BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Tifoid 1. Definisi Secara historis, typhus berasal dari bahasa Yunani (typhos) yang berarti asap, atau yang lebih halus lagi dari asap, merupakan kiasan yang menggambarkan orang melamun, yang dipengaruhi oleh asap yang sedang naik diawan, dari asal nama diatas menggambarkan bahwa kesadaran penderita demam tifoid seperti diliputi awan (kabut). Nama lain yang sering ditulis dalam kepustakaan adalah (typhus abdominalis) suatu istilah yang kurang tepat, karena dulunya dianggap bahwa demam tifoid adalah kumpulan gejala demam tifus yang menyerang alat pencernaan (Rahmawati, 2010).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri pada usus halus dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi A, B dan C, selain ini dapat juga menyebabkan gastroenteritis (keracunan makan) dan septicemia (tidak menyerang usus) (Zulkoni, 2010).
Demam tifoid adalah penyakit sistmik yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi (S. typhi) yang masuk kedalam tubuh manusia. Dan merupakan kelompok penyakit yang menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Rasmilah, 2010). Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Widodo, 2007). Dari pendapat diatas maka disimpulkan demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi yang masuk ke dalam tubuh manusia (saluran pencernaan) dengan ditandai oleh demam insidius yang lama, sakit kepala, badan lemah, anoreksia, bradikardi relatif, serta
6
7
sponemegali dan juga merupakan kelompok penyakit yang mudah menular serta menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
2. Epidemiologi Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di daerah tropis dan sub tropis terutam di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi rendah. Demam tifoid disebabkan oleh salmonella typhhi yang dapat bertahan hiduip lama di lingkungan yang kering dan beku. Organisme juga mampu bertahan hidup lama selama 1 minggu dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna dan bentuknya. Manusia merupakan satu – satunya sumber penularan alami salmonella typhi, melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau carir kronis. Bisa tertular dari ibu yang mengalami bakteriemia kepada bayi dalam kandungan (Inawati, 2011).
Sumber penularan biasanya tidak dapat di temukan. Ada dua sumber penularan salmonella typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengeskresi
salmonella typhi dalam tinja dan air kemih salam lebih dari satu
tahun. Insidensi penyakit demam tifoid bervarisai dari tempat satu ke tempat yang lain dan dari waktu ke waktu, tersebar hampir di seluruh dunia (Handini, 2009).
Sumber infeksi dari demam tifoid adalah makan dan minuman yang terkontaminasi oleh salmonella typhi diantaranya adalah : a. Air yang terkontaminasi dengan tinja sering mengakibatkan edemik yang ekplosif. b. Susu dan hasil susu lainnya (es krim, keju, kustard) kontaminasi dengan tinja atau pasteurisasi yang tidak atau pengepakan yang tidak tepat.
8
c. Kerang- kerang akibat dari air yang terkontaminasi. d. Telur yang dibuat bubuk atau dibekukan dari unggas yang terinfeksi atau terkontaminasi selama pemprosesan. e. Daging dan hasil daging dari binatang terinfeksi. f. Obat – obatan rekreasi dan obat lainnya. g. Zat warna binatang (misalnya karmin) dipakai pada obat – obatan, makanan atau kosmetika. h. Binatang piaran rumah, misalnya kucing, anjing dan kura – kura.
Konsep lain penyebab penyakit ditinjau dari aspek epidemiologi tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu rangkain atau jalinan dari berbagai penyebab atau faktor resiko yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, dengan produk akhir adalah penyakit : (1) Faktor ketidak teraturan penduduk, (2) Faktor lingkungan yang jika ditinjau dari kesehatan kurang mengutungkan.
