BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Definisi Konsep a)
Kemiskinan Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang
tidak mampu mencakup tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Menurut Soerjono Soekanto, Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soerjono Soekanto, 2012: 320). Menurut
jenisnya,
Nurkse dalam Mudrajat Kuncoro (1997)
membagi kemiskinan menjadi 3, yaitu kemiskinan Absolut, kemiskinan Relatif, dan kemiskinan Kultural. Konsep kemiskinan yang dipakai untuk menjelaskan
permasalahan
kemiskinan kultural.
kemiskinan
buruh
Desa Kebulusan adalah
Kemiskinan kultural dipahami sebagai kemiskinan
yang diakibatkan oleh acuan pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat
kehidupannya
meskipun
ada
usaha
dari
pihak
luar
untuk
membantunya. Keadaan alam yang sangat subur dan mendukung aktifitas ekonomi masyarakat dimanfaatkan warga hanya untuk bekerja di sektor agraris. Sehingga dengan kondisi ini hanya akan menambah ketergantungan warga terhadap kondisi alam dan tidak ada keinginan untuk memulai mencari alternatif usaha diluar sektor agraris. Menurut Oscar Lewis, kemiskinan kultural terdiri dari nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola kelakuan yang adaptif terhadap lingkungan hidup yang serba kekurangan yang menghasilkan adanya diskriminasi, ketakutan, kecurigaan, dan apatis. Masyarakat cenderung menerima dengan pasrah terhadap lingkungannya yang kekurangan. Adanya korelasi dengan budaya
13
14 masyarakat yang menerima kemiskinan yang terjadi pada dirinya apa adanya (Jafar, 2008). Kemiskinan menurut Bank Dunia dilihat dari seberapa besar pendapatan yang diperoleh seseorang per bulan. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di bawah USD $1/hari dan kemiskinan menengah dengan pendapatan di bawah USD $2/hari. Dengan ukuran Bank Dunia tersebut, Indonesia akan dikatakan miskin secara absolut jika masyarakat mempunyai pendapatan setara dengan Rp. 300.000/bulan (kurs Rp. 10.000/ 1 US$) (Ita Mafruhah, 2010: 17). Berbeda dengan BPS, Kemiskinan diukur menggunakan konsep kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs approach. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Sehingga menurut BPS, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan (htpps://www.bps.go.id diakses tanggal 5 Juni 2016). Menurut BPS,
kantong penyebab kemiskinan desa umumnya
bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan
pertanian.
kemiskinan
desa
Berdasarkan adalah;
pernyataan
pengaruh
di
faktor
atas,
penyebab
pendidikan
yang
utama rendah,
ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian, ketidakmerataan investasi di sektor pertanian, alokasi anggaran kredit yang terbatas, terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota), pengelolaan ekonomi yang masih
menggunakan
pembentukan
modal,
cara
tradisional,
rendahnya
produktivitas
dan
budaya menabung yang belum berkembang di
kalangan masyarakat desa, tata pemerintahan yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di daerah pedesaan, tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan
hidup dan untuk menjaga kelangsungan
hidup masyarakat desa, rendahnya jaminan kesehatan (Ita Mafruhah, 2010).
15 Dari beberapa pengertian kemiskinan dan hubungannya dengan pendapatan maka dapat disimpulkan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana masyarakat berada pada situasi yang sangat terbatas, baik dalam hal aksesbilitas dalam menjangkau sarana umum, pemanfaatan faktor produksi, ketidakmampuan dalam memanfaatkan peluang yang ada, permasalahan pendidikan yang rendah dan kondisi ekonomi yang terbatas sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dirinya. Latar belakang masyarakat Desa Kebulusan yang bergantung pada sektor agraris menyebabkan kemiskinan secara kultural. Usaha di sektor agraris menyebabkan masyarakat tidak memiliki alternatif usaha lain diluar sektor tersebut sehingga berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima. Jika dilihat dari ukuran kehidupan modern,
buruh
mengalami
kesulitan
dalam
hal
mengakses
fasilitas
pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. b)
Konsep Pengentasan Kemiskinan Kemiskinan terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang, baik
laki-laki
dan
perempuan,
mempertahankan
dan
tidak
terpenuhi
mengembangkan
hak-hak
kehidupan
dasarnya yang
untuk
bermartabat
(Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJMN). Definisi ini beranjak dari pendekatan
berbasis
hak
yang
mengakui bahwa masyarakat miskin
mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial yang meliputi: aset, sumber keuangan, organisasi dan jaringan sosial, pengetahuan
dan
informasi untuk
memperoleh
pekerjaan
menjadikan
seseorang menjadi miskin. Undang
Undang
Nomor
25
Tahun
2004
tentang
Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi. Sedangkan program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu
atau
lebih
kegiatan
yang
dilaksanakan
oleh
instansi
16 pemerintah/lembaga memperoleh
untuk
alokasi
mencapai sasaran
anggaran,
atau
dan tujuan serta untuk
kegiatan
masyarakat
yang
dikoordinasikan oleh instansi pemerintah. Pengentasan Kemiskinan menurut Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dapat dipahami sebagai kebijakan dan program pemerintah dan daerah yang dilakukan secara sistematis, terencana, dan bersinergi dengan dunia usaha dan masyarakat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dalam rangka meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat. Kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia yang terbaru tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional,
