BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Partisipasi Masyarakat \
Partisipasi telah menjadi lintasan sejarah yang panjang bagi berbagai pembangunan di berbagai negara di dunia (Pretty, 1995). Hal ini berarti bahwa pemerintah dari berbagai negara telah menyadari pentingnya keterlibatan rakyat atau masyarakat dalam kegiatan pembangunan negaranya. Secara etimologis partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti take part in (ambil bagian). Dengan demikian partisipasi dalam pembangunan berarti ambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dalam suatu proses atau kegiatan pembangunan. Mubyarto (1992) memberikan pengertian partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Kesediaan berarti adanya unsur kerelaan yang melibatkan aspek emosional dan mental dari orang yang terlibat. Unsur kemampuan sebagaimana yang dinyatakan oleh Mubyarto lebih ditekankan untuk menghargai adanya perbedaan individu. Artinya, setiap orang akan berbeda-beda bentuk partisipasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing orang tersebut. The World Bank (Pretty, 1995) mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah proses stakeholder-stakeholder mempengaruhi dan ambil bagian atas pengelolaan inisiatif dan keputusan-keputusan pembangunan dan sumberdaya yang mempengaruhi mereka. Pretty (1995) mengemukakan tipologi partisipasi masyarakat dalam program dan proyek pembangunan yaitu: (1) Partisipasi pasif (passive participation) : masyarakat berpartisipasi secara ikut – ikutan, pemberitahuan sepihak dari pengelola proyek tanpa mendengarkan tanggapan masyarakat. (2) Partisipasi dalam pemberian informasi (participation in information giving) : masyarakat berpartisipasi dengan menjawab atau memberi informasi. Masyarakat tidak mempunyai pilihan untuk mempengaruhi cara kerja. (3) Partisipasi dengan konsultasi (participation by consultation) : masyarakat berpartisipasi dengan konsultasi, sedangkan agen luar menetapkan masalah dan jalan keluarnya serta memodifikasinya. Pengambilan keputusan oleh profesional. (4) Partisipasi untuk memperoleh insentif material (participation for material incentive) : masyarakat berpartisipasi dengan menyediakan sumberdaya, seperti tenaga kerja, untuk memperoleh insentif material. (5) Partisipasi fungsional (funcional participation); masyarakat berpartisipasi dengan pembentukan kelompok – kelompok yang dikaitkan dengan tujuan proyek. Masyarakat tidak dilibatkan pada tahapan awal atau perencanaan, pengarahan dilakukan oleh pihak luar. (6) Partisipasi interaktif (interactive participation) : masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, membuat rencana aksi dan pembentukan lembaga lokal baru atau penguatan yang lain. Masyarakat menentukan keputusan dan mempunyai tanggung-jawab dalam pemeliharaan struktur dan praktik.
15
16
(7) Pengembangan diri (self-mobilization) : masyarakat berpartisipasi dengan mengambil kebebasan inisiatif dari lembaga eksternal untuk mengubah sistem. Masyarakat membangun hubungan dengan lembaga eksternal untuk sumberdaya dan bantuan teknis yang diperlukan, tetapi tetap menguasai sumberdaya yang digunakan. Sejalan dengan pendapat Hoofsteede, Uphoff dan Cohen (Ndraha, 1990) memberikan empat tahapan partisipasi, yaitu: (1) Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pembuatan keputusan. (2) Partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan. (3) Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan. (4) Partisipasi dalam menilai pembangunan. Apabila partisipasi tidak melibatkan semua tahapan tersebut, maka dikatakan bahwa partisipasi hanya bersifat parsial. Partisipasi yang sesungguhnya harus meliputi keempat tahapan tersebut. Oakley dkk. (Ife, 2006) menyajikan analisis perbandingan antara partisipasi sebagai cara dan sebagai tujuan (Tabel 8). Tabel 8. Perbandingan Partisipasi sebagai Cara dan Tujuan Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan Berimplikasi pada penggunaan Berupaya memberdayakan masyarakat partisipasi sebagai cara untuk mencapai untuk berpartisipasi dalam tujuan atau sasaran yang telah pembangunan mereka sendiri secara ditetapkan sebelumnya lebih berarti Merupakan suatu upaya pemanfaatan Berupaya menjamin peningkatan peran sumberdaya yang ada untuk mencapai rakyat dalam inisiatif–inisiatif tujuan program atau proyek pembangunan Penekanan pada pencapaian tujuan dan Fokus pada peningkatan kemampuan tidak terlalu memperhatikan pada rakyat untuk berpartisipasi, bukan aktivitas partisipasi itu sendiri sekedar pencapaian tujuan proyek Lebih umum dalam program–program Pandangan ini relatif kurang disukai pemerintah, yang pertimbangan oleh badan – badan pemerintah utamanya adalah untuk menggerakkan masyarakat dalam meningkatkan efisiensi sistem penyampaian Partisipasi umumnya dipandang sebagai Partisipasi dipandang sebagai tujuan program jangka pendek jangka panjang Partisipasi sebagai cara merupakan Partisipasi sebagai tujuan relatif lebih bentuk pasif dari partisipasi aktif dan dinamis Oakley dkk. (Khaerudin, 1992) mencatat sejumlah keuntungan utama partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu: (1) Efisiensi (efficiency): Partisipasi dapat menjamin penggunaan secara efisien sumberdaya yang tersedia. Masyarakat lokal mengambil tanggungjawab dalam berbagai aktivitas sehingga meningkatkan efisiensi
