BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1.
Konsep Dasar Bank Syariah a.
Pengertian Bank Syariah Perbankan yang bebas dari bunga (bank syariah) merupakan konsep yang relatif masih baru. Gagasan untuk mendirikan bank syariah lahir dari keadaan belum adanya kesatuan pendapat di kalangan Islam sendiri mengenai apakah bunga yang dipungut oleh bank konvensional adalah riba karena itu adalah sesuatu yang haram atau bukan riba sehingga karena itu halal. Bagi mereka yang berpendapat bahwa bunga yang dipungut oleh bank konvensional merupakan riba yang dilarang oleh Islam, membutuhkan dan menginginkan lahirnya suatu lembaga yang dapat memberikan jasajasa penyimpanan dana dan pemberian fasilitas pembiayaan yang tidak berdasarkan bunga dan beroperasi sesuai dengan ketentuanketentuan syariah Islam karena mereka berpendapat bahwa kebutuhan mengenai hal itu ada di dalam masyarakat.18 Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun 2008 menyatakan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup
18
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2014), hlm. 49
14
15
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah (BUS), unit usaha syariah (UUS), dan bank pembiayaan rakyat syariah.19 Bank Islam atau di Indonesia disebut bank syariah merupakan lembaga keuangan yang berfungsi memperlancar mekanisme ekonomi di sektor riil melalui aktivitas kegiatan usaha (investasi, jual beli, atau lainnya) berdasarkan prinsip syariah, yaitu aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan nilai-nilai syariah yang bersifat makro maupun mikro. Nilai-nilai makro yang dimaksud adalah keadilan, maslahah, sistem zakat, bebas dari bunga (riba), bebas dari kegiatan spekulatif yang nonproduktif seperti perjudian (maysir), bebas dari hal-hal yang tidak jelas dan merugikan (gharar), bebas dari hal-hal yang rusak atau tidak sah (bathil), dan penggunaan uang sebagai alat tukar. Sementara itu, nilai-nilai mikro yang harus dimiliki oleh pelaku perbankan syariah adalah sifat mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yaitu shidiq, amanah, tabligh, dan fathonah.20
19 20
UU RI No. 21 tahun 2008 pasal 1 ayat 7 tentang perbankan syariah Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2008), hlm. 30
16
Selain itu, bank syariah merupakan bank yang kegiatannya mengacu pada hukum Islam, dan dalam kegiatannya tidak membebankan bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Bagi hasil atau imbalan lain yang diterima oleh bank syariah maupun yang dibayarkan kepada nasabah tergantung dari akad dan perjanjian antara nasabah dan bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana diatur dalam syariah Islam. b. Dasar Hukum dan Falsafah Bank Syariah Indonesia Setelah ditunggu sekian lamanya sejak berlakunya UndangUndang Perbankan No. 7 Tahun 1992, akhirnya pada tanggal 16 Juli 2008 diundangkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan Syariah atau UUPS). Konseptor awal RUU dari undang-undang tersebut adalah kantor konsultan hukum yaitu Law Offices of Remy & Partners. Pada saat itu, Bank Indonesia menguasai kantor konsultan hukumtersebut baik untuk membuat Naskah Akademik maupun untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tersebut. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tersebut, bank dan bank syariah yang telah didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana kemudian telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
17
memperoleh dasar hukum yang khusus dan lebih kuat serta lebih tegas bagi pendirian dan kegiatan usaha bank syariah di Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank yang kegiatan usahanya dilakukan berdasarkan prinsip syariah tersebut secara teknis yuridis disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil”. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, istilah yang dipakai ialah “Bank Berdasarkan Prinsip
Syariah”. Oleh
karena pedoman operasi bank tersebut adalah ketentuan-ketentuan syariah Islam, maka bank yang demikian itu disebut pula “Bank Syariah”. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah itu, sebagaimana menurut definisi yang disebutkan dalam pasal 1 angka 7 undang-undang tersebut, bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah disebut Bank Syariaih.21 Dengan berlakunya Undang-Undang Perbankan Syariah tidak berarti segala ketentuan menegenai perbankan syariah yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dan segala Peraturan Bank Indonesia yang menyangkut Perbankan Syariah menjadi tidak berlaku lagi. Segala ketentuan yang menyangkut perbankan syariah dalam Undang-Undang Perbankan
21
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2014), hlm. 32
18
dan semua Peraturan Bank Indonesia yang menyangkut perbankan syariah tersebut masih berlaku sepanjang tidak diatur lain oleh Undang-Undang Perbankan syariah atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Bank Indonesia yang baru. Hal tersebut dapat diketahui dari ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Perbankan Syariah yang berbunyi: “Pada saat undang-undang ini berlaku, segala ketentuan menegenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) beserta
peraturan
pelaksanaannya
dinyatakan
tetap
berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.” Sungguhpun demikian, Bank Syariah yang berada di tanah air tetap harus tunduk kepada peratuaran-peraturan dan persyaratan perbankan yang berlaku pada umumnya antara lain: a.