yang
menyatakan
bahwa
kebijakan penanggulangan kemiskinan meliputi: kebijakan pemenuhan hakhak
dasar
dan
kebijakan
pembangunan
wilayah
untuk
mendukung
pemenuhan hak dasar. Kebutuhan dasar dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama adalah konsumsi bahan-bahan pokok seperti pangan, sandang, perumahan (papan) yang dapat dijangkau oleh setiap orang. Kedua adalah pelayanan pokok seperti pendidikan, kesehatan, air bersih yang setiap orang berhak untuk mempunyai akses yang sama. Ketiga adalah hak untuk berpartisipasi
dalam
membuat
dan
melaksanakan
program
yang
berpengaruh terhadap pengembangan pribadi (Diana Conyers, 1994: 45). Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Berbagai strategi dilakukan dalam upaya pengentasan
kemiskinan
telah
banyak
dilakukan
untuk
mengatasi
permasalahan tersebut. Akan tetapi, masih ada formulasi untuk pengentasan kemiskinan tersebut belum mampu sepenuhnya menyelesaikan persoalan mengenai kemiskinan itu sendiri (Marwoto, 2005: 108). Dari
beberapa
pengertian
mengenai
konsep
pengentasan
kemiskinan di atas, secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha atau upaya yang dilakukan dengan tujuan menolong masyarakat miskin agar dapat keluar dari kondisi yang serba kekurangan. Cara pengentasan yang
17 dapat ditempuh adalah dengan cara perluasan kesempatan kerja agar masyarakat
miskin
dapat
memenuhi
kebutuhannya,
pemberdayaan
masyarakat agar masyarakat mandiri, dan perlindungan terhadap masyarakat miskin dalam bentuk pemenuhan jaminan kesehatan, keamanan dan hukum yang diberikan pemerintah kepada masyarakat miskin. c)
Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan atau pemerkuasaan (empowerment) berasal dari kata
power (kekuasaan).
Karenanya ide utama pemberdayaan bersentuhan
dengan kemampuan untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka (Edi Suharto, 2005: 57). Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah untuk memiliki akses terhadap sumber produktif yang memungkinkan
mereka
dapat
meningkatkan
pendapatannya
dan
memperoleh barang dan jasa yang mereka perlukan dan berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
pemberdayaan
menunjuk
pada usaha pengalokasian kembali
kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Lewin, 1987 dalam Mardikanto, 2010, 33). Dalam
proses
pemberdayaan
masyarakat
diarahkan
pada
pengembangan sumber daya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha
yang
sesuai
dengan
keinginan
masyarakat.
Masyarakat
menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan
lembaga
dan
sistem pelayanan
dari,
oleh,
dan untuk
masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat (Mardikanto, 2010, 56) Konsep pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya menawarkan suatu
proses
partisipasi,
perencanaan
kemampuan,
pembangunan
dengan
dan masyarakat lokal.
memusatkan
pada
Partisipasi masyarakat
menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan dan keberlanjutan program pembangunan.
18 Wilson (Mardikanto, 2010: 86) mengemukakan bahwa kegiatan pemberdayaan pada setiap individu dalam suatu organisasi, merupakan suatu siklus kegiatan seperti berikut: Keinginan untuk berubah
Tumbuhnya kompetensi untuk berubah
Kemauan dan keberanian untuk berubah
Peningkatan efektivitas dan efisiensi pemberdayaan
Kemauan untuk berpartisipasi
Tumbuhnya motivasi baru untuk berubah
Peningkatan partisipasi
Gambar 2.1. Siklus Pemberdayaan Masyarakat Sumber : Totok Mardikanto, 2010 1.
Menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk berubah dan memperbaiki, merupakan titik awal perlunya pemberdayaan. Tanpa adanya keinginan untuk berubah dan memperbaiki, maka semua upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan tidak akan memperoleh perhatian, simpati, atau partisipasi masyarakat.
2.
Menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk melepaskan diri dari kesenangan, kemudian
kenikmatan, mengambil
atau
keputusan
hambatan
yang
mengikuti
dirasakan,
untuk
pemberdayaan
demi
terwujudnya perubahan dan perbaikan yang diharapkan. 3.
Mengembangkan kemauan untuk mengikuti atau mengambil bagian dalam
kegiatan
perbaikan keadaan.
pemberdayaan
yang
memberikan
manfaat
atau
19 4.
Peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yang telah dirasakan manfaat atau perbaikannya.
5.
Peningkatan peran dan kesetiaan pada kegiatan pemberdayaan, yang ditunjukkan berkembangnya motivasi untuk melakukan perbaikan.
6.
Peningkatan efektivitas dan efisiensi kegiatan pemberdayaan.
7.
Peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan pemberdayaan baru (Mardikanto, 2010: 89). Secara sederhana, konsep pemberdayaan adalah usaha penciptaan
atau usaha menggali seluruh potensi yang dimiliki oleh masyarakat secara aktif. Adanya upaya untuk membangun daya dalam masyarakat dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Pengkuatan ini harus meliputi adanya langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang nantinya akan membuat masyarakat semakin berdaya. d)
Partisipasi Masyarakat Partisipasi berarti keikutsertaan seseorang ataupun sekelompok
masyarakat dalam suatu kegiatan secara sadar. Jnabrabota Bhattacharyya (Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Mengatasi kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan masyarakat miskin untuk dapat mandiri secara ekonomi,
sosial,
maupun
politik.
