BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani dan Morfologi Stroberi Stroberi yang banyak dibudidayakan sekarang merupakan hibrida yang dikenal dengan nama Fragaria ananassa yaitu hasil silangan antara Fragaria chiloensis dari Chili sebagai tetua betina dengan Fragaria virginiana dari Amerika Utara sebagai tetua jantan. Buah stroberi berwarna merah. Buah yang dikenal dan biasanya dimakan sebenarnya adalah buah semu yang terbentuk dari receptacle yang membesar. Buah sejati berkembang menjadi buah kering dengan biji yang keras yang disebut achene. Buah sejati ini berukuran kecil dan menempel pada receptacle. Ukuran buah stroberi ditentukan oleh jumlah achene yang terbentuk (University of Georgia, 2009). Berdasarkan pengaruh panjang hari, stroberi dibagi menjadi dua jenis yaitu short day cultivar yang juga disebut June-bearing yang bunganya mulai terbentuk ketika panjang hari kurang dari 14 jam dan suhu lebih rendah dari 15°C. Selain itu terdapat jenis day neutral cultivar yang juga disebut everbearing yaitu jenis kultivar stroberi yang memproduksi bunga dan buah sepanjang tahun selama suhu mendukung yaitu suhu malam hari tetap di atas 15.5°C (Strand, 1994). Ada beberapa bentuk buah stroberi yang dikenal. Menurut penggolongan USDA (United States Department of Agriculture), ada delapan bentuk stroberi yang dikenal seperti terlihat pada Gambar 1. Adanya bentuk-bentuk ini ditentukan oleh sifat genetiknya.
Gambar 1. Bentuk-bentuk stroberi berdasarkan USDA. Keterangan dari kiri ke kanan: oblate, globose conic, globose, conic, necked, long conic, long wedge, dan short wedge. (Darrow, 2009)
5
Sifat dan ketahanan buah stroberi untuk masing-masing varietas berbedabeda. Kondisi ini mengakibatkan buah stroberi yang dipanen, baik waktu dan tingkat kesegaran dan kekerasan buah tidak sama. Hal tersebut menyebabkan perlakuan yang diberikan kepada setiap varietas berbeda (Budiman et al., 2006). Adapun varietas stroberi introduksi yang dapat ditanam di Indonesia antara lain: Oso Grande, Pajero, Selva, Ostara, Tenira, Robunda, Bogota, Elvira, Grella, Camarosa, Chandler, Earlibrite, Stroberi Festival, Sweet Charlie, dan Red Gantlet. Sweet Charlie yaitu sebuah nama dari varietas stroberi FL 85-4925 adalah varietas yang dilepas oleh Institute of Food and Agricultural Sciences (IFAS), University of Florida pada tanggal 23 Juni 1992. Varietas ini merupakan hasil persilangan antara FL 80-456 yaitu sebuah klon yang resisten terhadap antraknosa dengan Pajaro yaitu sebuah varietas stroberi dari Universitas California yang merupakan varietas yang sangat rentan terhadap penyakit busuk buah akibat antraknosa. Varietas ini merupakan tipe short day karena berbuah di awal musim yaitu antara bulan Desember sampai April dibandingkan dengan Oso Grande dan Pajaro. Ukuran tanaman, panjang antara 19-26 cm dan lebar antara 29-42 cm. Tingkat kerentanan terhadap penyakit antraknosa, powdery mildew, dan twospotted spider mite sedang, namun rentan terhadap penyakit busuk Botrytis, dan Phomopsis leaf blight (Feyrer dan James, 1992). Varietas Sweet Charlie memiliki intensitas rasa, tingkat kemanisan dan keseragaman warna yang paling baik, namun mempunyai intensitas warna merah yang bervariasi. Varietas ini juga secara umum memproduksi buah yang paling lunak dibandingkan dengan varietas Oso Grande, Rosa Linda, Selva dan Camarosa (Sims et al., 1997). Bentuk tanaman buah stroberi varietas Sweet Charlie yang ditanam di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Stroberi Varietas Sweet Charlie.
