BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Buah Mengkudu
2.1.1 Klasifikasi mengkudu Berdasarkan Aruna, et al (2013), klasifikasi tanaman mengkudu dapat dijelaskan sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Filum
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Marga
: Morinda
Jenis
: Morinda citrifolia
2.1.2 Deskripsi tanaman Tanaman mengkudu termasuk jenis tanaman semak atau pohon kecil, memiliki tinggi 3-10 m, dengan daun berbentuk elips (panjang 5-17 cm dan lebar 10-40 cm). Bunga berwarna putih berukuran kecil dan tubular. Buah mengkudu memiliki panjang 3-10 cm dan lebar 3-6 cm, berbentuk oval dan berdaging seperti yang ditampilkan pada gambar 2.1. Warna buah mengkudu berkisar dari warna hijau sampai kuning, bahkan hampir putih pada saat matang. Biji mengkudu berwarna cokelat kemerahan dan terletak tersebar di dalam buah mengkudu. Buah
5
6
mengkudu yang matang dapat mengeluarkan asam butirat yang dapat menimbulkan bau tengik yang kuat (Chan Blanco et al, 2006).
Gambar 2.1 Buah mengkudu (Morinda citrifolia) (Chan Blanco et al, 2006).
2.1.3 Habitat tanaman Mengkudu adalah tanaman asli dari Asia Tenggara dan Australia, tumbuh di lingkungan yang sangat panas, kering dan berangin. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Polinesia, India, Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman ini banyak ditemukan di Indonesia, Australia dan di seluruh daerah tropis di berbagai lingkungan (Aruna et al, 2013).
2.1.4 Kandungan tanaman Kandungan kimia yang terkandung di dalam buah mengkudu yaitu mikronutrien utama seperti fenolik (aucubin, asperulosid, skopoletin), antrakuinon (nordamnacanthal, morindon, rubiadin, antrakuinon glikosida, morindin), asam organik (kaproat dan asam kaprilat), alkaloid (xeronin), terpenoid, glikosida flavon, asam linoleat, dan asam asperulosidat. Komponen lain yang telah
7
diidentifikasi dalam tanaman mengkudu adalah terpenoid, karoten, vitamin A, glikosida flavon, asam linoleat, rutin (Chan Blanco et al, 2006). Adapun senyawa khas yang dapat digunakan sebagai identitas dalam buah mengkudu adalah skopoletin (Depkes RI, 2008).
2.1.5 Khasiat tanaman Tiap bagian tanaman mengkudu mempunyai khasiat berbeda berdasarkan pengobatan empiris. Adapun khasiat mengkudu yaitu meningkatkan daya tahan tubuh, analgesik, menormalkan tekanan darah serta memperbaiki sistem pencernaan (Pulasari, 2009). Berdasarkan penelitian, buah mengkudu memiliki aktivitas farmakologi sebagai antioksidan (Kumar et al, 2014), antimikrobial (Selvam et al, 2009) dan antidislipidemia (Mandukhail, et al., 2010).
2.2
Kumarin Kumarin adalah kelompok senyawa fenol dengan struktur dasar yang
terbentuk dari gabungan antara benzen dengan cincin 𝛼-piron. Metabolit ini banyak dihasilkan terutaman pada tumbuhan tinggi. Lebih dari 1300 kumarin teridentifikasi sebagai metabolit sekunder pada tanaman, bakteri dan jamur. Senyawa ini tersebar pada sekitar 150 spesies tanaman dengan 30 jenis famili, beberapa diantaranya adalah famili Rubiaceae, Rutaceae, Umbelliferae, Clusiaceae, Guttiferae, Caprifoliaceae, Oleaceae, Nyctaginaceae, dan Apiaceae (Venugopala et al., 2013).
8
Salah satu tanaman yang mengandung kumarin adalah mengkudu (Morinda citrifolia L.). Senyawa kumarin yang terkandung di dalamnya adalah skopoletin (Sholehah, 2010). Skopoletin (6-metoksi-7-hidroksikumarin) merupakan kumarin terhidroksilasi. Struktur skopoletin seperti yang terlihat pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Struktur kimia skopoletin (Ranjita et al, 2014)
2.3
Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut menggunakan pelarut cair. Prinsip ekstraksi adalah like dissolves likes yaitu melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Pada ekstraksi diharapkan terjadinya kesetimbangan antara linarut dan pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah berkaitan dengan kelarutan, yaitu senyawa yang lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar. Secara umum ektraksi dapat dilakukan dengan metode maserasi, perkolasi, refluks dan sokhletasi. Masing-masing metode tersebut
9
memiliki keuntungan dan kerugian yang dapat disesuaikan menurut kebutuhan ekstraksi yang akan dilakukan (Depkes RI, 2000).
