Bab II Tinjauan Pustaka
II.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu sangat diperlukan antara lain untuk mengetahui apakah topik penelitian kita telah dilakukan oleh peneliti lain. Hal itu ditujukan untuk menghindari adanya duplikasi. Penelitian terdahulu mengenai penyelesaian konflik tanah telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain : 1. Prihandoko (1996) yang melakukan penelitian dengan judul ”Konflik Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kota Yogyakarta) telah mengkaji kasuskasus penggunaan lahan yang meliputi penyebab konflik, tipologi konflik, kompleksitas dan upaya-upaya yang telah dilakukan untuk menyelesaikan konflik dengan pendekatan eksplorasi dan ekplanatoris
yaitu dengan
mengungkapkan konflik penggunaan lahan secara deskriptif kualitatif. 2.
Siregar (2002) yang melakukan penelitian dengan judul ”Penyelesaian Konflik Pertanahan Antara PTPN II dengan masyarakat di Kabupaten Deli Serdang”. Penelitian ini dilakukan dilokasi perkebunan yang telah mempunyai Hak Guna Usaha akan tetapi sebagian tanahnya dikuasai warga masyarakat. Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa upaya penyelesaian konflik yang ditempuh dengan cara alternatif penyelesaian sengketa selalu gagal karena pihak PTPN II selalu menginginkan agar konflik diselesaikan melalui jalur hukum (litigasi).
II.2. Kajian Teoritis Mengenai Hak Atas Tanah II.2.1. Pengertian dan Jenis Hak Atas Tanah Hak atas tanah diatur dalam pasal 4 ayat 1 dan 2 UUPA. Menurut ketentuan pasal tersebut, hak atas tanah adalah hak yang diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah yang bersangkutan beserta tubuh bumi dan air serta ruang diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Hak atas tanah, pada hakekatnya merupakan hubungan hukum antara orang (termasuk badan hukum) dengan tanah, dimana hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum. Tujuan dari hak tanah adalah untuk memberikan kepastian hukum terhadap hubungan hukum tersebut, sehingga pemegang hak dapat menjalankan kewenangan/isi hak tanahnya dengan aman. (Murad 2007:72).
Jenis-jenis hak atas tanah, dapat dilihat dari bunyi ketentuan pasal 16 ayat 1 UUPA yang menyatakan bahwa hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 adalah : a. hak milik; b. hak guna usaha; c. hak guna bangunan; d. hak pakai; e. hak sewa; f. hak membuka tanah; g. hak memungut hasil hutan; h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.
Pasal 53 UUPA mengatur mengenai jenis hak atas tanah yang sifatnya sementara sebagaimana dimaksud dalam huruf h pasal 16 ayat 1 UUPA diatas yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu singkat.
Perangin dalam Sumardji (2000) menyatakan bahwa secara garis besar hak-hak atas tanah tersebut dapat dikelompokkan menjadi : a. Hak-hak atas tanah yang bersifat tetap, yang meliputi hak-hak atas tanah yang disebutkan pada huruf a sampai dengan huruf g pasal 16 ayat 1 UUPA. Hakhak ini dikatakan bersifat tetap karena akan tetap terus ada;
13
b. Hak-hak atas tanah yang akan ditentukan oleh undang-undang. Untuk hak-hak ini sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengaturnya diluar UUPA. c. Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara yang menurut pasal 53 UUPA.
Selain hak-hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam pasal 16 ayat 1 UUPA, kita juga mengenal adanya hak pengelolaan (HPL).
II.2.2. Kewenangan dan kewajiban yang ada pada hak atas tanah Pasal 4 ayat 2 UUPA mengatur bahwa hak atas tanah memberi kewenangan kepada pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, beserta tubuh bumi dan air serta ruang diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu, dalam
batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Pengertian hak atas tanah tersebut mengandung arti bahwa bahwa hak atas tanah itu disamping memberi wewenang juga membebankan kewajiban kepada pemegang haknya. Hak atas tanah pada dasarnya hanya meliputi permukaan bumi saja, tetapi kalaupun diperkenankan penggunaan ruang yang meliputi tubuh bumi dan ruang angkasa maka penambahan itu merupakan kriteria pembatasan yang fleksibel dan adil sebagaimana tampak dalam kata-kata “sekedar diperlukan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Sumardjono 2008:128)
Pemahaman lebih lanjut mengenai adanya pembatasan tersebut tampak antara lain dengan adanya ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka penataan ruang atau penatagunaan tanah khususnya yang berkaitan dengan jenis penggunaan (use), ukuran luas (bulk) dan ketinggian (height) (Sumardjono 2008:12).
Kewenangan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 2 UUPA tersebut merupakan kewenangan yang bersifat umum. Pembatasan kewenangan-kewenangan tersebut juga tergantung dari sifat dan jenis hak atas tanah itu sendiri. Misalnya tanah Hak
14
Guna Bangunan (HGB) tidak dibenarkan untuk digunakan bagi usaha pertanian, karena hak atas tanah tersebut digunakan khusus bagi penyediaan tempat untuk mendirikan bangunan (Harsono 1997:259).