Ada beberapa distribusi dan frekuensi demam tifoid : a. Orang Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan. Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20 %, usia > 40 tahun 5 – 10 %. Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (2009) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 % penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per 100.000 penduduk.
b. Tempat dan Waktu Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang
9
tahun, di Jakarta Utara pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
3. Etiologi Menurut Laksono (2007) demam tifoid disebabkan oleh kuman salmonella typhi yang berhasil diisolasi pertama kali dari seorang pasien demam tifoid oleh Gafrrkey di German pada tahun 1884. Mikroorganisme ini merupakan bakteri gram negatif yang motil, bersifat aerob dan tidak membentuk spora yang menghasilkan endotoksin sehingga merusak jaringan usus halus. Salmonella typhi dapat tumbuh pada semua media, dan pada media yang selektif bakteri ini memfermentasi glukosa dan manosa, tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa. Salmonella typhi masuk ke tubuh manusia secara face oral dan melalui makanan yang terkontaminasi. Bakteri ini mempunyai beberapa komponen antigen yaitu : a. Antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. b. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies. c. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi seluruh permukaan sel. Antigen Vi dapat menghambat proses aglutinasi antigen O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis. Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas vaksin. Salmonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Ketiga antigen di atas dalam tubuh akan membentuk antibodi aglutinin. d. Outer Membrane Protein (OMP). Merupakan bagian dari dinding sel terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya cairan ke dalam membran sitoplasma. Selain itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan
10
bakteriosin yang sebagian besar terdiri dari protein purin, berperan pada patogenesis demam tifoid dan merupakan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun pejamu. Sedangkan protein non purin hingga kini fungsinya belum diketahui secara pasti.
4. Patogenesis dan Patofisiologi Salmonellatyphi adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm. Salmonella typhi tumbuh cepat dalam media yang sederhana hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memporoduksi hidrogen sulfide. Pada biakan agar koloninya besar bergaris tengah milimeter, bulat agak cembung, jernih.
Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). Salmonella paratyphiA, salmonella paratyphi B dan salmonella paratyphi C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus kuman beraksi sehingga bisa menginfeksi usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain). Sehingga feses dan urin penderita bisa mengandung kuman salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B dan salmonella paratyphi C yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang tercemari.
Pada penderita yang tergolong carrier kuman salmonella bisa ada terus menerus di feses dan urin sampai bertahun-tahun. Setelah memasuki dinding usus halus, salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella paratyphi B dan salmonella paratyphi C mulai melakukan penyerangan melalui sistem limfa ke
11
limfa yang menyebabkan pembengkakan pada urat dan setelah satu periode perkembangbiakan bakteri tersebut kemudian menyerang aliran darah. Aliran darah yang membawa bakteri juga akan menyerang liver, kantong empedu, limfa, ginjal dan sumsum tulang dimana bakteri ini kemudian berkembang biakan dan menyebabkan infeksi organ-organ ini. Melalui organ-organ yang telah terinfeksi inilah mereka terus menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder. Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya demam dan penyakit klinis (Laksono, 2007).
5. Geografi dan Musim Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang mendapatkan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Semarang tercatat bahwa angka kejadian tertinggi demam tifoid yang diikuti dengan curah hujan yang tinggi adalah 43,8% (Rahmawati, 2010).
6. Jenis Kelamin Tidak ada perbedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid pada pria dan wanita. Berdasarkan jenis kelamin hasil didapatkan kasus demam tifoid terjadi lebih banyak pada laki-laki 52,7% dari pada perempuan 47,3% (Rahmawati, 2010).
12
7. Umur Di daerah endemik demam tifoid, insidensi tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 7080% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5 - 10% di atas 40 tahun. Kelompok umur 0 sampai 10 tahun merupakan kelompok umur dengan kejadian demam tifoid terbanyak (74 kasus : 43,8%) sedangkan jumlah penderita paling sedikit terdapat pada usia lebih dari 60 tahun (Rahmawati, 2010).
8. Gambaran Klinik Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa : Anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, gangguan perut (perut kembung dan sakit).
9. Gambaran Klasik Demam Tifoid (Gejala Khas) Biasanya jika gejala khas itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan. Yang termasuk gejala khas demam tifoid adalah sebagai berikut: a. Minggu Pertama (awal terinfeksi) Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala, pusing, pegalpegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali/menit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak.
Sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh
13
penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejalagejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga.
Ruam kulit umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 35 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.
b. Minggu Kedua Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam).
Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran umumnya terjadi, lidah tampak kering, merah mengkilat.
Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi,
14
gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus,
mulai kacau jika
berkomunikasi dan lain-lain.
c. Minggu Ketiga Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu, hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.
Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut, penderita kemudian mengalami kolaps.
Jika denyut nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
d. Minggu Keempat Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.
15
10. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan : a) Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu
ketiga
dan
keempat
dapat
mendukung
diagnosis
dengan
ditemukannya salmonella typhi. Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus.
Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti diatas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman salmonella typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit.
Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh sendiri.
b) Kultur gal diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri salmonella typhi dari spesimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan spesimen darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi antibiotic. Pada minggu
16
ke 3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% dan minggu ke-4 hanya 1015%.
c) Tes widal Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8 dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12. Pemeriksaan widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang baik karena akan memberikan hasil positif bila terjadi : (1) Infeksi berulang karena bakteri salmonella typhi lainnya, (2) Imunisasi penyakit tifus sebelumnya, (3) Infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain. Pemeriksaan kultur gal sensitivitasnya rendah, dan hasilnya memerlukan waktu berhari-hari, sedangkan pemeriksaan widal tunggal memberikan hasil yang kurang bermakna untuk mendeteksi penyakit tifus.
d) Pemeriksaan anti salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri salmonella typhi. Pemeriksaan anti salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri salmonella typhi.
Tes IgM anti salmonella typhi memiliki beberapa kelebihan: 1. Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas > 95%). 2. Lebih spesifik mendeteksi bakteri salmonella typhi dibandingkan dengan pemeriksaan widal, sehingga mampu membedakan secara tepat berbagai infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas >93%).
17
3. Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya sekedar hasil positif dan negatif saja, tetapi juga dapat menentukan tingkat fase akut infeksi. 4. Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera diberikan. 5. Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan widal serta sudah diuji di beberapa daerah endemic penyakit tifus.
11. Komplikasi a.Komplikasi Intestinal 1. Perdarahan usus 2. Perforasi usus 3. Ileus paralitik b.Komplikasi Ekstra – Intestinal 1. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan septik), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. 2. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan atau Disseminated Intravascular Coagulation(DIC) dan sindrom uremia hemolitik. 3. Komplikasi paru : pneumonia,empiema dan pleuritis. 4. Komplikasi hepar dan kandung empedu : hepatitis dan kolesistitis. 5. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis,pielonefritis dan perinefritis. 6. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis. 7. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia.
18
12. Pengobatan a. Perawatan umum Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal. Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan, vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk mempercepat penurunan demam.
b. Diet Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
19
c. Obat Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah : 1. Kloramfenikol : kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien demam tifoid. Dosis untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg perhari oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan kloramfenikol, demam pada demam tifoid dapat turun rata 5 hari. 2. Tiamfenikol : dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol.
Komplikasi
hematologis
pada
penggunaan
tiamfenikol lebih jarang daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tifoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
3. Kotrimoksazol (kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol) : efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol, dosis untuk orang dewasa, 2 kali 2 tablet sehari digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam rata-rata turun setelah 5-6 hari.
4. Ampislin dan amoksisilin : dalam hal kemampuan menurunkan demam, efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan amoksisilin dan ampisilin, demam rata-rata turun 7-9 hari.
5. Sefalosporin generasi ketiga : beberapa uji klinis menunjukkan bahwa sefalosporin generasi ketiga antara lain Sefoperazon, seftriakson dan
20
sefotaksim efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti. 6. Fluorokinolon : fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian belum diketahui dengan pasti.
