BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kesehatan Kerja Definisi kesehatan kerja mengacu pada Komisi Gabungan ILO / WHO
dalam Kesehatan Kerja pada tahun 1950 yang disempurnakan pada sesi ke-12 tahun 1995. Kesehatan kerja adalah upaya mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan sosial semua pekerja yang setinggi-tingginya. Mencegah gangguan kesehatan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan; melindungi pekerja dari faktor risiko pekerjaan yang merugikan kesehatan; penempatan dan pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja disesuaikan dengan kapabilitas fisiologi dan psikologinya, dan disimpulkan sebagai adaptasi pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia kepada pekerjaannya (Kurniawidjaja, 2012) Fokus utama upaya kesehatan kerja mencapai tiga tujuan : 1.
Pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan pekerja dan kapasitas kerjanya.
2.
Perbaikan kondisi lingkungan kerja dan pekerjaan yang kondusif bagi Keselamatan dan Kesehatan Kerja
3.
Pengembangan pengorganisasian pekerjaan dan budaya kerja ke arah yang mendukung Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Juga meningkatkan kondisi sosial yang positif dan operasi yang lancar dan dapat meningkatkan produktivitas perusahaan.
9 Universitas Sumatera Utara
Konsep budaya kerja yang dimaksudkan dalam kerangka ini adalah refleksi system nilai pokok yang diadopsi oleh perusahaan tertentu. Budaya yang demikian itu diwujudkan dalam praktek sebagai system manajemen, kebijakan personalia, prinsip partisipasi, kebijakan pelatihan dan manajemen mutu perusahaan. Di Indonesia, dalam Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 64 disebutkan bahwa Kesehatan Kerja ditunjukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. 2.2
Ergonomi Kata ergonomi berasal bahasa Yunani : ergon (kerja) dan nomos
(peraturan, hukum). Pada berbagai negara digunakan istilah yang berbeda, seperti Arbeitswissenschaft di Jerman, Human Factors Engineering atau Personal Research di Amerika Utara. Ergonomi adalah penerapan ilmu-ilmu biologis tentang manusia bersama-sama dengan ilmu-ilmu teknik dan teknologi untuk mencapai penyesuaian satu sama lain secara optimal dari manusia terhadap pekerjaannya, yang manfaat dari padanya diukur dengan efisiensi dan kesejahteraan kerja. Tidak jarang pula kepada ergonomi diberikan pengertian sebagai ilmu tentang bekerja (study work) atau ilmu tentang kerja. Untuk ergonomi, di Indonesia digunakan pula istilah tata karya atau tata kerja (Suma’mur, 2009). Fokus ergonomi adalah pada biomekanik, kinesiologi, fisiologi kerja, dan antropometri. Biomekanik adalah mekanisme sistem biologi, khusunya pada
10 Universitas Sumatera Utara
tubuh manusia. Pendekatan biomekanik pada desain tempat kerja yang utama mempertimbangkan kemampuan pekerja, tuntutan tugas, dan peralatan yang terintegritas. Kinesiologi merupakan ilmu yang mempelajari pergerakan manusia dalam fungsi anatomi. Prinsip kinesiologi harus digunakan pada desain tempat kerja
untuk
mecegah
pergerakan
yang
tidak
sesuai.
