BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengukuran Kinerja 2.1.1 Pengertian Kinerja Perusahaan Stoner dan Freemen (1992:6) memberikan penjelasan mengenai kinerja perusahaan yaitu: “The measure of how well organization do their job”. Jadi kinerja perusahaan dapat diartikan sebagai hasil yang telah dicapai atas aktivitas yang dilakukan perusahaan. 2.1.2 Pengertian Pengukuran Kinerja Menurut Kaplan and Norton (1996:147,272) menyatakan: “The objective of any measurement system should be to motivate all managers and employee to implement successfully the business unit’s strategy. The measurement system should be only a means to achieve an even more important goal a strategic management system that help executives implement and gain feedback about their strategy. Measuremrnt how we describe result and targets is indeed a powerful motivation and evaluation tool” Dalam bukunya Akuntansi Manajemen, Mulyadi (1993:419) memberikan konsep tentang pengukuran kinerja, yaitu “Penentuan secara periodic efektivitas operasi suatu organisasi, bagian organisasi, dan personelnya berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan tujuannya adalah untuk memotivasi personel dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan. Dari bebarapa pengertian pengukuran kinerja diatas, dapat ditarik benang merah bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu mekanisme untuk menilai keberhasilan organisasi dalam pelaksanaan strategis yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja memberikan informasi yang dibutukan oleh manajemen untuk melakukan evaluasi ulang terhadap rencana, strategi, dan titik-titik dimana perusahaan harus mengambil inisiatif perubahan atau penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian.
12
13
2.1.3 Tujuan Pengukuran Kinerja Setiap sistem pengukuran dan penilaian terhadap pengukuran kinerja di dalam perusahaan harus dimulai dengan suatu pernyataan yang jelas mengenai tujuan yang hendak dicapai jika hal ini tidak dilakukan, maka manajemen akan menarik kesimpulan yang salah dari hasil pengukuran yang dilakukan tersebut dan pada akhirnya manajemen dapat membuat keputusan yang salah. Secara umum tujuan pengukuran kinerja perusahaan menurut Mulyadi (1993:420) dalam bukunya Akuntansi Manajemen adalah untuk: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimal. 2. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan karyawan seperti promosi, transfer dan pemberhentian. 3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan. 4. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka. 5. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan. Dari lima poin di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengukuran kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. 2.1.4 Karakteristik Pengukuran Kinerja Secara idealnya, pengukuran kinerja menurut Brandon dan Dortina harus memiliki karakteristik seperti berikut ini: Kelayakan (appropriateness) Pengukuran harus menangkap arti dari variabel kunci yang mana variabel kunci itu saling berhubungan, dan unit yang bertanggung jawab untuk pengukuran harus dapat mempengaruhi hasilnya. Manajemen dari departemen yang berbeda akan mengevaluasi variabel yang sama dengan cara pengukuran yang berbeda. Setiap pengukuran harus tepat untuk level organisasi dimana pengukuran itu digunakan.
14
Bebas dari kekeliruan pengukuran (freedom from measurement error) Ada dua jenis kekeliruan yaitu kekeliruan variasi random (random variation error) dan kekeliruan bias (bias error). Variasi random merupakan perbandingan suatu nilai dengan nilai yang sebenarnya, perbedaan ini tersebar baik pada nilai itu sendiri maupun hasil dari keterbatasan instrument pengukuran, variasi random dapat diminimalisasi dengan mengukur variabel dengan teliti. Kekeliruan bias adalah perbedaan yang sistematis dimana cenderung untuk menutupi salah satu nilai yang benar, kekeliruan bias merupakan hasil dari instrument pengukuran. Tepat waktu (timeliness) Hasil pengukuran yang tepat waktu sangat dibutuhkan terutama untuk tujuan pengendalian dan pengambilan keputusan. Masing-masing level manajemen membutuhkan hasil pengukuran yang berbeda-beda. Misalnya manajemen bawah mungkin membutuhkan hasil pengukuran setiap hari untuk kepentingan operasi mereka, namun tidak memungkinkan untuk manajemen tingkat menengah dan tingkat atas. Dapat dimengerti (understandability) Pengukuran yang efektif adalah pengukuran yang mudah dimengerti. Oleh karena itu, lebih mudah untuk memahami dan menggunakan pengukuran kinerja langsung (direct performance measures) daripada perpaduan pengukuran kinerja tidak langsung (synthesis indirect measures) yang terdiri dari berbagai aktivitas. Keefektifan biaya penilaian (cost effectiveness) Biaya untuk mengimplementasikan pengukuran yang berupa penyediaan data pengukuran seharusnya tidak menjadi penghalang. Jika perlu, untuk mengurangi biaya perolehan data, pengukuran kinerja yang berbiaya tinggi dapat diganti dengan pengukuran kinerja lainnya. 2.1.5 Tolak Ukur Pengukuran Kinerja Dalam memaksimalkan pengukuran kinerja, pengukuran kinerja harus mempunyai tolak ukur yang dapat dijadikan sebagai prasyarat agar dapat disebut
15
sebagai pengukuran kinerja yang efektif. Horngren T dan Sudem (1993:304) dalam bukunya Introduction to Management Accounting, memberikan uraian sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
“Good performance measure will: Related to the goals of organizations Balanced the management of key activities Reflect the management of key activities Be affected by action of employees Be readily understood by employees Be use in evaluating and rewarding employees Be reasonably objective and easily measured Be used consistent and regularly.” Atkinson, et.al.2001:45, memaparkan bahwa sebauah sistem pengukuran
kinerja yang efektif memiliki karakteristik sebagai berikut: “Concider each activity and the organization it selffrom customers perspective, evaluate each activity using customer validation measures of performance, concider all phase of activity performance that affect customer and therefore are comprehensive and provide feedback to help organization members, identify problems and opportunities for improvement.” Dapat disimpulkan bahwa sistem pengukuran kinerja yang baik harus memperhatikan keseimbangan antara kinerja keuangan dan non keuangan, serta ukuran kinerja yang dipakai dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan untuk perbaikan yang berkesinambungan. 2.1.6 Manfaat Pengukuran Kinerja Manfaat pengukuran kinerja menurut Mulyadi (1993:38) adalah: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan melalui pemotivasian personel secara maksimal. 2. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penghargaan personel 3. Menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan personel 4. Menyediakan umpan balik untuk personel. 5. Menyediakan suatu dasar untuk mendistribusikan penghargaan.”