B. Pencegahan Demam Tifoid Sebelum kita mengetahui tentang cara pencegahan penyekit demam tifoid, terlebih dahulu perlu di ketahui pengertian dari pencegahan. Pancegahan adalah suatu tindakan
dalam
melakukan
pencegahan
sebelum
kejadian
terjadi.
Peran
epidemiologi dalam pencegahan adalah indetifikasi factor resiko yang dapat di modifikasi (konsep dasar penyakit), upaya pencegahan sesuai dengan riwayat alamiah penyakit. Penceghan penyakit adalah tindakan yang ditunjukan untuk mencegah, menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi, penyakit dan kecacatan dengan menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yang telah di buktikan efektif (kleinbaum, 2008).
1. Kebersihan Tangan Menurut Rasmilah (2010) mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersama seluruh permukaan kulit dan permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas dibawah air mengalir. Ada berbagai macam teknik mencuci tangan yaitu dengan air mengalir, air hangat, cairan antiseptik dan sabun. Diantara teknik mencuci tangan tersebut, teknik mencuci tangan dengan sabun adalah cara yang paling baik. Mencuci tangan dengan sabun adalah salah satu tindakan sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari menggunakan air dan sabun oleh manusia untuk menjadi bersih dan memutuskan mata rantai kuman.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mencanangkan tanggal 15 Oktober sebagai Hari Mencuci Tangan dengan Sabun Sedunia yang diikuti oleh 20 negara
21
di dunia salah satu diantaranya adalah Indonesia. Tujuan dari mencuci tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi mikroba. Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi yang sering terjadi pada setiap orang baik secara kontak langsung ataupun kontak tak langsung seperti makanan.
2. Pengolahan Makan dan Tempat Jajan Menurut FAO (Food and Agricultur Organisation) makanan jajanan (street food) di definisikan sebagai makanan dan minuman yag dipersiapkan dan atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lainnya yang langsung dikonsumsi dan dimakan tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut (WHO, 2006). Kebiasaan jajan pada siswa sekolah merupakan fenomena yang menarik untuk ditelaah karena berbagai hal merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas fisik di sekolah yang tinggi (apalagi bagi siswa yang tidak sarapan pagi), pengenalan berbagai jenis makanan jajanan akan menumbuhkan kebiasaan penganekaragaman pangan, memberikan perasaan meningkatkan gengsi siswa di mata teman-teman di sekolahnya dan juga dipengaruhi oleh godaan dari media massa tentang makanan junk food yang sangat bervariasi.
Selain itu banyak jajanan yang kurang memenuhi syarat kesehatan dan sangat beresiko terjadi pencemaran biologis, kimia dan mengandung zat tambahan berbahaya yang mengganggu kesehatan, misalnya pada penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan salmonella parathypi A di 25-50% pada sampel yang di jual di kaki lima (Winnarny, 2007).
Standarisasi makanan jajanan yang baik meliputi makanan yang sehat yaitu makanan yang memenuhi triguna makanan, makanan yang bersih adalah makanan yang bebas dari lalat, debu, dan serangga lainnya. Makanan yang aman adalah makanan yang tidak mengandung bahan berbahaya yang dilarang untuk
22
makanan, seperti zat pewarna dan zat pengawet yang diperuntukkan bukan untuk makanan dan tidak tercemar oleh bahan kimia yang membahayakan manusia, makanan yang halal adalah makanan yang tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh seseorang (DepKes, 2009).
Beberapa kebiasaan anak yang perlu dicegah : a. Jajanan Jajanan adalah makanan yang banyak ditemukan di pinggir jalan yang dijajakan dalam bentuk, warna, rasa serta ukuran tertentu sehingga menarik minat dan perhatian orang untuk membelinya. Jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau dalam bahasa Inggris disebut street food menurut FAO (Food and Agriculture Organization) didefisinikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. Jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan dimasyarakat diperkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Sehingga tidak lagi memenuhi nilai menu sehat jika dipandang dari sudut ilmu gizi, dimana menu sehat adalah menu yang bersih, tidak tercemar atau terkontaminasi dengan kuman berbahaya atau racun, segar dan tidak kadarluarsa (Rasmilah, 2010).
b. Bahaya Makanan Jajanan Jajanan sekolah merupakan masalah yang perlu menjadi pehatian masyarakat, khususnya orangtua, pendidik, dan pengelola sekolah, karena jajanan sekolah sangat beresiko terhadap cemaran biologis atau kimiawi yang banyak mengganggu kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang pada
23
anak sekolah. Dari Januari sampai Agustus 2005 Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mencatat adanya 63 kasus keracunan di 17 propinsi.