Fisiologi
kerja
menggambarkan reaksi fisiologi pekerja terhadap tuntutan pekerjaannya dan memelihara pada batasan yang aman. Antropometri berfokus pada dimensi tempat kerja, peralatan, dan material. Data antropometri terdiri dari dimensi tubuh, jangkauan pergerakan lengan/tangan dan kaki, dan kemampuan kekuatan otot (Pulat,1992). Konsep dasar dari ergonomi adalah memberi keserasian atau kesesuain antara manusia dengan pekerjaannya. Intinya yaitu ergonomi bertujuan mencapai harmonisasi antara keterbatasan manusia dengan tuntutan pekerjaannya. Hal ini dikarenakan manusia memiliki keterbatasan dari segi fisik, fisiologi dan psikologi sedangkan saat bekerja, manusia berinteraksi dengan sebuah system yang terdiri dari manusia, peralatan kerja/ mesin, system kerja dan lingkungan yang notabene memiliki karakteristik masing-masing yang mampu membahayakan manusia atau berisiko terhadap keselamatan dan kesehatan pekerja. Fokus perhatian ergonomi dalam sistem pekerjaan adalah manusia, karena itu tempat kerja dan alat kerja disesuaikan terhadap pekerja bukan sebaliknya. Cara menilai kesesuaian adalah melihat aspek dari pekerjaan, peralatan, lingkungan kerja, serta interaksi diantaranya sehingga tercipta sistem kerja yang
11 Universitas Sumatera Utara
aman, efektif, dan produktif. Jika cocok (mismatch,) harus ada solusi ergonomi untuk menengahi. Peranan ergonomi dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan kerja, antara lain : desain suatu sistem kerja untuk mengurasi rasa nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia, desain stasiun kerja untuk alat peraga visual. Hal tersebut dapat mengurangi ketidaknyamanan visual dan postur kerja, desain suatu perkakas kerja untuk mengurangi kelelahan kerja, desain suatu peletakan instrument dan sistem pengendalian agar didapat optimasi dalam proses transfer informasi dengan dihasilkannya suatu respon yang cepat dengan meminimalkan risiko kesehatan akibat metode kerja yang kurang tepat (Nurmianto, 2004). Secara umum tujuan dari penerapan ergonomi adalah : 1.
Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
2.
Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial,
mengelola
dan
mengkoordinir
kerja
secara
tepat
guna
meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif. 3.
Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek, yaitu aspek teknis, ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap system kerja yang dilakuka sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka, 2004).
12 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjabaran di atas dari berbagai sumber, maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup dari ergonomi berfokus pada perancangan tugas, peralatan, area kerja, dan sistem kerja yang disesuaikan dengan kapasitas pekerja
(mempertimbangkan
keterbatasan
fisik)
yang
bertujuan
untuk
menciptakan efisiensi serta kenyamanan dalam bekerja dan mencegah darikecelakaan maupun penyakit akibat kerja. 2.3
Sikap Kerja Menurut Sada dalam Purwanto (2008) , sikap kerja adalah tindakan yang
akan diambil pekerja dan segala sesuatu yang harus dilakukan pekerja tersebut yang hasilnya sebanding dengan usaha yang dilakukan. Sikap kerja yang sering dilakukan oleh manusia dalam melakukan pekerjaan antara lain berdiri, duduk, membungkuk, jongkok, berjalan, dan lain-lain. Sundari (2011) yang mengutip hasil penelitian Bridger menyatakan bahwa sikap kerja seseorang dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: 1.
Karakteristik fisik, seperti umur, jenis kelamin, ukuran antropometri, berat badan,
kesegaran
muskuloskeletal,
jasmani,
tajam
kemampuan
penglihatan,
gerakan
masalah
sendi,
system
kegemukan,
riwayat
penyakit, dan lain-lain; 2.
Jenis keperluan tugas, seperti pekerjaan yang memerlukan ketelitian, memerlukan kekuatan tangan, giliran tugas, waktu istirahat, dan lain-lain;
3.
Desain stasiun kerja, seperti ukuran tempat duduk, ketinggian landasan kerja, kondisi permukaan atau bidang kerja, dan faktor-faktor lingkungan kerja;
13 Universitas Sumatera Utara
4.