UUPA mengatur kewajiban-kewajiban bagi pemegang hak atas tanah meskipun kewajiban-kewajiban tersebut masih bersifat umum. Kewajiban-kewajiban tersebut diatur dalam ketentuan : a. pasal 6 yang menyatakan bahwa semua hak tanah mempunyai fungsi sosial; b. pasal 15 dan pasal 52 ayat 1 tentang kewajiban bagi pemegang hak atas tanah untuk memelihara tanah yang dihaki; c. pasal 10, khusus tanah pertanian yaitu kewajiban bagi pemegang hak untuk untuk mengerjakan dan mengusahakan tanahnya sendiri secara aktif (Harsono 1997:262); d. pasal 27, 34 dan 40, yang menyatakan bahwa pemegang hak dilarang menelantarkan tanah (Harsono 1997:265)
Kewajiban-kewajiban yang bersifat khusus dan harus dipenuhi oleh pemegang hak atas tanah adalah kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam surat keputusan pemberian hak atas tanahnya atau dalam surat perjanjiannya serta dalam peraturan perundangan yang berlaku (Harsono 1997:263).
II.2.3. Eksistensi Hak Pengelolaan Dalam Sistem Administrasi Pertanahan di Indonesia UUPA dalam menentukan macam hak atas tanah tidak bersifat tertutup, artinya UUPA masih membuka peluang adanya perubahan penambahan hak atas tanah selain yang ditentukan dalam pasal 16 ayat 1. Hal ini dapat diketahui secara implisit dari pasal 16 ayat 1 huruf h UUPA yang menyatakan bahwa hak-hak lain yang akan ditentukan undang-undang (Sumardji 2000).
Hak pengelolaan adalah suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya dalam UUPA dan khusus hak ini demikian luasnya terdapat diluar ketentuan dari UUPA (Parlindungan 1989:1).
15
Meskipun istilah hak pengelolaan tidak dikenal dalam UUPA, namun istilah pengelolaan itu sendiri telah dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUPA Paragraf II angka 2 yang menyatakan bahwa negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukannya atau keperluannya,
misalnya
hak
milik,
guna
usaha,
guna
bangunan
atau
memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu Badan Penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
Istilah hak pengelolaan muncul dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria No. 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya istilah hak pengelolaan tersebut muncul. Dari ketentuan tersebut berarti hak pengelolaan bukan lahir karena undang-undang tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Agraria.
Ranoemihardja dalam Zein (1994:49) berpendapat bahwa bertitik tolak dari Penjelasan Umum II angka (2) di atas, maka dapat disimpulkan bahwa landasan hukum dari hak pengelolaan di dalam UUPA telah disinggung oleh penjelasan UUPA tersebut, namun hukum materiilnya berada di luar UUPA. Peraturan perundang-undangan yang mengatur dan menyebutkan istilah hak pengelolaan adalah sebagai berikut : 1. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan selanjutnya. 2. Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah
16
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan 6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata Cara Permohonan dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-Bagian Tanah Hak Pengelolaan 7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun; 8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah 9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 10. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan 11. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 tentang Pedoman Penetapan Uang Pemasukan Dalam Pemberian Hak Atas Tanah Negara 12. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalalan Keputusan Hak Atas Negara 13. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan 14. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS).
Pengertian mengenai hak pengelolaan dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu yang memberikan arti sebagai hak atas tanah dan hak menguasai dari negara. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1965, PMDN Nomor 5 Tahun 1973, PMDN Nomor 5 Tahun 1974 dan PMDN Nomor 1 Tahun 1977 memberikan pengertian hak pengelolaan sebagai hak atas tanah. Dengan demikian hak pengelolaan tersebut memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah demikian tubuh bumi, air dan ruang yang ada diatasnya
17
sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan hukum yang lebih tinggi.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996, PP Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 36 Tahun 1998, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 jo. Nomor 9 Tahun 1999, Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 memberikan pengertian hak pengelolaan sebagai hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. Dengan demikian HPL ini memberikan wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak atas tanah dan hak menguasai dari negara merupakan statu hal yang berbeda. Untuk mengkaji apakah hak pengelolaan itu merupakan hak atas tanah atau hak menguasai dari negara, hal ini dapat dipelajari dari kewenangan yang dimiliki pemegang hak pengelolaan.
Dengan memperhatikan bahwa salah satu kewenangan dari pemegang hak pengelolaan adalah menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya maka jelas bahwa hak pengelolaan termasuk hak atas tanah. Meskipun secara eksplisit pemegang hak hanya mempunyai wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 UUPA, namun secara implisit pemegang hak atas tanah tersebut berwenang pula untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan dan menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga (Sekarmadji et al. 2001:20)
18
Pemberian pengertian hak pengelolaan sebagai hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya justru akan membingungkan karena pelimpahan sebagian dari kewenangan hak menguasai dari negara akan menimbulkan pertanyaan yaitu kewenangan mana yang dilimpahkan, sebab sebagaimana disebutan dalam pasal 2 ayat 2 UUPA atas dasar hak menguasai, negara mempunyai 3 (tiga) kewenangan (Sekarmadji et al. 2001:20)
Hak pengelolaan secara konsepsional bukan merupakan hak atas tanah. Hak pengelolaan
adalah
hak
menguasai
negara
atas
tanah
yang
sebagian
kewenangannya dilimpahkan kepada pemegang haknya, namun dalam praktek administrasi hak pengelolaan mempunyai ciri-ciri sebagaimana hak tanah, misalnya terjadinya melalui mekanisme pemberian hak tanah dan didaftar serta diterbitkan sertipikat hak tanah sebagai alat bukti hak yang kuat (Murad (2007:74).