16
Berdasarkan uraian tentang manfaat pengukuran kinerja tersebut, diketahui bahwa penilaian kinerja bermanfaat untuk melaksanakan sistem penghargaan yang adil untuk karyawan yang pada akhirnya untuk mencapai tujuan peusahaan yang telah ditetapkan. 2.2 Pengukuran Kinerja Tradisional Dalam manajemen tradisional, ukuran kinerja yang biasa digunakan adalah ukuran kinerja keuangan. Karena pengukuran keuangan mudah dilakukan, maka kinerja personel yang diukur hanyalah yang berkaitan dengan keuangan saja. 2.2.1 Tolak Ukur Pengukuran Kinerja Tradisional Tolak ukur dari kinerja berdasarkan perspektif keuangan biasanya menggunakan rasio-rasio yang dihasilkan dari analisis laporan keuangan. Rasio merupakan alat analisis yang dinyatakan dalam artian relatif maupun absolut untuk menjelaskan hubungan tertentu antara elemen yang saru dengan elemen yang lain dari suatu laporan keuangan. Analisis rasio dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan jalan membandingkan rasio keuangan suatu perusahaan dari tahun ke tahun (time series) dan pendekatan yang kedua, yaitu membandingkan rasio dari satu perusahaan dengan presentasi ratarata perusahaan sejenis (cross sectional). Analisis dan implementasi dari bermacam-macam rasio dapat memberikan pandangan yang lebih baik tentang kondisi keuangan dan prestasi perusahaan bagi para analis yang ahli dan berpengalaman, daripada analisis yang hanya berdasarkan atas data keuangan yang tidak berbentuk rasio. Pihak-pihak yang berkepentingan untuk menggunakan rasio keuangan diantaranya manajer yang menggunakannya untuk mengukur dan melacak kinerja perusahaan sepanjang waktu. Pihak lainnya adalah para analis yang merupakan pihak eksternal perusahaan.
2.2.2 Jenis Rasio Keuangan Pada dasarnya ada bermacam-macam rasio yang dibuat sesuai dengan kebutuhan analis, namun demikian angka-angka rasio yang ada pada dasarnya
17
dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah berdasarkan sumber data keuangan yang merupakan unsur atau elemen dari angka rasio tersebut, dan golongan yang kedua adalah berdasarkan pada tujuan dari para analis. Tujuan tiap analis pada umumnya adalah untuk mengetahui tingkat rentabilitass, solvabilitas, likuiditas dan aktivitas dari perusahaan yang bersangkutan. Berikut ini merupakan jenis-jenis rasio keuangan yang biasa digunakan oleh perusahaan, antara lain: 1. Rasio Rentabilitas (rasio profitabilitas) Rentabilitas atau profitabilitas adalah menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu. Rentabilitas suatu perusahaan
diukur
dengan
kesuksesan
perusahaan
dan
kemampuan
menggunakan aktivanya secara produktif, dengan demikian rentabilitas perusahaan dapat diketahi dengan memperbandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut. Rasio rentabilitas terdiri dari: a. Return on Investment. Return on investment mempunyai arti yang sangat penting sebagai salah satu teknik analisis keuangan yang menyeluruh. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan dalam operasinya untuk menghasilkan keuntungan.rasio ini menghubungkan keuntungan yang diperoleh dari operasi perusahaan (net operating income) dengan jumlah investasi atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan keuntungan operasi tersebut (net operating assets). Untuk menghitung operasi ini maka dapat digunakan rumus: ROI =
Laba Setelah Pajak X 100% Total Aktiva
b. Return on Equity. Rasio ini dihitung dengan membagi laba bersih sesudah pajak dengan modal. Rasio ini diukur dengan mengukur tingkat hasil pengembalian
18
investasi dari para pemegang saham. Dengan kata lain rasio ini menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dengan modal sendiri yang bekerja didalamnya untuk menghasilkan keuntungan. Rumus untuk menghitung rasio ini adalah: ROE =
Laba Setelah Pajak X 100% Equitas
2. Rasio Solvabilitas. Solvabilitas
menunjukkan
kemampuan
perusahaan
untuk
memenuhi