Pemberdayaan
secara
partisipatif
merupakan pilihan strategi dalam upaya pengentasan kemiskinan. “the empowerment approach, which is fundamental to an alternative development, places the emphasis on autonomy in the decision marking of territorially organized communities, local self reliance (but not autarchy), direct (participatory) democracy, and experiental social learning” (Friedman dalam Kartasasmita, 1997: 143).
20 Pada kenyataannya masyarakat miskin masih dianggap sebagai objek pembangunan, hal ini tentunya tidak memberdayakan masyarakat miskin. Upaya pemberdayaan masyarakat selama ini masih menggunakan pendekatan konvensional, bersifat karitatif, melestarikan ketergantungan, bersifat top-down, kurang menghargai proses dan partisipasi masyarakat luas, sehingga belum mampu membebaskan masyarakat dari belenggu yang bersifat struktural (Lambang Triyono dan Nasikun, 1992: 217). Ada
yang
menyebutkan
bahwa
penyebab
kegagalan
dalam
mencapai hasil dari program pembangunan tidak mencapai sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat (Kartasasmita, 1997). Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain: 1.
Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil masyarakat dan tidak menguntungkan rakyat banyak.
2.
Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksud itu
3.
Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya,
tetapi
cara
pelaksanaannya
tidak
sesuai
dengan
pemahaman mereka. 4.
Pembangunan
dipahami akan
menguntungkan
rakyat tetapi sejak
semula rakyat tidak diikutsertakan.
“An empowering approach to development puts poor people at the centre of development and views them as the most important resource rather than as the problem” (Narayan. 2002. 21). Pendekatan seharusnya menempatkan warga miskin sebagai pusat pembangunan dan melihatnya sebagai sumber daya paling penting dan bukan sebagai sumber masalah. Dalam konteks ini, masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pembangunan dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program yang mereka lakukan. Masyarakat ditempatkan sebagai aktor (subyek) pembangunan dan tidak sekedar menjadikan mereka sebagai penerima pasif. Pembangunan masyarakat yang berkesinambungan
21 pada hakekatnya merupakan suatu proses yang disengaja dan terarah, mengutamakan pendayagunaan potensi dan sumber daya setempat atau lokal dan mengutamakan kreatifitas-inisiatif serta partisipasi masyarakat (Suparjan dan Hempri Suyatno, 2003: 24). Secara sederhana, partisipasi merupakan keterlibatan sosial dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggungjawab atas tujuan kelompok tersebut. Pemberdayaan secara partisipatoris harus menekankan pentingnya partisipasi masyarakat luas, aksesibilitas, keterwakilan rakyat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi nasib mereka di kemudian hari. Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi aktif masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggungjawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup. e)
Buruh Penggunaan tenaga kerja atau buruh merupakan faktor yang amat
penting dalam suatu kegiatan memproduksi barang atau jasa. Buruh, pekerja, tenaga kerja, atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk
mendapatkan balasan
berupa pendapatan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya dari pemberi kerja, pengusaha, atau majikan (https://wikipedia.org diakses pada tanggal 3 Juni 2016). Pengertian buruh menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pada dasarnya, pengertian buruh, pekerja, tenaga kerja maupun karyawan adalah sama.
22 Secara sederhana, pengertian buruh dipahami sebagai seseorang yang bekerja pada usaha perorangan dan diberikan imalan atas pekerjaan yang dilakukan secara harian ataupun borongan sesuai dengan kesepakatan antara buruh dengan pemilik usaha, baik secara lisan maupun tertulis. f)
Sentra Industri Genteng Desa Kebulusan Sentra industri merupakan unit kecil kawasan yang memiliki ciri
tertentu dimana di dalamnya terdapat kegiatan proses produksi dan merupakan area yang lebih khusus untuk suatu komoditi kegiatan ekonomi yang telah terbentuk secara alami yang ditunjang oleh sarana untuk berkembangnya produk atau jasa yang terdiri dari sekumpulan pengusaha mikro kecil dan menengah. Di dalam area sentra tersebut terdapat kesatuan fungsional secara fisik, yakni: lahan, geografis, infrastruktur, kelembagaan, dan sumber daya manusia. Hal ini menjadi potensi untuk semakin berkembangnya kegiatan ekonomi di bawah pengaruh pasar dari suatu produk yang mempunyai nilai jual dan daya saing tinggi (Setiawan, 2004). Berdasarkan SK Menteri Negara Koperasi dan UKM Nomor 32/Kep/M.KUKM/IV/2002
tentang
Pedoman
Pertumbuhan
dan
Pengembangan Sentra, pengertian sentra industri adalah pusat kegiatan di kawasan atau lokasi tertentu dimana terdapat usaha yang menggunakan bahan baku atau sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama atau sejenis
serta
memiliki prospek
untuk
dikembangkan sebagai klaster
(Setiawan, 2004). Desa Kebulusan merupakan kawasan sentra industri genteng di Kabupaten Kebumen. Sentra industi genteng Desa Kebulusan banyak didirikan pabrik. Pabrik didefinisikan sebagai tempat dimana faktor-faktor produksi seperti manusia, mesin, alat, material, energi, uang (modal/capital), informasi, dan sumber daya alam (tanah, air, mineral, dan lain-lain) dikelola bersama-sama dalam suatu sistem produksi guna menghasilkan suatu produk atau jasa secara efektif, efisien, dan aman (Syukron, 2014).
