BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Anatomi Kuku Kuda Kuku merupakan organ tubuh yang penting bagi kehidupan kuda. Kuku
kuda mempunyai fungsi dan peran yang cukup berat, sehingga rentan akan terjadinya kelainan dan penyakit. Kelainan atau penyakit pada kuku kuda dapat disebabkan oleh kelainan konformasi, faktor kongenital, kesalahan penapalan dan perawatan yang tidak baik, sehingga kuku kuda harus dirawat dengan baik dan teratur (Putro 2008). Penyakit kuku yang sering terjadi pada kuda adalah laminitis. Coronary groove
Insensitive laminae
Perioplic groove
Hoof wall
Heel Lateral groove of frog
Central groove of frog
Space occupied by cunnean part of digital cushion
Bar Frog Sole white line
Bulbs of the heels
Gambar 1 Anatomi kuku kuda (Sumber: Floyd & Mansmann 2007). 2.2
Laminitis dan Founder Laminitis merupakan peradangan pada laminae, jaringan tipis yang
menghubungkan dinding kuku dengan coffin bone/os phalanx III dan struktur lain
pada kaki kuda. Laminae berperan penting dalam memantapkan tulang pada bagian dalam kaki, ketika terjadi peradangan pada laminae kekokohan tulang mengalami gangguan dan tulang mengalami kerusakan (Gambar 2). Peradangan pada kejadian laminitis diawali dengan ischemia dan kematian sel. Kematian sel terjadi karena tidak memperoleh suplai nutrisi dari pembuluh darah (Redden 1998). Laminitis menimbulkan ancaman bagi semua kuda dan secara umum dianggap sebagai salah satu penyakit yang paling penting pada kuda dan mempengaruhi kesejahteraan kuda. Pengaruh laminitis dapat menyebabkan stamina kuda menurun dan sakit di daerah digit yang parah, sehingga kuda tidak mampu beraktivitas dengan baik (Collins et al. 2010).
Gambar 2 Struktur internal kuku kuda (Sumber: Pollitt 2001). Menurut Rooney (2007), founder dan laminitis merupakan dua terminologi yang dapat saling menggantikan karena memiliki arti serupa (Gambar 3). Keadaan tersebut secara terminologi merujuk pada dua tahapan yang berbeda dalam penyakit yang sama serta dengan penanganan yang dilakukan secara bersamaan. Laminitis dapat didefinisikan sebagai kondisi laminae kaki rusak karena aliran darah menuju laminae terhambat, peradangan dan luka yang bersifat akut, sedangkan founder merupakan tahapan kedua dari laminitis yang dibiarkan berlanjut tanpa terapi.
Founder diawali dengan dinding kuku/wall yang terus tumbuh dalam keadaan tidak normal, sehingga merusak laminae dan memisahkan wall dengan tulang/os phalanx III. Tulang tersebut kemudian berputar dan terdorong menuju bagian telapak kaki/sole, dan pada kasus yang serius diikuti dengan menembusnya/penetration os phalanx III ke bagian sole (Rooney 2007). Menurut Pollitt (2007), os phalanx III juga dapat menembus hoof capsule, merusak arteri, vena, dan menimbulkan rasa sakit yang parah.
Gambar 3 Radiograf founder (Laminitis Kronis) yang diikuti rotasi os phalanx III (Sumber: Farrow 2006). 2.3
Kausa Kepekaan pemilik hewan atau owner seharusnya menjadi petunjuk serta
pendukung diagnosis karena sejarah yang diberikan dapat membantu dokter hewan untuk mendiagnosis dan menentukan prognosis. Menurut Redden (1998), kasus laminitis dapat dikelompokkan berdasarkan breed, penggunaan/aktivitas dan paling banyak menyerang kuda dewasa, serta jarang ditemukan pada kuda berusia kurang dari satu tahun. Laminitis dapat terjadi karena berbagai faktor dan permasalahan umum yang mendahului terjadinya laminitis diantaranya: 1. Kelebihan konsumsi gandum atau rumput (terutama pada hewan yang obesitas). 2. Demam yang berkepanjangan. 3. Kolik. 4. Retained placenta. 5. Pneumonia. 6. Pleuritis. 7. Potomac horse fever.