kewajiban keuangannya jika perusahaan tersebut dilikuidasi, baik kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang. Suatu perusahaan yang solvable berarti bahwa perusahaan tersebut mempunyai aktiva atau kekayaan yang cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya, tetapi tidak dengan sendirinya bahwa perusahaan tersebut likuid. Untuk menganalisis posisi keuntungan jangka panjang dan hasil operasinya digunakan rasio: Rasio Total Modal Sendiri dengan Total Aktiva. Rasio ini ditentukan atau dihitung dengan cara membagi total hak pemilik perusahaan (owner’s equity) dengan nilai buku danaktiva tetap yang dimiliki perusahaan. Jika rasio ini lebih dari 100% berarti modal sendiri melebihi total aktiva tetap dan menunjukkan aktiva tetap seluruh dianiya oleh pemilik perusahaan. Untuk menghitung rasio ini maka digunakan rumus: TMS =
Modal Sendiri X 100% Total Aktiva
3. Rasio Likuiditas Likuiditas jangka pendek merupakan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban yang jatuh tempo saat ini. Jangka pendek merupakan masa satu tahun atau siklus operasi normal perusahaan, tergantung mana yang lebih lama. Aktivitas merupakan tingkat efisiensi perusahaan dalam menggunakan aktiva lancarnya. Dalam mengevaluasi likuiditas, para analis harus memperhatikan informasi yang berhubungan dengan jumlah, waktu, dan
19
kepastian arus kass perusahaan di masa depan. Untuk menilai posisi keuangan (likuiditas) maka terdapat beberapa rasio, yaitu:
a. Current Ratio Rasio yang paling umum digunakan untuk menganalisa posisi modal kerja suatu perusahaan adalah current ratio, yaitu perbandingan antara jumlah aktiva lancar dengan hutang lancar. Rasio ini menunjukkan tingkat keamanan (margin of safety) kreditor jangka pendek, atau kemampuan perusahaan untuk membayar hutang-hutang tersebut. Rumus untuk menghitung current ratio adalah: CR =
Aktiva Lancar X 100% Hutang Lancar
b. Cash Ratio Rasio ini digunakan untuk menunjukkan kemampuan kas menutupi kewajiban lancar. Rumus untuk menghitung cash ratio adalah: Cash Ratio =
Kas + Bank X 100% Hutang Lancar
c. Perputaran Persediaan Perputaran persediaan merupakan rasio antara jumlah harga pokok barang yang dijual dengan nilai rata-rata persediaan yang dimiliki oleh perusahaan. Tingkat perputaran persediaan ini mengukur perusahaan dalam memutarkan barang dagangannya, dan menunjukkan hubungan antara barang yang diperlukan untuk menunjang atau mengimbangi tingkat penjualan yang ditentukan. Untuk menghitung tingkat perputaran persediaan dapat digunakan rumus: PP =
Harga Pokok Penjualan X 365 hari Persediaan
4. Rasio Aktivitas Rasio aktivitas adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan yang menggunakan operasinya, atau dengan kata lain kemampuan perusahaan
20
dalam menggunakan dana yang tersedia yang tercermin dalam perputaran modalnya.
Rasio aktivitas terdiri dari: 1. Total Assets Turn Over (Total perputaran aktiva) Rasio ini mengukur efisisensi relative dari total aktiva untuk meningkatkan penjualan. Untuk menghitung rasio ini dapat digunakan rumus: TATO =
Penjualan X 100% Total Aktiva
2. Collection Periode (CP) Untuk menghitung collection periode dapat digunakan rumus: CP =
Piutang X 365 hari Total Penjualan
2.2.3 Keterbatasan Pengukuran Kinerja Tradisional Dalam perkembangan lingkungan yang semakin kompetitif dan persaingan informasi yang menjadi ciri utamanya, sistem pengukuran yang hanya menggunakan ukuran tunggal untuk mengukur kinerja menjadi kurang cocok. Hal ini dikarenakan keterbatasan yang dimilikinya, yaitu: 1. Ukuran tradisional yang hanya mengukur kinerja dari sudut pandang keuangan tidak mampu mendeteksi perusahan jika perusahaan mengalami kemajuan dalam kapabilitas dan intangible assetnya, bahkan kinerja keuangan jangka pendek masih bisa meningkat, meskipun perusahaan mengurangi pengeluaran pada intangible assets (Atkinson, et.al.1995:27). Dengan kata lain, ukuran tunggal ini bisa menimbulkan bias dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai kinerja perusahaan yang sesungguhnya. 2. Pendekatan tradisional yang menggunakan ukuran kinerja keuangan cenderung mengarahkan konsentrasi manajemen untuk mencapai tujuan
21
jangka pendek dan mengabaikan tujuan jangka panjang (T. Secakusuma, 1997 : 8) 3. Dilihat dari aspek perilaku, ukuran tunggal dalam hal ini ukuran keuangan yang menunjukkan tujuan utama perusahan tidak bercerita secara jelas bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga ketidak jelasan ini bisa menimbulkan perilaku disfungsional dan partisipan organisasi.