Lingkungan kerja (environment): intensitas penerangan, suhu lingkungan, kelembaban udara, kecepatan udara, kebisingan, debu dan vibrasi. Menurut Santoso (2004), terdapat 3 macam sikap dalam bekerja yaitu
kerja posisi duduk, kerja berdiri, dan kerja berdiri setengah duduk (membungkuk). 2.3.1
Sikap Kerja Posisi Duduk Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu
dapat mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator yang bekerja sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Di samping itu lebih cekatan dan mahir. Namun sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya masalah-masalah-masalah punggung. Operator dengan sikap duduk yang salah akan menderita pada bagian punggungnya. Menurut Eko Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004) bahwa tekanan pada bagian tulang belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan tekanan tersebut sampai 190%. Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari nyeri dan cepat lelah. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar dan dapat relaksasi (tidak statis). Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan
14 Universitas Sumatera Utara
sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat. Keuntungan bekerja sambil duduk adalah sebagai berikut: kurangnya kelelahan pada kaki, terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah, berkurangnya pemakaian energi, dan kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1996). 2.3.2
Sikap Kerja Posisi Berdiri Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan
mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti pembersih (clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu ketika bekerja. Apabila sepatu tidak pas (tidak sesuai) maka sangat mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian sekitar telapak kaki. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sepatu kerja secara ergonomis. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki (tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu. Desain sepatu harus lebih longgar dari ukuran telapak kaki. Apabila bagian sepatu di kaki terjadi penahanan yang kuat pada tali sendi (ligaments) pergelangan kaki, dan hal itu terjadi dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami kelelahan (Santoso, 2004). 2.3.3
Sikap Kerja Posisi Setengah Duduk (Membungkuk) Berdasarkan penelitian Santoso (2004) bahwa tenaga kerja bubut yang
telah terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi setangah
15 Universitas Sumatera Utara
duduk tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok. Menurut Suma’mur (1996) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka sangatlah tidak nyaman. 2.4
Muskuloskeletal
2.4.1
Keluhan Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan
musculoskeletal
disorders
(MSDs)
atau
cedera
pada
sistem
muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: 1.
Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikiann keluhan tersebut akan segera hilang apabila pembebanan dihentikan.
16 Universitas Sumatera Utara
2.
Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).
2.4.2
Faktor Risiko MSDs Dalam suatu pekerjaan ada faktor-faktor yang mempengaruhi risiko terjadinya sutu penyakit akibat kerja yang biasa disebut dengan musculoskeletal disorders, repetitive strain injury, cumulative trauma disorders dan penyakit lainnya. Humantech (1995) dalam Tia (2009) mengkategorikan kedalam empat kelompok faktor-faktor risiko utama terhadap terjadinya keluhan muskuloskeletal, yaitu postur, frekuensi, durasi dan beban pekerjaan.
1. Postur Kerja Pembagian postur kerja dalam ergonomi didasarkan atas posisi tubuh dan pergerakan. Berdasarkan posisi tubuh, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari: a.
Postur Netral (Neutral Posture)
Postur dimana seluruh bagian tubuh berada pada posisi yang seharusnya dan kontraksi otot tidak berlebihan sehingga bagian organ tubuh, saraf jaringan lunak dan tulang tidak mengalami pergeseran, penekanan, ataupun kontraksi yang berlebihan. b.
Postur Janggal (Awkward Posture)
Postur dimana posisi tubuh (tungkai sendi dan punggung) secara signifikan menyimpang dari posisi netral pada saat melakukan suatu aktivitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh manusia untuk melawan beban dalam
17 Universitas Sumatera Utara
jangka waktu lama. Postur janggal akan menyebabkan stress mekanik pada otot rangka. Selain itu, postur janggal akan membutuhkan energi yang lebih besar pada beberapa bagian otot, sehingga meningkatkan kerja jantung dan paru-paru untuk menghasilkan energi. Semakin lama bekerja dengan postur janggal, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk mepertahankan kondisi tersebut, sehingga dampak kerusakan otot rangka yang ditimbulkan semakin kuat. Beberapa postur janggal antara lain : Postur Janggal Tulang Belakang
1. a.
Membungkuk (bent forward) yaitu punggung dan dada lebih condong ke depan membentuk ≥ 20º terhadap garis vertical.
b.
Berputar (twisted) yaitu posisi tubuh yang berputar ke kanan dan kiri dimana garis vertical menjadi sumbu tanpa memperhitungkan berapa derajat besarnya rotasi yang dilakukan.
c.