17
(2) Efektivitas (Effectiveness): Partisipasi masyarakat dapat membuat proyek proyek lebih efektif melalui pengambilan keputusan mengenai tujuan dan strategi, partisipasi dalam pelaksanaan, sehingga memastikan penggunaan sumberdaya secara efektif (3) Kemandirian (Self-reliance): Melalui partisipasi aktif masyarakat lokal, tidak hanya dapat mengatasi mentalitas ketergantungan, tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran, kepercayaan diri dan pengawasan atas proses pembangunan (4) Jaminan (Coverage): Partisipasi masyarakat dapat menjadi sebuah usaha keras sebagai jaminan atas manfaat yang diperoleh kelompok sasaran (5) Keberlanjutan (Sustainability): Partisipasi masyarakat dianggap sebagai sebuah prasyarat bagi keberlanjutan kegiatan-kegiatan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya yaitu kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 2003). Masyarakat perlu mengalami proses belajar untuk mampu mengetahui kesempatan–kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Setelah mengetahui, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatan–kesempatan itu. Diperlukan upaya khusus untuk membuat masyarakat mau memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya. Kemampuan menunjukkan kualitas manusia dalam mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi. Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu poses belajar. Ketersediaan sumberdaya material atau teknologi erat kaitannya dengan kemampuan atau kualitas diri dalam mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Seringkali ketersediaan sumberdaya, teknologi dan kesempatan belajar tidak mampu diakses oleh masyarakat sehingga perlu ada pihak luar yang bersedia memfasilitasi masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan (Slamet, 2003). Faktor Penentu Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Partisipasi masyarakat dalam pembangunan mutlak diperlukan karena pada prinsipnya masyarakat yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan. Namun demikan pada kenyataannya menggerakkan, mendorong serta mempertahankan partisipasi masyarakat yang telah berjalan tidaklah mudah. Demikian pula dalam mempertahankan dan meningkatkan partisipasi masyarakat Terdapat banyak faktor yang terlibat agar para masyarakat dapat tetap konsisten dan antusias dengan partisipasi yang selama ini telah dilaksanakannya. Motivasi Nelayan Sebagaimana yang dinyatakan oleh Slamet (2003) bahwa salah satu syarat untuk tumbuhnya partisipasi adalah kemauan dari masyarakat. Kemauan atau keinginan dalam bahasa Inggris identik dengan kata wish/will/want. Thoha (1999) menyebutkan bahwa istilah motivasi dipakai silih berganti dengan istilah kebutuhan (need), keinginan (want/wish/will), dorongan (drive), desakan (urge) atau impuls. Selain terletak pada kemampuannya, orang bekerja juga tergantung pada keinginan mereka untuk bekerja atau tergantung pada motivasinya.
18
Sardiman (2000) menjelaskan bahwa kata “motif (motive)” diartikan sebagai daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di luar subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi (motivation) dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak. Seseorang yang sangat termotivasi adalah orang yang melaksanakan upaya substansial, guna mendukung tujuan-tujuan produksinya. Seseorang yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individual Maslow berpendapat bahwa terdapat kebutuhan-kebutuhan atau keinginan– keinginan yang memotivasi individu untuk berupaya memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Seseorang akan termotivasi selama kebutuhan-kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah fisiologis, rasa aman, sosial atau afiliasi, prestasi atau rasa dihargai, dan aktualisasi diri (Winardi, 2002). Maslow juga mengemukakan bahwa motivasi setiap individu akan saling berbeda, sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi ekonominya. Orang yang semakin terdidik dan semakin independen secara ekonomi, maka sumber motivasinyapun akan berbeda, tidak lagi semata-mata ditentukan oleh sarana motivasi tradisional, seperti formal authorithy dan financial incentives, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan akan growth dan achievement. Para individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat prepoten atau