BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Abortus 2.1.1 Pengertian Abortus Abortus adalah pengeluaran hasil pembuahan (konsepsi) dengan berat badan janin < 500 gram atau kehamilan kurang dari 20 minggu. Insiden 15% dari semua kehamilan yang diketahui (Naylor, 2005). 2.1.2 Etiologi Abortus Abortus yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan umumnya disebabkan oleh faktor ovofetal, pada minggu-minggu berikutnya (11 – 12 minggu), abortus yang terjadi disebabkan oleh faktor maternal (Sayidun, 2001). Faktor ovofetal : Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan bahwa pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau terjadi malformasi pada tubuh janin. Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang kejadian abortus adalah kelainan chromosomal. Pada 20% kasus, terbukti adanya kegagalan trofoblast untuk melakukan implantasi dengan adekuat. Faktor maternal : Sebanyak 2% peristiwa abortus disebabkan oleh adanya penyakit sistemik maternal (systemic lupus erythematosis) dan infeksi sistemik maternal tertentu lainnya. 8% peristiwa abortus berkaitan dengan abnormalitas uterus ( kelainan uterus kongenital, mioma uteri submukosa, inkompetensia servik). Terdapat dugaan bahwa
Universitas Sumatera Utara
masalah psikologis memiliki peranan pula dengan kejadian abortus meskipun sulit untuk dibuktikan atau dilakukan penilaian lanjutan. Penyebab abortus inkompletus bervariasi, Penyebab terbanyak di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Faktor genetik. Sebagian besar abortus spontan, termasuk abortus inkompletus disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun. Selain itu abortus berulang biasa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal, dimana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus. 2. Kelainan kongenital uterus Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan dengan riwayat abortus, dimana ditemukan anomaly uterus pada 27% pasien. Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 - 30%).
Universitas Sumatera Utara
Mioma uteri juga bisa menyebabkan infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya 10 - 30% pada perempuan usia reproduksi. Selain itu Sindroma Asherman bias menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 – 80%, bergantung pada berat ringannya gangguan. 3. Penyebab Infeksi Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaraya sebagai berikut. a. Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta. b. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit bertahan hidup. c. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bias berlanjut kematian janin. d. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah yang bias mengganggu proses implantasi. 4. Faktor Hematologik Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan efek plesentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla
Universitas Sumatera Utara
dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4 – 6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 8 – 11 minggu. Hiperhomosisteinemi, bisa congenital ataupun akuisita juga berhubungan dengan thrombosis dan penyakit vascular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus berulang. 5. Faktor Lingkungan Diperkirakan 1 – 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga
menghambat
sirkulasi
uteroplasenta.
Karbon
monoksida
juga
menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem
sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan
pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus. 6. Faktor Hormonal Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progesterone. Perempuan diabetes dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama , risiko abortus meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2 – 3 kali lipat mengalami abortus.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1929, allen dan Corner mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Sedangkan pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17% kejadian defek fase luteal. Dan, 50% perempuan dengan histologi defek fase luteal punya gambaran progesterone yang normal (Prawirohadjo, 2009) Selain penyebab-penyebab diatas kategori penyebab abortus inkompletus antara lain : 1. Kelainan dari ovum Menurut Hertig dkk pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus spontan, termasuk abortus inkompletus. Menurut penyelidikan mereka dari 1000 abortus inkompletus: - 48,9% disebabkan karena ovum yang patologis. - 3,2% disebabkan kelainan letak embrio. - 9,6% disebabkan karena plasenta yang abnormal. Abortus inkompletus yang disebabkan oleh karena kelainan dari ovum berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu bulan, artinya makin muda kehamilan waktu terjadinya abortus makin besar kemungkinan disebabkan oleh kelainan ovum (50 – 80 %). 2. Kelainan genitalia ibu a. Kongenital anomaly (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan lain-lain). b. Kelainan letak dari uterus seperti retrofelsi uteri fiksata.