23 Pabrik genteng didirikan di Desa Kebulusan terus berkembang dan masih diteruskan hingga sekarang ini. Kepemilikan pabrik genteng bersifat pewarisan secara turun temurun dari generasi terdahulu hingga generasi sekarang. Hal ini bertujuan untuk memperoleh akumulasi modal ekonomi, jaringan sosial ekonomi, dan pengetahuan usaha secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Keluarga besar berfungsi memberikan perlindungan sosial ekonomi bagi para anggotanya dan menjamin para anggotanya untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan (Wijaya, 2011: 68). Dengan demikian, sistem warisan memungkinkan sebuah perusahaan keluarga dapat diperbanyak menjadi dua atau lebih unit usaha tanpa memperhatikan aspek pemasaran (Wijaya, 2011: 15). Di Desa Kebulusan banyak ditemui pabrik yang berdiri saling berdekatan dan memproduksi barang yang sama atau sejenis, yakni genteng dari tanah liat. Genteng dipahami sebagai salah satu unsur pembentuk bangunan yang dipakai sebagai penutup atap. Tanah liat adalah bahan mentah dari genteng, dimana dalam proses pembuatannya tanah liat dibakar (genteng keramik) atau dengan cara lain misalnya diberi campuran semen Portland, pasir, dan air yang dicetak dan sesudah itu dibiarkan mengeras (http:www.kebumen.go.id diakses pada tanggal 5 Juni 2016). Asal mula nama genteng yang masih dikenal hingga sekarang adalah merek Sokka yang berasal dari kata Sokka yang merupakan nama daerah dimana terdapat Pabrik Tebu yang merupakan peninggalan Penjajah Hindia Belanda yang ada di pertigaan Desa Pejagoan dan Desa Kedawung. Industri genteng pertana kali diperkenalkan oleh pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920. Saat itu pemerintah Belanda sedang melakukan pemetaan daerah yang tanahnya baik untuk dijadikan bahan utama atap bangunan. Kebumen merupakan salah satu dari sejumlah daerah yang memiliki potensi untuk dijadikan sentra genteng. Selain Kebumen, daerah lain ialah Karangpilang, Jatim, Cikarang, dan Jatiwangi. Daerah-daerah tersebut sampai saat ini masih terkenal sebagai sentra industri genteng (http:www.kebumen.go.id diakses pada tanggal 13 Januari 2016).
24 Pembangunan industri kecil yang berada di pedesaan, khususnya di Desa Kebulusan mempunyai arti yang cukup strategis. Menurut Hadi, pembangunan industri kecil khususnya di pedesaan wajib dilakukan karena mempunyai alasan sebagai berikut: 1.
Letak di pedesaan maka tidak akan menambah migrasi ke kota atau dengan kata lain mengurangi atau menghentikan laju urbanisasi.
2.
Sifatnya yang padat tenaga kerja akan memberikan kemampuan serap lebih besar per unit yang diinvestasikan.
3.
Masih dimungkinkannya bagi tenaga yang diserap, dengan letak yang berdekatan, untuk kembali berburuh tani dalam usaha tani khususnya menjelang dan saat-saat sibuk dan;
4.
Penggunaan
tehnologi
yang
sederhana
mudah
dipelajari
dan
dilaksanakan (Prayitno Hadi, 1987: 54). Secara sederhana, pengertian sentra industri dapat disimpulkan bahwa sentra industri, khususnya genteng merupakan kawasan yang secara khusus mengolah produksi yang sama, baik dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang bertujuan untuk merubah nilai sebuah barang. Pabrik memiliki arti sebagai suatu lokasi tempat pembuatan atau memproduksi sebuah barang. Jika dikaitkan dengan industri pembuatan genteng maka, akan ada buruh pabrik yang secara khusus bekerja mengolah barang mentah yang berupa tanah liat, diambil dan kemudian diolah menjadi genteng sehingga nilai barang menjadi tinggi.
25 B.
Landasan Teori Konsep AGIL Talcott Parsons Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan mengetahui program pemberdayaan buruh berbasis partisipasi pada kawasan Sentra Industri Genteng Desa
Kebulusan,
Kecamatan
Pejagoan,
Kabupaten
Kebumen. Tentunya dalam kegiatan penelitian sosiologi tidak terlepas dari keberadaan teori-teori Sosiologi. Teori Sosiologi digunakan sebagai pisau dalam menganalisa kasus yang diteliti di lapangan, khususnya dalam kehidupan masyarakat. Pada mulanya, Parsons menggunakan tindakan sosial sebagai konsep yang penting dalam teori sosiologi, namun pada akhirnya studi intelektual Parsons mulai bergeser dari tekanan atas tindakan sosial ke struktur dan fungsi masyarakat. Konseptualisasi struktur dibuat dalam kaitannya dengan sistem yang saling mempengaruhi dan bagian-bagian yang tidak otonom (Parsons dalam Poloma, 2003:171). Pada dasarnya, masyarakat berkecendrungan ke arah equilibrum (Parsons dalam Abdulsyani, 1994:78). Prosesnya terjadi pada penerapan fungsi adaptasi, pencapian tujuan, integrasi dan pemeliharaan pola. Sistem tidak dipandang sebagai sesuatu yang statis, tetapi pada dasarnya tiap-tiap sistem memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan dan adaptasi demi pencapaian tujuan masyarakat secara keseluruhan. Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu
keseimbangan.