8. Salmonella colitis. 9. Stress. 10. Unilateral lameness. Menurut Bergsten (2003) penyakit ini dapat disebabkan oleh asupan karbohidrat berlebihan, perubahan setelah melahirkan, pemotongan kuku, lantai pijakan yang keras, dan pemusatan berat tubuh pada satu kaki karena pincang. Morrison (2010), mengemukakan bahwa laminitis dapat terjadi secara akut, subakut, dan berkembang menjadi tahap yang kronis dengan berbagai tingkatan kegagalan struktural, serta kegagalan mekanis dari digit. Pendapat lain menyatakan bahwa penyebab laminitis tidak diketahui, akan tetapi ada beberapa keadaan yang sering mendahului kasus laminitis. Hewan dalam keadaan ini dapat beresiko tinggi mengalami laminitis dan keadaan ini dapat terjadi tunggal maupun kombinasi (Van et al. 2010). Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya laminitis diantaranya: 1. Obesitas/kegemukan. Kuda yang mengkonsumsi rumput atau gandum secara berlebihan dan tidak disertai dengan latihan rutin dapat memicu terjadinya kegemukan (obesitas). Pemberian
pakan
dalam keadaan
stress
juga dapat
mempengaruhi
metabolisme tubuh, sehingga terjadi akumulasi karbohidrat non-struktural (NSC, yaitu gula, pati atau fructan). Akumulasi karbohidrat tersebut tidak mampu dicerna semua di foregut sehingga dipindah ke hindgut dan difermentasi di sekum. Karbohidrat yang difermantasi di sekum menyebabkan proliferasi bakteri gram positif yang memproduksi asam laktat dan terjadi peningkatan keasaman (asidosis). Keadaan tersebut membunuh dan melisiskan sebagian besar bakteri sehingga mengakibatkan pengeluaran toksin yang berasal dari dinding sel dan material genetik dari bakteri tersebut (endotoksin, eksotoksin, microbial DNA) (Pollitt 2008). Permeabilitas usus yang meningkat akibat iritasi lapisan usus oleh keasaman tinggi menyebabkan endotoksin dan eksotoksin akan diserap ke dalam darah. Endotoxemia dalam sirkulasi sangat mengganggu terutama pada bagian kaki. Hal tersebut dapat menyebabkan laminitis (Pollitt & Visser 2010; Tóth et al. 2009).
2. Racun tanaman. Laminitis dapat terjadi sebagai komplikasi dari beberapa tanaman yang beracun. Racun dari tanaman dapat menyebabkan kerusakan sistem pencernaan atau perubahan pergerakan dan fungsi yang dapat menginduksi terjadinya laminitis, gejala klinis terlihat seperti keadaan keracunan. Saat racun tanaman masuk dan mengikuti sirkulasi darah dapat menyebabkan sirkulasi terganggu sampai terjadi hemolisis pada bagian kaki sehingga suplai nutrisi dan oksigen untuk daerah kaki berkurang, laminae menjadi rusak dan dapat mengakibatkan terjadinya laminitis (Kellon 2007). 3. Iatrogenik. Pemberian sediaan kortikosteroid pada kuda rentan menyebabkan laminitis. Kortikosteroid tidak menginduksi laminitis setiap kali digunakan, tetapi ada risiko
yang
dapat
ditimbulkan
akibat
penggunaan
kortikosteroid.
Kortikosteroid yang diinduksikan pada kuda biasanya cepat berkembang menjadi founder/penetration os phalanx III. Pemberian kortikosteroid dalam jangka panjang, seperti triamcinolone dan dexamethasone untuk mengobati gatal juga sangat berbahaya, bahkan campuran obat-obatan yang mengandung kortikosteroid
dapat
menyebabkan
laminitis,
sehingga
penggunaan
kortikosteroid untuk pengobatan laminitis merupakan kontraindikasi (Kellon 2007). 4. Hormonal. Kasus laminitis pada hewan tua terjadi karena neoplasia pars intermedia kelenjar hipofisis, polydipsic, diabetes dan hipotiroid Laminitis yang terjadi merupakan kelanjutan dari tumor yang diderita oleh kuda (Kellon 2007). 5. Kecelakaan, trauma mekanik dan stress. Laminitis dapat terjadi karena latihan yang terus menerus, perjalanan pada kondisi yang panas/dingin, lantai pijakan yang keras (Redden 1998). 6. Kelebihan senyawa nitrogen. Pakan herbivora biasanya dilengkapi dengan unsur NPN (Non Protein Nitrogen). Unsur tersebut merupakan komponen dalam nutrisi hewan yang terdiri atas urea, biuret, dan amoniak. Senyawa tersebut bukan protein, tetapi dapat diubah menjadi protein oleh mikroba di dalam usus, jika konsentrasi
urea sangat tinggi dalam tubuh dapat menekan pertumbuhan, mempengaruhi osmolaritas dan amonia yang diserap tubuh yang dapat menjadi racun. Racun tersebut akan beredar dalam darah sampai pada bagian kaki dan dapat menyebabkan laminitis. Laminitis juga dapat terjadi karena mengkonsumsi langsung bahan pupuk yang mengandung nitrat dan saat musim semi metabolisme alam dalam menghasilkan nitrogen meningkat di dataran rendah yang dipenuhi padang rumput, sehingga rumput yang dikonsumsi kuda dapat mengakibatkan gangguan hati dan ketidakseimbangan detoksikasi yang selanjutnya dapat berujung pada kejadian laminitis (Frape 2010). 7. Penyebab lain yang dapat mendukung terjadinya laminitis adalah Hipofisis Pars Intermedia Disfungsi (HPID) atau Cushing’s Syndrome. HPID adalah kelainan patologi kelenjar endokrin (endocrinopathy) yang menyerang kuda tua dan dampak lanjutan dari kelainan tersebut adalah laminitis dan diabetes tipe II (Schott 2004). 8. Penyakit Cushing Peripheral (Equine Metabolic Syndrome) merupakan penyakit metabolisme yang melibatkan kortisol dan resistensi insulin. Kejadian ini memiliki kesamaan dengan diabetes tipe II pada manusia. Adipocytes perifer (sel-sel lemak) mensintesis adipokinase yang sejalan dengan kortisol, sehingga gejalanya seperti Cushing’s Syndrome (Kellon 2007). 9. Retained placenta terjadi sesaat setelah proses kelahiran, yaitu plasenta sulit dikeluarkan dan jika tetap berada dalam rahim akan menjadi racun serta sistemik ke dalam aliran darah yang selanjutnya dapat menyebabkan laminitis (Redden 1998). 10. Kesalahan pemotongan kuku dan pemasangan ladam (sepatu kuda). Kasus laminitis dapat terjadi pada kuda yang mengalami kesalahan dalam pemotongan kuku dan pemasangan sepatu kuda (horseshoeing). Proses pemasangan sepatu kuda biasanya diawali dengan pemotongan kuku kuda terlebih dahulu. Pemotongan kuku yang salah (kuku dipotong terlalu dalam) yang mengenai bagian dalam kuku dapat menjadi penyebab terjadi laminitis. Kuku kuda dilindungi oleh dinding kuku yang memiliki ketebalan sekitar 1 cm. Dinding kuku tersebut membagi bagian luar, bagian dalam dinding kuku
