi daerah adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam UndangUndang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut, dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi dimana dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan
maksud
pemberian
otonomi,
yang
pada
dasarnya
untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (UU No. 33 Tahun 2004). Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan Pemerintah Pusat, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 serta UU No. 33 Tahun 2004, maka pola
kewenangan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah dapat di lihat pada Gambar 2. Reformasi
Demokratisasi
Desentralisasi
Kewenangan
Keuangan
UU 32/2004
UU 33/2004
Pusat -------> Daerah
Pusat -------> Daerah
Kewenangan yg luas, nyata & bertanggungjawab
- Perluasan Tax Base - Dana Perimbangan
Beban & Tanggungjawab
Sumber Dana
Gambar 2 Pola kewenangan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah pasca otonomi
2.2
Keuangan Negara dan Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun (Suparmoko 1987). Sedangkan UU Nomor 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pengelolaan keuangan daerah adalah proses pengurusan, penyelenggaraan, penyediaan dan penggunaan uang yang pelaksanaannya meliputi penyusunan, penetapan, pelaksanaan pengawasan dan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah (Domai 2002). Sejalan dengan pengertian tersebut Halim (2001) menyatakan bahwa, membicarakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari pembahasan APBD, oleh karena itu APBD adalah merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka selama satu tahun anggaran. Adapun pengeluaran anggaran (budget expenditure) dibedakan atas belanja rutin (current expenditure) dan belanja modal (capital expenditure). Belanja rutin dapat diartikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang sifat terus menerus. Belanja modal atau lebih dikenal dengan belanja pembangunan merupakan pengeluaran yang sifatnya tidak terus menerus, ada batasnya dan investasi. Belanja pembangunan yang dibiayai dari tabungan pemerintah (public saving), yaitu sisa dari penerimaan pemerintah setelah dikurangi dengan belanja rutin. Belanja rutin pemerintah daerah meliputi belanja pegawai, belanja barang, belanja operasional, belanja pemeliharaan dan belanja lain-lain. Sedangkan belanja pembangunan merupakan pengeluaran pemerintah yang tertuang di dalam program dan proyek.
2.3
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah Jumlah nilai tambah yang ditimbulkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya disuatu daerah tertentu tanpa memperhatikan pemilikan atas faktor produksi (Suparmoko 2006). Perhitungan PDRB dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu : a. Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. b. Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. c. Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yaitu (1) pengeluaran konsumsi rumahtangga dan lembaga swasta yang tidak mencari untung, (2) konsumsi pemerintah, (3) pembentukan modal tetap domestic bruto, (4) perubahan stok, dan (5) ekspor neto dalam jangka waktu tertentu. d. Pendekatan Alokasi PDRB adalah dikenal dengan metode alokasi dan merupakan metode untuk menghasilkan pendapatan nasional menjadi pendapatan regional dengan indikator rasional tertentu. Kegunaan statistik PDRB antara lain untuk mengetahui : a. Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi regional baik secara menyeluruh maupun sektoral, dengan melihat prosentase pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan. b. Tingkat Kemakmuran Mengetahui tingkat kemakmuran daerah, baik tingkat pertumbuhan maupun tingkat kemakmuran dibanding dengan daerah lain, tingkat kemakmuran suatu wilayah biasanya diukur dengan besarnya pendapatan perkapita penduduknya. Tingkat
kemakmuran
ini
tidak
mengalami
perubahan
apabila
laju
pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari pada pertumbuhan ekonominya. c. Tingkat Inflasi atau Deflasi Mengetahui tingkat inflasi atau deflasi yang terjadi dalam waktu tertentu, dengan membandingkan antara PDRB atas dasar berlaku dan PDRB atas dasar konstan, dapat diperoleh suatu indeks implisit yang bisa menggambarkan kenaikan suatu penurunan harga barang dan jasa. d. Struktur Perekonomian Mengetahui gambaran struktur perekonomian daerah, PDRB dapat digunakan sebagai indikator tentang komposisi struktur perekonomian suatu wilayah, yaitu dengan menyusun peranan masing-masing sektor/lapangan usaha.
e. Potensi Suatu Wilayah Mengetahui potensi suatu daerah terhadap regional secara keseluruhan maupun sektoral. Dengan melihat peranan sektoral dalam suatu wilayah kabupaten atau peranan keseluruhan suatu wilayah propinsi. Dengan demikian maka pendapatan regional sangat bermanfaat bagi perencana maupun pengambil keputusan, baik yang berhubungan dengan rencana pembangunan jangka pendek maupun jangka penjang.