Universitas Sumatera Utara
c. Tidak sempurnanya persiapan uterus untuk menanti nidasi daripada ovum yang sudah dibuahi seperti kurangnya progesterone/oestrogen, endometritis, mioma submukus. d. Uterus terlalu cepat renggang (kehamilan ganda, mola). e. Distorsio dari uterus : oleh karena didorong oleh tumor pelvis. 3. Gangguan sirkulasi plasenta Kita jumpai pada penyakit nefritis, hipertensi, toksemia-gravidarum, anomaly plasenta dan endartritis oleh lues. 4. Penyakit-penyakit ibu Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi : pneumonia, tifoid, pielitis, rubeola, demam malta dan sebagainya. Berdasarkan faktor ibu yang paling sering menyebabkan abortus adalah infeksi. Sesuai dengan keluhan yang biasa ibu alami kemungkinan penyebab terjadinya abortus adalah infeksi pada alat genital. Tapi bisa saja juga dipengaruhi oleh faktor- faktor yang lain. Infeksi vagina pada kehamilan sangat berhubungan dengan terjadinya abortus atau partus sebelum waktunya (Mochtar, 1998) Macam-macam infeksi pada vagina, yaitu: a. Infeksi vagina akibat bakteri disebabkan karena tidak seimbangnya ekosistem bakteri pada vagina. Biasanya ditandai dengan adanya keputihan yang encer dan berbau busuk/ amis. b. Infeksi vagina akibat trikomonas disebabkan oleh parasit yang berflagela yaitu trikhomonas. Keputihan yang ditimbulkan sangat banyak, purulen, berbau busuk dan disertai rasa gatal.
Universitas Sumatera Utara
c. Infeksi vulva dan vagina akibat jamur penyebabnya candida albicans yang merupakan 90 % infeksi jamur di vagina. Faktor predisposisinya adalah penggunaan antibiotik pada kehamilan dan diabetes melitus . Keputihan yang terjadi sangat khas seperti bubuk keju dan sangat gatal. Bila perjalanan penyakitnya kronik dapat menyebabkan rasa nyeri dan panas. d. Infeksi akibat proses peradangan pada vagina penyebab pasti belum diketahui. Gejala yang ditimbulkan keputihan yang banyak, purulen dan menimbulkan gejala iritasi/ panas pada vulva dan vagina disertai nyeri panggul (Ayurai, 2009). 5.
Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alcohol, dan lain-lain. a. Ibu yang asfiksia seperti pada dekom.kordis, penyakit paru berat, anemi gravis. b. Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, avit A/C/E, diabetes mellitus.
6. Rhesus antagonism Pada rhesus antagonism darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus sehingga terjadinya anemi pada fetus yang menyebabkan-nya mati. 7. Terlalu cepat korpus luteum menjadi atrofis. 8. Perangsangan pada ibu sehingga menyebabkan uterus berkontraksi, umpamanya : terkejut sangat, obat-obat uterus tonika, ketakutan, laparotomi dan lain-lain. 9. Trauma langsung terhadap fetus : selaput janin rusak langsung karena instrument, benda dan obat-obatan.
Universitas Sumatera Utara
10. Penyakit bapak : umur lanjut, penyakit kronis seperti : TBC, anemi, dekompensasis kordis, malnutrisis, nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis. 11. Faktor serviks : inkompetensi serviks, sevisitis (Mochtar, 1998). 2.1.3 Mekanisme Abortus Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi. Pada kehamilan 8 – 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan minggu ke 14 – 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadang-kadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa
Universitas Sumatera Utara
nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan diatas jelas bahwa abortus ditandai dengan adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam (Prawirohardjo, 2002). 2.1.4 Tahapan Abortus Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut : 1. Abortus Iminens merupakan tingkat permulaan dan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. 2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. 3. Abortus Inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. 4. Abortus Kompletus adalah seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. 5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan. 6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturutturut. 7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. 8.Abortus Terapeutik adalah abortus dengan induksi medis (Prawirohardjo, 2009)
Universitas Sumatera Utara