yang paling kuat pada saat tertentu. Prepotensi suatu kebutuhan tergantung pada situasi individual yang berlaku dan pengalaman-pengalaman yang baru saja dialami (Winardi, 2002). Berbagai pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa motivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya merupakan refleksi kesadaran dan kemauan atau keinginan yang ada pada diri anggota masyarakat. Keinginan atau kemauan ini yang mendorong nelayan dan kelompok masyarakat pesisir lainnya untuk terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang meliputi: 1. Motivasi untuk Meningkatkan Pendapatan Masyarakat pesisir pada umumnya adalah nelayan yang sangat mengharapkan adanya perubahan dalam tingkat kesejahteraan hidupnya. Indikator dari terjadinya perubahan positip dalam kesejahteraan hidup adalah meningkatnya pendapatan rumah tangga. Kartasapoetra (1991) menyatakan bahwa setiap petani dan keluarganya ingin meningkatkan produksi dalam usaha taninya untuk mendapatkan income yang sebesar-besarnya. Sebelumnya juga dikemukakan bahwa untuk dapat hidup sejahtera, para nelayan harus berusaha meningkatkan pendapatannya, yang berarti harus menjalankan usaha perikanannya dengan lebih produktif, sehingga lebih menguntungkan. Kontribusi suatu sumber pendapatan akan menentukan keputusan masyarakat dalam berpartisipasi mengelola sumberdaya pesisir. Semakin besar sumbangan suatu sumber pendapatan terhadap total pendapatan rumah tangga akan mendorong untuk lebih mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya untuk kegiatan tersebut. Disamping itu, bagi masyarakat kesinambungan
19
perekonomian keluarga kadangkala lebih penting dibandingkan dengan keuntungan yang tinggi tetapi dalam waktu yang singkat. Masyarakat cenderung memilih aman baik dari dimensi waktu maupun besaran resiko dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan. Dengan kata lain, lebih baik memilih usaha yang hasilnya kecil tetapi aman serta berkesinambungan dibandingkan dengan hasil besar penuh resiko dan ketidakpastian. Jaminan keamanan bagi perekonomian keluarga merupakan prioritas utama, terutama bagi nelayan subsisten. Dalam kesimpulannya, Sahidu (1998) mengemukakan bahwa pedapatan usaha merupakan sumber motivasi bagi nelayan dan merupakan faktor kuat yang mendorong timbulnya kemauan, timbulnya kemampuan serta terwujudnya kinerja partisipasi masyarakat. 2. Motivasi untuk Mendapatkan Pengakuan atas Kredibilitas Paradigma pembangunan perikanan dan kelautan masa lalu memandang keberadaan masyarakat sebagai eksternalitas. Masyarakat pesisir yang kebanyakan nelayan kerap dianggap sebagai ancaman dan resiko, sehingga akses mereka terhadap sumberdaya dibatasi, bahkan ditutup. Faktanya menurut Nikijuluw (2002) bahwa di beberapa daerah terdapat praktek pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dilakukan masyarakat telah menerapkan kearifan dan pengetahuan lokal yang memperhatikan kelestariannya. Pergeseran paradigma pembangunan perikanan dan kelautan yang terjadi adalah masyarakat diposisikan sebagai pelaku utama dan pemerintah mendorong masyarakat pesisir untuk menunjukkan kepada pemerintah bahwa mereka memiliki kemampuan dan dapat dipercaya untuk mengelola sumberdaya. 3. Motivasi untuk Melestarikan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kehidupan perekonomian dan budaya masyarakat pesisir sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya perikanan dan kelautan (Nikijuluw, 2002). Masyarakat pesisir memiliki kearifan dan pengetahuan lokal dan menyadari pentingnya keberadaan sumberdaya yang ada di sekitar mereka bagi generasi berikutnya. Pengetahuan dan kearifan yang dimiliki telah mendorong dan mengarahkan mereka untuk selalu berusaha menjaga eksistensi dan kelestarian sumberdaya. Kemampuan Masyarakat Mengelola Sumberdaya Kemampuan (ability) merupakan kapasitas individu yang memungkinkan individu tersebut dapat melakukan tugas-tugas yang bersifat mental dan fisik. Kemampuan berkembang sepanjang waktu melalui interaksi bakat/bawaan dan pengalaman, serta bersifat menetap/permanen atau bertahan lama dalam diri individu (Desimone dkk, 2002). Robin (2003) mendefinisikan kemampuan sebagai kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, yang meliputi kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kapasitas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kerja mental, sedangkan kemampuan fisik adalah kapasitas untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut adanya stamina, ketangkasan atau keterampilan, dan kekuatan. Kemampuan (ability) merupakan konsep yang sering disandingkan dengan konsep kompetensi (competency/competence) bahkan terkadang dipertukarkan penggunaannya. Sebagaimana tercantum dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary bahwa competence diartikan sama dengan being competent, ability.