Pihak-pihak yang dapat memperoleh hak pengelolaan diatur dalam ketentuan pasal 29 PMDN Nomor 5 Tahun 1973, yang menyatakan bahwa hak pengelolaan dapat diberikan kepada departemen dan jawatan-jawatan pemerintah dan badanbadan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. Sedangkan dalam pasal 2 PMDN Nomor 5 Tahun 1974 dinyatakan adanya pemberian hak pengelolaan kepada perusahaan (Perusahaan pemerintah atau pemerintah daerah).
Hak Pengelolaan, menurut pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 9 tahun 1999, tidak bisa diberikan kepada
individu atau perorangan. Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada badan hukum tertentu yaitu : a. instansi pemerintah termasuk Pemerintah daerah; b. Badan Usaha Milik Negara c. Badan Usaha Milik Daerah; d. PT.Persero;
19
e. Badan Otorita; f. Badan hukum-badan hukum pemerintah lainnya yang ditunjuk oleh pemerintah.
Mengenai ketentuan yang mengatur tentang penyerahan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga diatur dalam PMDN Nomor 5 Tahun 1974 jo. 1 Tahun 1977 yang pada intinya menyatakan bahwa hak yang dapat diberikan kepada pihak ketiga itu meliputi hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai jika tanah tersebut diberikan kepada perusahaan pemerintah untuk pembangunan perumahan, sedangkan jika diberikan untuk industrial estate, maka hak kepada pihak ketiga dapat diberikan hak guna bangunan dan hak pakai.
Pemberian hak milik pada bagian-bagian tanah hak pengelolaan akan mengakibatkan terputusnya hubungan hukum antara pemegang hak pengelolaan dengan tanah hak pengelolaannya, karena hak milik mempunyai sifat terkuat, terpenuh dan turun temurun. Untuk itu akan lebih tepat apabila pemberian bagianbagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga dibatasi dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai (Sekarmadji et al. 2001:23).
Parlindungan (1994:345) menyatakan bahwa khusus terhadap hak milik yang dapat diberikan diatas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 PMDN Nomor 5 Tahun 1974 adalah hak milik untuk badan hukum perbankan saja sebagaimana dimaksud dalam PP Nomor 38 Tahun 1963.
II.2.4. Prosedur Pemberian Hak Atas Tanah Tata cara permohonan dan pemberian hak atas tanah diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah jo. PMDN No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.
Berdasarkan Surat Kepala BPN No. 060/238/KPBN tanggal 29 Desember 1988 kedua peraturan tersebut masih tetap berlaku, namun mengenai pejabat yang
20
berwenang memberikan hak atas tanah disesuaikan dengan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dengan demikian, pejabat yang berwenang memberikan hak atas tanah tidak lagi ada pada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, akan tetapi ada pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Tingkat Propinsi dan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN.
Peraturan-peraturan tersebut telah dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalalan Keputusan Hak Atas Negara dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Prosedur permohonan hak atas tanah, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut : 1. Pemohon mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan mengisi formulir permohonan yang telah disediakan di Kantor Pertanahan. Permohonan tersebut harus dilampirkan : a. Keterangan mengenai diri pemohon; b. Keterangan mengenai tanahnya yang berupa keterangan mengenai perolehan tanahnya, surat ukur, SPPT-PBB. 2. Setelah menerima permohonan dimaksud, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data phisisk, mencatat dalam formulir isian, memberikan tanda terima berkas permohonan dan memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada : a. Kasi hak atas tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data
21
yuridis dan data phisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (konstatering rapport); b. Tim Peneliti Tanah, untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belum terdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara; c. Panitia Pemeriksaan Tanah untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b yang dituangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah 4. Dalam hal data yuridis dan data phisik belum lengkap, Kepala Kantor Pertanahan memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya. 5. Dalam hal keputusan pemberian hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan, setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak A atas Tanah atau Pejabat yang telah ditunjuk atau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksaan Tanah, Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya. 6. Dalam hal keputusan pemberian hak tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan,
maka
Kepala
Kantor
Pertanahan
yang
bersangkutan
menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah disertai pendapat dan pertimbangannya. 7. Setelah
menerima
berkas
permohonan
yang
disertai
pendapat
dan
pertimbangan, Kepala Kantor Wilayah memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak-Hak Atas Tanah untuk mencatat dalam formulir isian serta memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data phisik dan apabila belum lengkap segera meminta kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untuk melengkapinya. 8. Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data phisik atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9. Dalam hal keputusan pemberian hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan,
22
Kakanwil menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya. 10. Dalam hal keputusan pemberian hak tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah, maka Kepala Kantor Wilayah menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri disertai pendapat dan pertimbangan. 11. Setelah
menerima
berkas
permohonan
yang
disertai
pendapat
dan
pertimbangan, Menteri memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk mencatat dalam formulir isian serta memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data phisik dan apabila belum lengkap segera meminta kepada Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untuk melengkapinya. 12. Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data phisik atas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 13. Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah, Menteri menerbitkan keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya. 14. Setelah semua syarat dipenuhi penerima hak, maka atas permintaan penerima hak, oleh Kepala Seksi dan Pendaftaran Tanah yang bersangkutan segera dilakukan pendaftarannya dalam buku tanah dan penerbitan sendiri haknya menurut ketentuan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP Nomor 24 Tahun 1997.