Ketentuan perizinan dalam pengembangan usaha, seperti pembukaan cabang dan kegiatan devisa
b.
Kewajiban pelaporan ke Bank Indonesia
c.
Pengawasan intern
19
d.
Pengawasan atas prestasi, permodalan, manajemen rentabilitas, likuiditas dan faktor lainnya
e.
Pengenaan sanksi atas pelanggaran Di samping ketentuan diatas Bank Syariah di Indonesia juga
dibatasi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS). Hal yang terakhir ini memberikan implikasi bahwa setiap produk bank syariah mendapatkan persetujuan dari DPS terlebih dahulu sebelum diperkenalkan kepada masyarakat. Dilihat dari aspek hukum syariah, setiap lembaga keuangan syariah
mempunyai
falsafah
keridhoan
Allah
SWT
untuk
memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat. Sebagai salah satu lembaga keuangan syariah, bank syariah tunduk pada hukum syariah (Islam). Prinsip umum hukum Islam, yang berdasarkan pada sejumlah surat dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa perbuatan memperkaya diri dengan cara tidak benar atau menerima keuntungan tanpa memberikan nilai imbangan, secara etika dilarang. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an yang paling sering dikutip berkenaan dengan riba disebutkan perbedaan keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dan keuntungan yang diperoleh dari praktek terkutuk yang disebut riba.
20
Surat Al-baqarah ayat 275
...حّرَمَ الّرِبَا َ َوَأَحَّلَ الّلهُ الْبَيْعَ و “. . . Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. . .” (QS. Al-baqarah : 275) c.
Fungsi Bank Syariah 1. Fungsi Utama Bank Syariah Bank
syariah
memiliki
tiga
fungsi
utama
yaitu
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dan investasi,
menyalurkan
dana
kepada
masyarakat
yang
membutuhkan dana dari bank, dan juga memberikan pelayanan dalam bentuk jasa perbankan syariah.22 2. Fungsi Bank Syariah Dalam Memperoleh Keuntungan Bank syariah akan memperoleh pendapatan margin keuntungan atas pembiayaan yang menggunakan akad jual beli, pendapatan bagi hasil atas pembiayaan yang diberikan dengan menggunakan akad kerja sama usaha. Bank syariah akan membayar bonus atas dana uang diperoleh dari masyarakat yang telah menggunakan akad wadiah, dan biaya bagi hasil atas dana yang dihimpun dengan menggunakan akad kerja sama usaha antara bank syariah dengan nasabah investor. Bank syariah juga akan mendapat fee yang besarnya tergantung pada jenis produk pelayanan jasa yang diberikan oleh bank syariah. 22
Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 39
21
3. Fungsi Bank Syariah sebagai Lembaga Perantara Keuangan Bank syariah juga berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan atau Financial Intermediary Institution. Sebagai lembaga perantara keuangan, bank syariah bertugas menjembatani kebutuhan dua pihak yang berbeda yaitu menghimpun dana dari masyarakat yang kelebihan dana (surplus unit) pada satu sisi, dan sisi lain, bank syariah juga menyalurkan dana kepada masyarakat yang sedang membutuhkan dana (defisit unit). 4. Fungsi sosial Konsep perbankan Islam mengharuskan bank-bank Islam memberikan pelayanan sosial apakah melalui dana Qord (pinjaman kebajikan) atau zakat dan dana sumbangan dengan prinsip Islam. Fungsi ini juga yang membedakan fungsi bank syariah dengan bank konvensional, walaupun dalam hal ini dalam bank konvensional bisanya dilakukan oleh individual yang mempunyai perhatian dengan hal sosial tersebut, tetapi dalam bank syariah fungsi sosial merupakan salah satu fungsi yang tidak dapat dipisahkan dengan fungsi-fungsi lain. d. Pembiayaan Bank Syariah Pembiayaan
merupakan
aktivitas
bank
syariah
dalam
menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah. Pembiayaan sangat bermanfaat bagi bank syariah, nasabah, dan pemerintah. Pembiayaan memberikan hasil yang paling besar di
22
antara penyaluran dana lainnya yang dilakukan oleh bank syariah. Penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Pembiayaan
pada
perbankan
dengan
prinsip
syariah
mempunyai karakteristik yang lebih khusus jika dibandingkan dengan prinsip konvensional. Jika mempergunakan sistem perbankan konvensional, maka penilaian pembiayaan hanya semata-mata didasarkan pada usaha mencari keuntungan, sedangkan pada penilaian pembiayaan dengan prinsip syariah bukan semata-mata hanya didasarkan pada usaha mencari keuntungan saja, namun juga mempertimbangkan aspek syariah. Dalam pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah, return atas pembiayaan tidak dalam bentuk bunga, akan tetapi dalam bentuk lain sesuai dengan akadakad yang disediakan di bank syariah. Pembiayaan dalam bank syariah atau istilah teknisnya aktiva produktif, menurut ketentuan Bank Indonesia adalah penanaman dana bank syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam pembiayaan, piutang, qard, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening administrasi serta wadiah Bank Indonesai. Sedangkan Definisi pembiayaan berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, sebagaimana telah diubah
23
dengan UU No. 10 tahun 1998 Pasal 1 ayat 12; Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.23 Pembiayaan dilihat dari tujuan penggunaan, dibagi menjadi tiga hal sebagai berikut:24 a.
Pembiayaan Investasi Diberikan oleh Bank Syariah kepada nasabah untuk pengadaan barang-barang modal (aset tetap) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun. Secara umum, pembiayaan investasi ini ditujukan untuk pendirian perusahaan atau proyek baru maupun proyek pengembangan, modernisasi mesin dan peralatan, pembelian alat angkutan yang digunakan untuk kelancaran usaha, serta perluasan usaha. Pembiayaan investasi umumnya diberikan dalam nominal besar, serta jangka panjang dan menengah.
b.
Pembiayaan Modal Kerja Digunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja yang biasanya habis dalam satu siklus usaha. Pembiayaan modal kerja ini diberikan dalam jangka pendek yaitu selama-lamanya satu
23
UU No. 10 tahun 1998 pasal 1 ayat 12 Ibid, hlm.113
24
24
tahun. Kebutuhan yang dapat dibiayai dengan menggunakan pembiayaan modal kerja antara lain kebutuhan bahan baku, biaya upah, pembelian barang-barang dagangan, dan kebutuhan dana lain yang sifatnya hanya digunakan selama satu tahun, serta kebutuhan dana yang diperlukan untuk menutup piutang perusahaan. c.
Pembiayaan Konsumsi Diberikan kepada nasabah untuk membeli barang-barang untuk keperluan pribadi dan tidak untuk keperluan usaha.
Sedangkan dalam operasional bank syariah, ada 2 pola pembiayaan yang sekarang dijalankan, yaitu: 1.
Pola jual beli a. Bai’ Al-Murabahah Adalah akad jual beli dengan harga pokok ditambah dengan margin atau tingkat keuntungan tertentu yang di sepakati oleh kedua belah pihak b. Bai’ Al-Istishna Adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pemebeli akhir.
25
c. Bai’ As-Salam Adalah pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka. Melalui fasilitas ini, bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran dimukka secara sekaligus dan nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. 2.
Pola Bagi hasil a. Al-Musyarakah Adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. b. Al-Mudharabah Adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh atau 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik dan selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.