20
Definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik yang mendasari individu untuk mencapai hasil kerja yang superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non rutin (Susanto, 2003). Kemampuan, menurut Robert dan Kinicki (1991) adalah karakteristik yang luas dan mapan yang bertanggungjawab atas kinerja maksimum seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan mental dan fisik yang diklasifikasikan menjadi dua tingkatan yaitu: (1) Kemampuan ambang batas (threshold competency) : Kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Dikatakan minimal karena sekedar terpenuhinya standar kerja minimal yang dipersyaratkan, tidak lebih, sehingga pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik. (2) Kemampuan yang membedakan (differentiating competency) Kemampuan unggul yaitu kemampuan yang dapat membedakan antara seseorang yang memiliki kinerja superior dengan yang tidak memiliki kinerja superior. Dikatakan superior, apabila kinerja seseorang berada di atas rata-rata kebanyakan orang, dengan kata lain mampu melakukan pekerjaan dengan lebih baik dibandingkan dengan orang lain yang melakukan pekerjaan yang sama. Soesarsono (2002) menyatakan secara umum kemampuan individu dibagi menjadi tiga macam, yaitu: (1) kemampuan personal yaitu kemampuan seseorang yang dihubungkan dengan kepribadian, sifat-sifat atau karakter yang dimilikinya. (2) kemampuan sosial yaitu kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, berinteraksi dan membangun hubungan dan jaringan dengan orang lain. (3) kemampuan profesional yaitu seperangkat kemampuan khusus yang dimiliki seseorang dalam melaksanakan profesinya atau melaksanakan tugas tertentu. UNESCO (2005) mengkategorikan kemampuan yang perlu dimiliki oleh individu secara lebih mendasar dengan mengaitkannya pada proses perkembangan manusia dan proses belajar yang dialami oleh manusia. Menurut UNESCO bahwa terdapat empat kemampuan dasar yang perlu dimiliki oleh individu untuk menghadapi tantangan yang muncul di dalam hidupnya dan yang muncul di dalam masyarakatnya. Empat kemampuan tersebut adalah: (1) Learning to be, dapat dinyatakan sebagai kemampuan personal. Kemampuan personal merupakan potensi individu yang terkait dengan konsep diri, yaitu cara bagaimana individu memandang dirinya sendiri. Kemampuan personal membuat setiap individu berbeda satu dengan lainnya. Dengan kemampuan personal, seseorang dapat dan sanggup melakukan sesuatu yang berbeda dari individu lainnya. (2) Learning to live together, identik dengan kemampuan sosial/relasional. Kemampuan yang memungkinkan individu membangun hubungan dengan orang lain (interpersonal competency) dan masyarakat lainnya (social competency).
21
(3) Learning to know, dapat dinyatakan sebagai kemampuan kognitif. Kemampuan dalam menggunakan, meningkatkan dan mendayagunakan intelektual. Terdapat tiga instrumen untuk mengembangkan kemampuan ini yaitu belajar tentang cara belajar (learning how ton learn), mengajar tentang cara mengajar (teaching how to teach), dan mengetahui tentang cara mengetahui (knowing how to know). (4) Learning to do, dapat dinyatakan sebagai kemampuan produktif Kemampuan yang terkait dengan upaya individu membangun dirinya menjadi individu yang produktif, kreatif, dan inovatif. Kemampuan produktif terekspresi dalam bentuk kemampuan mengarahkan (directing), mengelola (managing), koordinasi/kerjasama (coordinating), pengawasan dan evaluasi terhadap produksi sendiri (self-management), produksi kelompok sendiri (co-management), atau produksi kelompok lain (group management). Kemampuan ini dapat menciptakan ruang enterpreneur bagi individu. Pengertian Sikap Definisi sikap sebagai suatu gejala psikologis memiliki berbagai definisi dengan berbagai tinjauan dari para ahli. Allport (Mar’at, 1984) mendefinisikan sikap sebagai keadaan dan kesiapan mental yang terorganisasi melalui pengalaman yang secara langsung dan dinamis mempengaruhi respon seseorang terhadap semua obyek atau situasi yang mempunyai hubungan dengan dirinya. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional yang dapat berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci, setuju, tidak setuju dan sebagainya. Mar’at (1984) membuat rangkuman mengenai pengertian sikap berdasarkan berbagai definisi yang dirumuskan Allport, yaitu : (1) Attitudes are learned, yang berarti sikap tidaklah merupakan sistem fisiologis ataupun diturunkan, akan tetapi sikap sebagai hasil belajar diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan. (2) Attitudes have referent, yang berarti bahwa sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide. (3) Attitudes are social learning, yang berarti bahwa sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain. (4) Attitudes have readiness to respond, yang berarti adanya kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek. (5) Attitudes are affective, yang berarti bahwa perasaan dan afeksi merupakan bagian dan sikap, akan tampak pada pilihan yang bersangkutan, apakah positif, negatif atau ragu. (6) Attitudes are very intensive, yang berarti bahwa tingkat intensitas sikap terhadap obyek tertentu kuat atau juga lemah. (7) Attitudes have a time dimension, yang berarti bahwa sikap tersebut mungkin hanya cocok pada situasi yang sedang berlangsung, akan tetapi belum tentu sesuai pada saat lainnya (8) Attitudes have a duration factor, yang berarti bahwa sikap dapat bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu. (9) Attitudes are complex, yang berarti bahwa sikap merupakan bagian dan konteks persepsi ataupun kognisi individu.