2.3 Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard 2.3.1 Sejarah Balanced Scorecard Bermula pada tahun 1990 ketika Nolan Norton Institute yang merupakan badan penelitian KPMG, mempromosi sebuah studi selama satu tahun di berbagai perusahaan yang bertemakan “Measuring Performance in the Organization of the Future”. Didorong oleh keyakinan bahwa pendekatan pengukuran kinerja yang ada pada umumnya sangat bergantung pada tolak ukur finansial akan menjadi usang. Telaah tersebut dipimpin oleh CEO Nolan Norton sendiri, yaitu David Norton dan seorang konsultan akademis, Robert Kaplan. Partisipan penelitian tersebut berpandangan bahwa ketergantungan pada laporan mengenai ukuranukuran kinerja finansial akan menghalangi kemampuan organisasi untuk menciptakan nilai ekonomi di masa yang akan datang. Sehingga mereka pun berupaya mengembangkan sebuah model pengukuran kinerja yang baru. Sebuah perusahaan yang menjadi objek penelitian mereka ternyata menetapkan Corporate Scorecard (kartu pencatat kinerja perusahaan) yang tidak saja berisikan ukuran-ukuran finansial namun juga ukuran-ukuran kinerja yang berkaitan dengan waktu antar pada pelanggan, kualitas dan siklus waktu dari proses pabrikasi serta efektivitas pengembangan produk baru. Inti Corporate Scorecard adalah suatu model yang membantu suatu perusahaan memahami apa yang sebenarnya mendorong kesuksesannya. Diskusipun berlangsung antara peneliti dengan pihak perusahaan tersebut hingga para peserta segera menyadari bahwa apa yang sebenarnya mereka butuhkan adalah scorecard yang multidimensi. Diskusi tersebut berkembang hingga mengarah pada apa yang kini disebut inovasi serta pembelajaran dirancang
22
sedemikian rupa sehingga mampu memfasilitaasi suatu ukuran kinerja yang multi dimensi. Namun Balanced Scorecard menggunakan keseimbangan antara ukuran finansial dan non finansial, antara sasaran jangka pendek dengan sasaran jangka panjang, antara perspektif kinerja intern dengan ekstern, dan antara lagging indicator dan leading indicator. Hasil dari temuan tersebut dituangkan dalam sebuah artikel yang diberi judul Balanced Scorecard: Measure That Drive Performance (Harvard Business Riview-Jan-Feb 1992). Bertolak pada artikel tersebut, banyak pimpinan perusahaan yang meminta para peneliti untuk membantu mereka dalam membangun Balanced Scorecard di perusahaan mereka. Melalui pengalaman dalam penerapan Balanced Scorecard, terlihat pentingnya untuk menghubungkan ukuran-ukuran dalam Balanced Scorecard pada strategi organisasi. Fenomena yang terjadi adalah banyaknya perusahaan yang mencoba untuk meningkatkan kinerja yang ada melalui penekanan biaya, peningkatan kualitas dan memperpendek response times namun tidak mengidentifikasikan proses mana yang benar-benar berarti strategis bagi perusahaan. Artinya perusahaan perlu mengidentifikasikan hal-hal yang perlu ditingkatkan sehingga strategi perusahaan dapat berjalan sukses. Hal yang terakhir ini dituangkan dalam artikel yang berjudul Putting Balanced Scorecard to Work (Harvard Business Review-Sep-Okt 1993). Melalui pengalaman kemudian dicapai suatu pembaharuan dalam mengartikan keempat perspektif Balanced Scorecard. Dibuat rangkaian strategi atas sekumpulan ukuran kenerja dari keempat perspektif yang berjumlah puluhan sehingga ukuran-ukuran kinerja yang beragam tersebut tidak lagi dilihat sebagai suatu yang tumpang tindih dan saling tukar. Namun merupakan suatu rangkaian hubungan
sebab
akibat.
Secara
keseluruhan
hubungan
tersebut
akan
menggambarkan lintasan strategis. Dalam artikel Norton end Kaplan yang ketiga, yaitu Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System (Harvard Business Review Jan-Feb 1996), dipaparkan bahwa berdasarkan pengalaman, Balanced Scorecard tidak saja dugunakan untuk menjelaskan dan mengkomunikasikan strategi namun juga
23
untuk mengelola strategi. Pada gilirannnya peranan Balanced Scorecard pun bergeser dari suatu sistem pengukuran yang tengah berkembang menjadi sebuah sistem manajemen unit. Pada banyak perusahaan, Balanced Scorecard kini digunakan sebagai kerangka kerja organisasi untuk proses-proses manajerial yang penting seperti penetapan tujuan kelompok dan individu, kompensasi, alokasi sumber daya, penganggaran dan perencanaan serta umpan balik strategi dan pembelajaran. Terakhir dalam buku yang berjudul The Balanced Scorecard: Translating Strategi into Action (Harvard Business School Press-1996) secara lengkap dan komprehensif, Kaplan and Norton menjelaskan laporan hasil observasi mereka dengan harapan akan semakin banyak organisasi yang mengaplikasikan, memperkaya dan mengembangkan Balanced Scorecard atas konsep yang ada kini. Definisi Balanced Scorecard Konsep Balanced Scorecard berkembang sejalan dengan perkembangan implementasi konsep tersebut. Beberapa ahli telah mendifinisikan Balanced Scorecard, diantaranya: Atkinson, et.al.1995:445, mendefinisikan Balanced Scorecard sebagai berikut: “Balanced Scorecard is a set a performanced targets and result that reflacts the organizations performanced in meeting is objectives relating to its customers, employers, business partners, share holder, and community.” Adapun menurut Amin Wijaya Tunggal (2001:4) adalah “Balanced Scorecard merupakan suatu sistem manajemen starategik atau lebih tepat dinamakan suatu strategic based responsibility accounting system yang menjabarkan misi dan strategi suatu organisasi ke dalam tujuan operasional dan tolak ukur kinerja untuk 4 perspektif yang berbeda, yaitu perspektif pelanggan, perspektif proses usaha internal, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan”. Jadi Balanced Scorecard merupakan sistem penilaian kinerja dimana terdapat keseimbangan antara ukuran kinerja keuangan dan ukuran kinerja non
24
operasional yang terdiri dari empat perspektif, yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan
2.3.3 Perspektif Balanced Scorecard Balanced Scorecard merupakan sistem pengukuran kinerja komprehensif yang meliputi aspek keuangan dan nonkeuangan. Dalam Balanced Scorecard ukuran finansial yang menunjukkan kinerja masa lalu dilengkapi dengan ukuranukuran nonkeuangan yang menunjukkan penggerak (drivers) bagi kinerja masa yang
akan
datang.