dan white line. White line merupakan unsur tipis dan rapuh yang menghubungkan dinding kuku bagian dalam dan sole yang selalu tumbuh sekitar 8 mm pada tiap bulan. Unsur tersebut jika mengalami kerusakan atau trauma akibat pemotongan kuku dan pemasangan ladam yang tidak benar dapat memicu terjadinya peradangan pada jaringan atau unsur disekitarnya termasuk peradangan pada laminae (laminitis) (Karle et al. 2010). 11. Ras/breed. Kasus laminitis dapat dikelompokkan berdasarkan ras/breed (Redden 1998). Kuda poni yang gemuk memiliki insidensi yang tinggi terhadap laminitis, selain itu kuda jenis Thoroughbred, Arabians Horse, American Quarter Horse, American Saddlebreds, dan kuda persilangan juga memiliki peluang untuk menderita laminitis. Hal tersebut dikarenakan kuda jenis tersebut biasa digunakan untuk pertandingan atau pacuan, serta konformasi tulang dan substansi otot yang lebih jika dibandingkan dengan jenis kuda lainnya (Edwards 1973). Jenis ras lain yang memiliki peluang menderita laminitis diantaranya, Warmblood dan Lusitano. Jenis kuda Warmblood merupakan jenis kuda yang memiliki substansi tulang, dan otot yang lebih dibandingkan dengan keturunan lainnya (Marcella 2006). Kuda jenis Lusitano merupakan kuda dengan berat badan sekitar 500 kg namun memiliki bentuk kaki kecil, sehingga beban kaki dalam menopang tubuh sangat besar dan hal tersebut dapat menjadi predisposisi terjadinya laminitis pada kuda jenis tersebut (Huggett 2010).
2.4
Patogenesis Etiopatogenesis dari laminitis terjadi secara kompleks dan melibatkan
berbagai jenis jaringan, diawali dengan faktor biomekanik, trauma, inflamasi, vascular, toksin, dan metabolisme. Mediator vasoaktif (amines) yang dilepaskan dari usus besar saat terjadi overload carbohydrate menyebabkan konstriksi vena sehingga mengakibatkan edema laminae dan penurunan perfusi kapiler. Arteriovenous shunt (peralihan aliran darah arteri ke vena dan sebaliknya) dipaksa untuk membuka sehingga aliran darah mengalir melalui rute “bypass” melewati
kapiler laminae. Akibatnya terjadi ischaemia yang diikuti dengan reperfusi dan terpisahnya laminae (Rendle 2006). Kehilangan glukosa dan keberadaan reaktif oksigen spesies (ROS) hasil dari ischaemia dan kegagalan reperfusi merupakan aktivator potensial dalam pengeluaran Matrix Metalloproteinase (MMPs). Siklo-oksigenase-2 (COX-2) yang meningkat pada sel epitel laminae, otot polos pembuluh darah, sel endotel, ekstravasasi leukosit dan pelepasan sitokin inflamasi juga merupakan penginduksi MMPs yang potensial (Rendle 2006). Matrix Metalloproteinase (MMPs) adalah kelompok enzim Zinc metallo-endopeptidase yang disekresikan oleh sel berfungsi dalam perubahan bentuk komponen matriks ektraseluler (ECM) (Alexander 2002). Menurut Black et al. (2006) MMPs merupakan enzim yang dapat ditemukan dalam jaringan lain seperti perubahan bentuk tulang, persendian, endometrium, tumor ganas yang bermetastasis. Secara normal fungsi dari MMPs di sekitar laminae adalah untuk mempertahankan struktur dari laminae (Pollitt 2008). Faktor pemicu laminitis dibawa secara hematogen dari usus ke laminae. Hal ini mengakibatkan aktivitas berlebih dari MMPs yang mendegradasi matriks ekstraseluler, komponen membran basal, dan molekul yang melekat pada membran basal sampai sel-sel basal. Jika peningkatan MMPs tersebut terjadi pada laminae kuku, maka struktur laminae tersebut rusak dan dapat menyebabkan terpisahnya laminae dari ikatannya. Hal tersebut yang memicu terjadinya laminitis (Rendle 2006). Faktor pemicu laminitis yang dianggap sebagai endotoksin dan eksotoksin berasal dari bakteri gram positif, khususnya Streptococcus bovis. Toksin yang dihasilkan bakteri tersebut akan mengaktivasi leukosit sebagai respon, dan leukosit tersebut dapat merangsang sitokin untuk dikeluarkan oleh tubuh (Rendle 2006). Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis yang dihasilkan terhadap adanya respon stimulus imun. Sitokin dikategorikan sebagai molekul yang berperan dalam komunikasi seluler yang penting dalam perkembangan dan fungsi respon imun alami dan adaptif. Sitokin sering disekresikan oleh sel-sel imun dengan adanya bakteri patogen, dengan demikian mengaktifkan dan merekrut sel-sel imun lain
untuk meningkatkan respon terhadap bakteri patogen (Coondoo 2011). Pemeriksaan histologis dari laminae selama tahap awal laminitis 12-18 jam memberikan gambaran dari pembengkakan endotel di dalam kapiler dan arteriol, serta terjadi perubahan laminae epidermis, sel-sel basal, dan membran basal secara histologis (Pollitt & Visser 2010).