Miring (bent sideway) yaitu setiap deviasi bidang median tubuh dari garis vertikal tanpa memperhitungkan besarnya sudut yang dibentuk. Terjadi fleksi pada bagian tubuh, biasanya ke depan atau ke samping.
Gambar 2.1 Postur Janggal Tulang Belakang
18 Universitas Sumatera Utara
Selain itu terdapat postur janggal pada tulang punggung saat mengangkat seperti gambar berikut ini.
Gambar 2.2 Postur Mengangkat Cara yang benar mengangkat dengan tangan adalah (Setiawan, 1980) : a.
Suatu angkatan hendaknya dimulai dengan kedudukan si pengangkat dalam sikap seimbang dengan meletakkan kedua belah kaki agak merenggang dan barang yang akan diangkat harus didekatkan
badan.
Sebelum mengangkat punggung harus tegak dan dalam kedudukan sedikit mungkin dengan barang yang akan diangkat. b.
Untuk mengangkat beban, mula-mula luruskan kaki. Cara ini meyakinkan bahwa daya angkat kita sedang disalurkan benar-benar melalui urat-urat dan tulang.
c.
Untuk melengkapi angkatan, luruskanlah badan badan bagian atas sampai dengan keadaan tegak. Pengangkatan yang sempurna adalah menaikkan beban separoh tinggi badan pada kedudukan tegak.
19 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Cara mengangkat beban yang benar 2.
Postur Janggal pada tangan dan pergelangan tangan (kiri dan kanan) Faktor risiko pada tangan dan pergelangan tangan adalah melakukan pekerjaan dengan posisi memegang benda dengan cara mencubit (pitch grip), tekanan pada jari terhadap objek (finger press), menggenggam dengan kuat (power grip), posisi pergelangan tangan yang fleksi dan ekstensi dengan sudut ≥ 45º , serta posisi pergelangan tangan yang deviasi selama lebih dari 10 detik dan frekuensi > 30/menit.
3.
Postur janggal pada bahu (kiri dan kanan) Postur bahu yang merupakan faktor risiko adalah melakukan pekerjaan lengan atas membentuk sudut ≥ 45º ke arah samping atau ke arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari satu atau sama dengan 2 kali per menit dan beban ≥ 4,5 Kg.
20 Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4 Postur Janggal Bahu 4. Postur Janggal pada lengan bawah (kiri dan kanan) Postur lengan bawah yang menjadi faktor risiko adalah posisi siku sebesar 135º dan jika menggunakan gerakan penuh dalam bekerja. 5. Postur janggal pada leher Postur leher yang menjadi faktor risiko adalah melakukan pekerjaan (membengkokkan leher ≥ 20º terhadap vertikal), menekukkan kepala atau menoleh ke samping kiri atau kanan, serta menengadah.
Gambar 2.5 Postur Janggal pada Leher 6.
Postur janggal pada kaki a. Jongkok (squatting) yaitu posisi tubuh dimana perut menempel pada paha dimana terjadi fleksi maksimal pada daerah lutut, pangkal paha, dan tulang lumbal.
21 Universitas Sumatera Utara
b. Berlutut (kneeling) yaitu posisi tubuh dimana sendi lutut menekuk, permukaan lutut menyentuh lantai dan berat tubuh bertumpu pada lutut dan jari-jari kaki. c. Berdiri pada satu kaki (stand on one leg) yaitu posisi tubuh dimana tubuh bertumpu pada satu kaki. Sedangkan berdasarkan pergerakan, postur kerja dalam ergonomi terdiri dari : 1.
Postur Statis Terjadi dimana sebagian besar tubuh tidak aktif atau hanya sedikit sekali terjadi pergerakan. Postur statis dalam jangka waktu lama sehingga
otot
berkontraksi
secara
terus-menerus
dan
dapat
menyebabkan tekanan. Berikut contoh postur statis : a. Berdiri, yaitu kepala, punggung, dan kaki tegak lurus atau sejajar
dengan sumbu vertikal. b. Duduk, yaitu pantat menyentuh suatu permukaan dan terjadi fleksi
pada lutut 90º. c. Berbaring , yaitu kepala, punggung, dan kaki sejajar dengan sumbu
horizontal. 2.