22
(10) Attitudes are evaluations, yang berarti bahwa sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi yang bersangkutan. (11) Attitudes are inferred, yang berarti bahwa sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna, atau bahkan yang tidak memadai. Suatu sikap mempunyai komponen, yaitu (Mar’at, 1984) : (1) komponen kognitif, yaitu seseorang yang bersikap perlu memiliki pengetahuan mengenai obyek sikapnya, terlepas dan apakah pengetahuannya tersebut benar, salah, lengkap, tidak lengkap dan sebagainya; (2) komponen afektif, komponen ini merupakan komponen yang paling penting. Seseorang yang bersikap akan mempunyai pemaknaan sebagai hasil evaluasi emosional (setuju, tidak setuju) mengenai obyek sikapnya dan (3) komponen konatif, bahwa suatu sikap tidak lengkap hanya dengan pengetahuan dan evaluasi emosional tetapi juga memiliki kecenderungan individu dalam bertingkah laku / merespon yang bersifat lebih permanen. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah perasaan, pikiran dan kecenderungan individu bertingkah laku / merespon yang kurang lebih bersikap permanen terhadap sesuatu yang dinyatakan dengan persetujuan atau ketidaksetujuan, perasaan senang atau tidak senang dan sejenisnya. Proses Penyuluhan Pembangunan Slamet (2003) menguraikan bahwa istilah penyuluhan pada awalnya dikenal sebagai “agricultural extention.” Karena penggunaannya di bidang lain, maka sebutannya berubah menjadi extention education dan development communication. Istilah “penyuluhan” pertama kali dikemukakan oleh James Stuart dari Trinity College (Cambridge) tahun 1967, sehingga Stuart dikenal sebagai bapak Penyuluhan (van Den Ban dan Hawkins, 1999). Berbagai istilah digunakan untuk mengambarkan proses belajar penyuluhan, seperti: (1) voorlichting (Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Inggris dan Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut berhak menentukan pilihannya, (3) erziehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (4) forderung (Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diingikan, dan (5) fulgarisation (Perancis) menekankan penyederhanaan pesan bagi orang awam (Van Den Ban dan Hawkins, 1999). Secara harafiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dengan demikian, penyuluhan dapat diartikan sebagai proses memberikan penerangan tentang sesuatu yang belum “diketahui.” Namun, penerangan yang dilakukan harus terus menerus sampai segala sesuatu yang diterangkan benar-benar dipahami, dihayati dan dilaksanakan oleh masyarakat (Mardikanto, 1993). Van Den Ban dan Hawkins (1999) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang melakukan komunikasi secara sadar untuk membantu sesamanya berbagi pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar.
23
Asngari (2003) mengartikan penyuluhan sebagai kegiatan mendidik orang dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai yang dikehendaki. Ini merupakan usaha memberdayakan potensi individu klien agar lebih berdaya dan mandiri. Berdasarkan pandangan tersebut disimpulkan bahwa kegiatan penyuluhan selalu berorientasi pada perubahan perilaku serta penemuan baru dan mampu meningkatkan kesadaran dan rasa percaya diri individu. Karena itu Asngari (2008) lebih lanjut menekankan pentingnya mengembangkan falsafah penyuluhan antara lain: (1) falsafah mendidik, (2) falsafah pentingnya pribadi individu, (3) falsafah demokrasi, (4) falsafah bekerja bersama antara penyuluh/agen pembaharuan dengan klien, (5) falsafah membantu klien agar mereka mampu membantu diri sendiri (6) falsafah membakar sampah secara tradisional dan (7) falsafah berkelanjutan. Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa kemampuan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar menyebabkan rakyat memperoleh dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi pengetahuan tentang adanya kesempatan dan melatih dirinya agar mampu berbuat (konatif) serta secara intrinsik termotivasi untuk mau (afektif) bertindak atas dasar manfaat yang akan dapat diraihnya. Dikemukakan lebih lanjut bahwa keseluruhan proses ini merupakan ruang lingkup penyuluhan pembangunan dan menjadi bagian utama yang harus dikembangkan dalam ilmu penyuluhan pembangunan. Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa pada falsafah penyuluhan terdapat makna “menolong orang agar mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya” (Helping people to help themselves through educational means to improve their level of living). Menyangkut falsafah ini, Asngari (2008) mengutip pikiran Tomson Repley Bryant sebagai berikut : “The whole extention philosophy is built on the idea of helping people to help themselves and getting them to realize that is their interest to help them selves. It is essential that they will not get real help until they do it themselves.” Falsafah penyuluhan tersebut juga sejalan dengan prinsip pemberdayaan (Empowerment) yang dikemukakan oleh Ife (2006) : “Empowerment means providing people with the resources, knowledge and skill to increase their community.” Maknanya adalah bahwa menyiapkan komunitas atau individu dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi menentukan masa depan. Lebih lanjut Ife mengemukakan bahwa pemberdayaan bertujuan membangun kemandirian (self reliance) artinya, komunitas mencari atau berusaha menggunakan sumberdaya lokal sendiri dari pada bantuan luar, baik SDM, SDA, keuangan dan teknik. Prinsip kemandirian bukan berarti tanpa bantuan orang lain tetapi justru mendorong masyarakat untuk bekerjasama, berkontribusi (partisipasi), bergantung satu sama lain dalam menyelesaikan sesuatu. Mardikanto (1993) mengatakan bahwa materi penyuluhan pada hakekatnya merupakan segala pesan yang ingin dikomunikasikan penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Dengan kata lain, materi penyuluhan adalah pesan yang ingin disampaikan dalam proses komunikasi pembangunan. Dengan demikian, materi penyuluhan adalah sgala sesuatu yang di sampaikan oleh penyuluh kepada individu atau masyarakat sasaran.