Pendaftaran hak tersebut sangat penting karena lahirnya hak atas tanah adalah pada saat didaftarkannya hak tersebut kepada kantor Pertanahan Kabupaten/Kota letak tanah. Tujuan dari pendaftaran hak atas tanah menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Untuk itu kepada pemegang hak diberikan sertipikat sebagai surat tanda buktinya (pasal 4 ayat 1) dan untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
23
perbuatan hukum menggenai bidang tanah yang sudah terdaftar (pasal 4 ayat 2), serta untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan (pasal 4 ayat 3).
Pendaftaran tanah menurut Mertokusumo dalam Sumardji (2000) akan menghasilkan kepastian mengenai data fisik dan data yuridisnya sebagai berikut : 1. kepastian hak atas tanahnya, artinya dengan didaftarkanya hak atas tanah akan diketahui status tanahnya, apakah hak milik, HGB, HGU dan sebagainya; 2. kepastian subyek haknya, artinya dengan didaftarkannya hak atas tanah akan diketahui siapakah yang menjadi pemiliknya; 3. kepastian obyek haknya, artinya dengan didaftarkannya hak atas tanah akan diketahui dengan pasti diimana letak, luas dan batas-batas tanahnya; 4. kepastian hukumnya, artinya dengan didaftarkan hak atas tanah akan diketahui wewenang dan kewajiban-kewajiban bagi pemegang hak.
II.2.5. Prosedur Pemberian Hak Pengelolaan Pada dasarnya prosedur pendaftaran hak pengelolaan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu melalui konversi dan melalui permohonan hak. Permohona pendaftaran hak melalui konversi diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Tanah dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. Obyek dari konversi tersebut adalah hak penguasaan atas tanah negara (beheersrecht) yang dipunyai oleh instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 (Sumardji 2000)
PP 10 tahun 1961 memang tidak mengatur kewajiban pendaftaran terhadap tanah yang dikuasai pemerintah, karena memang bukan termasuk hak yang diatur dalam UUPA, namun demikian pemerintah memandang perlu diadakan pendaftaran hak penguasaan tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Surat Keputusan Menteri Agraria Nomor SK VI/5/K tanggal 20 Januari 1962. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa sebagai hak-hak yang disamping hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan harus didaftarkan menurut ketentuan PP 10 Tahun 1961 adalah :
24
1. hak penguasaan (beheersrecht) oleh suatu departemen, jawatan atau daerah swatantra atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 1953 atau peraturan perundangan lainnya sebelum berlakunya peraturan tersebut. 2. Hak pakai yang jangka waktunya lebih dari 5 (lima) tahun dengan ketentuan bahwa jika waktunya tidak ditentukan, maka dianggap lebih dari 5 tahun.
Astina dalam Sumardji (2000) menyatakan bahwa apabila pendaftaran tanah melalui prosedur konversi tidak pernah dilakukan, maka tanah yang bersangkutan statusnya menjadi tanah negara. Untuk menjadikan tanah-tanah tersebut sebagai tanah yang berstatus hak pengelolaan, harus ditempuh melalui prosedur permohonan/pemberian hak.
Prosedur pemberian hak pengelolaan juga diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1973 jo. PMDN No. 6 Tahun 1972 yang keduanya telah diganti dengan PMNA/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalalan Keputusan Hak Atas Negara dan PMNA/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Prosedur permohonan hak pengelolaan, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut : 1. Pemohon
mengajukan
permohonan
tertulis
kepada
Menteri
Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dengan mengisi formulir permohonan yang telah disediakan di Kantor Pertanahan dengan melampirkan : a. Keterangan mengenai diri pemohon berupa akte/peraturan pendiriannya; b. Keterangan mengenai tanahnya, berupa keterangan mengenai perolehan tanahnya, gambar situasi/surat ukur dan keterangan-keterangan lain yang dianggap perlu, misalnya SPPT-PBB; 2. Setelah menerima permohonan hak dimaksud, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota :
25
a. memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengurusan Hak Atas Tanah untuk mencatatnya di dalam daftar permohonan hak pengelolaan yang disediakan dan memeriksa apakah keterangan-keterangan yang diperlukan sudah lengkap dan jika belum lengkap mempersilahkan kepada pemohon untuk melengkapinya b. memanggil pemohon untuk melengkapi keterangan yang belum lengkap dan membayar kepada Kepala Sub Bagian Administrasi Kantor Pertanahan persekot biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan trsebut dengan menyebutkan perinciannya. Lembar asli surat perincian biaya yang ditandatangani oleh Kepala Sub Bagian Administrasi tersebut diberikan kepada pemohon. c. memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah, Tata Guna Tanah dan Pengurusan Hak Atas Tanah agar menyelesaikan bahan-bahan
yang
diperlukan
untuk
mengambil
keputusan
atas
permohonan tersebut, yaitu surat keterangan pendaftaran tanah (jika belum ada), gambar situasi/surat ukur (jika belum ada) dan fatwa, yaitu pertimbangan apakah pemberian tanah untuk penggunaan yang dimohon itu memenuhi persyaratan tata guna tanah dan jika sudah ada apakah sesuai dengan rencana tata guna tanah dan tata ruang daerah yang bersangkutan; d. jika bahan-bahan yang tersedia belum cukup untuk mengambil keputusan, Panitia A mengadakan pemeriksaan setempat. Hasil pemeriksaan tersebut disusun dalam Risalah Pemeriksaan Tanah, unsur-unsur Panitia A terdiri dari pejabat-pejabat di lingkungan Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota di tambah dengan Lurah setempat; e. mengirimkan berkas permohonan itu kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Tingkat Propinsi. f. menyampaikan selembar tembusan dari ”Risalah Tim Penelitian Tanah” kepada Menteri Negara Agraria. g. memerintahkan kepada Kepala Seksi Pengurusan Hak Atas Tanah untuk mencatat pengiriman berkas tersebut pada huruf e dalam daftar yang disediakan.