2.3.1 Metode ekstraksi maserasi dengan sonikasi Maserasi berasal dari kata macerare yang artinya melunakkan. Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes RI, 2010). Keuntungan dari metode maserasi adalah prosedur dan peralatannya sederhana. Adapun kelemahan dari metode maserasi adalah memerlukan waktu ekstraksi yang lama. Untuk mengatasi kelemahan tersebut maserasi sering dikombinasikan dengan metode ekstraksi sonikasi. Metode ekstraksi sonikasi memanfaatkan gelombang ultrasonik yang dapat mempercepat waktu kontak antara sampel dan pelarut meskipun pada suhu ruang. Hal ini menyebabkan proses perpindahan massa senyawa bioaktif dari dalam sel tanaman ke pelarut menjadi lebih cepat. Metode ekstraksi sonikasi mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik untuk membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al, 2001).
10
2.3.2 Ekstraksi buah mengkudu Terdapat banyak metode yang telah dikembangkan dalam ekstraksi buah mengkudu dengan berbagai pelarut. Nayak dan Mengi (2010) melakukan ekstraksi pada buah mengkudu dengan menggunakan dua pelarut yang berbeda. Pelarut yang digunakan adalah air suling dan 50% v/v etanol. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan, kedua ekstrak tersebut memiliki tiga senyawa yaitu antrakuinon, alkaloid dan polisakarida. Berdasarkan identifikasi yang dilakukan dengan pereaksi semprot 10% KOH etanolik, kedua ekstrak memiliki senyawa golongan kumarin yang berfluoresensi pada panjang gelombang 366 nm. West dan Deng (2010) melakukan ekstraksi buah mengkudu dengan pelarut metanol. Untuk pembuatan ekstrak, buah mengkudu ditumbuk dan ditimbang sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 125 mL metanol. Ekstraksi dilakukan dengan bantuan sonikasi selama 30 menit kemudian disaring. Filtratnya diuapkan dengan rotavapor hingga diperoleh ekstrak kental metanol. Sedangkan pada Farmakope Herbal Indonesia, larutan uji dalam identifikasi komponen kimia buah mengkudu menggunakan metanol sebagai pelarutnya (Depkes RI, 2008).
2.4
Sidik Jari Kromatografi Sidik jari kromatografi atau Chromatoghraphic Fingerprint adalah metode
yang digunakan dalam identifikasi profil komponen aktif tanaman herbal untuk keperluan standarisasi (MacLennan, 2002). WHO menekankan pentingnya metode kualitatif dan kuantitatif untuk karakteristik sampel, kuantifikasi biomarker serta profil sidik jari kromatografi. Komponen aktif dalam tanaman
11
herbal akan berkontribusi terhadap efek farmakologi tanaman herbal tersebut (Nikam et al, 2012). Pola sidik jari kromatografi menunjukkan profil keseluruhan komponen karena dapat mempresentasikan keragaman komponen yang ada dalam obat herbal tanpa memerhatikan jenisnya (Liang et al, 2004). Profil kromatografi yang diperoleh harus mengandung beberapa informasi penting tentang obat herbal tersebut seperti: integritas, kejelasan, kesamaan, atau perbedaan dengan senyawa pembanding dari obat herbal yang diteliti (MacLennan, 2002). Teknik kimia dan kromatografi dapat digunakan untuk membantu dalam identifikasi dari suatu bahan herbal atau ekstrak. Teknik kromatografi seperti High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Thin Layer Chromatography (TLC), dan Gas Chromatography (GC) serta metode spektroskopi seperti IR, NMR, dan UV juga dapat digunakan untuk mendapatkan sidik jari kromatografi (Gautam et al, 2010).
2.4.1 Kromatogram dan spektrum pada sidik jari kromatografi Dalam suatu sistem kromatografi akan diperoleh data berupa kromatogram. Parameter baik atau tidaknya suatu kromatogram umumnya didasarkan pada beberapa faktor diantaranya adalah daya pisah atau resolusi (R s) dan faktor asimetri atau tailling factor (Tf). A.