2.5
Gejala Klinis dan Pembagian Tingkat Keparahan Laminitis Selama fase perkembangan dan sebelum munculnya gejala klinis berupa
rasa sakit pada kaki, kuda mengalami masalah dengan satu atau lebih sistem tubuh, diantaranya pencernaan, pernafasan, reproduksi, ginjal, endokrin, musculoskeletal, kulit, dan kekebalan tubuh. Penyimpangan yang terjadi secara multisystemic di dalam organ jauh dari jaringan laminae di kaki, namun akibat keadaan sistemik dalam tubuh menyebabkan pemisahan dan disorganisasi laminae kaki secara anatomi (Pollitt 2007). Gejala klinis pada kejadian laminitis akut meliputi peningkatan pulsus (denyut nadi), panas pada dinding kuku/wall, dan kepincangan. Peningkatan denyut nadi dan panas pada dinding kuku sering mendahului kepincangan (Hunt & Wharton 2010). Kepincangan sering dimulai pada 36 jam setelah konsumsi karbohidrat secara berlebihan. Selain itu, gejala klinis laminitis dapat terlihat dalam waktu 6 sampai 8 jam setelah menelan supernatan dari kayu walnut hitam (Peroni et al. 2005; Belknap 2010). Menurut Pollitt (2008) pada kasus akut timbul rasa sakit dan kepincangan pada saat berjalan dan berlari, namun belum diikuti dengan perpindahan os phalanx III. Kasus kronis dapat terjadi jika pada saat kasus akut kuda masih bertahan hidup, biasanya ditandai dengan kepincangan yang ringan namun berlangsung lama, sakit pada kaki yang parah, degenerasi laminae kuku, dan disertai dengan perpindahan kuku serta penetrasi os phalanx III ke bagian telapak kaki (sole). Floyd (2007a) membagi kasus laminitis berdasarkan tingkat keparahan dan gejala klinis menjadi beberapa tingkat (grade): Tingkat 1: Tidak pincang saat berjalan, langkah yang pendek saat berlari.
Tingkat 2: Stiff (kaku) dan menolak berputar saat berjalan, berjalan tapi terlihat pincang. Tingkat 3: Melawan apabila diangkat kakinya. Tingkat 4: Menolak untuk bergerak kecuali dipaksa, panas di wall dan coronet, rasa sakit yang parah. A
B
Gambar 4 Posisi berdiri kuda penderita laminitis A. Laminitis pada kedua kaki depan (Sumber: Pollitt 2008), B. Laminitis pada kaki kanan depan. Gejala klinis laminitis bervariasi, dari ringan sampai sangat parah. Jika perubahan reaksi laminae di kaki sangat cepat, maka menimbulkan rasa sakit yang parah. Kasus rotasi total dapat dilihat dalam 48-72 jam setelah timbulnya rasa sakit. Variasi gejala klinis tersebut karena faktor-faktor seperti berat badan, tingkat keparahan dari reaksi sistemik atau kerusakan usus. Karakteristik kuda ketika mengalami laminitis adalah kaki depan diperluas ke depan tubuh dalam upaya untuk meringankan rasa sakit saat menahan beban. Selain itu, tubuh bagian depan ditempatkan lebih ke depan dalam upaya untuk menahan berat tubuh dengan tungkai tertekuk untuk mengurangi tegang pada tendo fleksor (Gambar 4A) (Floyd 2007a). Otot-otot punggung dan glutealis terlihat tegang dan kuda tidak pernah terlihat nyaman. Jika laminitis mempengaruhi kaki belakang, keadaannya lebih dari kaki depan dan mirip dengan penyakit stringhalt. Hal tersebut terjadi karena rasa sakit akibat menahan berat badan sehingga menyebabkan refleks penarikan. Kuda akan melakukan penolakan dengan memukul atau memanipulasi gerakan kaki, serta tidak mampu untuk berdiri pada satu kaki depan dalam waktu yang lama.