Dengan
demikian masyarakat
merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan. Parsons
melakukan
penelitian
mengenai
teori
AGIL
yang
menghasilkan sebuah buku berjudul Working Papers in Theory of Action (WPTA) yang menjelaskan bahwa setiap sistem sosial mempunyai empat
26 masalah fungsional utama secara berturut-turut, yaitu adaptasi terhadap situasi dan kondisi eksternal, perangkat kontrol terhadap kinerja-kinerja yang berorientasi tujuan, manajemen pengungkapan perasaan dan tekanan dari para anggotanya, serta mempertahankan integrasi sosial antara sesama anggotanya sebagai suatu keutuhan bersama (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton
1983).
Berdasarkan
pengembangan
dari
WPTA,
Parsons
membentuk empat paradigma fungsi yang disebut “four function paradigm” atau skema AGIL yang digambarkan sebagai berikut: Adaptation (A)
Goal Attainment (G)
Latency (L)
Integration (I)
Gambar 2.2. Skema Fungsi AGIL Parson mengemukakan empat fungsi penting untuk semua sistem tindakan, terkenal dengan skema AGIL yaitu: 1.
Adaptation (adaptasi) Adaptasi mengacu pada perolehan sumber daya atau fasilitas yang
cukup dari lingkungan luar sistem, dan kemudian mendistribusikannya di dalam sistem (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Adaptasi adalah suatu pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial ekonomi, serta ekologi dimana penduduk tersebut tinggal. Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut dimaksudkan untuk
mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna
mengatasi tekanan-tekanan sosial ekonomi (Parsons dalam Poloma, 2003). Sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
27 2.
Goal Attainment (pencapaian tujuan) Pencapaian tujuan mengacu pada gambaran sistem aksi dalam
menetapkan tujuan, memotivasi dan memobilisasi usaha dan energi dalam sistem untuk mencapai tujuan (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). Sehingga sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3.
Integration (integrasi) Integrasi mengacu kepada pemeliharaan ikatan dan solidaritas,
dengan
melibatkan
elemen
tersebut
dalam
mengontrol,
memelihara
subsistem, dan mencegah gangguan utama dalam sistem. Tindakan integrasi dalam sebuah lembaga merupakan hal penting untuk kelangsungan proses pengentasan
kemiskinan
yang
sedang
dilaksanakan,
karena
integrasi
melibatkan ke empat variabel AGIL itu sendiri, sehingga dari ke empat variabel tersebut adanya suatu keterikatan yang dapat saling membangun, agar semua anggota yang ada di dalamnya dapat tetap bertahan dalam lingkungannya (Parsons 1953, diacu oleh Hamilton 1983). 4.
Latency (Latensi atau Pemeliharaan Pola) Adanya tugas dan fungsi agar sistem dapat berjalan. Tugas tersebut
berkaitan dengan pencapaian tujuan, integrasi, dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan. Pemeliharaan sistem (latency) mengacu kepada proses dimana energi dorongan disimpan dan didistribusikan di dalam sistem,
melibatkan
dua
masalah
saling berkaitan
yaitu
pola
pemeliharaan dan pengelolaan masalah atau ketegangan (Parsons 1953, diacu
oleh
Hamilton
1983).
Sebuah
sistem harus
memperlengkapi,
memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultur yang menciptakan dan menopang motivasi (Poloma, 2010:173).
28 C.
PENELITIAN TERDAHULU Pencarian hasil penelitian terdahulu dengan fokus penelitian yang hampir sama kiranya penting dilakukan sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan penelitian selanjutnya. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan 6 penelitian terdahulu yang terdiri dari 3 penelitian nasional dan 2 penelitian internasional yang menurut peneliti relevan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang kegiatan pemberdayaan buruh di kawasan sentra industri, beberapa penelitian tersebut antara lain: 1.
Penelitian yang ditulis oleh Anggraeni Munggi Lestari pada tahun 2013
yang
berjudul
Partisipasi
Perempuan
Dalam
Proses
Pemberdayaan Melalui PNPM Mandiri Perkotaan (Studi Kasus di Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus. Penelitian memperlihatkan
bahwa
paradigma
pembangunan
yang
dilakukan
Indonesia telah mengalami pergeseran, yaitu dari pembangunan yang semula top down menjadi pembangunan yang lebih menitikberatkan pada partisipasi masyarakat, Pembangunan
partisipatif
yang dikenal dengan bottom up.
ini
terimplementasi
pada
program
pemerintah yaitu PNPM Mandiri Perkotaan. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, perempuan mempunyai kesempatan untuk ikut berpartisipasi seperti halnya dengan laki-laki. Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui bentuk partisipasi perempuan dalam proses pemberdayaan melalui PNPM Mandiri Perkotaan, (2) Mengetahui faktor
pendorong
dan
penghambat
partisipasi
perempuan,
(3)
Mengetahui implikasi partisipasi perempuan terhadap peningkatan kapabilitas
perempuan.