Postur Dinamis Postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh bergerak. Jenisnya adalah :
a. Carrying, aktivitas mengangkat beban sambil berjalan b. Pulling, yaitu tarikan pada benda agar benda bergerak
22 Universitas Sumatera Utara
c. Pushing, yaitu memindahkan benda dengan memberikan gaya agar benda berpindah. Frekuensi
2.
Postur yang salah dengan frekuensi pekerjaan yang sering dapat mengakibatkan tubuh kekurangan suplai darah, asam laktat yang terakumulasi, inflamasi, tekanan pada otot, dan trauma mekanis. Frekuensi terjadinya postur janggal terkait dengan terjadinya repetitive motion dalam melakukan pekerjaan. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terusmenerus tanpa melakukan relaksasi. 3.
Durasi Adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko. Durasi dapat dilihat sebagai
menit-menit dari jam kerja/hari pekerja terpapar risiko. Durasi juga dapat dilihat sebagai pajanan/tahun faktor risiko atau karakteristik pekerjaan berdasarkan faktor risikonya. Durasi diklasifikasikan sebagai berikut : a. Durasi singkat : < 1 jam/hari b. Durasi sedang : 1-2 jam/hari c. Durasi Lama : > 2 jam Pada posisi kerja statis yang membutuhkan 50% dari kekuatan maksimum tidak dapat bertahan lebih dari satu menit, jika kekuatan digunakan kurang dari 20% kekuatan maksimum maka kontraksi akan berlangsung terus untuk beberapa waktu.
23 Universitas Sumatera Utara
4.
Force atau beban Force merupakan usaha yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan.
Pekerjaan yang menuntut penggunaan tenaga besar, maka akan memberikan beban pada otot, tendon, ligament, dan sendi. Objek merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan otot rangka. Menurut ILO, beban maksimum yang diperbolehkan untuk diangkat oleh seseorang adalah 23-25 kg. Suma’mur (1996) menjabarkan cara menangani beban yang baik yaitu: 1.
Peregangan harus tepat. Memegang diusahakan dengan tangan penuh dan memegang dengan hanya beberapa jari dapat menyebabkan ketegangan statis lokal pada jari dan pergelangan tangan.
2.
Lengan harus berada di dekat tubuh dengan posisi lurus. Fleksi pada lengan untuk mengangkat dan membawa menyebabkan ketegangan otot statis pada lengan yang melelahkan
3.
Punggung harus diluruskan. Posisi deviasi punggung membebani tulang belakang. Untuk menghindari punggung membungkuk, mula-mula lutut harus bengkok (fleksi) sehinggga tubuh tetap berada pada posisi dengan punggung lurus.
4.
Posisi leher tegak sehingga seluruh tulang belakang diluruskan.
5.
Posisi kaki dibuat sedemikian rupa agar mampu mengimbangi momentum yang terjadi dalam posisi mengangkat dan menurunkan. Kedua kaki ditempatkan untuk membantu mendorong tubuh.
24 Universitas Sumatera Utara
6.
Beban diusahakan menekan pada otot tungkai yang kuat dan sebanyak mungkin otot tulang belakang yang lebih lemah dibebaskan dari pembebanan.
7.
Beban yang ditangani diusahakan berada sedekat mungkin terhadap garis vertikal atau pusat gravitasi tubuh. Posisi tubuh yang menahan beban cenderung mengikuti beban sedangkan posisi tubuh yang mnjauhi pusat gravitasi tubuh lebih berisiko MSDs. Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu: 1.
Peregangan otot yang berlebihan Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat. Peregangan otot yang berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.
2.