Menurut Menzies-Gow et al. (2010) beberapa gejala laminitis atau founder yang terlihat seperti: 1. Kepincangan, gemetar, serta telapak kaki bengkak. 2. Panas pada dinding kuku dan pulsus digitalis meningkat. 3. Palpasi dan penekanan pada daerah kaki memberikan reaksi positif. 4. Keengganan untuk berjalan atau ragu-ragu dalam melangkah. 5. Posisi kaki khas dengan kaki depan lebih menjulur ke depan untuk mengurangi tekanan dan kaki belakang berada jauh di belakang untuk menopang berat tubuhnya. 6. Perubahan bentuk dinding kuku yang menjadi lebih luas dan tidak normal, serta white line melebar, dan disertai serous/abses. 7. Kecenderungan untuk berbaring. Perjalanan penyakit dapat berlangsung selama pertumbuhan kuku sehingga menyebabkan perubahan bentuk laminae, degenerasi os phalanx III dan rotasi os phalanx III yang menjauhi dinding kuku. Tekanan tunggal dari tepi os phalanx III menyebabkan lekukan tunggal sampai menjadi datar. Pada kasus yang ekstrim os phalanx III menembus laminae sampai terjadi nekrosis dan akhirnya terjadi kerusakan os phalanx III (Floyd 2007a).
2.6
Radiograf Kasus Laminitis Diagnosis kepincangan bergantung pada gejala klinis yang telah
dievaluasi, tetapi dibutuhkan evaluasi lanjutan untuk mendapatkan diagnosis akhir yaitu dengan melakukan pengambilan radiograf. Pollitt (2008) menyatakan bahwa penggunaan radiografi pada kasus laminitis sangat bermanfaat karena dapat menggambarkan status pergeseran dan perubahan dari os phalanx III di dalam hoof capsule, serta memberikan informasi terhadap diagnosis dan prognosis kasus laminitis. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kasus laminitis adalah dengan mengukur jarak antar os phalanx III dengan dinding luar kuku
dan
permukaan
distal
kuku,
hoof
distal
phalangeal
distance
(HDPD). Jika nilai HDPD melebihi nilai normal, kuda dapat didiagnosis menderita laminitis dan peningkatan nilai HDPD sangat penting untuk mengetahui tingkat keparahan laminitis.
Teknik diagnosis terhadap kasus laminitis juga dapat menggunakan Magnetic Resonance Imagine (MRI), manfaat penggunaan MRI karena dapat menggambarkan ketebalan dinding kuku bagian dorsal dan sudut rotasi os phalanx III. MRI juga dapat memperlihatkan peningkatan ukuran dan jumlah saluran pembuluh darah, perubahan pada coronae corium, distensi distal sendi interphalangeal, serta menginterpretasikan garis gas pada laminae dan kerusakan pada permukaan os phalanx III yang lebih baik dari pemeriksaan radiografi (Murray et al. 2003). MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi tendon, ligament, cartilago, dan struktur mineral kaki secara bersamaan (Zani et al. 2009). MRI adalah teknik pencitraan/penggambaran struktur organ tubuh hewan berupa potongan-potongan halus cross-sectional (Farrow 2006).
2.7
Teknik Pengambilan Radiograf Posisi pengambilan radiograf secara umum terdiri atas lateromedial,
dorsopalmar,
dorsoproximal-palmarodistal
oblique
untuk
navicular
bone
(Schramme 2007). Posisi lateromedial biasa digunakan untuk mengambil radiograf os phalanx III, navicular bone, persendian interphalangeal distal, sebagian dari os phalanx II dan semua jaringan lunak kaki (Redden 2003). Kaki kuda ditempatkan pada sebuah wooden block setebal 10-15 cm dengan posisi horizontal sehingga sinar-x dapat berpusat pada kaki Gambar 5A. Sebuah penanda (radiopaque marker) dapat digunakan dan disimpan di tepi wooden block untuk membentuk garis horizontal pada radiograf sehingga mempermudah proses pembacaan hasil (Pollitt 2008). Kuda dikondisikan dalam posisi berdiri secara normal dengan cassette holder diposisikan di bagian medial digit. Sinar-x diarahkan sejajar dengan lantai dan titik pusat sinar-x berada sesuai dengan titik orientasi pengambilan radiograf yaitu pada permukaan lateral (Weaver & Barakzai 2009). Pengambilan radiograf dengan posisi dorsopalmar terbatas dilakukan pada kaki, tetapi baik untuk meneguhkan radiograf yang diambil dengan posisi lateromedial. Kaki diposisikan di atas wooden block, cassette film diposisikan vertikal terhadap kaki, dan sinar-x diarahkan horizontal terhadap dinding kuku (Gambar 5B) (Weaver & Barakzai 2009).
Posisi dorsoproximal-palmarodistal oblique (Gambar 5C) dapat dilakukan dengan dua tingkat paparan sinar-x. Paparan yang rendah biasanya digunakan untuk pengambilan radiograf pedal bone, sedangkan pada paparan yang tinggi digunakan untuk pengambilan radiograf navicular bone (Weaver & Barakzai 2009).
A
B
C
D
45°
E
Gambar 5 Posisi pengambilan radiograf A. Lateromedial, B. Dorsopalmar, C. Dorsoproximal-palmarodistal oblique, D. Palmaroproximalpalmarodistal oblique, E. Dorsal 45º lateral palmaromedial oblique (D45° LPMO) dan dorsal 45º medial palmarolateral oblique (D45° MPLO) (Sumber: Weaver & Barakzai 2009). : Sumber sinar-x.