Meskipun makanan jajanan memiliki keunggulan-keunggulan seperti murah, cita rasanya enak dan dapat langsung dimakan tanpa pengolahan lebih lanjut, ternyata makanan jajanan masih beresiko terhadap kesehatan karena penanganannya sering tidak higienis yang memungkinkan terkontaminasi oleh mikroba beracum maupun penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP). Infeksi dari makanan akan timbul apabila mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi mikroorganisme patogen yang hidup.
Mikroorganisme tersebut akan berkembang di dalam tubuh, apabila jumlahnya banyak akan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Harus kita ingat bahwa di negara tropis seperti Indonesia, kecendrungan terjadinya pencemaran pangan oleh mikroba seperti bakteri, jamur, virus, maupun parasit sangat tinggi. Makanan yang diolah secara masal misalnya berbagai macam jajanan, makanan katering dan makanan yang dijual di berbagai warung, bahkan mungkin juga yang dijual di restoran makanan tersebut tidak dimasak dan tidak disajikan secara higienis (Musnelina, 2010).
c. Perilaku Jajan Anak di Sekolah Perilaku dari aspek biologis adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau mahluk hidup yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari segi biologis semua mahluk hidup termasuk binatang dan manusia, mempunyai aktivitas masingmasing faktor sosial sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku antara lain, struktur sosial, pranata sosial, dan permasalahan sosial yang lain. Skiner merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsang dari luar). Selanjutnya, teori Skiner menjelaskan adanya dua jenis respon yaitu :
24
1. Responden respons atau reflektif, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut elicting stimuli, karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. 2. Opera respon atau instrumental respon, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimuli atau rangsangan lain. perangsang terakhir ini disebut reinforcing stimuli atau reinforcer, karena berfungsi untuk memperkuat respons. Perilaku seseorang adalah sangat kompleks, dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom seorang ahli psikologi pendidikan, membedakan adanya 3 area, wilayah, ranah, atau domain prilaku ini, yakni kognitif (cognitive), afektif (affective) dan psokomotor (psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di Indonesia, ketiga domain ini diterjemahkan kedalam cipta (kognitif), rasa (afektif) dan karsa (psikomotor) atau pericipta, perirasa dan peritindak.
d. Kebiasaan Jajan Pada Anak Kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan sangat populer dikalangan anakanak sekolah. Kebiasaan jajan tersebut sangat sulit untuk dihilangkan. Banyak faktor yang menyebabkan kesukaan jajan menjadi kebiasaan yang universal. Kegemaran anak-anak akan hal yang manis, gurih dan asam sering dimanfaatkan oleh para penjual untuk menarik anak-anak. Kadangkala produk yang ditawarkan bukan menyehatkan malah berbahaya bagi tubuh, karena kurang mengandung zat gizi. Uang saku merupakan merupakan salah satu faktor sosio-demografi yang mempengaruhi kebiasaan jajan pada anak. Alasan utama anak membeli makanan di sekolah adalah karena mereka tidak membawa bekal dari rumah.