2.4
Dana Perimbangan
Kuncoro (2004) mendefinisikan dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Hal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam UU No. 33 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa, perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam
rangka
pendanaan
penyelenggaraan
desentralisasi,
dengan
mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh. 2.4.1
Dana Bagi Hasil (DBH)
DBH adalah pendapatan pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alam seperti minyak dan gas, pertambangan dan kehutanan dibagi dalam proporsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsi, kota dan kabupaten (Kuncoro 2004). Dalam UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa DBH adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam Undang-Undang tersebut merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam UndangUndang ini dimuat pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH. Sumber-sumber DBH berasal dari : a. Pajak Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. b. Sumber daya alam Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. 2.4.2
Dana Alokasi Umum (DAU)
DAU adalah block grant yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk tujuan mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya, dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya (Kuncoro 2004). Sedangkan Sidik (2003) mengatakan bahwa DAU dapat diartikan sebagai salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN. Pengalokasian DAU didasarkan atas konsep
kesenjangan fiskal atau celah fiskal (fiscal gap) yaitu selisih antara kebutuhan fiskal dengan kapasitas fiskal. Instrumen DAU ini ditujukan untuk mengatasi horizontal imbalance yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh daerah. DAU sebagai equalization grant yaitu berfungsi untuk menetralisasi ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA yang diperoleh daerah. UU No. 33 Tahun 2004 menyatakan bahwa DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan
keuangan
antar
daerah
melalui
penerapan
formula
yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia, sedangkan kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH. Dalam Undang-Undang tersebut ditegaskan juga bahwa batasan minimal untuk alokasi DAU adalah sebesar 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Neto. Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Secara umum kriteria formula DAU harus meliputi beberapa aspek, antara lain : a. Menggunakan pendekatan kesenjangan fiskal (celah fiskal) b. Dapat dipertanggungjawabkan secara akademis c. Bersifat umum
d. Perhitungan dapat dilakukan oleh daerah e. Mudah dimengerti publik f. Formula DAU Propinsi dapat berbeda dengan Kabupaten/Kota
2.4.3
Dana Alokasi Khusus (DAK)
Kuncoro (2004) berpendapat bahwa DAK adalah dana yang ditransfer dan ditujukan untuk daerah khusus yang dipilih untuk tujuan khusus, dimana alokasi dana yang didistribusikan ini sepenuhnya merupakan wewenang pusat dan untuk tujuan nasional. Kebutuhan khusus dalam DAK meliputi : a. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak mempunyai akses yang memadai ke daerah lain; b. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang menampung transmigrasi; c. Kebutuhan
prasarana
dan
sarana
fisik
yang
terletak
di
daerah
pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana yang memadai; d. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak kerusakan lingkungan. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa, DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah. PP No. 55 Tahun 2005 lebih rinci mengatur tentang kriteria-kriteria daerah yang dapat memperoleh alokasi DAK, yaitu meliputi : a. Kriteria umum, Kriteria ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. b. Kriteria khusus,
Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundangundangan dan karakteristik Daerah. c. Kriteria teknis. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara/departemen teknis. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 41 menyatakan bahwa daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana Pendamping tersebut harus dianggarkan dalam APBD daerah tersebut. Sedangkan untuk daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.
2.5
Definisi Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) membuat ukuran kemiskinan berdasarkan tingkat konsumsi penduduk terhadap kebutuhan dasar, dalam arti lebih dari sekedar beras. Dalam hal ini, kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan dan non makanan. Dari sisi makanan ini, BPS menggunakan indikator kebutuhan minimum setara dengan satuan 2.100 kalori per orang per hari. Hal ini dikombinasikan dengan standar minimum kebutuhan non makanan yang mencakup sandang, papan, pendidikan dan kesehatan, dengan pemilihan sejumlah komoditas berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Definisi kemiskinan menurut Bappenas (2002) adalah suatu situasi atau kondisi yang
dialami
seseorang
atau
sekelompok
orang
yang
tidak
mampu
menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Taraf manusiawi ini dalam artian terpenuhinya hak-hak dasar seseorang. Hak-hak dasar itu antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik. Menurut Bank Dunia (2004) kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana sebuah keluarga mempunyai pendapatan kurang dari US$2 (Rp 20.000) per hari. Sedangkan Bappenas (2007) dalam Laporan Pencapaian Millenium
Development Goals Indonesia, dari sisi pendapatan ini mengatakan bahwa salah satu indikator suatu keluarga dikatakan miskin apabila mempunyai pendapatan kurang dari US$1 (Rp 10.000) per hari. Lebih lanjut BKKBN mendefinisikan kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera jika tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan dua kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. Sumardjo (Crescent, 2003) menyatakan bahwa pada tingkat paling dasar kesejahteraan manusia yang beradab, paling tidak manusia harus dapat memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Apabila kebutuhan dasar tersebut sudah terpenuhi, maka dapat dikatakan sebagai kondisi tingkat aman pertama dalam kesejahteraan. Dari berbagai definisi kemiskinan yang telah dijelaskan di atas, untuk membatasi masalah dan mempermudah dalam memperoleh dan menganalisis data, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan definisi kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS.