7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep TI dan Tata Kelola TI Teknologi informasi pada dasarnya adalah suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan sebuah teknologi yang memungkinkan manusia untuk mencatat, menyimpan, mengolah, mengambil kembali, mengirim, dan menerima suatu informasi yang diinginkannya. Teknologi informasi merujuk pada segala bentuk teknologi terapan untuk pengolahan, menyimpan, dan mengirimkan informasi dalam bentuk elektronik (Lucas 2000). Secara lebih luas pengertian teknologi informasi adalah semua aspek yang berhubungan dengan mesin (komputer dan telekomunikasi) dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, memanipulasi, mengirimkan, dan menerima suatu bentuk informasi. Teknologi informasi menggabungkan bidang teknologi seperti komputer, telekomunikasi dan elektronik dengan bidang informasi seperti data, fakta, dan proses. Teknologi informasi telah menjadi penting dalam mendukung keberlanjutan dan pertumbuhan bisnis di banyak organisasi. Organisasi sangat bergantung pada penggunaan teknologi informasi dalam menghadapi arus lingkungan bisnis yang dinamis dan bergerak cepat (Van Grembergen 2004). TI dan penggunaannya dalam lingkungan bisnis, telah mengalami transformasi mendasar dalam dekade terakhir. Pada masa lalu manajemen dapat mendelegasikan, mengabaikan atau menghindari keputusan TI, tetapi tidak untuk masa sekarang (Peterson 2004). Dengan semakin meningkatnya penggunaan TI dalam organisasi untuk pencapaian tujuan bisnis dibutuhkan suatu metode dalam pengelolaan TI. Tata kelola TI dipercaya sebagai solusi untuk memastikan bahwa TI dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi. Akademisi dan praktisi melakukan penelitian dan mengembangkan teori dan praktik terbaik dalam tata kelola TI (Peterson 2004). Tata kelola TI merupakan suatu struktur dan proses yang saling berhubungan
untuk
mengarahkan
dan
mengendalikan
organisasi
dalam
pencapaian tujuan organisasi melalui nilai tambah dan menyeimbangkan antara resiko, manfaat, dan proses TI. Tata kelola TI merupakan tanggungjawab
8
manajemen yang terdiri atas kepemimpinan, struktur organisasi, serta prosesproses yang memastikan TI mendukung objektifitas strategi bisnis organisasi (ITGI 2007). Dengan tata kelola TI, diharapkan manajemen dapat menentukan arah tata kelola TI dari organisasi yang dipimpinnya sehingga dengan penggunaan TI yang sudah tertata dengan baik mampu memberikan peluang bagi perkembangan organisasi dan menyediakan masukan yang penting bagi rencana strategis organisasi (Van Grembergen 2004). Tata kelola TI memadukan dan melembagakan praktik terbaik dari proses perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja TI yang memastikan informasi organisasi dan teknologi terkait dapat mendukung pencapaian sasaran organisasi sehingga penggunaannya harus sesuai dengan tujuan berikut (ITGI 2007): 1. Keselarasan TI dengan organisasi dan realisasi keuntungan yang dijanjikan. 2. Penggunaan TI memungkinkan organisasi mengeksploitasi peluang dan memaksimalkan keuntungan. 3. Penggunaan sumberdaya TI yang bertanggungjawab. 4. Penanganan manajemen resiko berkaitan dengan TI secara tepat. Menurut ITGI (2007), dalam tata kelola TI terdapat 5 fokus area yang perlu diperhatikan yaitu keselarasan strategi, value delivery, manajemen sumberdaya, manajemen resiko, dan pengukuran kinerja. Keselarasan strategi difokuskan terhadap keselarasan strategi organisasi dan tujuan bisnis. Value delivery berhubungan dengan cara mengoptimalkan nilai tambah TI terhadap strategi organisasi. Manajemen sumberdaya berhubungan dengan optimasi pengadaan dan pengelolaan sumberdaya TI (aplikasi, informasi, infrastruktur, dan personal). Manajemen resiko difokuskan bagaimana mengidentifikasi resiko yang mungkin ada dan cara mengatasi dampak dari resiko tersebut. Pengukuran kinerja difokuskan terhadap pengukuran dan pengawasan kinerja TI dan menyesuaikan penggunaan dengan kebutuhan bisnis organisasi. Ada berbagai kerangka kerja tata kelola TI yang banyak digunakan saat ini, antara lain: COBIT, The IT Infrastructure Library (ITIL), ISO/IEC 17799, Committee of the Sponsoring Organizations (COSO). COBIT adalah kerangka kerja tata kelola TI dan toolset pendukung yang memungkinkan manajer untuk
9
menjembatani kesenjangan antara kebutuhan kontrol, masalah teknis dan risiko bisnis (ITGI 2007). COBIT dikembangkan oleh IT Governance Institute yang merupakan sebuah organisasi di Amerika Serikat yang melakukan studi model pengelolaan TI. Konsep dasar kerangka kerja COBIT menurut ITGI (2007) adalah penentuan kendali TI berdasarkan informasi yang dibutuhkan untuk mendukung tujuan bisnis dan informasi yang dihasilkan dari gabungan penerapan proses TI dan sumber daya terkait. Dalam penerapan pengelolaan TI terdapat dua jenis model kendali, yaitu model kendali bisnis (business controls model) dan model kendali TI (IT focused control model), COBIT mencoba untuk menjembatani kesenjangan dari kedua jenis kendali tersebut. The IT Infrastructure Library (ITIL), merupakan sebuah kerangka kerja pengelolaan TI dikembangkan oleh Office of Government Commerce (OGC) suatu badan dibawah pemerintah Inggris pada tahun 1980. Namun penggunaan ITIL baru meluas pada tahun 1990 dengan ITIL ver 2 yang berhubungan dengan ITSM (IT Service Management), yaitu Service Delivery (Antar Layanan) dan Service Support (Dukungan Layanan). ITIL merupakan sebuah kerangka kerja pengelolaan layanan TI, kumpulan best practice penerapan pengelolaan layanan TI. ITIL memberikan rekomendasi dan arahan yang dibutuhkan manajemen untuk mengelola layanan TI dalam perusahaan (Surendro 2008). ISO/IEC 17799 adalah kode praktis pengelolaan keamanan informasi yang dikembangkan oleh The International Organization for Standardization (ISO) dan The International Electrotechnical Commission (IEC) yang bertanggung jawab terhadap standardisasi peralatan elektronik. ISO/IEC 17799 adalah panduan yang terdiri dari saran dan rekomendasi yang digunakan untuk memastikan keamanan informasi perusahaan (Surendro 2008). Committee of the Sponsoring Organizations (COSO), merupakan sebuah organisasi sukarela di Amerika Serikat yang berdedikasi untuk memperbaiki kualitas pelaporan keuangan melalui etika bisnis, pengendalian internal yang efektif dan tata kelola perusahaan. Kerangka kerja yang dibangun oleh COSO merupakan suatu kerangka kerja tata kelola berfokus terhadap integrasi kontrol internal yang mengintegrasikan antara aspek operasi dan keuangan perusahaan, antara pembuat kebijakan dan staf, antara tujuan dan risiko usaha, serta meliputi
10
seluruh unit aktifitas perusahaan sehingga diharapkan dapat mengurangi dan menghilangkan berbagai bentuk penyimpangan yang mungkin terjadi (Surendro 2008). Berbagai macam tata kelola TI dalam penerapannya memiliki fokus berbeda-beda. ITGI (2000) mencoba membuat perbandingan antara tata kelola COBIT dengan ITIL, ISO/IEC17799, dan COSO. Perbandingan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan COBIT dengan ITIL, ISO/IEC 17799, dan COSO Standar
PO
AI
DS
ME
ITIL
O
+
+
-
ISO/IEC 17799
O
+
+
O
COSO
+
+
O
-
Keterangan: + Frequently addressed O Moderately addressed - Not or rarely addressed Sumber: ITGI, 2000 Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa COBIT menganalisis setiap komponen yang berhubungan dengan TI lebih luas dibandingkan dengan tata kelola TI lainnya. Berdasarkan pemetaan standar COBIT dengan standar lainnya dalam hal kelengkapan proses-proses TI yang dilihat dalam dua dimensi, yaitu vertikal untuk melihat kedalaman standar dalam hal teknis dan operasional dan horisontal untuk melihat kelengkapan proses TI (Gambar 1) dapat dilihat bahwa COBIT memiliki kompromi antara dimensi vertikal dan horisontal yang lebih baik dari standar lainnya. COSO memberikan fokus terhadap finansial, COSO mempunyai detail yang dangkal, walaupun proses teknis dan operasionalnya cukup luas. ITIL memberikan fokus terhadap pengelolaan layanan. ITIL merupakan standar yang paling mendetail dan mendalam dalam mendefinisikan proses-proses TI yang bersifat teknis dan operasional. ISO/IEC 17799 memberikan fokus terhadap keamanan informasi, ISO/IEC 17799 memiliki detail yang jauh lebih dalam dari COSO, akan tetapi proses teknik dan operasionalnya dibawah ITIL (Surendro 2008).