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif, jenis penelitian studi kasus. Subjek penelitian ini adalah para perempuan yang terlibat dalam PNPM Mandiri Perkotaan melalui BKM, KSM, dan UPK. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Validitas data yang digunakan
adalah
teknik
triangulasi
data
yang
memanfaatkan
29 penggunaan sumber. Teknik analisis data mencakup empat hal yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Partisipasi
perempuan dalam proses pemberdayaan melalui PNPM Mandiri Perkotaan ditunjukkan dengan kehadiran mereka pada pertemuan yang terimplementasi dalam siklus kegiatan pemberdayaan PNPM Mandiri Perkotaan,
yang ditunjukkan dalam bentuk mengajukan
pertanyaan, usulan, kritik, membuat pembukuan keuangan, mendata masyarakat miskin, membuat proposal, melaksanakan pemantauan program, serta partisipasinya dalam tahap pelaksanaan kegiatan, (2) Melihat pada partisipasi sebagai tujuan yang mengungkapkan bahwa partisipasi perlu ditinjau secara lebih mendalam dari proses maupun aktivitas, dalam proses pemberdayaan ditemukan pula adanya faktor pendorong dan penghambat. Faktor pendorongnya adalah kesadaran perempuan untuk membangun desa, dukungan dari suami, serta adanya
kesempatan
bagi
keterlibatan
perempuan.
Faktor
penghambatnya adalah beban ganda yang dimiliki perempuan, waktu pelaksanaan kegiatan, serta kesulitan mengelola keuangan pinjaman bergulir,
(3)
meningkatnya Perempuan
Implikasi peran
yang
dari
partisipasi
perempuan
adalah
perempuan dari yang pasif menjadi aktif.
pada
awalnya hanya sebagai penerima pasif
pembangunan, kini setelah ikut berpartisipasi mereka menjadi lebih aktif.
Simpulan dari penelitian ini sebagai berikut: (1) Bentuk
partisipasi perempuan berupa pemikiran dan aktivitas tercakup dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, (2) Ditemukan faktor pendorong dan penghambat partisipasi perempuan yang bersumber pada faktor internal dan eksternal, (3) Implikasi partisipasi perempuan terhadap
peningkatan
kapabilitas
perempuan
adalah
perempuan
menjadi lebih aktif dalam pembangunan dengan perannya sebagai subjek pembangunan.
30 2.
Penelitian yang ditulis oleh Supriyanto Wibowo pada tahun 2013 yang berjudul Bentuk Kegiatan Ekonomi Masyarakat Dalam Pemanfaatan Blumbang Di Dukuh Penambangan, Desa Kedawung, Kabupaten Kebumen. Penelitian ini dilakukan dekat dengan desa yang penulis teliti. Penelitian dikaji dengan mengunakan metode studi kasus yang menghasilkan
data
sebagai berikut: (1)
Kesadaran
masyarakat
mengenai keberadaan blumbang yang ada di Dukuh Penambangan sudah ada. Hal ini ditunjukkan dengan adanya pemanfaatan blumbang. (2) Bentuk kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat dalam memanfaatkan blumbang dengan cara mengalih fungsikan blumbang menjadi usaha kolam pemancingan, usaha lahan persawahan, dan lahan perkebunan. Suatu kondisi lingkungan yang rusak dengan adanya blumbang, mendorong beberapa masyarakat untuk melakukan tindakan
adaptasi.
Melalui
tindakan
adaptasi
itulah
mereka
menciptakan suatu inovasi dalam pemanfaatan blumbang menjadi lahan yang lebih produktif. (3) Kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat Dukuh Penambangan dalam memanfaatkan blumbang memberikan penghasilan tambahan terhadap pendapatan sehari-hari.
3.
Penelitian yang ditulis oleh Erna Yunita Sari pada tahun 2008 yang berjudul
Strategi
Penanggulangan
Kemiskinan
Perdesaan
Di
Kecamatan Cepu Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini
dianalisis
dengan
menggunakan
teori
Kemiskinan
dengan
menggunakan metode analisis deskriptif, Gini Ratio, dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menghasilkan data mengenai strategi penanggulangan kemiskinan
antara
lain:
(1)
pendekatan
kewilayahan
melalui
revitalisasi perdesaan, pengembangan potensi lokal (padi, kedelai dan kacang tanah), partisipasi aktif dari masyarakat dan Pemda, perijinan, fleksibilitas birokrasi dan penataan pajak; (2) pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar melalui pengaturan saluran irigasi, perbaikan sarana
31 pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, perbaikan jalan desa dan peningkatan pendapatan melalui diversifikasi usaha rumahtangga yang didukung dengan kredit lunak, pemberian benih komoditas unggulan dan penyuluhan pertanian. 4.
Penelitian berjudul Property Rights in Women’s Empowerment In Rural India: a Review dalam International Journal of Social Economics, Vol. 29 Iss 4 pp. 315-334 (2002) oleh K.C. Roy C.A. Tisdell. Dalam Penelitian ini membahas pemberdayaan perempuan di pedesaan India. Argumen-argumen yang membenarkan kebutuhan untuk pemberian hak milik untuk perempuan yang disajikan dan perbedaan dibuat antara hukum (formal) dan hak-hak adat (informal). Ketidakefektifan hak-hak hukum akibat tidak adanya hak rakyat dan juga adanya hambatan kelembagaan lainnya. Bahwa seringkali hakhak yang dimiliki oleh kaum perempuan itu seoalah hanya sebuah angan-angan karena hukum adat yang lebih berpihak kepada kaum laki-laki.
5.
Tesis yang ditulis oleh Duncan Livingstone berjudul Community development through empowerment of the rural poor. Melihat bahwa lebih dari 1 milyar orang hidup dalam kemiskinan dan 70% ini hidup di daerah pedesaan. Praktek-praktek pemberdayaan masyarakat yang diartikan sebagai usaha mengentaskan kemiskinan. Pemberdayaan menempatkan orang di pusat pengembangan proses pada sebuah pendekatan partisipatif. Pengembangan berfokus pada pendekatan bottom-up
metode
birokrasi.