Pada penelitian sebelumnya dijelaskan bahwa nominal uang yang diterima oleh murid Sekolah Dasar di Jakarta sebagian besar berkisar antara 5.00010.000 Rupiah dan 90% responden menyatakan bahwa orangtua mereka
25
memberi uang saku agar mereka bisa makan ketika lapar. Besaran nominal uang saku yang diterima oleh anak tersebut dipengaruhi oleh tingkat sosial ekonomi dari orangtua. Fasilitas tempat jajan dan pengaruh teman sebaya merupakan faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kebiasaan jajan pada anak. Satu temuan yang cukup melegakan adalah bahwa umumnya mereka biasa membeli makanan di kantin sekolah. Meskipun mungkin lebih mahal, kualitas makanan di kantin sekolah lebih terjamin dibandingkan di tempat-tempat lain di sekitar sekolah.
Umumnya siswa memiliki kebiasaan jajan makanan di kantin atau warung di sekitar sekolah dan di pinggir jalan. Makanan jajanan yang berada di pinggir jalan, kantin maupun warung biasanya lebih retan terhadap kontaminasi kuman dan kurang higienis seperti dekat dengan tumpukan sampah bisa mengkontaminasi makanan jajanan tersebut menjadi tidak sehat (Musnelina, 2010).
3. Lingkungan Menurut Undang Undang No. 23 Tahun 1997 lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya
yang
mempengaruhi
kelangsungan
perikehidupan
dan
kesejahteraan manusia (Zulfikar, 2011).
Tiga faktor yang mempengaruhi kehidupan manusia disebut sebagai ecological atau epidemiological triad yang terdiri atas agen penyakit, manusia dan lingkungannya. Sehat merupakan kesinambungan dinamis antara ketiga komponen tersebut dan agen penyakit akan dengan mudah masuk ke dalam tubuh manusia dan menimbulkan sakit jika terjadi ketidak seimbangan antara ketiga komponen tersebut. Komponen dalam epidemiological yang termasuk agens penyakit dapat berupa benda hidup atau mati dan faktor mekanis yang dalam hal ini adalah bakteri salmonella thypi.
26
Faktor manusia (host) sangat kompleks dalam proses terjadinya penyakit karena faktor tersebut bergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh individu, seperti usia karena adanya perbedaan penyakit yang diderita diberbagai jenjang usia, jenis kelamin karena frekuensi penyakit pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan frekuensi pada perempuan, status kekebalan tubuh yang bisa didapat dari imunisasi, gaya hidup seperti memilih makanan dan pengetahuan yang dimiliki. Usaha-usaha yang dilakukan untuk pencegahan dan pengendalian yang efektif terhadap penyakit dipelajari mekanisme interaksi antara agens penyakit (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment) yaitu interaksi agens penyakit dan lingkungan yang merupakan suatu keadaan saat agens penyakit langsung dipengaruhi oleh lingkungan dan menguntungkan agens penyakit itu serta terjadi pada saat prepatogenesis dari suatu penyakit, contohnya tumbuhnya bakteri salmonella dalam makanan akibat kontaminasi.
Interaksi manusia dengan lingkungan yang merupakan suatu keadaan pada saat manusia langsung dipengaruhi oleh lingkungannya dan terjadi pada saat prepatogenesis dari suatu penyakit, contohnya kebiasaan membuat dan menyediakan makanan, interaksi manusia dan agens penyakit yaitu suatu keadaan saat agens penyakit menetap, berkembang biak dan merangsang manusia untuk membentuk respon berupa tanda-tanda dan gejala penyakit, contohnya perubahan fisiologis seperti demam, mual dan muntah. Interaksi agent penyakit, manusia dan lingkungan yang merupakan suatu keadaan saat agent penyakit, manusia dan lingkungan bersama-sama saling mempengaruhi dan memperberat satu sama lain sehingga agent penyakit baik secara langsung maupun tidak langsung mudah masuk ke dalam tubuh manusia, contoh pencemaran makanan oleh bakteri salmonella juga pencemaran air oleh kotoran manusia (Chandra, 2007).