26
h. mengadakan perhitungan dengan permohonan mengenai persekot biaya yang dimaksud dalam huruf b. 3. Setelah menerima permohonan hak itu dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, maka Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Tingkat Propinsi memerintahkan kepada Kepala Bagian Pengurusan Hak Atas Tanah untuk mengadakan pencatatan pada buku yang khusus disediakakan untuk itu dan penelitian apakah ketetuan-ketentuan yang diperlukan telah lengkap dan jika belum lengkap supaya segera memerintahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan kabupaten/Kota yang bersangkutan untuk melengkapinya. 4. Apabila semua keterangan yang diperlukan telah lengkap, maka Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi segera menyampaikan berkas permohonan yang bersangkutan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan disertai pertimbangannyua, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 5. Setelah menerima berkas permohonan hak dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Tingkat Propinsi/Kepala Badan
Pertanahan
Nasional memerintahkan kepada Deputi Bidang Hak-Hak Atas Tanah untuk mengadakan pencatatan dalam buku khusus yang disediakan untuk itu dan melakukan penelitian apakah keterangan-keterangan yang diperlukan telah lengkap dan jika belum lengkap supaya segera meminta kepada Kepala Kantor Wilayah untuk melengkapinya. 6. Apabila semua keterangan yang telah diperlukan telah lengkap dan tidak ada keberatan untuk mengabulkan permohonan tersebut, maka Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan. Kutipan Surat Keputusan tersebut disampaikan kepada pemohon dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 7. Setelah menerima surat keputusan pemberian hak pengelolaan dari Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota yang bersangkutan memberitahukan hal itu kepada pemohon dan memerintahkan agar segera memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam surat keputusan. Berdasarkan pasal 7 angka 3 Peraturan Menteri Dalam
27
Negeri No. 5 Tahun 1973 selain syarat-syarat khusus yang disesuaikan dengan keadaan tanah dan peruntukannya, maka dalam surat keputusan pemberian hak dimuat pula syarat-syarat yang wajib dipenuhi, yaitu : a. harus dibayar uang pemasukan kepada negara dan uang sumbangan kepada yayasan dana landreform serta biaya administrasi yang jumlah dan jangka waktunya dinyatakan dalam surat keputusan tersebut. b. hak pengelolaan yang diberikan itu harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan membayar biaya pendaftaran tanah yang jumlah dan dan jangka waktunya dinyatakan dalam surat keputusan tersebut. Pendaftaran yang dimaksud merupakan syarat bagi lahirnya hak pengelolaan yang bersangkutan dan baru boleh dilakukan setelah semua syarat yang tercantum dalam surat keputusan pemberian haknya dipenuhi. c. kelalaian terhadap syarat-syarat tersbut pada huruf a dan b diatas akan berakibat hak yang bakal lahir itu gugur. 8. Setelah semua syarat dipenuhi penerima hak pengelolaan, maka atas permintaan penerima hak, oleh Kepala Seksi dan Pendaftaran Tanah yang bersangkutan segera dilakukan pendaftarannya dalam buku tanah dan penerbitan sendiri haknya menurut ketentuan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan PP Nomor 24 Tahun 1997.
II.2.6. Pemberian Hak Bagi Tanah Untuk Kepentingan Umum Peraturan Presiden Republik IndI Nomor 36 Tahun 2005 yang mengatur tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan untuk sebagian besar lapisan masyarakat. Dalam pasal 5 peraturan tersebut disebutkan obyek-obyek yang termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang meliputi 21 obyek.
Peraturan tersebut kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, dimana dalam pasal 5 peraturan tersebut dinyatakan bahwa pembangunan untuk kepentingan umum meliputi 6 obyek. Salah satu pembangunan untuk
28
kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah menurut kedua peraturan tersebut adalah pembangunan untuk keperluan pelabuhan.
Pasal 4 ayat 1 Perpres Nomor 36 tahun 2005 menyatakan bahwa pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah, yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu. Selanjutnya Pasal 4 ayat 2 peraturan tersebut, dinyatakan bahwa bagi daeah-daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah sebagaimana diamaksud ayat (1) dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah kota yang telah ada.