Pengambilan
radiograf
lainnya
dapat
dilakukan
pada
posisi
palmaroproximal-palmarodistal oblique yang biasa dilakukan untuk melihat gambaran permukaan cortex dan medulla navicular bone (Gambar 5D), serta pada posisi dorsal 45º lateral palmaromedial oblique (D45° LPMO) dan dorsal 45º medial palmarolateral oblique (D45° MPLO) (Gambar 5E), posisi ini biasa digunakan untuk pengambilan radiograf pemukaan palmar dari pedal bone (Weaver & Barakzai 2009). Pengambilan radiograf pada semua posisi menggunakan nilai kVp (kilovoltage peak) sebesar 70, mAs (milliamperage second) 1,0 dan FFD (focal spot film distance) 70 cm dengan panjang gelombang sinar-x berkisar antara 10 nm-100 pm. Nilai kVp adalah energi yang dihasilkan oleh sinar-x untuk melakukan penetrasi melalui benda/bagian tubuh sehingga mencapai permukaan film. Nilai mAs merupakan jumlah elektron dalam waktu tertentu yang keluar dari katoda menuju anoda untuk menghasilkan sinar-x di dalam tabung sinar-x. Focal spot film distance merupakan jarak fokus spot tabung sinar-x dengan permukaan
film, pada hewan kecil FFD yang digunakan 100 cm, sedangkan pada hewan besar FFD yang digunakan 70 cm (Thrall 2002).
2.8
Perbandingan Radiograf Kuku Normal dan Kuku Laminitis Orientasi normal os phalanx III berdasarkan radiograf adalah tidak adanya
pergeseran, perubahan tempat atau rotasi os phalanx III, hal tersebut dikarenakan ikatan antar laminae sebagai penghubung os phalanx III dengan dinding kuku masih kuat atau belum ada kerusakan (Gambar 6A). Radiograf kuku yang menderita laminitis ditunjukkan dengan adanya kerusakan pada dinding kuku, rotasi os phalanx III dan penetration os phalanx III ke bagian sole, serta rusaknya ikatan laminae yang menghubungkan dinding kuku dengan os phalanx III yang ditunjukkan dengan terbentuknya emphasis zone (Gambar 6B) (Thrall 2002). Emphasis zone yang terbentuk akibat laminitis merupakan garis/celah halus yang berwarna lebih hitam (lucent) pada radiograf. Menurut Farrow (2006), Gambaran yang terlihat sebagai garis halus berwarna lebih hitam (lucent) pada saat terjadi rotasi os phalanx III merupakan akumulasi gas. Gas tersebut terbentuk diantara os phalanx III dan dinding kuku akibat kontaminasi atmosfir (atmospheric contamination) oleh penetrasi os phalanx III yang menembus sole atau oleh drainage pada bagian coronary band. Pendapat lain menyatakan bahwa gas tersebut dapat dilepaskan dari hemoglobin sekunder untuk disintegrasi sel darah merah sebagai suplai daerah ekstremitas
A
B
Gambar 6 A Radiograf Lateromedial normal. (Sumber: Weaver & Barakzai 2009), B Radiograf Lateromedial laminitis diikuti penetration os phalanx III.
2.9
Prognosis Keberhasilan penanganan dan pengobatan terhadap laminitis akan
menentukan prognosis kasus laminitis tersebut. Menurut Van (2010), prognosis terhadap kasus laminitis bervariasi tergantung pada: 1. Durasi kejadian. 2. Tingkat keparahan/tingginya perubahan yang terjadi. 3. Jumlah kaki yang terserang. 4. Kasus/penyakit yang menjadi penyebab. James et al. (2010) mengemukakan bahwa prognosis terhadap kasus laminitis dapat dihubungkan dengan tingkat keparahan dan perubahan sudut dari distal phalanx (os phalanx III), jika tidak disertai dengan kontrol menggunakan obat-obatan dan pelindung pada kaki prognosis buruk (infausta). Apabila kejadian laminitis disertai dengan rotasi os phalanx III sebesar 5° atau kurang prognosis baik (fausta) selama terapi yang tepat. Akan tetapi, kejadian laminitis yang disertai dengan menembusnya os phalanx III ke telapak kaki (sole) prognosis buruk (infausta). Menurut Pollitt (2001), terdapat beberapa kriteria untuk menentukan prognosis dari kasus laminitis, yaitu: 1. Pada kasus laminitis akut tidak ada radiograf mengenai perpindahan os phalanx III dalam hoof capsule dan selama 48 jam, tidak ada peningkatan denyut nadi, dan setelah diberikan terapi yang tepat kuda dapat berangsur pulih. 2. Perpindahan letak os phalanx III prognosis dapat menjadi baik sampai buruk (fausta-infausta). 3. Kuda dengan peningkatan jarak antara os phalanx III dan dinding kuku bagian dorsal dengan atau tidak disertai rotasi os phalanx III, sering memberikan kesembuhan yang nyata. 4. Kuda dengan lebih dari 15° rotasi dan disertai dengan perpindahan os phalanx III dan hampir menembus sole selama 4-6 minggu prognosis buruk (infausta).