2.2 Abortus Imkompletus (Keguguran Bersisa) 2.2.1 Pengertian Abortus inkompletus adalah keluarnya sebagian, tetapi tidak seluruh hasil konsepsi, sebelum umur kehamilan lengkap 20 minggu dan sebelum berat janin 500 gram (SPMPOGI, 2006). Abortus inkompletus adalah sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Prawirorahardjo, 2009). 2.2.2 Gejala-gejala Abortus Inkompletus Adapun gejala-gejala dari abortus inkompletus adalah sebagai berikut: 1. Amenorea 2. Perdarahan yang bias sedikit dan bias banyak, perdarahan biasanya berupa darah beku 3. Sakit perut dan mulas – mulas dan sudah ada keluar fetus atau jaringan 4. Pada pemeriksaan dalam jika abortus baru terjadi didapati serviks terbuka, kadang – kadang dapat diraba sisa – sisa jaringan dalam kantung servikalis atau kavum uteri dan uterus lebih kecil dari seharusnya kehamilan (Mochtar, 1998). 2.2.3 Diagnosis Abortus Inkompletus Diagnosis abortus inkompletus ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis a. Adanya amenore pada masa reproduksi b. Perdarahan pervaginam disertai jaringan hasil konsepsi
Universitas Sumatera Utara
c. Rasa sakit atau keram perut di daerah atas simpisis 2. Pemeriksaan Fisik a. Abdomen biasanya lembek dan tidak nyeri tekan b. Pada pemeriksaan pelvis, sisa hasil konsepsi ditemukan di dalam uterus, dapat juga menonjol keluar, atau didapatkan di liang vagina. c. Serviks terlihat dilatasi dan tidak menonjol. d. Pada pemeriksaan bimanual didapatkan uterus membesar dan lunak. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium berupa tes kehamilan, hemoglobin, leukosit, waktu bekuan, waktu perdarahan, dan trombosit. b. Pemeriksaan USG ditemukan kantung gestasi tidak utuh, ada sisa hasil konsepsi 2.2.4 Komplikasi Abortus Inkompletus Komplikasi yang dapat ditimbulkan abortus inkompletus adalah sebagai berikut: 1. Perdarahan Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya. 2. Perforasi Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya perlukaan pada uterus dan apakah ada perlukan alat-alat lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Syok Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan dan karena infeksi berat. 4. Infeksi Sebenarnya pada genitalia eksterna dan vagina dihuni oleh bakteri yang merupakan flora normal. Khususnya pada genitalia eksterna yaitu staphylococci, streptococci, Gram negatif enteric bacilli, Mycoplasma, Treponema (selain T. paliidum), Leptospira, jamur, Trichomonas vaginalis, sedangkan pada vagina ada lactobacili, streptococci, staphylococci, Gram negatif enteric bacilli, Clostridium sp., Bacteroides sp, Listeria dan jamur (Prawirohardjo, 1999). 2.2.5 Tindakan Operatif Penanganan Abortus Inkompletus Tindakan Operatif Penanganan Abortus Inkompletus terdiri dari: - PengeIuaran Secara digital Hal ini sering kita laksanakan pada keguguran bersisa. Pembersihan secara digital hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang dapat dilalui oleh satu janin longgar dan dalam kavum uteri cukup luas, karena manipulasi ini akan menimbulkan rasa nyeri. - Kuretase Kuretase adalah cara menimbulkan hasil konsepsi memakai alat kuretase (sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan besarnya uterus. - Vacum kuretase adalah cara mengeluarkan hasil konsepsi dengan alat vakum (Setyasworo, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.2.6 Penanganan Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok, tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan selanjutnya adalah untuk menghentikan sumber perdarahan. Tahap Pertama : Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke tingkat syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang lebih balk. Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil), tindakan tahap ke dua umumnya akan berjalan dengan baik pula. Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa : a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu badan). b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti adanya takipnu, sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi oksigen melalui kateter nasal). c. Selama
beberapa
menit
pertama,
penderita
dibaringkan
dengan
posisi
Trendelenburg. d. Pemberian infus cairan (darah) intravena (campuran Dekstrose 5% dengan NaCl 0,9%, Ringer laktat). e. Pengawasan jantung (Fungsi jantung dapat dipantau dengan elektrokardiografi dan dengan pengukuran tekanan vena sentral). f. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, jenis Rhesus, Tes kesesuaian darah penderita dengan darah donor, pemeriksaan pH