11
Gambar 1 Pemetaan COBIT dengan ITIL, ISO/IEC17799, dan COSO (Surendro 2008)
2.2. COBIT COBIT adalah kerangka kerja tata kelola TI dan toolset pendukung yang memungkinkan manajer untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan kontrol, masalah teknis dan risiko bisnis. COBIT memungkinkan pengembangan kebijakan yang jelas dan praktek yang baik untuk TI kontrol seluruh organisasi. COBIT menekankan kepatuhan pada peraturan, membantu organisasi untuk meningkatkan nilai yang diperoleh dari TI, memungkinkan penyelarasan dan menyederhanakan pelaksanaan kerangka kerja COBIT. COBIT mendefinisikan kegiatan TI dalam 34 model proses dan mengelompokannya kedalam 4 domain, yaitu Plan and Organise, Acquire and Implement, Deliver and Support, dan Monitor and Evaluate. Berikut kerangka kerja COBIT yang terdiri atas 34 proses yang dikelompokkan ke dalam 4 domain (ITGI 2007): 1. Plan and organise (PO). Domain ini mencakup strategi taktis yang memberikan perhatian dalam mengidentifikasi cara terbaik TI untuk memberikan kontribusi maksimal terhadap pencapaian tujuan bisnis. Domain PO terdiri dari 10 proses kontrol, yaitu: PO1 Define a Strategic IT Plan
12
PO2 Define the Information Architecture PO3 Determine Technological Direction PO4 Define the IT Processes, Organisation and Relationships PO5 Manage the IT Investment PO6 Communicate Management Aims and Direction PO7 Manage IT Human Resources PO8 Manage Quality PO9 Assess and Manage IT Risks PO10 Manage Projects 2. Acquire and Implement (AI). Dalam mewujudkan pelaksanaan strategi TI yang telah ditetapkan, solusi TI perlu diidentifikasi, dikembangkan atau diperoleh, serta diimplementasikan dan terintegrasi ke dalam proses bisnis. Domain ini juga melingkupi perubahan dan pemeliharaan sistem yang ada untuk memastikan solusi yang memenuhi tujuan bisnis. Domain AI terdiri atas 7 proses kontrol, yaitu: AI1 Identify Automated Solutions AI2 Acquire and Maintain Application Software AI3 Acquire and Maintain Technology Infrastructure AI4 Enable Operation and Use AI5 Procure IT Resources AI6 Manage Changes AI7 Install and Accredit Solutions and Changes 3. Deliver and Support (DS). Domain ini memberikan perhatian terhadap proses pelayanan TI dan dukungan teknisnya yang meliputi service delivery, manajemen keamanan dan kontinuitas, pelatihan dan pendidikan untuk pengguna, dan manajemen data dan operasional. Domain DS terdiri atas 13 proses kontrol, yaitu: DS1 Define and Manage Service Levels DS2 Manage Third-party Services DS3 Manage Performance and Capacity DS4 Ensure Continuous Service DS5 Ensure Systems Security
13
DS6 Identify and Allocate Costs DS7 Educate and Train Users DS8 Manage Service Desk and Incidents DS9 Manage the Configuration DS10 Manage Problems DS11 Manage Data DS12 Manage the Physical Environment DS13 Manage Operations 4. Monitor and Evaluate (ME). Domain ini memberikan perhatian terhadap proses pengawasan pengelolaan TI yang difokuskan pada masalah kendalikendali yang diterapkan dalam organisasi, pemeriksaan internal dan eksternal. Domain ME terdiri atas 4 proses kontrol, yaitu: ME1 Monitor and Evaluate IT Performance ME2 Monitor and Evaluate Internal Control ME3 Ensure Compliance With External Requirements ME4 Provide IT Governance
Untuk memenuhi tujuan bisnis yang berfungsi secara efektif dan sesuai dengan kriteria kontrol tertentu perlu ditunjang dengan keberadaan informasi yang berkualitas. COBIT mendeskripsikan karakteristik informasi yang berkualitas dalam 7 aspek utama, yaitu (ITGI 2007): 1. Efektivitas, berkaitan dengan informasi yang relevan dan berhubungan dengan proses bisnis yang disampaikan secara tepat waktu, benar, konsisten, dan dapat digunakan. 2. Efisiensi, menyangkut penyediaan informasi melalui cara yang ekonomis dengan penggunaan sumberdaya optimal. 3. Kerahasiaan, berkaitan dengan perlindungan terhadap informasi yang sensitif dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan. 4. Integritas, berkaitan dengan ketepatan dan kelengkapan informasi serta validitas sesuai dengan nilai-nilai bisnis dan harapan. 5. Ketersediaan, berkaitan dengan informasi yang tersedia pada saat diperlukan oleh proses bisnis saat ini dan di masa depan.
14
6. Compliance, informasi yang ada harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya terhadap hukum, peraturan, dan standar yang berlaku secara internal maupun eksternal. 7. Keandalan, berkaitan dengan penyediaan informasi yang tepat bagi manajemen untuk pengambilan keputusan. Pencapaian
kebutuhan
bisnis
yang
sesuai
dengan
tujuan
bisnis
membutuhkan dukungan sumberdaya TI yang baik. Organisasi perlu untuk berinvestasi dalam sumberdaya yang dibutuhkan untuk membuat kemampuan teknis yang memadai untuk mendukung kemampuan bisnis menghasilkan outcome yang diharapkan. Sumberdaya TI yang dapat diidentifikasi dalam COBIT dapat didefinisikan sebagai berikut (ITGI 2007): 1. Aplikasi adalah sistem user yang diotomasikan dan prosedur manual yang memproses informasi 2. Informasi adalah data yang telah diproses menjadi bentuk yang memiliki arti dan dapat digunakan oleh manajemen dalam pengambilan keputusan organisasi. 3. Infrastruktur adalah teknologi dan fasilitas (hardware, sistem operasi, database management system, jaringan, multimedia, dan yang lainnya) yang memungkinkan pemrosesan aplikasi. 4. Orang
adalah
personel
yang
diperlukan
untuk
merencanakan,
mengorganisir, mendapatkan, menerapkan, menyampaikan, mendukung, memonitor dan mengevaluasi layanan dan sistem informasi. Kebutuhan dasar yang diperlukan oleh setiap organisasi adalah dapat memahami status sistem TI yang dimilikinya. Organisasi perlu mengetahui apa yang harus diukur dan bagaimana pengukuran tersebut dilakukan agar informasi yang dibutuhkan dari sumberdaya TI dapat terpetakan dengan baik dan benar, informasi tersebut akan membantu manajemen dalam upaya peningkatan sistem yang diperlukan. Untuk mendapatkan kebutuhan dasar TI tersebut tidak mudah, namun harus melalui berbagai tahap. Dalam kerangka kerja COBIT diberikan langkah-langkah yang dapat digunakan organisasi dalam mengelola sumberdaya TI, yaitu (ITGI 2007):
15
1. Model kematangan, yang memungkinkan benchmarking dan identifikasi peningkatan kebutuhan 2. Tujuan dan pengukuran kinerja untuk proses TI, menunjukkan bagaimana proses memenuhi sasaran bisnis dan sasaran TI, dipakai untuk pengukuran kinerja proses internal berdasarkan pada prinsip balance scorecard. 3. Tujuan aktivitas untuk kinerja proses yang efektif Model kematangan untuk manajemen dan kontrol atas proses TI didasarkan atas metode penilaian organisasi, sehingga dapat dinilai dari tingkat kematangan non-existent (0) hingga optimised (5). Pendekatan ini diturunkan dari model kematangan
Software
Engineering
Institute
(SEI)
yang
dibuat
untuk
mendefinisikan kapabilitas pengembangan perangkat lunak. Tujuan dari model kematangan adalah untuk mengidentifikasi di mana letak masalah dan cara menetapkan prioritas untuk perbaikan. Penggunaan model kematangan yang dikembangkan untuk setiap 34 proses TI dari COBIT memungkinkan manajemen dapat mengidentifikasi (ITGI 2007): 1. Kondisi tata kelola TI pada saat ini 2. Kondisi ideal tata kelola TI 3. Target yang ingin dicapai dalam perbaikan COBIT sebagai kerangka kerja yang dikembangkan untuk proses manajemen TI dengan fokus pada kontrol menerapkan ukuran penilaian kematangan yang praktis dan mudah dimengerti. Ukuran Penilai dalam model kematangan yang praktis dan mudah dimengerti tersebut dapat membantu pengembang untuk menjelaskan kepada manajemen dimana titik kelemahan proses TI dan menetapkan target yang diperlukan. Manajemen sebagai pengelola proses TI dapat dengan mudah mengartikan maksud dari ukuran penilaian tersebut dan dapat ikut terlibat dalam memberikan penyempurnaan untuk peningkatan kinerja yang diharapkan. Ukuran nilai dalam kerangka kerja COBIT untuk setiap 34 proses TI dikembangkan berdasarkan pada deskripsi generic maturity model seperti pada Tabel 2 (ITGI 2007).
16
Tabel 2 Generic Maturity Model Level
Kategori
Deskripsi
0
Non-Existent (tidak ada) Organisasi merasa tidak membutuhkan adanya mekanisme proses tata kelola TI yang baku sehingga organisasi tidak melakukan pengawasan. 1 Initial (inisialisasi) Sudah ada inisiatif mekanisme perencanaan, tata kelola, dan pengawasan namun sifatnya belum standar dan dilaksanakan oleh individu atau berdasarkan kasus per kasus 2 Repeatable but intuitive Organisasi telah memiliki kebiasaan dalam (dapat diulang) merencanakan dan mengelola TI dimana prosedur yang sama dilakukan oleh orang yang berbeda, namun belum ada komunikasi atau pelatihan formal atas prosedur standar. 3 Defined (didefinisikan) Organisasi telah memiliki standar mekanisme dan prosedur tata cara dan manajemen TI yang telah didokumentasikan dan dikomunikasikan melalui pelatihan 4 Managed (dikelola) Manajemen organisasi telah menerapkan sejumlah indikator pengukuran kinerja kuantitatif yang memungkinkan untuk memonitor dan mengambil tindakan atas ketidakefektifan proses yang terjadi 5 Optimised Organisasi telah menerapkan prinsip-prinsip (dioptimalkan) tata kelola secara utuh sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan yang terjadi Sumber: ITGI, 2007
2.3. Konsep Perpustakaan Berbasis TI Perpustakaan adalah salah satu unit kerja yang berupa tempat untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, dan mengatur koleksi bahan pustaka secara sistematis untuk digunakan oleh pemakai sebagai sumber informasi sekaligus sebagai sarana belajar yang menyenangkan (Darmono 2001). Menurut Yusuf (2007), perpustakaan adalah suatu tempat yang di dalamnya terdapat kegiatan penghimpunan, pengelolaan, dan penyebarluasan (pelayanan) segala macam informasi, baik yang tercetak maupun yang terekam dalam berbagai media
17
seperti buku, majalah, surat kabar, film, kaset, tape recorder, video, dan komputer. Menurut Sutarno (2006) perpustakaan adalah tempat untuk menghimpun, mengolah, memelihara, merawat, melestarikan dan mengemas, menyajikan dan memberdayakan, serta memanfaatkan dan melayankan kepada pemakainya. Sedangkan perpustakaan berbasis TI adalah perpustakaan yang menyediakan informasi dan data terbaca dalam bentuk elektronik, dapat diakses secara online melalui internet oleh pengguna, dan terintegrasi dengan berbagai sumber informasi atau perpustakaan dalam lembaga yang menaunginya maupun dengan institusi lain yang terkait (Maksum 2010). Peran perpustakaan berbasis TI semakin penting dan strategis diantaranya adalah memiliki kelebihan dalam kemampuannya menyimpan dan menyebarkan informasi secara lengkap (fulltext), dapat diakses kapan saja dan dimana saja, informasi dapat disebarluaskan ke pengguna lain melalui fasilitas teknologi informasi dan komunikasi, informasi yang sama dapat dibaca dan di-download oleh banyak pengguna dalam waktu yang bersamaan, dengan sistem konsorsium memungkinkan efisiensi faktor input penyediaan informasi dan memperluas faktor output dalam penyebaran informasi (PUSTAKA 2008). Menurut Subrata (2009) perpustakaan berbasis TI memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah: (1) long distance service, artinya dengan perpustakaan digital, pengguna bisa menikmati layanan sepuasnya, kapanpun dan dimanapun; (2) akses yang mudah, karena pengguna tidak perlu dipusingkan dengan mencari di katalog dengan waktu yang lama; (3) cost efective, karena mendigitasi koleksi perpustakaan lebih murah dibandingkan dengan membeli buku; (4) mencegah duplikasi dan plagiat; (5) publikasi karya secara global, karya-karya dapat dipublikasikan secara global ke seluruh dunia dengan bantuan internet. Selain keunggulan, perpustakaan berbasis TI juga memiliki kelemahan diantaranya adalah: (1) tidak semua pengarang mengijinkan karyanya didigitasi, hal ini terkait dengan royalti yang akan diterima bila karyanya didigitasi; (2) masih banyak masyarakat Indonesia yang buta akan teknologi; (3) masih sedikit pustakawan yang sudah mengerti tentang tata cara mendigitasi koleksi perpustakaan.
18
Perpustakaan berbasis TI dalam memberikan layanan membutuhkan koleksi digital. Dalam Dictionary for Library and Information Science, definisi koleksi digital adalah: “A collection of library or archival materials converted to machine-readable format for preservation or to provide electronic access... Also, library materials produced in electronic formats, including e-zines, e-journals, e-books, reference works published online and on CD-ROM, bibliographic databases, and other Web-based resources...” Koleksi digital adalah koleksi perpustakaaan atau arsip yang dikonversikan ke dalam format yang terbaca oleh mesin untuk tujuan pelestarian atau penyediaan akses elektronik. Termasuk materi yang diproduksi dalam bentuk elektronis, yaitu e-zine, e-journals, e-books, karya referensi yang dipublikasikan secara online dan dalam CD-ROM, database bibliografi, dan sumber-sumber berbasis web lainnya. Menurut Lazinger (2001), koleksi digital dibagi dalam dua kelompok yaitu koleksi hasil digitasi yang merupakan hasil konversi koleksi tercetak kedalam media digital dan koleksi yang lahir dalam bentuk digital. Cara memperoleh koleksi digital dibagi kedalam 3 jenis, yaitu: melalui hasil digitasi koleksi tercetak yang dimiliki, melalui pembelian koleksi digital dalam bentuk CD-ROM, maupun melanggan database online (Lang 1998). Membangun koleksi digital tidaklah mudah, perlu sebuah keahlian dan perancangan yang matang. Cleveland (1998) menyampaikan adanya 3 buah metode yang digunakan dalam proses membangun koleksi digital, yaitu: 1. Digitasi, yaitu dengan cara mengubah koleksi dalam bentuk kertas dan media lain ke bentuk digital dengan cara scanning, foto digital, atau teknik lainnya. 2. Akuisisi karya digital asli yang dibuat oleh penerbit dan cendekiawan, yaitu dengan cara membeli atau berlangganan koleksi database digital seperti buku elektronik, jurnal elektronik, dan database elekronik umumnya dalam bentuk CD-ROM. 3. Akses ke sumber eksternal, yaitu dengan cara membuat link atau jaringan ke server yang disediakan oleh rekanan, penerbit atau institusi lain yang mungkin mempunyai kesepakatan dengan perpustakaan.
19
Salah satu fungsi dari perpustakaan adalah melestarikan koleksinya. Definisi pelestarian menurut Feather (1996) adalah kegiatan pencegahan yang ditujukan untuk melindungi dan mengamankan koleksi perpustakaan sehingga ketersediaan, akses, dan penggunaaannya dapat terjamin. Sedangkan definisi pelestarian koleksi digital adalah upaya mempertahankan kemampuan untuk menampilkan, menemukan kembali, memanipulasi dan menggunaan informasi digital dalam menghadapi perubahan teknologi yang berlangsung secara konstan (Hedstorm 1995). Tujuan pelestarian koleksi digital adalah untuk memastikan koleksi yang diciptakan dengan teknologi saat ini masih tetap ada dan dapat digunakan dimasa depan walaupun teknologi yang digunakan untuk mencipta koleksi tersebut sudah tidak ada lagi (Slats 2003). Pelestarian koleksi digital menurut Graham (1995) dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: 1. Pelestarian Media Penyimpanan, dilakukan karena media penyimpanan digital seperti disket, CD, dan sejenisnya memiliki usia yang terbatas (Rothenberg 1999). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat backup atau menyalin kedalam media yang sejenis. 2. Pelestarian Teknologi, dilakukan karena adanya perubahan teknologi yang dapat menyebabkan keusangan teknologi. Langkah yang dilakukan adalah dengan melakukan migrasi sesuai dengan teknologi yang ada. 3. Pelestarian Intelektual, dilakukan untuk menjaga originalitas informasi yang terkandung dalam suatu koleksi digital.