Penelitian dari Simanjuntak (2012) menyebutkan bahwa ada hubungan antara sanitasi lingkungan dan kejadian demam tifoid. Maka usaha yang dapat dilakukan untuk upaya pencegahan terhadap lingkungan yaitu Penyediaan air minum yang
27
memenuhi syarat kesehatan yaitu masak air sekurang-kurangnya lima menit penuh (apabila air sudah masak, biarkan lima menit lagi), pembuangan kotoran manusia (buang air besar dan buang air kecil) yaitu di tempat jamban dan pemberantasan agent penyebab penyakit demam tifoid yaitu salmonella dengan cara menyediakan sumber air bersih dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
Selain dari pencegahan di atas pencegahan ada beberapa pencegahan yang dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier : a. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yaitu : 1. Vaksin oral Ty 21 Vivotif Berna : vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotic, lama proteksi 5 tahun.
2. Vaksin parenteral sel utuh : typa Bio Farma, Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
28
3. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan
secara
intramuscular
dan
booster
setiap
3
tahun.
Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium / smikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higyene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan dan perbaikan sanitasi lingkungan.
b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid yaitu : 1. Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
2. Diagnosis mikrobiologik / pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam
29
minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positif menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
3. Diagnosis serologic a. Uji widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uij widal adalah suspensi salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang. waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji widal adalah sebagai berikut : (1) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut, (2) Titer H yang tinggi (> 160) menunjukkan telah mendapat imunisasiatau pernah menderita infeksi, (3) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi
30
terjadi pada carrier. Beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal antara lain : 1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita a. Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi. b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit. c. Pengobatan dini dengan antibiotik Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi. d. Penyakit-penyakit tertentu Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut. e. Pemakaian
obat
imunosupresif
atau
kortikosteroid
dapat
menghambat pembentukan antibodi. f. Vaksinasi Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik. g. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella sebelumnya Keadaan ini dapat menyebabkan uji widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
31
2. Faktor-faktor teknis a. Aglutinasi silang Karena beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonella typhi penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal. b. Konsentrasi suspensi antigen Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya. c. Strain salmonella typhi yang digunakan untuk suspensi antigen daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
b. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay(ELISA) 1. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen salmonella typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
2. Uji ELISA untuk melacak salmonella typhi Deteksi antigen spesifik dari salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen salmonella typhi dalam spesimen klinis yaitu double antibody sandwich ELISA.
32
Pencegahan sekunder dapat berupa : a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasis penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
33
c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
C. Pengetahuan 1. Definisi Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap suatu objek melalui indera yang dimiliki (mata, hidung, telinga). Pengetahuan atau kognitif merupakan faktor yang paling penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan alam lebih baik dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2007).
Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat menjawab masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan untuk menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
34
2. Tingkatan Pengetahuan Menurut Notoadmodjo (2007), pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap suatu rangsangan dapat diklarifikasikan berdasarkan enam tingkatan yaitu: a. Tahu (know ) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefenisikan, menyatakan dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memperjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar, orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan dan menyebutkan.
c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (kenyataan). Aplikasi ini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analisys) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitanya satu sama lain.
35
e. Sintesis (synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
3. Sumber – sumber Pengetahuan Sumber pertama yaitu kepercayaan berdasarkan tradisi, adat dan agama, adalah berupa nilai-nilai warisan nenek moyang. Sumber ini biasanya berbentuk normanorma dan kaidah-kaidah baku yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam norma dan kaidah itu terkandung pengetahuan yang kebenarannya boleh jadi tidak dapat dibuktikan secara rasional dan empiris, tetapi sulit dikritik untuk diubah begitu saja. Jadi, harus diikuti dengan tanpa keraguan, dengan percaya secara bulat. Pengetahuan yang bersumber dari kepercayaan cenderung bersifat tetap (mapan) tetapi subjektif.