2.10
Terapi Kasus Laminitis Terapi terhadap kasus laminitis dapat dilakukan dengan tahapan terapi
secara causalis, symptomatic, dan supportive. Terapi secara causalis diberikan sesuai dengan penyebab dan perdisposisi terjadinya laminitis. Kuda yang menderita laminitis akibat resistensi insulin dan Cushing’s Syndrome (Equine Metabolic Syndrome) dapat diberikan terapi berupa makanan rendah glukosa seperti rice brain, karena pakan dengan kadar glukosa tinggi seperti biji-bijian dan molasses mengakibatkan resistensi insulin yang menyerang kuda di kemudian hari (Ross & Williams 2005). Laminitis akibat kelebihan asupan karbohidrat dapat ditangani dengan mengatur pola pakan melalui diet dan mengganti pakan secara bertahap yaitu mengurangi konsumsi karbohidrat yang kemudian diganti dengan protein. Kandungan nutrisi pada kuda yang melakukan diet harus diperhatikan, biasanya pada kuda yang diet, kandungan lemak, protein, dan karbohidrat tidak lebih dari 5%, 7-12%, dan 20% (Frape 2010). Terapi lain yang dapat diberikan pada kuda yang menderita laminitis karena kelebihan asupan karbohidrat berupa pemberian antibiotik seperti Virginiamycin®. Dosis yang dapat diberikan sebanyak 5 g/kgBB selama 4 hari sebelum pemberian pakan yang mengandung karbohidrat tinggi untuk mencegah produksi asam D-laktat yang berasal dari bakteri di dalam usus. Kasus laminitis akibat overload grain dapat diberikan mineral oil atau activated charcoal (Pollitt 2008).
Terapi terhadap kasus laminitis dengan memberikan antibiotik, dalam penggunaannya harus diperhatikan keamanan dan kontraindikasi terhadap spesies tertentu. Antibiotik golongan tetrasiklin pada kuda merupakan kontraindikasi terutama pada kuda yang mengalami stress karena tindak operasi, pembiusan dan trauma, karena dapat menginduksi terjadinya diare yang parah atau kolik (Susan & Plumb 2003). Antibiotik lain yang dapat diberikan pada kuda adalah antibiotik golongan cephalosporins. Golongan ini hampir sama dengan penisilin karena mempunyai cincin beta laktam dan secara umum aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif. Pemberian cephalosporins pada kuda cukup baik karena low toxicity dan high margin of safety (Giguère et al. 2006).
Kasus laminitis karena endotoxemia dapat diberikan anti-endotoksin hyperimmune plasma secara intravena seperti flunixin meglumine (Finadyne®) dengan dosis 0, 25 mg/kg TID atau 1,1 mg/kg BID, sediaan tersebut memiliki efek anti-endotoksin dengan mengurangi produksi prostaglandin melalui penghambatan siklooksigenase. Ketoprofen dengan dosis 2,2 mg/kgBID secara intravena dapat diberikan untuk menggantikan flunixin (Kellon 2007). Terapi secara symptomatic merupakan terapi yang diberikan pada kuda penderita laminitis berdasarkan gejala klinis yang tampak dengan tujuan agar laminitis tidak berkembang menjadi lebih parah. Preparat Non Steroidal Anti Inflammatory Drug (NSAID) dapat diberikan sebagai terapi symptomatic. NSAID adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas penghambat
radang
dengan
mekanisme
kerja
menghambat
biosintesis
prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase. Fungsi dari pemberian NSAID pada kasus laminitis adalah untuk menekan reaksi peradangan dan meringankan nyeri (Dannhard & Laufer 2000). Jenis NSAID yang dapat diberikan diantaranya asam asetil salisilat, di samping sebagai obat antiradang, asam asetil salisilat memiliki peranan lain dalam terapi obat, yaitu sebagai zat penghambat agregasi trombosit (Steinhilber 2002). NSAID lain yang dapat diberikan sebagai obat antiradang phenylbutazone, indometasin dan ibuprofen (Dannhard & Laufer 2000). Dosis phenylbutazone yang dapat diberikan sebanyak 4,4 mg/kg IV/PO setiap 12 jam, berfungsi untuk mengurangi rasa sakit pada kaki dan memberi kenyamanan pada kuda untuk bergerak. Kuda yang menderita laminitis akut dapat diberikan phenylbutazone dengan dosis menurun selama 2 minggu dimulai dengan dosis 2,2 mg/kg sampai 1,1 mg/kg. Laminitis yang terjadi diawali dengan penyempitan pembuluh darah (vasokonstriksi) dan terapi yang dapat diberikan berupa hydrotherapy (kompres menggunakan air panas), serta pemberian obat sebagai vasodilator seperti isoxuprine hydrochloride, acepromazine dan glyceryl trinitrate (Pollitt 2008). Terapi secara supportive juga dapat dilakukan pada kuda yang menderita laminitis. Terapi supportive merupakan terapi yang dapat diberikan untuk mendukung terapi lain yang sudah dilakukan agar proses penyembuhan dapat berlangsung dengan baik. Konsumsi pakan yang mengandung high fructan hays