Perpres tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 Sebagaimana Telah diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006. Dalam pasal 4 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tersebut dinyatakan bahwa instansi pemerintah yang memerlukan tanah untuk pembangunan kepentingan umum harus mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada bupati/walikota dengan tembusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/kota.
Pasal 5 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2007 menyatakan bahwa oleh bupati/walikota dilakukan pengkajian kesesuaian rencana pembangunan dari aspek : a. tata ruang b. penatagunaan tanah c. sosial ekonomi d. lingkungan, dan e. penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah
Pelaksanaan pengkajian tersebut menurut pasal 2 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 dilaksanakan atas dasar rekomendasi instansi terkait dan Kantor
29
Pertanahan Kabupaten/Kota untuk kemudian diketerbitkan keputusan penetapan lokasi oleh bupati/walikota (pasal 3) yang berlaku sebagai ijin perolehan tanah bagi instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
Pasal 7 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007 menyatakan bahwa dalam hal rekomendasi tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah atau kota yang telah ada, dan tidak dapat dilaksanakan pada lokasi sebagaimana dimaksud pada pasal 2 (ayat 1), maka bupati/walikota memberikan saran lokasi pembangunan lain kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah.
II.3.Kajian Teoritis Mengenai Konflik II.3.1. Pengertian Konflik Konflik didefinisikan oleh Fisher et al. dalam Hidayati (2006:14) sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Misalnya kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang yang selanjutnya menimbulkan masalahmasalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan dan kejahatan.
Wiradi dalam Abdurachman (2003:40) mendefinisikan konflik sebagai suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan obyek yang sama demi kepentingannya.
Dalam perspektif pertanahan, konflik, sengketa dan perkara didefinisikan sebagai berikut (BPN 2007): a. konflik, merupakan perbedaan nilai, kepentingan dan pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan dan atau status penggunaan
30
atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status Keputusan Tata Usaha Negara yang menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu, serta mengandung aspek politik, ekonomi dan sosial budaya; b. sengketa, merupakan perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan dan atau badan hukum (privat atau publik) mengenai status penguasaan dan atau status kepemilikan dan atau status penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu oleh pihak tertentu atau status Keputusan Tata Usaha Negara yang menyangkut penguasaan, pemilikan dan penggunaan atau pemanfaatan atas bidang tanah tertentu. c. perkara, adalah sengketa dan atau konflik pertanahan yang penyelesaiannya dilakukan melalui badan peradilan.
II.3.2. Bentuk dan Sumber Konflik Tipe konflik, menurut Hidayati et al (2005:12) terdiri dari 4 (empat) tipe yaitu situasi tanpa konflik, koflik laten, konflik terbuka dan konflik di permukaan. Situasi tanpa konflik merupakan situasi yang ideal yang dalam kenyataan seharihari mungkin sulit dijumpai. Dalam kondisi seperti ini semua kelompok atau masyarakat hidup damai. Konflik laten adalah konflik yang tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan agar dapat dikelola secara efektif. Sedangkan konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata karena itu memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahan pahaman mengenai sasaran. Konfllik ini dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.
Intensitas dan kompleksitasnya suatu konflik berbeda-beda sesuai dengan tingkatan hubungan para pihak yang berkonflik. Intensitas konflik berkaitan dengan frekuensi terjadinya suatu konflik, sedangkan kompleksitas konflik berkaitan dengan beberapa banyak pihak yang berkonflik dan terlibat dalam penyelesaian konflik pada tingkatan yang berbeda. Suatu penggolongan konflik ke dalam suatu intensitas dan kompleksitas tertentu dilakukan untuk mendapatkan
31
pemahaman yang lebih baik mengenai berbagai tipe konflik yang terjadi, frekuensi kejadian, stakesholder yang terlibat dan mekanisme penyelesaian masalahnya (Hidayati et al. 2005:11)
Sumber konflik, menurut Isenhart dan Spangle dalam Santoso dalam Hidayati et al. (2005:12), dapat berasal dari perbedaan data, kepentingan, komunikasi, prosedur, nilai-nilai, hubungan sosial dan struktur peran. Sebuah konflik bisa saja terjadi karena salah satu faktor, tetapi kenyataan di lapangan seringkalii disebabkan oleh multi-faktor.
Tanah merupakan Salah satu hal yang sangat rawan memicu konflik sosial. Konflik sosial akibat sengketa tanah ini telah manifest dalam bentuk pertentangan kepentingan, baik antara rakyat dengan rakyat, rakyat dengan negara, rakyat dengan modal maupun antara rakyat, negara dan modal (Samudji (2007:1) Hal ini sejalan dengan pendapat Suyanto dalam Samudji (2007:1) yang
menyatakan
bahwa dalam setiap sengketa pertanahan biasanya menyangkut tiga pihak yang terlibat, yaitu kekuatan komersial, kekuatan kelembagaan atau pemerintah dan kekuatan massa khususnya warga yang secara sosial ekonomi rendah.