Keempat
perspektif
Balanced
Scorecard
memberi
keseimbangan antara tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, antara ukuran objektif dengan ukuran subjektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif Keuangan Penentuan tolok ukur finansial diawali dengan penentuan posisi strategis perusahaan pada daur hidup bisnisnya (businesslife cycle). Kaplan and Norton (1996), yang di alih bahasakan oleh Peter R. Yosi Pasla, (2000;42-44), membagi daur hidup ini ke dalam tiga tahap, yaitu growth, sustain dan harvest. 1. Growth (pertumbuhan) Growth adalah tahap pertama dan tahap awal dari siklus kehidupan bisnis. Pada tahap ini perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki tingkat pertumbuhan yang baik sekali atau paling tidak memiliki potensi untuk berkembang dengan baik sehingga segala perhatian, upaya dan sumber daya dicurahkan untuk mendukung perkembangan ini. 2. Sustain (bertahan) Pada tahap sustain, perusahaan tersebut berupaya untuk mempertahankan pangsa pasar yang dimilikinya sehingga segala aktivitas ditujukan untuk menyempurnakan kekurangan yang ada. Investasi dan reinvestasi dilakukan dengan mensyaratkan tingkat pengembalian yang terbaik. Investasi yang dilakukan umumnya diarahkan untukmeningkatkan kapasitas dan penyempurnaan proses operasional secara konsisten. Pada tahap ini sasaran keuangan lebih diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi yang dilakukan sehingga tolak ukur yang umumnya dipakai adalah besarnya pendapatan operasional (operating income), besarnya laba kotor (gross margin), tingkat pengembalian investasi (return on investment), tingkat
25
pengembalian investasi modal (return of capital employeed) atau besar nilai tambah ekonomis (economic value added). 3. Harvest (kedewasaan) Sebagian unit bisnis akan mencapai tahap kedewasaan dalam siklus hidupnya, yaitu tahap dimana perusahaan ingin mendapatkan hasil dari investasi yang telah dibuatnya pada dua tahap sebelumnya. Bisnis tidak lagi membutuhkan investasi yang cukup besar untuk pemeliharaan peralatan dan kapabilitas, bukan perluasan atau pembangunan berbagai kapabilitas baru. Setiap proyek investasi harus memiliki periode pengembalian investasi yang defisit dan singkat. Tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan arus kas kembali ke perusahaan. Perspektif Pelanggan Dalam perspektif pelanggan Balanced Scorecard, perusahaan melakukan identifikasi pelanggan dan segmen pasar yang akan dimasuki. Segmen pasar yang akan menjadi komponen penghasilan tujuan finansial perusahaan. Perspektif pelanggan memungkinkan perusahaan menyelaraskan berbagai ukuran pelanggan penting, yaitu kepuasan, loyalitas, retensi akuisisi dan profitabilitas. Perspektif pelanggan
juga
memungkinkan
perusahaan
melakukan
identifikasi
dan
pengukuran secara eksplisit, proporsi nilai yang akan diberikan pelanggan dan pasar sasaran. Pelanggan sangat penting artinya karena merupakan sumber pendapatan perusahaan. Pada masa lalu terdapat kecenderungan bahwa perusahaan lebih mengkonsentrasikan diri pada kemampuan internal dengan memberikan penekanan pada kinerja produk, inovasi dan teknologi, tanpa kewajiban untuk memahami apa yang dibutuhkan pelanggan. Kini dengan tingkat persaingan yang sedemikian tajam begitu banyak perusahaan yang berlomba untuk menawarkan produk dan jasa yang lebih baik yang sesuai dengan referensi pasar. Sehingga kini pelanggan memiliki begitu banyak pilihan sebagai konsekuensinya, jika perusahaan ingin mencapai kinerja keuangan yang superior dalam jangka panjang, merka harus menciptakan dan memberikan suatu produk dan jasa yang bernialai lebih bagi pelanggan. Mengacu pada uraian Kaplan and Norton (1996), yang di alih bahasakan oleh Peter R. Yosi Pasla, (2000;59-67), penetapan segmen pasar yang dijadikan sasaran dan identifikasi keinginan dan kebutuhan pelanggan dalam segmen
26
tersebut merupakan langkah awal dalam penelitian seperangkat tolak ukur kinerja pelanggan. Tolak ukur kinerja pelanggan sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu: 1. Kelompok pengukuran pelanggan utama (customer core measurement group) yang terdiri dari : • Pangsa pasar (market share), pengukuran ini mencerminkan persentase bagian pasar tertentu yang dimililki perusahaan. Pengukuran pangsa pasar berdasarkan pada total pendapatan usaha pada periode tertentu, seperti jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan. • Pemeliharaan pelanggan (customer retention), menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan pelanggan lamanya denga menggunakan persentase pertumbuhan usaha dengan pelanggan yang dimiliki dalam periode tertentu. • Perolehan pelanggan baru (customer acquisition), menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menarik pelanggan baru untuk menjalin hubungan bisnis. • Tingkat kepuasan pelanggan (customer satisfaction), komponen ini mengukur tingkat kepuasan pelanggan yang berkaitan dengan kriteria kinerja yang spesifik dalam kelompok pengukuran penunjang. • Tingkat profitabilitas pelanggan (customer profitability), dalam hal ini dilakukan pengukuran laba bersih perpelanggan atau segmen pelanggan terhadap target laba yang telah ditentukan perusahaan setelah melalui proses pengukuran tertentu.