Lewat
penelitian
ini
tentu
saja
memberikan kekuatan dan pengetahuan untuk komunitas pedesaan untuk membantu dalam menciptakan kualitas hidup yang lebih baik. Tesis ini menyelidiki perbedaan antara praktek dan ideal teori pemberdayaan daerah pedesaan di negara berkembang.
32 6.
Penelitian yang dilakukan oleh Gerard Prinsen pada tahun 2012 yang berjudul Planning, communities and empowerment: An introduction to participatory rural appraisal. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkenalkan participatory rural appraisal Pengenalan
Pedesaan
memungkinkan
partisipatif.
masyarakat
PRA
untuk
adalah
berbagi
(PRA) atau metode
dan
yang
meningkatkan
pengalaman mereka, dan untuk merencanakan dan bertindak bersamasama
dengan
penyedia
kehidupan mereka.
layanan
eksternal
Metodologi tetap
untuk
memperkaya
dikenal di luar lingkaran
pekerjaan pembangunan, yang merugikan lainnya profesional yang berkaitan
dengan
memperkenalkan dibandingkan
pemberdayaan
PRA, dengan
dan
masyarakat.
menjabarkan
konvensional
Artikel
beberapa
perencanaan
ini
keunggulan pendekatan
masyarakat. Persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama membahas mengenai bentuk dan tujuan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat secara umum, baik laki-laki maupun perempuan (Anggraeni Munggi L, 2013 dan K.C Roy C.A Tisdell, 2002). Bentuk keterlibatan masyarakat yang dimulai dari tahap persiapan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pmberdayaan yang telah dilakukan
oleh
program pemerintah
melalui PNPM.
Sehingga
akan
diketahui permasalahan yang timbul terkait faktor penghambat kegiatan partisipasi masyarakat.
Kemiskinan yang rata-rata terjadi di wilayah
pedesaan Kabupaten Kebumen sudah seharusnya menjadi keprihatinan bersama. Selain itu, adanya unsur pelibatan masyarakat dalam setiap program juga menjadi kesamaan penelitian. Masyarakat desa disadarkan dengan serangkaian program yang mengedepankan konsep partisipatif atau pelibatan nantinya
masyarakat akan
dalam setiap
semakin
kegiatan pemberdayaan.
Sehingga
meningkatkan kapasitas masyarakat pedesaan
(Duncan Livingstone, 2007).
33 Program
pemberdayaan
juga
diharapkan
dapat
membuat
masyarakat tidak mampu menjadi peka dan tanggap mengenai kondisi di sekitar
tempat
tinggal
mereka.
Ketika
masyarakat
menghadapi
permasalahan di lingkungan sekitar, masyarakat akan mencari jalan keluar. Seperti pada penelitian yang membahas mengenai upaya warga di Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen yang menyiasati kerusakan
lingkungan
akibat
penambangan tanah liat adalah dengan
memanfaatkan lubang bekas galian menjadi kolam (Supriyanto Wibowo, 2013). Bentuk usaha pemanfaatan seperti ini telah meningkatkan kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi. Sehingga nantinya masyarakat Desa Kebulusan akan menjadi tanggap terhadap situasi di sekitarnya. Berbagai instansi yang ada di lingkup Pemerintah
Desa
Kebulusan
Pemerintah Kabupaten Kebumen dan nantinya
akan
bisa
membuat
strategi
pengentasan kemiskinan di Kabupaten Kebumen dengan serangkaian cara seperti pemenuhan kebutuhan dasar dan kegiatan perbaikan lingkungan dengan konsep pendekatan kewilayahan sama seperti yang dipaparkan pada penelitian sebelumnya (Erna Yunita Sari, 2008). Sehingga akan ditemui suatu
titik
terang
mengenai pentingnya partisipasi masyarakat dalam
perumusan kebijakan terkait upaya pengentasan kemiskinan. Adanya sebuah forum bersama antara masyarakat dengan pemerintah terkait perumusan kebijakan dan kegiatan desa (Gerard Prinsen, 2012) yang menjadi fokus persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilaksanakan. Sedangkan yang menjadi perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian
yang
dilaksanakan
adalah
dalam
penelitian
yang
telah
dilaksanakan objek penelitian adalah seluruh masyarakat Desa Kebulusan, baik lak-laki maupun perempuan yang bekerja sebagai buruh genteng. Berbeda dengan penelitian yang ditulis oleh Anggraeni Munggi pada tahun 2013 dan K.C Roy C.A Tisdell pada tahun 2002 dimana yang menjadi objek penelitian adalah kaum perempuan yang mengikuti program pemberdayaan dan hanya membahas bentuk keterlibatan pertisipasi perempuan saja.
34 Bentuk pemberdayaan pada penelitian yang telah dilaksanakan tidak sebatas pada kegiatan pemberdayaan saja, tetapi menyangkut aspek ekonomi dan sosial. Sehingga terdapat perbedaan dengan penelitian yang telah dilaksanakan oleh Supriyanto Wibowo pada tahun 2013 yang sebatas hanya menyajikan kegiatan pemberdayaan dalam bidang ekonomi saja yakni dengan pemanfaatan lubang bekas galian tanah liat yang hanya diarahkan untuk kebutuhan ekonomi saja. Penelitian ini menyajikan sejumlah permasalahan buruh yang ada di pedesaan sehingga akan lebih fokus mengenai upaya pengentasan kemiskinan buruh di pedesaan. Berbeda dengan penelitian yang disajikan oleh Erna Yunita Sari pada tahun 2008. Penelitian tersebut menjelaskan cara pengentasan kemiskinan secara umum yang ada di pedesaan. D.