Konflik pertanahan tidaklah dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan kebutuhan ekonomi dengan sedikit mengabaikan dampak yang akan muncul. Kebijakan pertanahan yang beberapa waktu lalu muncul (bahkan sampai kini) merupakan dari pembangunan tidak sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memfalisitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Secara umum kondisi tersebut secara potensial banyak merugikan rakyat, dimana hak rakyat akan tanah seringkali dinomorduakan demi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kapital yang hanya dikuasai segelintir orang (Saleh 2004:1)
Pertumbuhan ekonomi dam meningkatnya nilai ekonomis tanah mengakibatkan semakin tajamnya kesenjangan sosial antara mereka yang mempunyai akses yang memungkinkan penguasaan tanah bangunan yang melampaui batas kewajaran
32
dihadapkan dengan mereka yang paling membutuhkan tanah, namun berada pada posisi yang tersudut. Tidak mustahil apabila hal ini dibiarkan berlangsung akan dapat menjadi pemicu berbagai kerawanan di bidang pertanahan. (Supriadi 2006:11).
Badan Pertanahan Nasional menggolongkan jenis sengketa, konflik dan perkara menjadi 8 (delapan) tipologi yaitu masalah yang berkaitan dengan penguasaan dan pemilikan tanah, penetapan hak dan pendaftaran tanah, batas
atau letak
bidang tanah, pengadaan tanah, tanah obyek landreform tuntutan ganti rugi tanah partikelir, tanah ulayat dan pelaksanaan putusan pengadilan (BPN 2007).
Salah satu konflik pertanahan yang cukup menonjol di Indonesia adalah konflik penguasaan dan pemilikan tanah yang oleh BPN (2007) didefinisikan sebagai perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan diatas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah negara) maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu. Hasil workhsop Badan Pertanahan Nasional (2006), mendefinisikan penguasaan dan pemilikan tanah sebagai sebagai berikut : a. penguasaan (possession) adalah hubungan nyata antara orang dengan tanah yang dikuasai. Pada saat itu yang bersangkutan tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa tanah itu berada dalam kekuasaan orang itu. Secara yuridis penguasaan itu prima facie yaitu bukti nyata adanya kepemilikan. Sekalipun orang yang menguasai tanah belum tentu adalah pemiliknya tetapi orang yang menguasai harus dianggap sebagai pemilik sampai dibuktikan sebaliknya bahwa yang bersangkutan bukanlah pemiliknya. Penguasaan bersifaf faktual maka hapusnya penguasaan adalah karena ditinggalkan, dilepaskan secara sukarela atau diambil alih secara paksa oleh pihak lain. b. pemilikan (ownership) adalah sekumpulan hak-hak (a bundle of right) yang semuanya termasuk ke dalam ius in rem (hak kebendaan) sehingga berlaku terhadap semua orang dan semua orang harus menghormatinya. Seorang pemilik tanah mungkin tidak menguasai tanahnya atau tanahnya dikuasai pihak lain akan tetapi hubungan hukum antara pemilik dengan
33
tanahnya adalah tetap. Di dalam UUPA dikenal pemilikan seperti hak milik atas tanah dan penguasaan yang dilegitimasi sehingga mempunyai sifat seperti hak milik. Hak-hak tersebut yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai dan sebagainya.
II.4. Kajian Teori Mengenai Resolusi Konflik II.4.1.Pemahaman Mengenai Resolusi Konflik Penyelesaian konflik (conflict resolution), menurut Surbakti dalam Siregar (2002:18), lebih merujuk pada sebab-sebab konflik daripada manifestasi konflik. Ini berarti bahwa untuk menyelesaikan suatu konflik perlu diketahui latar belakang atau akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut, sehingga dapat diselesaikan secara tuntas.
Pemahaman yang baik tentang dinamika, hubungan isu-isu dalam situasi konflik akan sangat membantu untuk melakukan perencanaan dan merumuskan tindakan dan strategi-strategi yang dibutuhkan dalam melakukan penanganan konflik. Upaya untuk memahami konflik secara lebih baik bisa dilakukan dengan dua jalan yaitu dengan melakukan analisis secara detail tentang konflik dari berbagai perspektif dan dengan melakukan eksplorasi terhadap isu-isu spesifik dan problem-problem yang terkait dengan isu tersebut (Jamil 2007:7)
II.4.2. Jenis-Jenis Resolusi Konflik Penyelesaian suatu konflik pada hakekatnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) cara yaitu melalui pengadilan (litigasi) dan di luar pengadilan (non litigasi). 1. Penyelesaian konflik melalui pengadilan Litigasi merupakan pilihan terakhir penyelesaian sengketa setelah sebelumnya dilakukan perundingan antara pihak-pihak yang berkonflik baik secara langsung maupun dengan perantara pihak ketiga guna menghasilkan kesepakatan bersama yang menguntungkan kedua belah pihak. Jika proses perundingan ini tidak menghasilkan kesepakatan, baru para pihak akan menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikan dan memutuskannya (Usman 2003:5).
34
Litigasi, menurut Margono dalam Siregar (2002:18) adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk mengantikan konflik sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang bertentangan.