27
Gambar 2.1 Perspektif Pelanggan Utama Pangsa Pasar
Akuisisi Pelanggan
Profitabilitas Pelanggan
Retensi Pelanggan
Kepuasan Pelanggan Sumber: Kaplan and Norton The Balance Scorecard (1996), yang di alih bahasakan oleh Peter R. Yosi Pasla, (2000;60)
2. Kelompok penunjang Pengukuran penunjang merupakan konsep kunci untuk mengganti faktor pendorong dari kelompok utama yang telah disebutkan. Pengukuran penunjang adalah pengukuran yang dilakukan terhadap atribut-atribut tertentu. Kelompok ini dibagi ke dalam tiga subkelompok yang saling terkait, yaitu: Atribut produk/jasa (product/service attributes) Atribut produk dan jasa mencakup fungsionalitas produk atau jasa, harga, dam mutu. Setiap konsumen dari segmen pasar yang berbeda menginginkan suatu produk dengan atribut-atribut yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kebutuhan dari setiap konsumen. Namun yang menjadi kesamaan adalah dari setiap segmen pasar menginginkan pelayanan yang bermutu tinggi (tanpa kekeliruan) dalam pelaksanaan setiap kegiatan transaksinya. Atribut hubungan dengan pelanggan (customer relationship) Dimensi hubungan konsumen mencakup penyampaian produk atau jasa kepada pelanggan, yang meliputi dimensi waktu tanggap dan penyerahan, serta bagaimana perasaan pelanggan setelah membeli produk atau jasa dari perusahaan yang bersangkutan. Atribut citra dan reputasi (image dan reputation) Dimensi citra dan reputasi menggambarkan faktor-faktor yang tidak berwujud yang membuat pelanggan tertarik kepada suatu perusahaan. Beberapa cara untuk membangun citra dan reputasi adalah melalui promosi dan meningkatkan kualitas pengiriman produk. Citra dan reputasi memungkinkan sebuah perusahaan secara pro aktif memperkenalkan diri kepada pelanggan. Nilai yang akan didapat oleh pelanggan dari ketiga atribut tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
28
Gambar 2.2 Perspektif Pelanggan Penunjang Nilai
=
Fungsi analitas
Atribut produk / jasa
Kualitas
+
Citra
Harga
+
Hubungan
Waktu
Sumber : Kaplan and Norton The Balance Scorecard (1996), yang di alih bahasakan oleh Peter R. Yosi Pasla, (2000;65)
Perspektif Proses Bisnis Internal Perspektif proses bisnis internal ini mengungkapkan perbedaan ukuran kinerja yang mendasar antara pendekatan tradisional dengan pendekatan Balanced Scorecard. Dalam perspektif ini, manajer berusaha mengidentifikasikan prosesproses yang penting bagi tercapainya tujuan perusahaan yang ada dalam perspektif pelanggan maupun perspektif keuangan. Dalam hal ini Kaplan and Norton membagi proses bisnis internal ke dalam tiga tahapan aktivitas, yaitu proses inovasi (proses identifikasi kebutuhan pasar dan pengembangan cara memenuhi kebutuhan tersebut), proses operasi (proses pembuatan dan pengiriman produk kepada pelanggan), dan proses purna jual (proses pemenuhan pelayanan atas produk yang dikonsumsi). Sistem pengukuran kinerja atas proses bisnis internal pada manajemen tradisional hanya memfokuskan pada pengendalian dan pengembangan pusat pertanggung jawaban dan departemen yang telah ada. Tolak ukur yang digunakan hanya meliputi ukuran keuangan dan pengendalian atas laporan varians bulanan. Sedangkan dalam Balanced Scorecard, penentuan tolak ukur diawali dengan mengidentifikasi proses internal yang terdapat dalam perusahaan.
29
Gambar 2.3 Perspektif Proses Bisnis Internal Proses Inovasi
Kebutuhan Pelanggan diidentifikasi
Kenali pasar
Ciptakan produk / jasa
Proses Operasi
Proses layanan purna jual
Bangun Luncurkan produk produk / jasa / jasa
Layani Pelanggan
Kebutuhan Pelanggan terpuaskan
Sumber : Kaplan and Norton, The Balanced Scorecard (1996), yang di alih bahasakan oleh Peter R. Yosi Pasla, (2000;84)
Berikut ini dijelaskan tahapan-tahapan proses bisnis internal, yaitu: a. Tahapan Inovasi Inovasi merupakan proses internal yang sangat penting. Dan pada dasarnya proses inovasi adalah proses pengenalan kebutuhan pelanggan dan usaha untuk menciptakan produk yang memenuhi kebutuhan tersebut. Tolok ukur yang dapat diterapkan pada tahap ini antara lain peningkatan persentase penjualan produk baru, jumlah produk yang dikembangkan dibandingkan pesaing dan waktu pengembangan produk baru. b. Tahapan Operasi Proses operasi merupakan salah satu penciptaan nilai di dalam perusahaan. Proses ini dimulai dengan diterimanya pesanan pelanggan dan diakhiri dengan penyampaian produk atau jasa kepada pelanggan. Proses ini menitikberatkan kepada penyampaian produk dan jasa kepada pelanggan yang ada secara efisien, konsisten, dan tepat waktu. Tolok ukur yang dapat digunakan adalah peningkatan kapasitas produksi dan tingkat efisiensi operasi. c. Tahapan Layanan Purna Jual Pada tahap ini, perusahaan berupaya memberikan manfaat tambahan kepada pelanggan yang telah membeli produk atau jasanya dalam berbagai bentuk pelayanan pasca transaksi. Tahapan ini meliputi kegiatan pemberian jaminan purna jual dan reparasi, penanganan terhadap produk cacat produksi dan pengembalian, serta pemrosesan pembayaran. Tolok ukur yang dapat
30
digunakan adalah penyelesaian pengaduan pelanggan karena kegagalan produk atau jasa. Menurut Norton dan Kaplan terdapat dua hal yang membedakan perspektif bisnis internal dalam pendekatan tradisional dengan pendekatan Balanced Scorecard seperti yang diterangkum dalam tabel dibawah ini : Table 2.1 Perbedaan Perspektif Proses Bisnis Internal Pendekatan Tradisional dengan Pendekatan Balanced Scorecard Pendekatan Tradisional Pendekatan Balanced Scorecard Mengawasi dan memperbaiki bisnis Mengidentifikasikan yang ada
yang
diperlukan
seluruh untuk
sasaran-sasaran
proses
mencapai
pelanggan
dan
dimasukkan
dalam
keuangan Sistem pengukuran kinerja hanya Proses dipusatkan
pada
menyampaikan
bagaimana barang/jasa
inovasi
cara perspektif proses bisnis internal (long dan wave value creation)
produksi ke pelanggan yang ada sekarang (short wave value creation) Sumber : Kaplan and Norton, Balanced Scorecard (1996), yang di alih bahasakan oleh Peter R. Yosi Pasla, (2000;24-25) (diolah kembali)