26
c. Al-Muzara’ah Adalah kerja sama pengelola pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. d. Al-Musaqah Adalah kerja sama pengelola pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan kepada si penggarap namun hanya untuk bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.25
2.
Pembiayaan Warung Mikro Bank Syariah a. Pembiayaan BSM Warung Mikro Seperti yang sudah diketahui, usaha skala mikro dan kecil (UMK) mempunyai peran penting sebagai sumber utama lapangan kerja dan pendapatan di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri, beberapa studi juga mengungkap pentingnya UMK bagi perekonomian Indonesia. Lebih dari itu, UMK di Indonesia juga dianggap memiliki peran yang cukup penting karena merupakan sarana untuk mempromosikan usaha pribumi yang ada.26 Diharapkan
25
Muhammad Syafii Antonio, Bank syariah dari teori ke praktek, (Jakarta: Gema Insani,2001), hlm. 99 26 Wawancara dengan Bapak Andhika, PMM Mikro, Bank Syariah Mandiri cabang Pekalongan, pada tanggal 31 Agustus 2015
27
dengan fasilitas yang diberikan Warung Mikro, masyarakat kecil dan pelaku UMKM dapat tetap menjalankan roda perekonomiannya secara maksimal. Menurut Keputusan Presiden RI No. 99 tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah “kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat”. a.
UMKM merupakan bentuk skala usaha yang turut berperan serta dalam
menggerakkan
perekonomian
nasional.
Keberadaan
UMKM di Indonesia di atur pemberdayaannya melalui:27 b.
UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM
c.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM
Sedangkan arti penting UMKM dalam perekonomian adalah: a.
Menciptakan produk (barang/jasa) untuk kebutuhan domestik dan ekspor
b.
Memobilisasi sumber daya ekonomi (setempat)
c.
Memanfaatkan kearifan lokal, bahan baku, teknologi tepat, keterampilan dan tenaga kerja
d.
27
Pembiak virus kewirausahaan
Data-data yang diambil melalui Suwandi, Seminar Peluang dan strategi lembaga keuangan Mikro syariah dalam menghadapi MEA, STAIN PEKALONGAN, pada tanggal 26 September 2015
28
b. Akad Murabahah dalam Bank Syariah 1) Pengertian Murabahah Definisi Akad secara terminologis diartikan sebagai perjanjian. Ditinjau dari hukum Islam, perjanjian yang sering disebut dengan akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan persetujuan masingmasing. Dengan kata lain akad adalah perikatan antara Ijab dan Qabul secara sah yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan persetujuan kedua belah pihak. Sedang Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan), yaitu prinsip bai’ (jual beli) di mana harga jualnya terdiri dari harga pokok barang ditambah nilai keuntungan (ribhun) yang disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syariah, murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dan nasabah, di mana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja sama lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Berdasarkan
Pedoman
Standar
Akuntansi
Keuangan
(PSAK) 59 tentang akuntansi perbankan syariah paragraf 52 dijelaskan bahwa murabahah adalah akad jual beli barang dengan
29
menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.28 Murabahah dilakukan berdasarkan akad jual beli, dimana bank sebagai shohibul maal (pemilik dana) bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli. Jadi singkatnya, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga asal (perolehan) dan keuntungan (margin) yang disepakati antara pihak bank dan nasabah. 2) Dasar Hukum Murabahah Adapun dasar hukum atau landasan syariah yang digunakan dalam pelaksanaan murabahah adalah sebagai berikut: a. Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 29
ْيٰا َيُّﻬَاالّﺬِيْﻦَ اٰﻤَﻨُوا ﻻَﺘﺄﻜُلوا اَﻤْﻮَالَﻜُنْ بَيْﻨَﻜُن بِا لْبَاﻄِّلِ اِﻻَ أﻦ ۚ ْﺘَﻜُﻮﻦَ ﺘِﺠَاّرَﺓً ﻋَﻦْ ﺘَّرَاﺾٍ ﻤِّﻧْﻜن Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa ayat 29)
28
Kerangka dasar penyusun penyajian laporan keuangan bank syariah, PSAK 59, (Jakarta: IAI, 2002), hlm. 59
30
b. Hadits Riwayat
Ibnu Majah, dari Suhaib Al-Rumi r.a,
Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan, pertama menjual dengan tempo pembayaran (murabahah), kedua muqaradhah (mudharabah), dan ketiga mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah bukan untuk diperjualbelikan.” (HR. Ibnu Majah) c. Dewan Syariah Nasional Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki wewenang untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, di mana DSN juga berfungsi
memberikan
kejelasan
atas
kinerja
lembaga
keuangan syariah agar betul-betul berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Ada beberapa Fatwa DSN-MUI berkenaan dengan akad murabahah
yang harus dipedomani untuk menentukan
keabsahan akad murabahah. Fatwa-fatwa DSN-MUI yang menyangkut murabahah yaitu: a. Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah
31
b. Fatwa DSN-MUI No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah c. Fatwa DSN-MUI No. 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon dalam Murabahah d. Fatwa DSN-MUI No. 23/DSN-MUI/III/2002
tentang
Potongan Pelunasan dalam Murabahah e. Fatwa
DSN-MUI
No.