Penyelesaian konflik melalui lembaga pengadilan (litigasi) seringkali dirasakan tidak efektif, karena upaya pengadilan untuk menyelesaikan perkara dengan mudah, murah dan cepat hanya merupakan semboyan semata. Sebenarnyan jika suatu perkara, termasuk perkara tanah dibawa ke pengadilan, seseorang lebih banyak ruginya. Hal ini senada dengan pendapat Muchlis (1996:17) yang mengatakan bahwa menurutnya kerugian itu disebabkan lamanya waktu dan besarnya biaya yang ditanggung selama berperkara, sehingga tidak jarang antara nilai obyek perkara dengan biaya yang dikeluarkan berperkara tidak seimbang. Hal itulah yang menyebabkan warga masyarakat seringkali tidak puas jika menyelesaikan konfliknya melalui pengadilan (litigasi). 2. Penyelesaian konflik diluar pengadilan Menyadari adanya kenyataan bahwa masyarakat kurang percaya terhadap lembaga peradilan, nampaknya perlu ditempuh model penyelesaian konflik yang dapat mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Cara itu dapat ditempuh dengan dengan mengembangkan Alternative Disputes Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (Saleh 2004:330).
Bentuk alternatif peyelesaian sengketa yang paling umum dilakukan saat ini menurut Wijoyo dalam Siregar (2002:42) paling tidak ada lima cara yang lazim digunakan, yaitu negosiasi (negotiation), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), pencari fakta (fact finding) dan arbitrase (arbitration).
a. Negosiasi Negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda. Menurut Emirzon (2001:44) menyatakan bahwa secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak
35
tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atau dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif. Dalam hal ini para pihak berhadapan langsung secara seksama dalam mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi dengan cara kooperatif dan saling terbuka.
Negosiasi, menurut Boyle dalam Soemartono (2006:1) adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut. Jadi negosiasi tampak sebagai suatu seni untuk mencapai kesepakatan dan bukan ilmu pengetahuan yang dapat dipelajari.
b. Mediasi Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak (Boyle dalam Soemartono 2006:1)
Moore dalam Wijoyo dalam Siregar (2002:44) berpendapat bahwa pada prisispnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat menolong para pihak untuk melakukan tawar menawar secara seimbang. Tanpa negosiasi tidak ada yang disebut mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari negosiasi.
Fungsi mediator, menurut Fuller dalam Margono dalam Siregar (2002:45) adalah sebagai berikut : -
sebagai katalisator yang mengandung pengertian bahwa kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang kondusif bagi diskusi;
-
sebagai pendidik yang berarti bahwa seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasn politis dan kendala usaha dari para pihak, oleh karena itu ia harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan itu diantara para pihak.
36
-
sebagai penerjemah yang berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
-
sebagai narasumber yang berarti bahwa mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia;
-
sebagai penyandang berita jelek yang berarti bahwa mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional, untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
-
sebagai agen realitas yang berarti bahwa mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan;
-
sebagai kambing hitam, yang berarti bahwa mediator harus siap disalahkan, misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
c. Konsiliasi Margono dalam Siregar (2002:46) menyatakan bahwa apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi. Hal ini yang menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering diartikan dengan mediasi. Bagaimanapun juga penyelesaian sengketa dengan model konsiliasi mengacu pada proses penyelesaian sengketa secara konsensus antara para pihak dimana pihak netral dapat berperan secara aktif (netral act) maupun tidak aktif. Pihakpihak yang bersengketa harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga dan menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa.
Pihak ketiga dalam upaya penyelesaian konflik melalui konsiliasi yang disebut dengan konsiliator mempunyai peran untuk mengusahakan solusi yang dapat diterima para pihak. Apabila kesepakatan dapat dicapai, maka status konsiliator berubah menjadi arbitrator dari resolusi yang dihasilkan meningkat wujudnya sebagai penghargaan yang bersifat final serta mempunyai daya laku eksekutor.
37
d. Pencari Fakta Pencari fakta merupakan pihak yang netral yang ditunjuk oleh para pihak yang bersangkutan untuk menyelidiki pokok-pokok masalah dalam sengketa. Dengan adanya pencari fakta diharapkan dapat membantu menyelesaikan sengketa yang dihadapi para pihak, karena dalam beberapa perkara yang bernar-benar rumit para pihak sebenarnya tidak bersengketa mengenai hukum ataupun
mengenai
penerapan hukum terhadap fakta, namun mereka bersengketa mengenai obyektifitas fakta (Margono dalam Siregar 2002:47).
Menurut Riskin and Westbrook dalam Margono dalam Siregar (2002 :47) menyatakan bahwa ”A neutral is selected to find fact. This can aid in negotiation, mediation or adjudication”. Ini berarti bahwa pencari fakta bertugas untuk menemukan fakta atau keterangan untuk dianalisis agar dapat memperjelas masalah yang menimbulkan konflik. Pencari fakta tersebut dapat membantu dalam upaya negosiasi, mediasi ataupun pengadilan.
e. Arbitrase Arbritase adalah suatu proses yang mudah yang dipilih oleh para pihak secara sukarela karena ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut. Para pihak setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat (Elkoury dan Elkoury dalam Emirzon 2001:96).
Arbitrase, menurut Boyle dalam Soemartono (2006:1) merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.
Arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan-kelebihan tersebut menurut Margono dalam Siregar (2002:48) adalah sebagai berikut :
38
-
kerahasiaannya dijamin oleh para pihak yang bersangkutan;
-
dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administrasi;
-
para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang memadai mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
-
para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah, proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
-
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tata cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.
39