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Tujuan di dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah menyediakan infrastruktur yang memungkinkan tujuan ambisius dalam tiga perspektif lainnya dapat dicapai. Balanced Scorecard menekankan pentingnya menanamkan investasi bagi masa datang dan bukan dalam bidang investasi tradisional saja, seperti peralatan baru, riset, dan pengembangan produk baru. Perusahaan juga harus melakukan investasi dalam infrastruktur (para pekerja, sistem dan prosedur) jika ingin mencapai tujuan pertumbuhan keuangan jangka panjang. Terdapat tiga kategori utama untuk perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, yaitu:
31
1. Kapabilitas pekerja Kemampuan karyawan dapat digolongkan ke dalam kepuasan karyawan, loyalitas karyawan, dan produktifitas karyawan. Tolak ukur yang digunakan yaitu tingkat kepuasan karyawan, tingkat perputaran karyawan, dan pendapatan setiap karyawan, nilai tambah perkaryawan, dan tingkat pengembalian balas jasa. 2. Kemampuan sistem informasi Kemampuan sistem informasi memberikan dukungan kepada para pegawai untuk menyempurnakan proses pelaksanaan yang memerlukan umpan balik yang cepat, tepat waktu, dan teliti mengenai produk atau jasa yang diberikan. Tolok ukur kinerja ini dapat berupa tingkat ketersedian informasi, misalnya ketersediaan umpan balik dan persentase karyawan yang dapat mengakses informasi yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas. 3. Motivasi, Pemberdayaan, dan Keselarasan Aspek motivasi, pemberdayaan, keserasian individu dalam perusahaan merupakam kondisi prasyarat yang diperlukan untuk pencapaian tujuan pembelajaran dan pertumbuhan melalui penciptaan iklim perusahaan yang memotivasi karyawan. Tolok ukurnya, yaitu jumlah saran tiap karyawan yang diajukan dan diwujudkan, jumlah saran yang diimplementasikan dan direalisasikan, jumlah saran yang berhasil guna serta banyaknya pegawai yang mengetahui dan mengerti visi dan tujuan perusahaan. Tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja pekerja, yaitu: 1. Kepuasan pekerja (employee satisfaction) Pekerja yang puas merupakan pra kondisi bagi meningkatnya produktivitas, daya tanggap, mutu, dan layanan pelanggan. 2. Retensi pekerja (employee retention) Retensi pekerja biasanya diukur dengan menilai presentase pekerja yang memegang jabatan kunci.
32
3. Produktivitas pekerja (employee productivity) Produktivitas diukur dengan membandingkan keluaran yang dihasilkan oleh pekerja dengan jumlah pekerja yang dikerahkan untuk menghasilkan keluaran tersebut. Hubungan antara ketiga tolak ukur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.4 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Ukuran inti
Hasil Retensi pekerja
Produktivitas pekerja Kepuasan pekerja
Faktor yang mempengaruhi
Kompetensi staf
Infastruktur teknologi
Iklim untuk bertindak
Sumber : Kaplan and Norton, The Balanced Scorecard (1996), yang di alih bahasakan oleh Peter R. Yosi Pasla, (2000;112)
2.3.4 Keunggulan Balanced Scorecard Keunggulan Balanced Scorecard menurut Mulyadi (2001:18-24) dalam bukunya Alat Manajemen Kontemporer untuk Melipatgandakan Kinerja Perusahaan adalah: 1. Komprehensif Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategik, dari yang sebelumnya hanya terbatas pada perspektif keuangan meluas pada tiga perspektif lain: pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif tersebut menghasilkan manfaat sebagai berikut: • Menjanjikan kinerja keuangan yang bersifat ganda dan berjangka panjang • Meningkatkan kemampuan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks. Kinerja keuangan yang dihasilkan dari perspektif pelanggan, proses, serta pembelajaran dan pertumbuhan tersebut merupakan kinerja yang sesungguhnya, yang berasal dari usaha nyata dalam bisnis, sehingga kinerja keuangan yang demikian akan berlipat ganda dan berjangka panjang.
33
Bandingkan kinerja keuangan nyata tersebut dengan kinerja keuangan semu yang diperoleh dari selisih kurs mata uang atau dari bunga bank yang tinggi. Oleh karena itu kinerja keuangan dapat dijelaskan dengan nyata penyebabnya, personel dapat mengulangi sukses yang diperoleh dilain kesempatan. 2. Koheren Balanced Scorecard mewajibkan personel untuk membengun hubungan sebab akibat diantara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif keuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan kinerja keuangan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kekoherenan sasaran strategik yang dihasilkan dalam sisitem perencanaan strategik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari inisiatif guna menghasilkan kinerja keuangan. Kekoherenan juga berarti dibangunnya hubungan sebab akibat antara keluaran yang dihasilkan dengan perumusan strategi dengan keluaran yang dihasilkan sistem perencanaan strategik. Kekoherenan juga dituntut pada waktu menjabarkan inisiatif strategi ke dalam program, dan penjabaran program ke dalam rencana jangka pendek. 3. Seimbang Sasaran strategik yang dirumuskan dalam perencanaan strategik perlu diarahkan dalam keempat perspektif secara seimbang. Pelanggan dan pembelajaran merupakan perspektif yang berfokus pada orang, perspektif pelanggan diwujudkan untuk menghasilkan nilai yang terbaik untuk pelanggan. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan diwujudkan melalui pembangunan kualitas sumber daya manusia. Keuangan dan proses bisnis merupakan perspektif yang berfokus pada proses untuk menghasilkan produk dan jasa untuk pelanggan dan proses untuk menghasilkan financial return yang memadai bagi investor. Perspektif proses dan pembelajaran berorientasi ke dalam perusahaan, sedangkan perspektif keuangan dan pelanggan berorientasi ke luar perusahaan. 4. Terukur Balanced Scorecard mengukur sasaran strategik yang sulit diukur. Sasaransasaran strategik pada perspektif pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan merupakan sasaran yang tidak mudah diukur, namun dalam pendekatan Balanced Scorecard ketiga perspektif tersebut dapat diukur. 2.3.5
Faktor-faktor
yang
Memacu
Kebutuhan
Perusahaan
untuk
Menggunakan Balanced Scorecard Balanced (contemporary
Scorecard
merupakan
management
tool).