6
2.2. Perubahan-Perubahan pada Buah selama Pasca Panen. Tahapan perkembangan buah dimulai dari tahap pertumbuhan (growth), pematangan (maturation), matang fisiologis (physiological maturity), pemasakan (ripening), dan senesen (senescence). Pertumbuhan adalah tahap pembelahan selsel sampai mencapai tahap ukuran sel maksimal (mature), selanjutnya tahap pemasakan (ripening) adalah tahap perubahan buah dari fase matang menjadi buah yang siap dimakan, sedangkan senesen adalah tahap kemunduran yang menuju ke arah penuaan buah sampai terjadinya kematian jaringan (Kays,1991). Menurut Kartasapoetra (1994) aktivitas respirasi adalah penyebab utama terjadinya kemasakan dan menjadi tuanya hasil tanaman karena aktivitas ini masih terjadi pada saat menjelang panen dan setelah pemanenan. Respirasi yang terjadi ini dapat menghasilkan panas yang berbahaya, dan dapat mempercepat proses melunaknya buah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada buah setelah panen antara lain: adanya sejumlah besar enzim yang aktif setelah panen yang dapat menyebabkan perubahan warna dan perubahan komposisi dinding sel sehingga menyebabkan buah menjadi lunak. Selain itu adanya reaksi-reaksi kimia yang menyebabkan perubahan rasa, bau, tekstur dan nutrisi yang terkandung di dalamnya (Winarno, 2002).
3.3. Pola Respirasi Stroberi Pola respirasi buah pada dasarnya digolongkan menjadi dua yaitu buah klimakterik dan buah non klimakterik. Buah klimakterik adalah buah-buahan yang pemasakannya ditandai dengan peningkatan respirasi kemudian terus menurun. Beberapa buah klimakterik antara lain: mangga, pisang, markisa, avokad dan apel sehingga walaupun dipanen matang (mature) namun belum masak (ripening) dapat melakukan proses pemasakan sendiri. Buah stroberi termasuk ke dalam golongan non klimakterik yaitu jenis buah yang laju respirasinya terus menurun dan tidak ditandai dengan puncak respirasi. Adapun pola respirasi stroberi yang disimpan pada suhu 10°C selama enam hari diperlihatkan pada Gambar 3. Buah-buahan non klimakterik memproduksi sedikit etilen dan tidak menunjukkan perubahan produksi CO2
7
dalam jumlah besar (Kader, 2002). Hal ini mengakibatkan beberapa buah non klimakterik termasuk stroberi harus dipanen pada saat matang penuh untuk mendapatkan kualitas maksimum dalam hal penerimaan visual (kesegaran, warna dan tidak adanya kebusukan atau kerusakan fisiologis), tekstur (kekerasan, juiciness, dan kerenyahan), cita rasa dan kandungan nutrisi yang meliputi vitamin, mineral dan serat (Munoz et al., 2008).
Gambar 3. Pola Respirasi Stroberi yang diukur pada 10ºC (Munoz, 2008)
2.4. Pengemasan Pengemasan
atau
disebut
juga
pembungkusan,
pewadahan
atau
pengepakan berperan dalam pengawetan bahan hasil pertanian. Adanya wadah atau pembungkus dapat membantu mencegah atau mengurangi kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran. Selain itu, pengemasan berfungsi untuk menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk agar mempunyai bentuk-bentuk yang memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan dan distribusi (Syarief et al., 1989). Pengertian kemasan tersebut memberi arti bahwa fungsi dasar pengemasan adalah membangun ”jembatan” dari tempat produksi ke konsumen akhir atau dari tahapan produksi satu ke tahapan produksi yang lain atau selama pemasaran, sehingga produk atau komoditas berada dalam kondisi baik. Menurut Syarief et al. (1989), fungsi pengemasan ialah: a. Fungsi
pengemasan
menurut
susunan
lapisan
pengemasan:
8
1. Pengemasan Primer, langsung mewadahi atau membungkus produk yang dikemas 2. Pengemasan Sekunder, berfungsi untuk melindungi kelompok kemasan primer. 3. Pengemasan Tersier, berfungsi untuk melindungi produk selama pengangkutan yang lebih dikenal sebagai kemasan distribusi. b. Fungsi pengemasan menurut sifat mutu performa: 1. Perlindungan terhadap produk 2. Pemasaran dan penjualan 3. Informasi tentang produk yang dikemas 4. Transportasi dan distribusi 5. Penyimpanan dan penggudangan. Pengemasan komoditas hortikultura adalah suatu usaha menempatkan komoditas segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima oleh konsumen akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Pengemasan dilakukan agar komoditas dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis,