2.4. AHP AHP adalah suatu metode analisis yang melibatkan berbagai jenis kriteria masalah yang digunakan untuk mengambil keputusan atas alternatif yang ada. AHP pada dasarnya adalah proses membentuk skor secara numerik untuk menyusun peringkat setiap alternatif keputusan berbasis pada bagaimana sebaiknya alternatif itu dicocokkan dengan kriteria pembuat keputusan (Supriyono 2007). Metode ini sangat berguna untuk membantu mendapatkan skala rasio dari hal-hal yang semula sulit diukur seperti pendapat, perasaan, prilaku dan kepercayaan.
20
AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut : 1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada subkriteria yang paling dalam. 2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Adapun kelemahan metode AHP adalah: 1. Kebergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi manusia sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas. Model menjadi tidak berarti jika penilaian yang diberikan keliru. 2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk Penggunaan AHP dimulai dengan membuat struktur hirarki atau jaringan dari permasalahan yang ingin diteliti. Di dalam hirarki terdapat tujuan utama, kriteria-kriteria, sub kriteria-sub kriteria dan alternatif-alternatif yang akan dibahas. Perbandingan berpasangan dipergunakan untuk membentuk hubungan di dalam struktur. Hasil dari perbandingan berpasangan ini akan membentuk matrik dimana skala rasio diturunkan dalam bentuk eigenvektor utama atau fungsi-eigen. Matrik tersebut berciri positif dan berbalikan, yakni
Gambar 2 Struktur hirarki AHP
21
Nilai yang digunakan untuk mengisi matrik perbandingan berpasangan harus dapat menggambarkan relatif pentingnya suatu kriteria diatas yang lainnya. Saaty (1994) mengusulkan skala banding yang dapat dipakai yaitu skala rasio nilai 1 sampai dengan 9 (Tabel 3). Tabel 3 Skala perbandingan berpasangan (pairwise comparasion scale) Tingkat Kepentingan 1
Definisi Sama pentingnya
3
Agak lebih penting yang satu atas lainnya
5
Cukup penting
7
Sangat penting
9
Kepentingan yang ekstrim
2, 4, 6, 8
Nilai tengah diantara dua nilai keputusan yang berdekatan
Penjelasan Kedua aktivitas menyumbangkan sama pada tujuan Pengalaman dan keputusan menunjukkan kesukaan atas satu aktifitas lebih dari yang lain Pengalaman dan keputusan menunjukkan kesukaan atas satu aktifitas lebih dari yang lain Pengalaman dan keputusan menunjukkan kesukaan yang kuat atas satu aktifitas lebih dari yang lain Bukti menyukai satu aktifitas atas yang lain sangat kuat Bila kompromi dibutuhkan
Sumber: Saaty, 1994 Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menggunakan metode AHP untuk pemecahan suatu masalah adalah sebagai berikut: 1. Menentukan jenis-jenis kriteria masalah yang akan dipecahkan 2. Menyusun kriteria-kriteria tersebut dalam bentuk matrik berpasangan 3. Transformasi nilai pecahan hasil perbandingan matrik berpasangan tersebut menjadi nilai desimal 4. Mengalikan matrik tersebut dengan dirinya. 5. Menghitung nilai eigenvector dengan langkah-langkah: a) menjumlahkan baris matrik hasil kuadrat, b) menghitung total hasil penjumlahan baris matrik tersebut, dan c) membuat normalisasi dengan membagi jumlah setiap baris dengan nilai total. Hasil normalisasi adalah nilai euigenvector. Menurut Teknomo (1999) eigenvector adalah bobot rasio dari masingmasing faktor.
22
6. Langkah selanjutnya adalah mencari nilai iterasi dengan cara mengkalikan matrik pada langkah 4 tersebut dengan dirinya. 7. Kembali menghitung nilai eigenvector dari hasil perkalian matrik pada langkah 6 sesuai dengan langkah 5. 8. Menghitung perbedaan antara eigenvector dengan eigenvector hasil iterasi. Apabila perbedaan jumlah dalam dua perhitungan tersebut tidak ada atau sangat kecil maka nilai eigenvector hasil iterasi adalah nilai yang akan digunakan untuk membuat ranking.