alat
manajemen
Kebutuhan
kontemporer
perusahaan
untuk
mengimplementasikan Balanced Scorecard dipacu oleh faktor-faktor berikut ini: 1. Lingkungan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan sangat kompetitif dan turbulen.
34
Lingkungan bisnis yang seperti ini menuntut kemampuan perusahaan untuk : a. Membangun keunggulan kompetitif melalui distinctive capability. b. Membangun dan secara berkelenjutan memutahirkan peta perjalanan untuk mewujudkan masa depan perusahaan. c. Menempuh langka-langkah strategik dalam membengun masa depan perusahaan. d. Mengerahkan dan memusatkan kemampuan serta komitmen seluruh personel dalam membangun masa depan perusahaan. 2. Sistem manajemen yang digunakan oleh perusahaan tidak cocok dengan tuntutan lingkugan bisnis yang dimasuki oleh perusahaan. Sistem manajemen yang tidak cocok dengan tuntutan lingkungan bisnis sebagaimana yang digambarkan diatas memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Sistem manajemen yang digunakan hanya menggunakan anggaran tahunan sebagai alat perencanaan masa depan perusahaan. b. Sistem manajemen yang digunakan tidak mengikut sertakan secara optimum seluruh personel dalam membangun masa depan perusahaan. c. Tidak terdapat kekoherenan antara rencana jangka panajang (atau dikenal dengan istilah corporate plan) dengan rencana jangka pendek dan implementasinya.
2.3.6 Kriteria Penggunaan Konsep Balanced Scorecard Kriteria pengguanaan konsep Balanced Scorecard sebagai pengukuran kinerja pada perusahaan adalah sebagai berikut: 1. Harus mendapat dukungan dan komitmen dari manajer puncak/manajer senior mengenai implementassi Balanced Scorecard. 2. Perusahaan tersebut harus memiliki visi, misi, dan strategi yang telah baku. 3. Perusahaan tersebut merupakan perusahaan menengah keatas dengan tingkat laba diatas 1 milyar. 4. Melakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada seluruh karyawan sehingga karyawan akan memahami maksud dari penggunaan konsep Balanced Scorecard.
35
5. Memiliki Key Performanced Indicator (KPI), karean dengan KPI maka visi, misi, dan strategi karyawan yang diterjemahkan kedalam tujuan dan ukuran operasional (sasaran strategis) akan lebih mudah untuk menilai berhasil atau tidaknya strategi tersebut dijalankan oleh perusahaan. 6. Telah menetapkan ukuran strategis (tolak ukur) dari keempat perspektif dalam Balanced Scorecard secara konsisten dan saling mendukung. 7. Memiliki jaringan sistem informasi yang terpadu dan mudah diakses oleh karyawannya (Local Area Network, Email). 8. Melakukan percoabaan pelaksanaan implementasi konsep Balanced Scorecard pada perusahaan anak/kantor cabang sebagai perbandingan. 2.3.7 Proses Penerapan Balanced Scorecard dan Pihak-pihak yang Berperan 1. Proses Penerapan Balanced Scorecard Meskipun setiap organisasi bersifat unik, secara umum dan sistematis pada banyak organisasi yang telah menerapkan Balanced Scorecard dilakukan langkah-langkah berikut seperti yang telah di ungkapkan oleh Kaplan and Norton, (1996:300-308): 1. Define the measurement architecture • Select the appropriate organization unit • Identify SBU/corporate linkage 2. Build consensus around strategic objectives • Conduct first round of interviews • Obtain input on the company’s strategic objectives and tentative proposals for Balanced Scorecard measures across the four perspective • Synthetis session • Executives workshop : first round 3. Select and design measures • Subgroup meetings • Executives workshop : second round 4. Build the implementation plan • Develop the implementation plan • Executive Workshop: Third round • Finalize the implementation plan
36
Proses empat langkah di atas akan dapat mendorong timbulnya komitmen dan menghasilkan sebuah Balanced Scorecard yang baik, yang akan membantu para menejer untuk mencapai tujuan program mereka. 2. Pihak-pihak yang berperan Ada tiga peran yang diperlukan dalam pembangunan Balanced Scorecard menurut Norton and Kaplan (1996:87), yaitu: a. Architech. Biasanya merupakan senior staf manajemen di organisasi tersebut seperti: •
VP (vice president) of strategic planning and business development
•
VP of quality management
•
VP of finance or divisional controller
b. Change agent. Change agent merupakan pihak yang bertanggung jawab pada CEO karena merekalah yang berperan sebagai kepala staf yang memandu pengembangan sistem manajemen baru pada periode dua hingga tiga tahun selama proses manajemen baru yang dipicu oleh penerapan Balanced Scorecard. c. The communicator. Merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan dan dukungan pada segenap anggota organisasi dari tingkat yang paling senior hingga para pegawai.