46/DSN-MUI/II/2005
tentang
Potongan Tagihan Murabahah (Khashm Fi al-Murabahah) f. Fatwa
DSN-MUI
No.
47/DSN-MUI/II/2005
tentang
Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar g. Fatwa
DSN-MUI
No.
48/DSN-MUI/II/2005
tentang
Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah h. Fatwa
DSN-MUI
No.
49/DSN-MUI/II/2005
tentang
Konversi Akad Murabahah 3) Rukun dan Syarat Murabahah Sebagaimana
diketahui
menurut
Undang-Undang
Perbankan Syariah, bank syariah dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah. Oleh karena murabahah merupakan salah satu bentuk dari bai’, maka syaratsyarat menegenai keabsahan transaksi bai’ berlaku bagi transaksi murabahah.
32
Murabahah adalah tukar-menukar antara suatu barang tertentu yang memiliki nilai dengan barang lain yang juga memiliki nilai berdasarkan kesepakatan antara para pihak. Oleh karena itu, semua syarat yang berlaku bagi suatu sahnya jual beli berlaku pula bagi murabahah.29 Berikut rukun dan syarat murabahah yaitu: 1.
Pihak yang berakad yaitu Penjual (Ba’i) dan Pembeli (Musytari’) Para pihak yang melakukan transaksi murabahah haruslah orang-orang
yang
memenuhi
kualifikasi
untuk
dapat
membuat suatu perjanjian. a.
Berakal sehat, dan cakap hukum
b.
Berbilang, yaitu yang melaksanakan akad jual beli tidak satu orang. Tetapi harus ada ijab dari seseorang dan qabul dari orang lainnya
2.
Objek atau barang yang dijual (Mabi’) a.
Barang yang diperjualbelikan antara bank dan nasabah harus merupakan barang yang sudah menjadi milik bank ketika jaul beli tersebut terjadi
b.
Barang yang dibeli oleh nasabah adalah barang yang dibeli dari pihak ketiga
29
Wiroso, Jual beli Murabahah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 16 - 17
33
c.
Barang yang akan diterima oleh nasabah dari bank sebagai
hasil
transaksi
murabahah
harus
jelas
spesifikasinya, baik yang menyangkut jenis, kualitas dan kuantitas barang tersebut. d.
Spesifikasi mengenai barang tersebut harus disepakati di muka sebelum akad murabahah ditandatangani dan harus pula dituangkan ke dalam akad murabahah.
e.
Barang yang harus diserahkan ketika jual beli terjadi tidak harus sudah secara fisik berada di tangan bank (sudah in physical posession) tetapi cukuplah apabila barang tersebut sudah secara konstruktif (sudah in constructive possesion) berada dalam kekuasaan bank.
f.
Barang yang dijual harus merupakan sesuatu yang memiliki nilai ekonomis.
3.
Harga (Tsaman) a.
Mengetahui harga pertama (Harga Pembelian).
b.