24
Dalam kaitan dengan materi penyuluhan, Mardikanto (Margono, 2003) mengatakan beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) pentingnya pengembangan kebiasaan untuk mengkritisi setiap materi belajar, terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat; (2) selalu mengacu kepada kebutuhan calon penerima manfaat; (3) materi belajar tidak harus benarbenar baru tetapi dapat berupa praktek lama, kebiasaan atau teknologi yang telah dikembangkan masyarakat setempat dan (4) sumber materi belajar tidak selalu berasal dari pakar, orang lain atau texbook atau surat kabar, majalah, radio, TV akan tetapi lebih diutamakan dari pelaku-pelaku setempat yang telah berpengalaman yang disampaikan secara lisan dalam diskusi, pertemuanpertemuan, percakapan informal dan lain–lain. Metode penyuluhan menurut Ibrahim dkk. (2003) adalah cara-cara penyampaian materi penyuluhan secara sistematis sehingga materi penyuluhan tersebut dapat dimengerti dan diterima oleh masyarakat sasaran. Pengalaman menunjukan bahwa metode penyuluhan sangat berperan dalam menunjang keberhasilan program penyuluhan karena sebaik apapun materi penyuluhan yang disampaikan tidak akan mampu merubah perilaku sasaran yang diinginkan bila metode peyuluhan yang digunakan kurang tepat. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode penyuluhan menurut Slamet dan Asngari (Sumardjo 2008), yaitu sebanyak banyaknya sasaran yang harus dilayani, sesering-seringnya berinteraksi dengan sasaran dan semurah-murahnya tetapi menjadi media pengalaman yang efektif. Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan metode-metode penyuluhan harus didasarkan pada persyaratan sebagai berikut: (1) sesuai keadaan sasaran, (2) cukup dalam jumlah dan mutu, (3) tepat sasaran dan pada waktunya, (4) amanat harus mudah diterima / dimengerti dan (5) murah pembiayaannya atau efisien. Setiap metode pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sumardjo (2008) mengemukakan bahwa pada prinsipnya, makin sedikit sasaran belajar dengan menggunakan suatu metode yang sama cenderung makin efektif, tetapi sebaliknya cenderung makin tidak efisien. Dalam pelaksanannya, kegiatan tersebut dapat dilakukan secara langsung (face to face) atau misalnya dengan telepon dapat pula dilakukan secara tidak langsung yaitu menggunakan surat dan media massa tetapi um;pan balik tidak dapat terjadi secara spontan. Mardikanto (1993) menyarankan untuk menerapkan beragam metode secara simultan yang saling menunjang dan melengkapi. Secara umum terdapat banyak sekali metode yang dapat dipergunakan dalam setiap kegiatan penyuluhan antara lain: metode ceramah, diskusi, kunjungan lapang, magang, studi banding, temu lapang dan lain-lain. Dengan demikian, setiap penyuluh setelah memperhatikan kondisi keragaman baik masyarakat sasaran maupun lingkungannya harus memahami dan mampu memilih atau mengkombinasikan metode penyuluhan yang paling sesuai untuk kegiatan penyuluhan yang akan dijalaninya di masyarakat yang bersangkutan. Dalam penjabaran yang cukup rinci berkaitan dengan metode, Mardikanto (1993) menyebutkan beberapa hal penting dalam penyuluhan, yaitu (1) pentingnya meninggalkan proses pendidikan yang menggurui, 2) penting membangun kebiasaan dan semangat belajar seumur hidup, (3) mendorong kebiasaan sasaran untuk mengkritisi setiap materi belajar terutama setiap inovasi yang belum teruji di wilayah calon penerima manfaat, (4) penggunaan alat bantu
25
dan atau alat peraga tidak harus menggantungkan peralatan/teknologi tertentu, tetapi dapat dimanfaatkan benda dari keadaan lapang dan (5) keadaan nara sumber atau fasilitator bukan penentu atau pengambil keputusan tetapi cukup sebagai pemberi pertimbangan yang harus dicermati sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Mardikanto (1993) membagi media penyuluhan atas lima golongan yaitu: (1) bahan cetakan atau bacaan (suplementary material) seperti buku, komik, koran, majalah, buletin, folder, pamflet, dan lain-lain; (2) alat-alat audio visual yang terdiri dari media tanpa proyeksi (papan tulis, bagan, diagram, grafik, poster, kartun), media tiga dimensi (model, benda asli, benda tiruan, diodrama, boneka, peta, globe, museum), media dengan alat masinal (slide film, film strip, rekaman, radio, televisi, komputer dan lain–lain; (3) sumber-sumber masyarakat berupa objek-objek: (peninggalan sejarah, dokumentasi, bahan-bahan dan masalahmasalah) dari bebagai bidang (daerah, penduduk, sejarah, idustri, kebudayaan, politik dan lain lain; (4) kumpulan benda (material collection), berupa benda yang dibawa oleh masyarakat seperti: daun yang terserang penyakit, bibit unggul dan lain-lain; dan (5) contoh berupa tingkah laku yang diperbuat penyuluh seperti: melakukan gerakan tertentu menggunakan tangan dan lain-lain. Dalam kaitan media dengan metode penyuluhan, Sumardjo (2008), menguraikan media penyuluhan ke dalam empat kategori, yaitu: (1) lisan, (2) tertulis atau tercetak, (3) terlihat atau terproyeksi dan (4) terperaga. Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada prinsipnya makin banyak indera sasaran belajar dilibatkan dalam suatu proses belajar maka cenderung makin efektif. Beberapa alasan penting mendasari urgensi penggunaan media penyuluhan menurut Ibrahim dkk (2003) yaitu: (1) menjadi sarana penyampaian pesan yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan dengan menggunakan kata-kata, (2) memperkuat penjelasan yang tidak dapat ditirukan oleh penyuluh dan (3) pesan-pesan yang disampaikan dengan menggunakan media tidak mudah hilang dari ingatan penerima dalam proses penyuluhan. Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Terumbu karang memiliki nilai sumberdaya yang penting bagi masyarakat sekaligus sangat rentan terhadap gangguan. Polusi, penambangan karang, tangkap lebih, penggunaan bahan peledak, racun potas dan sianida, pukat harimau dan cara tangkap lain yang tidak ramah lingkungan merupakan anacaman umum yang dapat mengganggu kondisi lingkungan pesisir dan laut. Kegiatan–kegiatan di atas mengganggu dan merusak fungsi, kesehatan dan keseimbangan ekologis terumbu karang. Kegiatan yang tidak bertangggung jawab ini, selain merusak ekosistem dan lingkungan pesisir juga akan memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada keseimbangan dan produktivitas ekosistem sumberdaya pesisir dan laut (Coremap, 2008). Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL–BM) adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya serta dikelola oleh masyarakat setempat. Kegiatan perikanan dan pengambilan sumberdaya merupakan hal terlarang di dalam kawasan DPL–BM. Demikian pula akses manusia di dalam kawasan tersebut diatur dan sedapat mungkin dibatasi. Pengaturan, pembatasan
26
dan larangan aktivitas tersebut ditetapkan oleh masyarakat dan pemerintah setempat dalam bentuk Peraturan Desa (Tulungen dkk., 2002) DPL–BM merupakan salah satu metode yang efektif untuk mengatur kegiatan perikanan, melindungi tempat ikan bertelur dan membesarkan larva, sebagai daerah asuhan juvenil, melindungi suatu wilayah dari kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan dan menjamin ketersediaan stok perikanan secara berkelanjutan. Secara khusus, tujuan penetapan Daerah Perlindungan laut Berbasis Masyarakat adalah : (1) Mempertahankan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan. (2) Menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut. (3) Dapat dikembangkan sebagai tempat yang cocok untuk daerah tujuan wisata. (4) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat. (5) Memperkuat kesadaran masyarakat sehingga dapat meningkatkan tanggung jawab untuk mengambil peran dalam mengelola sumberdaya secara lestari. (6) Sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut bagi masyarakat luas. Pembentukan dan pengelolaan DPL–BM harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah dan para pemangku kepentingan lain. Pemerintah setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam proses penentuan lokasi dan aturan DPL–BM, penyelenggaraan pendampingan bagi masyarakat serta bantuan teknis dan dukungan pendanaan. Masyarakat dan pemerintah juga dapat membangun kerja sama dengan pihak lain seperti LSM dan swasta untuk membentuk dan mengelola DPL–BM (Coremap, 2008). DPL–BM secara khusus dapat ditetapkan di suatu kawasan yang aktivitas perikanannya sudah berlangsung lama dan habitat terumbu karangnya mungkin mulai rusak oleh aktivitas manusia. Perlindungan terhadap ekosistem terumbu karang dari kegiatan penangkapan ikan dan kegiatan manusia lainnya akan memberikan kesempatan bagi terumbu karang yang sudah rusak untuk kembali hidup dan berkembang biak. Bibit dari organisme hidup yang dibawa oleh arus dari daerah sekitar DPL–BM akan menetap dan menjadi besar dalam kawasan yang dilindungi tersebut. Kawasan terumbu karang yang kaya akan nutrien dan tempat hidup akan menyediakan kebutuhan bagi ikan untuk tumbuh dan berkembang biak. Pada dasarnya DPL–BM juga akan menarik ikan dari daerah yang berdekatan sebagai tempat mencari makan dan berkembang biak. Ikan – ikan kecil (juvenil) akan terbawa arus dan selanjutnya akan menetap di dalam kawasan DPL–BM. Seiring dengan berjalannya waktu, juvenil tersebut akan membesar sehingga jumlah ikan yang menetap di DPL–BM akan semakin padat. Hal ini menyebabkan ikan – ikan yang berkembang di wilayah DPL–BM akan berenang dan menetap di sekitar kawasan luar DPL–BM. Nelayan dapat terus menerus menangkap ikan di luar kawasan DPL–BM karena adanya suplai ikan yang konsisten dari kawasan. Dengan demikian, DPL–BM merupakan ”bank ikan” yang membantu menambah jumlah ikan di luar kawasan DPL–BM.