2.5. Teknik Pembuatan Skala Terdapat beberapa cara untuk mengukur sikap, diantaranya adalah selfreport. Self- report merupakan metode penilaian sikap dimana responden ditanya secara langsung tentang keyakinan atau perasaan mereka terhadap suatu objek atau kelas objek. Skala Likert merupakan salah satu teknik self-report yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan Skala Likert, variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pertanyaan atau pernyataan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan Skala Likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif, yang dapat berupa kata-kata antara lain: Sangat Penting (SP), Penting (P), Ragu-ragu (R), Tidak Penting (TP), Sangat Tidak Penting (STP). Metode yang digunakan dalam pembuatan kuesioner pada penelitian ini adalah model pengukuran Skala Likert. Nilai tingkatan yang digunakan terdapat pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai tingkatan skala Likert. Nilai 1 2 3 4 5
Keterangan Sangat tidak baik Kurang baik Cukup Baik Sangat baik
23
Nilai tersebut tidak menggambarkan nilai absolut dari objek tetapi hanya memberikan urutan tingkatan dari tingkat terendah sampai dengan tingkat tertinggi. Nilai absolut yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai model kematangan yang diberikan dalam kerangka kerja COBIT (Tabel 5). Tabel 5 Nilai absolut model kematangan COBIT. Nilai Keterangan 0 Non-Existent (tidak ada) 1 Initial (inisialisasi) 2 Repeatable but intuitive (dapat diulang) 3 Defined (didefinisikan) 4 Managed (dikelola) 5 Optimised (dioptimalkan) Sumber: ITGI, 2007
Untuk merelasikan antara nilai tingkatan Skala Likert dengan nilai absolut dari model kematangan COBIT dibuat perhitungan dalam bentuk indeks dengan rumus sebagai berikut (Effendi 2008).
Untuk memudahkan relasi antara nilai indeks yang didapat dari hasil perhitungan tersebut dengan nilai tingkat kematangan COBIT perlu dibuat skala pembulatan indeks. Skala pembulatan indeks dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Skala pembulatan indeks. Skala Pembulatan Indeks
Tingkat Kematangan
0,0 – 1,00
0 - Non-Existent (tidak ada)
1,00 – 1,50
1 - Initial (inisialisasi)
1,51 – 2,50
2 - Repeatable but intuitive (dapat diulang)
2,51 – 3,50
3 - Defined (didefinisikan)
3,51 – 4,50
4 - Managed (dikelola)
4,51 – 5,00
5 - Optimised (dioptimalkan)
24
2.6. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Penelitian kuantitatif yang perolehan data primer maupun sekunder menggunakan instrumen dalam bentuk kuesioner membutuhkan pengujian dan pengukuran validitas dan reliabilitas untuk memperoleh data dan informasi yang relevan dengan topik penelitian. Validitas adalah tingkat keandalan dan kesahihan alat ukur yang digunakan. Validitas menunjukkan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam pengukuran (Ancok 1989). Uji validitas berguna untuk mengetahui apakah ada pernyataan-pernyataan dalam kuesioner yang tidak relevan. Teknik untuk mengukur validitas kuesioner adalah dengan menghitung korelasi antar data pada masing-masing pernyataan dengan skor total. Metode yang digunakan untuk uji validitas adalah menggunakan korelasi product moment pearson. Instrumen dianggap valid apabila koefisien korelasi yang dihasilkan lebih besar dari 0,30 (Setiaji 2004). Reliabilitas adalah hasil pengukuran yang dapat dipercaya. Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan pengukuran. Tinggi rendahnya reliabilitas, secara empiris ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar antara 0 sampai dengan 1. Semakin tinggi nilai reliabilitas maka semakin andal skala tersebut. Namun demikian, pada kenyataannya koefisien reliabilitas sebesar 1 tidak pernah dicapai dalam pengukuran karena manusia sebagai subjek pengukuran psikologis merupakan sumber kekeliruan yang potensial. Untuk mencapai hal tersebut, salah satu metode yang dapat digunakan adalah alpha Cronbach.
Uji reliabilitas yang dilakukan dengan metode alpha Cronbach,
diukur berdasarkan skala alpha Cronbach 0 sampai 1. Apabila skala itu dikelompokkan ke dalam lima kelas dengan range yang sama, maka ukuran kemantapan alpha dapat diinterprestasikan sebagai berikut: 1. Nilai alpha Cronbach 0,00 s.d. 0,20, berarti kurang reliabel 2. Nilai alpha Cronbach 0,21 s.d. 0,40, berarti agak reliabel 3. Nilai alpha Cronbach 0,42 s.d. 0,60, berarti cukup reliabel 4. Nilai alpha Cronbach 0,61 s.d. 0,80, berarti reliabel 5. Nilai alpha Cronbach 0,81 s.d. 1,00, berarti sangat reliable.