Universitas Sumatera Utara
darah, pO2, pCO2 darah arterial. Jika dari pemeriksaan ini dijumpai tanda-tanda anemia sedang sampai berat, infus cairan diganti dengan transfusi darah atau infus cairan bersamaan dengan transfusi darah. Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit, jika sudah timbul gangguan pembekuan darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah timbul tanda-tanda asidosis harus segera dikoreksi. Tahap kedua : Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap ke dua dilakukan. Penanganan tahap ke dua meliputi menegakkan diagnosis dan tindakan menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa ibu. Tindakan menghentikan perdarahan ini dilakukan berdasarkan etiologinya. Pada keadaan abortus inkompletus, apabila bagian hasil konsepsi telah keluar atau perdarahan menjadi berlebih, maka evakuasi hasil konsepsi segera diindikasikan untuk meminimalkan perdarahan dan risiko infeksi pelvis. Sebaiknya evakuasi dilakukan
dengan
aspirasi
vakum,
karena
tidak
memerlukan
anestesi
(Prawirohardjo, 1992). 2.2.7 Tindakan pengobatan abortus inkompletus Setiap fasilitas kesehatan seharusnya menyediakan dan mampu melakukan tindakan pengobatan abortus inkompletus sesuai dengan kemampuannya. Biasanya tindakan evakuasi/kuretase hanya tersedia di Rumah Sakit Kabupaten. Hal ini merupakan kendala yang dapat berakibat fatal, bila Rumah Sakit tersebut sulit dicapai dengan kendaraan umum. Sehingga peningkatan kemampuan melakukan tindakan pengobatan abortus inkompletus di setiap tingkat jaringan pelayanan sesuai dengan kemampuannya akan mengurangi risiko kematian dan kesakitan.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan pengobatan abortus inkompletus meliputi : 1. Membuat diagnosis abortus inkompletus 2. Melakukan konseling tentang keadaan abortus inkompletus dan rencana pengobatan. 3. Menilai keadaan pasien termasuk perlu atau tidak dirujuk. 4. Mengobati keadaan darurat serta komplikasi sebelum dan setelah tindakan. 5. Melakukan evakuasi sisa jaringan dari rongga rahim (Saifudin, 2002).
2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Abortus Inkompletus 2.3.1 Umur Resiko abortus semakin tinggi dengan semakin bertambahnya usia ibu. Insiden abortus dengan trisomi meningkat dengan bertambahnya usia ibu. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1 : 80, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan
kromosom/trisomi
akan
meningkat
setelah
usia
35
tahun
(Prawirohardjo, 2009). 2.3.2 Usia Kehamilan Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya. Paling sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom (Prawirohardjo, 2009). 2.3.3 Paritas Risiko abortus semakin tinggi dengan bertambahnya paritas ibu (SPMPOGI, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Riwayat Penyakit Riwayat penyakit ibu seperti pneumonia, typhus abdominalis, pielonefritis, malaria dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Begitu pula dengan penyakitpenyakit infeksi lain juga memperbesar peluang terjadinya abortus (Mochtar, 1998). 2.3.5 Riwayat Abortus Riwayat abortus pada penderita abortus merupakan predisposisi terjadinya abortus berulang. Kejadiannya sekitar 3 – 5 %. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali abortus pasangan punya risiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan bila pernah 2 kali, risikonya akan meningkat 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa risiko abortus setelah 3 kali abortus berurutan adalah 30 – 45% (Prawirohardjo, 2009).
2.4 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian “Hubungan Karakteristik Ibu dengan Abortus Inkompletus di Rumah Sakit Haji Medan Periode Januari 2008 - April 2010” yaitu : Karakteristik Ibu Abortus Inkompletus
- Umur - Usia kehamilan - Paritas
1. Ya 2. Tidak
- Riwayat Penyakit - Riwayat Abortus Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara
2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep penelitian diatas, maka hipotesis penelitian adalah : 1. Ada hubungan umur ibu dengan kejadian abortus inkompletus. 2. Ada hubungan usia kehamilan ibu dengan kejadian abortus inkompletus. 3. Ada hubungan paritas ibu dengan kejadian abortus inkompletus. 4. Ada hubungan riwayat penyakit ibu dengan kejadian abortus inkompletus. 5. Ada hubungan riwayat abortus ibu dengan kejadian abortus inkompletus.
Universitas Sumatera Utara