Sumber kedua yaitu pengetahuan yang berdasarkan pada otoritas kesaksian orang lain, juga masih diwarnai oleh kepercayaan. Pihak-pihak pemegang otoritas kebenaran pengetahuan yang dapat dipercayai adalah orangtua, guru, ulama, orang yang dituakan, dan sebagainya. Apa pun yang mereka katakana benar atau salah, baik atau buruk, dan indah atau jeleks, pada umumnya diikuti dan dijalankan dengan patuh tanpa kritik. Karena, kebanyakan orang telah mempercayai mereka sebagai orang-orang yang cukup berpengalaman dan berpengetahuan lebih luas dan benar. Boleh jadi sumber pengetahuan ini
36
mengandung kebenaran, tetapi persoalannya terletak pada sejauh mana orangorang itu bisa dipercaya. Lebih dari itu, sejauh mana kesaksian pengetahuannya itu merupakan hasil pemikiran dan pengalaman yang telah teruji kebenarannya. Jika kesaksiannya adalah kebohongan, hal ini akan membahayakan kehidupan manusia dan masyarakat itu sendiri. Sumber ketiga yaitu pengalaman indriawi. Bagi manusia, pengalaman indriawi adalah alat vital penyelenggaraan kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit, orang bisa menyaksikan secara langsung dan bisa pula melakukan kegiatan hidup. Sumber keempat yaitu akal pikiran. Berbeda dengan panca indera, akal pikiran memiliki sifat lebih rohani. Karena itu, lingkup kemampuannya melebihi panca indera, yang menembus batas-batas fisis sampai pada hal-hal yang bersifat metafisis. Kalau panca indera hanya mampu menangkap hal-hal yang fisis menurut sisi tertentu, yang satu persatu, dan yang berubah-ubah, maka akal pikiran mampu menangkap hal-hal yang metafisis, spiritual, abstrak, universal, yang seragam dan yang bersifat tetap, tetapi tidak berubah-ubah. Oleh sebab itu, akal pikiran senantiasa bersikap meragukan kebenaran pengetahuan indriawi sebagai pengetahuan semu dan menyesatkan. Singkatnya, akal pikiran cenderung memberikan pengetahuan yang lebih umum, objektif dan pasti, serta yang bersifat tetap, tidak berubah-ubah.
Sumber kelima yaitu intuisi. Sumber ini berupa gerak hati yang paling dalam. Jadi, sangat bersifat spiritual, melampaui ambang batas ketinggian akal pikiran dan kedalaman pengalaman. Pengetahuan yang bersumber dari intuisi merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung. Artinya, tanpa melalui sentuhan indera maupun olahan akal pikiran. Ketika dengan serta-merta seseorang memutuskan untuk berbuat atau tidak berbuat dengan tanpa alasan yang jelas, maka ia berada di dalam pengetahuan yang intuitif. Dengan demikian, pengetahuan intuitif ini kebenarannya tidak dapat diuji baik menurut ukuran pengalaman indriawi maupun akal pikiran. Karena itu tidak bisa berlaku umum, hanya berlaku secara personal belaka (Suhartono, 2008).
37
4. Pengukuran Pengetahuan Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
5. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Notoadmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu : a. Pendidikan Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan yang didapat. Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek juga mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut.
b. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadi seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
c. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
38
d. Usia Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologi (mental). Pada aspek psikologi atau mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. Pada usia madya akan lebih banyak mengunakan waktu untuk membaca dan kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuan seseorang.
e. Minat Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih mendalam.
f. Kebudayaan Lingkungan Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.
g. Informasi Kemudahan dalam memperoleh informasi dapat membantu seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru (Mubarak, 2007).
39
D. Kerangka Konsep Berdasarkan uraian diatas, maka kerangka konsep peneliti ini adalah sebagai berikut: Skema 2.1 Kerangka Konsep Peneliti
Variabel Independen
Pengetahuan Ibu Tentang
Variabel Dependen
Pencegahan Demam Tifoid
Demam Tifoid d. H
E. Hipotesis Ha: Ada Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Pencegahan Demam Tifoid Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Kerja Puskesmas Tetehosi Foa Kecamatan Gunungsitoli Idanoi Kota Gunungsitoli Tahun 2014.