Kerangka Pemikiran Kerangka berfikir merupakan sebuah bagan atau alur kerja dalam memecahkan permasalahan penelitian. Kerangka berfikir berfungsi untuk memahami alur pemikiran secara cepat, mudah dan jelas. Dalam penelitian ini kerangka berfikir penelitian berjudul Upaya Pengentasan Kemiskinan Buruh Melalui Kegiatan Pemberdayaan Berbasis Partisipasi Masyarakat (Studi Kasus Kegiatan Pemberdayaan Sosial Ekonomi Pada Buruh di Sentra Industri Genteng Desa
Kebulusan,
Kecamatan
Pejagoan,
Kabupaten
Kebumen) adalah sebagai berikut: Pemandangan khas yang dapat kita jumpai ketika berkunjung ke Kabupaten Kebumen adalah banyaknya genteng yang disusun berjajar di sepanjang kanan kiri jalan. Industri genteng di Kabupaten Kebumen telah berdiri sejak tahun 1940-an. Genteng yang masih terus diproduksi hingga sekarang ini sudah sangat terkenal akan kualitasnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan Industri genteng selain mampu menghidupi seluruh penduduk, juga mampu mengangkat nama Kabupaten Kebumen dipasaran genteng nasional. Kebumen
belum
Akan tetapi, industri genteng Kabupaten
memberikan
dampak
positif
bagi
kesejahteraan
35 masyarakat. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin tahun 2014 di Kabupaten Kebumen dikatakan sebagai terbanyak ke dua di Provinsi Jawa Tengah setelah Kabupaten Wonosobo. Desa Kebulusan sebagai salah satu desa yang masih memproduksi genteng hingga sekarang ini rawan mengalami masalah kemiskinan. Hal ini dikarenakan adanya ketergantungan yang tinggi pada kondisi alam sehingga sebagian besar penduduk Desa Kebulusan bekerja sebagai buruh genteng sekaligus petani. Ketergantungan warga Desa Kebulusan terhadap kondisi alam membuat mereka terperangkap untuk tidak dapat mengembangkan kapasitasnya
untuk
mencoba
menambah
keterampilan
mereka
selain
membuat genteng dan mengolah sawah. Tentu saja terbatasnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat menyebabkan mereka seakan sulit untuk keluar dari permasalahan kesejahteraan yang berujung pada kemiskinan. Sehingga Pemerintah Desa Kebulusan dan Pemerintah Kabupaten Kebumen dalam hal ini melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (BAPERMADES) Kabupaten Kebumen berkerja sama untuk berupaya mengurangi kemiskinan dengan cara pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi. Peran aktif Pemerintah Desa Kebulusan dan BAPERMADES Kabupaten Kebumen dalam rangka pengentasan kemiskinan di Desa Kebulusan dianalisis menggunakan konsep AGIL oleh Talcott Parsons untuk
melihat
sejauh
mana
program pemberdayaan
sosial ekonomi
masyarakat dapat dilaksanakan di Desa Kebulusan. Sedangkan bentuk partisipasi
buruh
Desa
Kebulusan
akan
dianalisa
melalui
konsep
pemberdayaan dan partisipasi dengan tujuan mengetahui kendala yang dihadapi
buruh
(faktor
intern
dan
ekstern)
tidak
berpartisipasinya
masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan di Desa Kebulusan. Oleh karenanya penting untuk dapat diketahui bagaimana tingkat antusiasme
masyarakat
Kabupaten
Kebumen,
khususnya buruh Desa
Kebulusan untuk ikut berperan serta mendukung program pengentasan kemiskinan
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah
Kabupaten
Kebumen.
36 Sehingga nantinya masyarakat miskin di Desa Kebulusan dapat semakin mandiri. Selain itu adanya kemandirian di bidang ekonomi akan berdampak pada munculnya ide masyarakat di Desa Kebulusan untuk mencoba mengembangkan alternatif pekerjaan lain agar nantinya dapat semakin meningkatkan kesejahterannya. Dalam bidang sosial pun mereka akan semakin berdaya dan tidak akan ragu mengembangkan kapasitasnya untuk semakin memperbaiki kondisi kehidupannya yang nantinya akan berujung pada pengurangan angka kemiskinan di Kabupaten Kebumen secara perlahan namun pasti.
37
Kemiskinan Buruh Genteng di Desa Kebulusan, Kecamatan Pejagoan, Kabupaten Kebumen
Karakteristik Buruh Genteng di Desa Kebulusan
Upaya Pengentasan Kemiskinan Buruh Genteng Berbasis Partisipasi Masyarakat
PEMERINTAH DESA 1. Pelatihan Pemanfaatan Lahan Pekarangan 2. Pelatihan Keterampilan 3. Pemanfaatan Lubang Bekas Galian
BAPERMADES Bantuan Sosial Pemugaran Rumah Tidak Layak Huni (P2MKM)
Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Partisipasi Buruh Genteng
Keberlanjutan Program Pengentasan Kemiskinan dan Kemandirian Buruh
Gambar 2.3. Kerangka Berfikir