Aktivitas berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan ,mencangkul, membelah kayu besar, angkat angkut, dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
25 Universitas Sumatera Utara
3.
Sikap kerja tidak alamiah Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitas tubuh, maka semakin tinggi pula terjadinya keluhan otot skeletal. Disebut sebagai sikap kerja tidak alamiah apabila dalam melakukan pekerjaan posisi bagian tubuh menyimpang dari posisi normalnya (postur janggal). Posisi janggal membebani sistem otot rangka sebagai penyangga tubuh. Ada beberapa postur janggal yang harus diperhatikan dalam bekerja seperti : a. Menahan atau memegang beban jauh dari tubuh. b. Menjangkau ke atas dan menangani beban di atas ketinggian bahu. c. Membungkuk dan menangani beban di bawah pertengahan paha d. Berputar e. Membungkuk ke samping dan menangani beban dengan satu tangan. f. Mendorong dan menarik yang berlebihan. Sikap kerja tidak alamiah ini pada umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
4.
Faktor Penyebab Sekunder
a.
Tekanan
26 Universitas Sumatera Utara
Terjadinya
tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai
contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat meyebabkan nyeri otot yang menetap. b.
Getaran Menurut Suma’mur (1982) dalam Tarwaka (2004) menyebutkan bahwa getaran dengan frekuensi
tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini meyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laknat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot. c.
Mikroklimat Menurut Astrand & Rodhl, 1977; Pulat, 1992; Wilson & Corlett,1992 dalam Tarwaka (2004) paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai energi ke otot. Sebagai akibatnya, peredaran darah kurang lancar, oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laknat yang dapat menimbulkan rasa nyeri (Suma’mur (1982); Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2004)).
27 Universitas Sumatera Utara
5.
Penyebab Kombinasi Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila dalam melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam kegiatan yang bersamaan, misalnya pekerja harus melakukan aktivitas angkat angkut di bawah tekanan panas matahari seperti yang dilakukan oleh pekerja bangunan. Di samping kelima faktor penyebab terjadi keluhan otot tersebut beberapa
ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik dan ukuran tubuh juga menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal. a.
Umur Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) dalam Tarwaka (2004) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan otot skeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan dan ketahanan otot mulai menurun sehingga risiko terjadinya keluhan otot meningkat. Sebagai contoh, Berni et al (1989) dalam Tarwaka (2004) telah melakukan studi tentang kekuatan statik untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan di atas 60 tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Hasil penelitian bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umut antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi
28 Universitas Sumatera Utara
penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan menurun sampai 20 %. Pada saat kekuatan otot mulai menurun maka risiko terjadi keluhan otot akan meningkat. Rihimaki et al. (1989) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan otot terutama otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan. b.
Jenis Kelamin Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap risiko keluhan otot skeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukan bahwa jenis kelamin mempengaruhi tingkat risiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria. Menurut Astrand & Rodahl (1977) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa kekuatan otot wanita hanya sekitar dua per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya tahan otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita Hasil penelitian Chiang et al. (1993), Bernard et al. (1994), Hales et al. (1994) dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3, maka jenis kelamin perlu di pertimbangkan dalam mendesain beban tugas (Tarwaka,2004).
29 Universitas Sumatera Utara
c.
Kebiasaan Merokok Sama halnya dengan faktor resiko jenis kelamin, pengaruh kebiasaan merokok terhadap resiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laknat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.
d.
Kesegaran Jasmani Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan pada seseorang yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga yang besar, di sisi lain tidak mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot (Tarwaka,2004).