Mengetahui besarnya keuntungan. Mengetahui jumlah keuntungan adalah keharusan, karena ia merupakan bagian dari harga (tsaman), maka margin/mark-up yang akan menjadi keuntungan bagi bank, wajib dirundingkan dan ditentukan di muka oleh bank dan nasbah sebelum kedua belah pihak menandatangani akad murabahah.
34
4.
Sighat (ijab dan qabul) a.
Sighatnya terdengar. Sehingga tidak sah suatu akad kecuali apabila salah satu pihak mendengar apa yang dikatakan pihak lainnya
b.
Kesesuaian antara ijab dan qabul
c.
Bersatunya majelis akad, yaitu ijab dan qabul dalam dalam satu majelis tanpa ada pemisah
c. Akad Wakalah dalam Bank Syariah 1) Pengertian Wakalah Secara harfiah wakalah adalah memelihara (looking after), menjaga (taking custody), atau menggunakan keterampilan (application of skill), atau merawat (remedying) sesuatu untuk dan atas nama orang lain. Dari sini berasal kata tawkil yang berarti menunjuk seseorang untuk menjaga sesuatu dan juga untuk melimpahkan tugas kepada orang lain. Wakalah juga berarti suatu tanggung jawab (responsibility).30 Wakalah yaitu akad antara dua pihak yang mana pihak satu menyerahkan, mendelegasikan, mewakilkan, atau memberikan mandat kepada pihak lain, dan pihak lain menjalankan amanat sesuai permintaan pihak yang mewakilkan.31 Dalam praktek Perbankan, al wakalah merupakan akad pemberian kuasa dari pihak bank kepada calon nasabah untuk membeli barang sesuai 30
Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2014), hlm. 392 Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 194
31
35
dengan kesepakatan didalam pejanjian pembiayaan. Artinya bank menunjuk nasabah sebagai wakilnya untuk membeli komoditas atau barang yang dimaksud atas nama bank. Dan perjanjian pemberian kuasa ditandatangani kedua belah pihak. 2) Dasar Hukum Wakalah Adapun dasar hukum atau landasan syariah yang digunakan dalam pelaksanaan wakalah adalah sebagai berikut: a. Al-Qur’an Surat Al kahfi ayat 19
Artinya: “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
36
dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”.” (Al-Kahfi ayat 19) b. Hadits “Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.” (Malik No.678, kitab al-Muwaththa’, bab Haji) c. Dewan Syariah Nasional (DSN) Ada dua Fatwa DSN-MUI berkenaan dengan akad wakalah yang harus dipedomani untuk menentukan keabsahan akad wakalah. Fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut (yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI) yaitu: a.
Fatwa DSN-MUI No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
b.
Fatwa DSN-MUI No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah
37
3) Rukun dan Syarat Wakalah Rukun dari akad wakalah yang harus dipenuhi yaitu32: 1.
Pelaku akad, yaitu muwakil (pemberi kuasa) adalah pihak yang memberikan kuasa kepada pihak lain, dan wakil (penerima kuasa) adalah pihak yang diberi kuasa;
2.
Objek akad, yaitu taukil (objek yang dikuasakan); dan
3.
Shighat, yaitu Ijab dan Qabul
Sedangkan syarat-syarat dari akad wakalah, yaitu:
4.
1.
Pihak yang berakad Berakal sehat, dan cakap hukum
2.
Objek akad harus jelas dan dapat diwakilkan
3.
Tidak bertentangan dengan syariat Islam
Jenis-jenis Wakalah Pada dasarnya tugas apa pun yang dapat dilaksanakan oleh orang lain dapat dikuasakan kepada orang lain yang dilakukan oleh orang lain itu untuk dan atas nama pemberi tugas. Mengingat tugas apa saja dapat diwakilkan atau dikuasakan kepada orang lain, maka dimungkinkan adanya jenis-jenis wakalah seperti di bawah ini: a.
Wakil
bil-kusomah
(untuk
menyelesaikan
berbagai
sengketa/perkara atas nama pemberi tugas) b.
32
Wakil bil-taqazi al-dayn (untuk melakukan penerimaan uang)
Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2008), hlm. 104
38
c.
Wakil bil-qabaza al-dayn (untuk melakukan pengurusan utang)
d.