fisik, kimia dan
mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980). Hambali (1995) menyatakan bahwa selama distribusi produk-produk hortikultura biasanya mengalami luka memar akibat pukulan, kompresi, vibrasi serta gesekan. Memar pukulan terjadi karena komoditas atau kemasannya jatuh ke atas permukaan yang keras. Penanganan jenis memar ini dapat dilakukan dengan menggunakan bantalan di dalam kemasan dan menyatukan serta melakukan pengisian produk ke dalam kemasan dengan baik. Memar akibat kompresi terjadi karena pengisian kemasan berlebihan sehingga komoditas harus menahan beban tumpukan yang cukup besar. Pengemasan dapat mengurangi kehilangan lembab (pengurangan berat) dan dengan demikian mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila digunakan bahan penghalang lengas uap air (Hall, 1986). Hal ini merupakan keuntungan utama dari pengemasan yang dapat pula memperpanjang umur simpan komoditas
9
yang bersangkutan. Kehilangan air yang disusul dengan laju atau keriputnya komoditas, jelas merupakan sebab hilangnya kesegaran.
2.5. Plastik sebagai Kemasan Plastik merupakan salah satu kemasan yang terbuat dari bahan minyak dan gas sebagai sumber alami, namun dalam perkembangannya, bahan pembuat plastik ini digantikan oleh bahan-bahan sintetis sehingga dapat diperoleh sifatsifat plastik yang diinginkan dengan cara kopolimerisasi, laminasi dan ekstrusi (Syarief et al., 1989). Jenis dan sifat-sifat produk plastik sangat ditentukan oleh monomer-monomer penyusunnya. Beberapa monomer yang sering digunakan diantaranya adalah etilen, propilen, stiren dan lain-lain. Jenis kemasan plastik yang paling dikenal adalah polietilen, polypropilen, polyester, nilon dan vinil film. Jenis kemasan plastik yang biasa digunakan oleh para petani dan perusahaan stroberi di Indonesia adalah PET (Polyethylene terephtalate) styrofoam (polystyrene) dan PVC atau di pasaran dikenal dengan nama plastik mika. PET merupakan sebuah senyawa turunan polyester yang bersifat mempunyai resistensi yang tinggi terhadap panas, bahan kimia, asam, basa, beberapa pelarut, minyak dan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PET lebih efektif digunakan sebagai pengemas dibandingkan LDPE dalam mempertahankan kualitas stroberi dalam 10 hari (Cane et al., 2008). Styrofoam atau polystyrene dibuat dengan mereaksikan styrene pada suhu 125° C selama 7 hari. Polimer ini dapat dimurnikan dengan menambah benzena sehingga monomer-monomer akan terlarut yang selanjutnya didestilasi dengan metode destilasi vacum. Proses pembuatan styrofoam ditampilkan pada Gambar 4.
O
O
Panas nCH2=CH
CH2 CH 125° C Gambar 4. Proses Pembuatan Polystyrene (Setyowati et al., 2000) PVC merupakan hasil polimerisasi vinil klorida dengan bantuan katalis. Antoniette (2009) menyatakan bahwa plastik jenis PVC bersifat tebal tapi masih
10
sedikit fleksibel karena adanya bahan pemlastis dalam pembentukannya. Beberapa jenis PVC antara lain: 1. Plasticized Vinyl Chloride yang banyak digunakan untuk kemasan daging segar, buah-buahan dan sayuran. 2. Vinyl Copolimer yang biasa digunakan untuk kemasan blister pack, kosmetika dan sari buah 3. Oriented Film yang mempunyai sifat lunak dan tidak mudah berkerut. Vinil klorida yang merupakan monomer PVC mempunyai sifat aliran yang baik dan digunakan untuk bahan film atau untuk melindungi bahan yang memerlukan permeabilitas yang rendah terhadap uap air dan gas. Menurut Buckle et al. (1987) permeabilitas gas PVC seperti CO2, O2 dan N2 lebih rendah dibandingkan HDPE (High Density Polyethylene), LDPE, dan PP (Polypropylene) sehingga PVC cocok untuk mengemas produk yang banyak mengandung senyawa volatile (mudah menguap).