30 Universitas Sumatera Utara
2.5
Nordic Body Map Nordic Body Map (NBM) merupakan salah satu metode pengukuran
subyektif untuk mengukur rasa sakit otot para pekerja. Nordic Body Map paling sering digunakan untuk mengetahui ketidaknyamanan pada para pekerja karena sudah terstandarisasi dan tersusun rapi. Pengisian Nordic Body Map ini bertujuan untuk mengetahui bagian tubuh dari pekerja yang terasa sakit sebelum dan sesudah melakukan pekerjaan pada stasiun kerja. Kuisioner ini mernggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama yaitu : a. Leher b. Bahu c. Punggung bagian atas d. Siku e. Punggung bagian bawah f. Pergelangan tangan / tangan g. Pinggang / pantat h. Lutut i. Tumit / kaki Responden yang mengisi kuisioner diminta menunjukkan ada atau tidaknya gangguan pada bagian-bagian tubuh tersebut.
31 Universitas Sumatera Utara
Keterangan : 0. Leher atas 1. Leher bawah 2. Bahu kiri 3. Bahu kanan 4. Lengan atas kiri 5. Punggung 6. Lengan atas kanan 7. Pinggang 8. Bawah pinggang 9. Pantat 10. Siku kiri 11. Siku kanan 12. Lengan bawah kiri 13. Lengan bawah kanan 14. Pergelangan tangan kiri 15. Pergelangan tangan kanan 16. Tangan kiri 17. Tangan kanan 18. Paha kiri 19. Paha kanan 20. Lutut kiri 21. Lutut kanan 22. Betis kiri 23. Betis kanan 24. Pergelangan kaki kiri 25. Pergelangan kaki kanan 26. Telapak kaki kiri 27. Telapak kaki kan
Gambar 2.6 Nordic Body Map Sumber : Santoso 2004
32 Universitas Sumatera Utara
2.6
Cara Kerja Petani Pemetik Kopi Berdasarkan survey pendahuluan pada beberapa petani kopi di Dusun
Banua, didapatkan informasi bahwa dalam setahun panen tanaman kopi menghasilkan buah yang melimpah selama dua kali yaitu di bulan Mei sampai Juni dan bulan Oktober sampai November. Hal ini dikarenakan tanaman kopi menghasilkan buah banyak di musim penghujan. Sistem kerja mereka adalah harian dimana selama musim panen mereka bekerja setiap hari Senin-Minggu. Lama bekerja petani kopi dalam sehari yaitu delapan jam dan satu jam istirahat untuk makan siang. Mereka memulai bekerja memetik kopi dari jam 09.00 - 17.00 WIB dan istirahat jam 12.00-13.00 WIB. Pekerjaan yang dilakukan petani kopi adalah memetik buah kopi yang sudah matang dari pohonnya. Petani kopi bekerja memetik kopi dengan posisi tubuh berdiri dan leher menengadah ke atas.
Selama memetik buah kopi, para petani membawa ember masing-masing
sebagai tempat menampung buah kopi. Buah kopi di petik dan di tampung kedalam ember besar bekas cat dinding yang bermuatan ± 5kg dan apabila ember sudah penuh maka buah kopi di satukan ke dalam karung goni. Ember tersebut dibawa selama memetik kopi sehingga berpindah dari pohon satu ke pohon lainnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, dalam satu hari mereka dapat mengumpulkan buah kopi kurang lebih 10 kg per orang. Pada saat melakukan pengamatan, petani melakukan kegiatan mengangkat dengan posisi tubuh membungkuk. Dalam wawancara singkat tersebut didapatkan beberapa
33 Universitas Sumatera Utara
keluhan yang terjadi selama bekerja yaitu berupa keluhan di daerah leher, pergelangan tangan, punggung, pinggang, kaki, betis dan telapak kaki. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terlihat bahwa petani kopi melakukan sikap kerja tidak alamiah pada saat memetik buah kopi yaitu posisi berdiri dengan mengadahkan leher, posisi jongkok dan membungkuk dengan mengangkat beban. Sikap kerja yang tidak alamiah ini jika terjadi dalam kurun waktu lama maka akan terjadi akumulasi keluhan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya cedera otot (Suma’mur, 1996). 2.7
Kerangka Konsep
Petani Pemetik Kopi
Sikap Kerja
Keluhan Muskuloskeletal
Gambar 2.7 Kerangka Konsep Penelitian
34 Universitas Sumatera Utara