Wakil bil-bai’ (untuk melakukan jual beli)
e.
Wakil bil-shira (untuk melakukan pembelian barang)
Sedangkan ruang lingkup tugas dari akad wakalah yaitu: a.
Wakalah muthlaqah, yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu; dan
b.
Wakalah muqayyadah, yaitu perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang telah ditentukan dan disepakati bersama
d. Metode Angsuran Pembiayaan Warung Mikro Pada Bank Syariah Pembiayaan warung mikro BSM adalah sebuah produk pembiayaan Bank Syariah Mandiri dengan prinsip syariah kepada calon nasabah baik perorangan atau badan hukum khususnya pada sektor Usaha Mikro Kecil (UMK) dan golongan berpenghasilan tetap (PNS, TNI, POLRI, Karyawan tetap) untuk membiayai kebutuhan usahanya melalui pembiayaan investasi, pembiayaan modal kerja, pembiayaan multiguna, pembiayaan madya dan utama. Sistem jual beli dengan menggunakan akad murabahah ini pembayarannya dapat dilakukan dengan cara angsuran. Untuk itu, angsuran dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:33
33
Ibid, hlm. 114
39
a.
Metode angsuran annuitas Merupakan suatu cara pengembalian pembiayaan dengan pembayaran angsuran harga pokok dan margin keuntungan secara tetap. Perhitungan ini akan menghasilkan pola angsuran harga pokok yang semakin membesar dan margin keuntungan yang semakin menurun. Dalam perbankan konvensional, sistem annuitas umumnya ditentukan sesuai dengan tingkat suku bunga yang berlaku yaitu suku bunga yang berubah-ubah tergantung kondisi pasar.
b.
Metode perhitungan pokok dan margin merata tetap Merupakan margin pinjaman yang selalu dihitung dari pokok awal pinjaman. Dengan kata lain jumlah angsuran pinjaman yang dibayarkan oleh nasabah setiap bulan adalah sama atau tidak akan berubah sejak akad pertama kali hingga akhir masa pembiayaan.
e. Metode Penetapan Margin Keuntungan pada Bank Syariah Secara teknis, yang dimaksud dengan margin keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan per tahun perhitungan margin keuntungan secara harian, maka jumlah hari dalam setahun ditetapkan 360 hari, perhitungan margin keuntungan secara bulanan, maka setahun ditetapkan 12 bulan. Pada umunya, nasabah pembiayaan melakukan pembayaran secara angsuran. Tagihan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau
40
sewa berdasarkan akad murabahah, salam, istishna’ dan atau ijarah disebut sebagai piutang. Besarnya piutang tergantung pada plafond pembiayaan, yakni jumlah pembiayaan (harga beli ditambah harga pokok) yang tercantum di dalam Perjanjian Pembiayaan.34 a.
Referensi Margin Keuntungan Adalah margin keuntungan yang ditetapkan dalam rapat ALCO Bank Syariah. Penetapan margin keuntungan pembiayaan berdasarkan rekomendasi, usul, dan saran dari Tim ALCO Bank Syariah, dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut: 1) Direct Competitor’s Market Rate (DCMR) Adalah tingkat margin keuntungan rata-rata perbankan syariah, atau tingkat margin keuntungan rata-rata beberapa bank syariah yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai kelompok
kompetitor
langsung,
atau
tingkat
margin
keuntungan bank syariah tertentu yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai kompetitor langsung terdekat. 2) Indirect Competitor’s Market Rate (ICMR) Adalah tingkat suku bunga rata-rata perbankan konvensional, atau tingkat rata-rata suku bunga beberapa bank konvensional yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai kelompok kompetitor tidak langsung, atau tingkat rata-rata suku bunga
34
Adiwarman karim, Bank Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 280
41
bank konvensional tertentu yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai kompetitor tidak langsung yang terdekat. 3) Expected Competitive Return for Investors (ECRI) Adalah target bagi hasil kompetitif yang diharapkan dapat diberikan kepada dana pihak ketiga. 4) Acquiring Cost Adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank yang langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga. 5) Overhead cost Adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank yang tidak langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga. b.