2.6. Pelapisan dalam Penanganan Pasca Panen Pelapisan digunakan untuk memanipulasi resistensi pada permukaan luar buah seperti jika disimpan dalam wadah atau kemasan. Pelapis digunakan untuk memperpanjang masa simpan produk segar dan melindungi kerusakan buah dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan seperti adanya serangan mikroorganisme,
mengurangi
laju
pertukaran
gas
dan
kehilangan
air,
mempertahankan tekstur dan flavor yang mudah menguap yang dapat merusak kualitas buah tersebut (Oms-Oliu et al., 2008). Salah satu pertimbangan dalam pemilihan bahan pelapis adalah pelapis yang tidak membahayakan kesehatan, misalnya pelapis dapat dimakan (edible coating). Pelapis yang dapat dimakan merupakan lapisan tipis dan kontinyu yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Komponen pelapis yang dapat dimakan terdiri atas tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipid dan kombinasinya. Hidrokoloid terdiri atas protein, turunan selulosa, alginat, pektin, tepung (starch) dan polisakarida lainnya, sedangkan lipid terdiri atas lilin (wax), asilgliserol, dan asam lemak (Donhowe dan Fennema, 1994). Edible coating dalam aplikasinya berfungsi sebagai barrier terhadap uap air dan pertukaran gas O2 dan CO2,
11
mencegah kerusakan akibat penanganan mekanik (Mellenthin et al.,1982), membantu mencegah hilangnya senyawa-senyawa volatile (Nisperoscarriedo et al., 1990), dan sebagai carrier zat aditif seperti zat antimikrobial dan antioksidan untuk meningkatkan daya simpan suatu bahan pangan (Kester dan Fennema, 1988).
2.7. Chitosan Chitosan merupakan biopolimer rantai panjang glukosamin yang diperoleh melalui penghilangan protein dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut "deproteinasi" dan demineralisasi yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Selanjutnya, chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Struktur chitin dan chitosan ditampilkan pada Gambar 5. Chitosan bukan hanya komponen utama dari exoskeleton dari golongan serangga dan crustaceae, namun juga terdapat pada dinding sel fungi dan alga. Karakteristik fisiko-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal dapat larut dalam larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut chitosan yang baik adalah asam asetat. Chitosan tidak mudah larut dalam air dan mempunyai muatan positif kuat yang dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Chitosan mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. Sifat polar dan non polar inilah yang menyebabkan chitosan fleksibel dapat mengikat air dan minyak, dan dapat membentuk konfirmasi yang kompak dan memanjang, sifat ini bermanfaat untuk meningkatkan daya guna dari chitosan (Steven dan Verhe, 2004).
Gambar 5. Struktur Chitin dan Chitosan (Dalwoo, 2002)
12
Hirano (1989); El Ghaouth et al. (1992) menyarankan penggunaan chitosan sebagai pelapis yang dapat dimakan pada buah dan sayur. Pelapisan dengan chitosan dapat melindungi makanan dari kerusakan karena cendawan dan dapat memanipulasi atmosfer dari buah-buahan segar, serta dapat menghambat difusi oksigen sehingga proses respirasi dapat dihambat. Aplikasi chitosan sebagai pelapis yang dapat dimakan pada buah dan sayur mempunyai dampak positif untuk penyimpanan jangka panjang makanan karena chitosan menyediakan semacam lapisan aktif yang dapat mengeluarkan zat pengawet yang dimilikinya secara perlahan-lahan sehingga pertumbuhan cendawan dapat dihambat. Efek tersebut juga dapat mempertahankan penampakan luar dari buah dalam waktu lama. Hal ini terbukti pada aplikasi chitosan sebagai pelapis pada spesies Valencia orange dan Fortune Mandarin (Galed et al., 2003), Pyrus pyrifolia atau pir Huanghua (Zhou et al.,2007), stroberi kultivar Camarosa (Munoz et al., 2008) dan pada buah belewah potong dan nenas potong (Sangsuwan et al.,2008).