seperti timothy, orchard dan brome, serta cool season grasses (rumput pada musim dingin) seperti bermuda baik diberikan pada kuda yang menderita laminitis. Pengobatan menggunakan tanaman tradisional seperti Aconitum napellus, Belladonna, Nux vom, Calcarea fluorica juga dapat diberikan pada kuda yang menderita laminitis (Ross & Williams 2005). Pemberian vitamin dan mineral dalam menjaga sistem imun dan kesehatan kuku seperti vitamin C untuk mengobati peradangan dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Ross & Williams 2005). Vitamin E, zinc, biotin, dan methionine diberikan sebagai suplemen untuk kuku dan membantu detoksifikasi hati dapat diberikan pada kuda yang menderita laminitis (Kellon 2007). Suplemen seperti zinc, biotin, dan methionine dapat ditambahkan dalam pakan kuda yang menderita laminitis. Manfaat pemberian suplemen tersebut adalah untuk pertumbuhan kuku, perkembangan dinding kuku agar lebih kuat, kokoh dan mengkilat. Biotin merupakan suplemen essential untuk sintesis keratin-protein dan formasi rantai panjang asam lemak dalam perkembangan intercellular matrix dari tanduk kuku (hoof horn) (Mulling & Lischer 1999). Zinc dan methionine berperan penting sebagai enzim katalisator dalam sintesis keratin yang berfungsi terhadap kesehatan kuku (Sobhanirad et al. 2010). Terapi supportive lain yang dapat dilakukan terhadap kuda yang menderita laminitis adalah dengan melakukan penapalan secara tepat dan pemotongan kuku secara teratur. Pemotongan kuku yang baik dapat membuat kuda menjadi lebih nyaman serta melindungi coffin bone dan laminae. Menurut Manske et al. (2001), pemotongan kuku berfungsi untuk mendeteksi lesio pada kuku di tahap awal sebelum timbul gejala klinis atau keparahan lesio yang terus berkembang. Kasus laminitis dengan rotasi os phalanx III pada tahap awal dapat diterapi dengan melakukan pemotongan kuku di bagian tumit yang bertujuan untuk memposisikan os phalanx III kepada keadaan normal (Gambar 7A), sedangkan kasus laminitis yang disertai rotasi os phalanx III ≥5° dapat diterapi dengan pemasangan ladam khusus ”four point shoe” (Redden 1997). Teknik tersebut merupakan teknik pemasangan ladam khusus untuk kaki yang menderita laminitis yang berfungsi untuk mengembalikan keseimbangan kaki saat berdiri (Foor 2007). Menurut Redden (1997), four point shoe juga berfungsi untuk memberikan perlindungan
terhadap bagian toe (ujung) dan sole (telapak kaki) dari os phalanx III pada saat berdiri (Gambar 7B). Pollitt (2008) mengemukakan bahwa terapi terhadap kuda yang menderita laminitis dapat menggunakan Natural Balance Shoe yaitu ladam khusus yang diberikan pada kuda penderita laminitis yang dibentuk untuk membantu kuda selama bergerak, namun terbatas pada kasus laminitis dengan kerusakan laminae yang sobek atau terpisah karena faktor mekanik (Gambar 7C).
A
B
C
Gambar 7 A. Pemotongan kuku (Sumber: Foor 2007), B. Pemasangan Four point shoe, C. Natural Balance Shoe (Sumber: Pollitt 2008). Terapi lain yang dapat diberikan dengan melakukan bandaging (penggantian perban), dressing dan cleansing secara teratur, serta pada kasus rotasi os phalanx III ≥15° dapat dilakukan check ligament desmotomy yaitu pemotongan check ligament (ligamentum accessorium) pada tendon flexor digitalis profundus. Check ligament secara anatomi berfungsi untuk melindungi otot dan persendian terhadap peregangan yang berlebihan dari tendon flexor digitalis profundus (Floyd 2007b). Check ligament desmotomy pada kasus laminitis kronis dapat dilakukan apabila terdapat kelainan pada kuku yang tidak dapat diperbaiki dengan pemotongan dan pemasangan ladam (White 1995). Kasus laminitis juga dapat diterapi dengan melakukan bloodletting yaitu, pengeluaran darah dari tubuh melalui pembuluh darah untuk terapi suatu penyakit atau kelainan seperti, nekrosa jaringan, hydrops, kembung dan demam (Cramer 2006). Terapi tersebut dapat dilakukan pada kuda yang menderita laminitis, darah dikeluarkan melalui vena jugularis sebanyak 5-10 L disesuaikan dengan berat
badan kuda. Tujuan pengeluaran darah tersebut adalah untuk mengeluarkan racun yang beredar dalam tubuh yang menjadi penyebab terjadinya laminitis. Setelah melakukan bloodletting kuda dapat diberikan pakan yang telah ditambahkan elektrolit dan saline (Schneider 2000). Perkembangan kasus laminitis yang terjadi pada setiap kuda selama proses terapi berbeda-beda, tergantung tingkat keparahan laminitis berdasarkan pemeriksaan radiograf dan keinginan pemilik hewan terhadap tindakan terapi, karena terapi kasus laminitis merupakan terapi yang membutuhkan waktu lama dan dengan biaya yang besar. Menurut Pollitt (2008), terapi kasus laminitis yang efektif terjadi ketika mekanisme disintegrasi antara laminae dengan dinding kuku secara anatomi dipahami. Terapi juga dapat berjalan efektif apabila penyakit primer yang mendasari terjadinya laminitis ditangani dengan baik, sehingga kemungkinan peningkatan keparahan laminitis tidak terjadi. .