27
DPL–BM bersifat spesifik lokal yang artinya adalah unik dan tidak ditemukan sama persis pada dua atau lebih daerah yang berbeda sehingga tidak dapat digeneralisasi. Berbagai studi empirik tentang DPL–BM yang telah dilakukan memberikan gambaran adanya beberapa variabel yang dinilai sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan DPL–BM, yaitu (Nikijuluw, 2002) : (1) Kepercayaan : sebagai suatu tradisi, kepercayaan memegang peranan penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya pspbm. Kepercayaan membuat orang bertindak rasional dan irasional dalam mempertahankan kepercayaannya tersebut. (2) Aturan tertulis : meskipun masyarakat desa pada umumnya berkomunikasi secara verbal, adanya aturan tertulis akan mempermudah masyarakat dalam mengalihkan dan merubah kebiasaan yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Ketersediaan aturan tertulis ini juga akan mempermudah masyarakat untuk bertindak dalam menegakkan dan mengawasi pelaksanaan aturan – aturan yang telah disepakati sebelumnya. (3) Teknologi dan pembangunan industri : merupakan penentu keberhasilan dan keberlanjutan program pengelolaan sumberdaya. Kehadiran alat tangkap modern dan permintaan bahan baku dari industri cenderung mendesak nelayan kecil untuk semakin berkompetisi dalam mengeksploitasi sumberdaya di sekitarnya. Pengembangan industri ini tidak dapat dibendung oleh masyarakat lokal karena segala proses pemberian ijin usaha berada pada pemerintah. (4) Perubahan pemerintahan : perubahan struktur pemerintahan maupun personalia dapat mempengaruhi kerlangsungan dan keberhasilan DPL – BM, terutama jika menyangkut perubahan kebijakan dan dasar hukum yang menjadi landasan pelaksanaan secara formal. (5) Perdagangan dan harga : peningkatan permintaan dan daya tarik harga yang tinggi terhadap komoditas tertentu akan mendorong masyarakat untuk mengeksploitasi sumberdaya sebanyak dan secepat mungkin. Akibatnya aturan lokal yang telah ditetapkan rentan untuk dilanggar dan akan memicu konflik di antara masyarakat. Sebagai suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan, DPL–BM memiliki beberapa kelemahan, yaitu (Nikijuluw, 2002) : (1) Tidak mengatasi masalah interkomunitas : masalah interkomunitas selalu muncul karena sifat ikan yang bermigrasi melampau batas – batas wilayah dan tempat tinggal komunitas tertentu (2) Bersifat lokal : DPL – BM bersifat lokal sehingga beberapa masalah yang ruang lingkupnya besar tidak dapat diselesaikan oleh DPL–BM. Misalnya adalah masalah tangkap lebih atau overexploitation tidak dapat diatasi jika wilayah perairannya terlalu luas dan didiami oleh beberapa komunitas. Masalah besar lain yang tidak dapat diselesaikan adalah pencemaran dan ketidakseimbangan pasar. (3) Sulit mencapai skala ekonomi : skala usaha keseluruhan DPL–BM sering tidak ekonomis. Secara individu, barangkali saja implementasi DPL–BM membawa keuntungan, tetapi jika dihitung dampaknya bagi seluruh masyarakat, seringkali keuntungan tersebut sub optimal.
28
(4) Tingginya biaya institusionalisasi : peendirian dan pembentukan DPL BM membutuhkan biaya yang relatif mahal untuk proses edukasi, penyadaran dan sosialisasi masyarakat serta untuk perumusan aturan dan pembentukan organisasi DPL–BM itu sendiri. Meskipun memiliki banyak kelemahan, pendekatan DPL–BM memiliki kelebihan–kelebihan, di antaranya (Nikijuluw, 2002): (1) Sesuai dengan aspirasi dan budaya lokal : karena sesuai dengan adat dan aspirasi lokal maka akan didukung oleh adat dan budaya yang berlaku, meskipun dukungan adat ini mulai dikalahkan oleh tuntutan kebutuhan ekonomi yang terus membesar (2) Diterima oleh masyarakat lokal : komitmen masyarakat sejak awal untuk menerima DPL-BM adalah modal utama untuk mengimplementasikannya secara benar (3) Pengawasan dilakukan dengan mudah : pelaksanaan dan pengawasan dilakukan dengan mudah sehingga berjalan dengan lebih efektif dan berjalan sengan sukarela.