Persyaratan untuk Perhitungan Margin Keuntungan Margin keuntungan = f (plafond) hanya bisa dihitung apabila komponen-komponen yang di bawah ini tersedia35 yaitu: 1) Jenis perhitungan margin keuntungan 2) Plafond pembiayaan sesuai jenis 3) Jangka waktu pembiayaan 4) Tingkat margin keuntungan pembiayaan 5) Pola tagihan atau jatuh tempo tagihan (baik harga pokok maupun margin keuntungan)
35
Ibid, hlm. 283
42
Sedangkan tanggal jatuh tempo tagihan merupakan tanggal yang tidak termasuk dalam perhitungan margin keuntungan.
B. Penelitian yang Relevan Dalam
penelitian
ini
penulis
mengumpulkan
referensi
guna
menghasilkan sebuah karya ilmiah melalui tinjauan pustaka yang bersumber dari literatur-literatur dan penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian, yakni referensi dari penelitian yang dilakukan oleh Putri Indriana Dewi36 tentang implementasi akad murabahah pada pembiayaan emas di BNI Syariah Cabang Pekalongan. Metode yang yang digunakan adalah penelitian pustaka dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah BNI Syariah cabang pekalongan telah melaksanakan pembiayaan emas ib hasanah dengan menggunakan akad murabahah ini, BNI syariah menerapkan pembiayaan emas ib hasanah dengan metode angsuran pokok sehingga nasabah dapat mengangsur pembiayaan secara tetap sampai jatuh tempo. Penelitian dengan judul mekanisme pembiayaan murabahah di BNI Syariah Pekalongan oleh Ari setiawan37 dengan hasil penelitian menunjukan bahwa mekanisme pembiayaan yang diterapkan di BNI Syariah Pekalongan sudah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) dan syariat Islam yakni Al-Qur’an dan Hadist dalam pelaksanaannya.
36
Putri Indriana Dewi, Implementasi Akad Murabahah Pada Pembiayaan Emas Di BNI Syariah Cabang Pekalongan, (TA STAIN Pekalongan, 2014) tidak dipublikasikan 37 Ari Setiawan, Mekanisme Pembiayaan Murabahah Di BNI Syariah Cabang Pekalongan, (TA STAIN Pekalongan, 2008) tidak dipublikasikan
43
Sedangkan Vony Kartika38 meneliti tentang implementasi akad murabahah pada pembiayaan rumah syariah (Griya iB hasanah) di BNI Syariah cabang Pekalongan (atas kesesuaian Fatwa Dewan Syariah Nasional). Dengan hasil penelitian BNI Syariah cabang Pekalongan telah melaksanakan pembiayaan Griya iB hasanah dengan menggunakan akad murabahah yang sesuai prinsip syariah yang telah ditentukan Dewan Syariah Nasional. Berbeda dengan judul penulis yaitu “Implementasi Akad Murabahah Al Wakalah dalam Pembiayaan Warung Mikro di Bank Syariah Mandiri cabang Pekalongan.” Di mana penulis membahas tentang penerapan akad murababah al wakalah dalam pembiayaan BSM warung mikro di mana dalam pembiayaan warung mikro ini akad murabahah al wakalah yang digunakan di BSM cabang Pekalongan. Hal yang membedakan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang penulis lakukan adalah akad yang digunakan dalam pembiayaan warung mikro tidak sepenuhnya menggunakan akad murabahah saja, tetapi juga digunakan akad pelengkap yaitu akad wakalah sebagai penugasan atas bank kepada nasabah untuk membeli komoditas atau barang yang diperlukannya. Selain itu penulis juga membahas tentang perhitungan angsuran serta penetapan margin keuntungannya dalam pembiayaan Warung Mikro tersebut di BSM cabang Pekalongan.
38
Vony Kartika, Implementasi Akad Murabahah Pada Pembiayaan Rumah Syariah (Griya iB Hasanah) Di BNI Syariah Cabang Pekalongan (Atas Kesesuaian Fatwa Dewan Syariah Nasional), (TA STAIN Pekalongan, 2013) tidak dipublikasikan