Resolusi (Rs) Tingkat pemisahan komponen dalam suatu campuran dengan metode
kromatografi direfleksikan dalam kromatogram yang dihasilkan. Untuk hasil
12
pemisahan yang baik, puncak-puncak dalam kromatogram harus terpisah secara sempurna dari puncak lainnya dengan sedikit tumpang tindih (overlapping) atau tidak ada tumpang tindih sama sekali. Tingkat pemisahan antara puncak-puncak kromatografi yang bersebelahan merupakan fungsi jarak antara puncak maksimal dan lebar puncak yang berhubungan. Untuk puncak Gaussian, hal ini cukup digambarkan dengan resolusi atau daya pisah puncak (Gandjar dan Rohman, 2007). Harga Rs yang baik adalah > 1,5 (Ahuja and Dong, 2005). Rumus untuk menghitung resolusi (Rs) adalah sebagai berikut: ...............................................(1)
Keterangan: Rs = Resolusi tR1 = Waktu retensi (Sebanding dengan Rf pada KLT) puncak 1 tR2 = Waktu retensi (Sebanding dengan Rf pada KLT) puncak 2 Wb1 = Lebar puncak 1 Wb2 = Lebar puncak 2 Sebagaimana ditunjukkan oleh persamaan di atas, resolusi komponenkomponen dalam kromatografi tergantung pada waktu retensi (tR) pada sistem kromatografi tertentu dan tergantung pada lebar puncak (W b). Untuk mengoptimisasi parameter-parameter ini supaya diperoleh resolusi yang maksimal, maka
diperlukan
suatu
pemahaman
terhadap
sifat
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya (Gandjar, 2007). Contoh kromatogram dengan nilai resolusi (Rs) 1,5 dapat dilihat pada gambar 2.3.
13
tR1
tR2
Wb1
Wb2
Gambar 2.3. Kromatogram dengan resolusi 1,5 (Ahuja and Dong, 2005)
B.
Faktor asimetri (tailing factor) Dalam kondisi ideal, puncak kromatografi akan memiliki bentuk puncak
Gaussian yaitu puncak simetri sempurna. Pada kenyataannya, sebagian besar puncak dapat mengalami tailing. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.4, tailing factor (Tf) adalah ukuran dari puncak asimetri. Dalam perhitungan ini digunakan lebar puncak pada ketinggian puncak 5% (W0,05). Tailling factor untuk sebagian besar puncak harus jatuh antara 0,9 dan 1,4, dengan nilai 1,0 mengindikasikan puncak simetris sempurna. Puncak tailing biasanya disebabkan oleh adsorpsi atau interaksi kuat lain dari analit dengan fase diam sementara puncak sepertinya dapat disebabkan oleh kolom overloading, reaksi kimia atau isomerisasi selama proses kromatografi (Ahuja and Dong, 2005).
14
f W0,05
Gambar 2.4. Jenis Tailing Factor (Tf) (Ahuja and Dong, 2005)
Pengukuran Tailing factor dapat dilakukan dengan rumus berikut: ......................................................(2)
Keterangan: Tf = Tailing factor W0,05 = Lebar puncak dari ketinggian 0,05% tinggi puncak f = Lebar antara titik A dan B
Setiap senyawa memiliki spektrum UV yang spesifik. Spektrum UV merupakan hubungan yang menunjukkan penyerapan energi pada panjang gelombang UV untuk menghasilkan transisi elektronik. Senyawa yang mampu menyerap energi tersebut adalah senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Spektrum dapat memberikan informasi mengenai identitas suatu senyawa maupun data stabilitas senyawa tersebut. Karakteristik spektrum suatu senyawa meliputi panjang gelombang maksimum, rasio absorbansi dan jumlah puncak yang muncul. Untuk senyawa yang sulit dibedakan atau memiliki kedekatan spektrum dengan senyawa lain dapat digunakan metode derivatisasi. Metode derivatisasi dapat menghilangkan spektrum lain yang tumpang tindih sehingga menghasilkan bentuk spektrum yang lebih baik (Feng and Runyi, 2005).
15
2.4.2 Pemanfaatan KLT-Spektrofotodensitomerti dalam penentuan sidik jari kromatografi Sidik jari kromatografi dapat diperoleh dengan metode KLT yang merupakan metode analisis yang sederhana. Dalam analisis obat herbal, KLT juga merupakan metode yang sangat sederhana karena dapat digunakan untuk analisis lebih dari satu sampel. Untuk setiap plat KLT, lebih dari 30 titik sampel dapat dipelajari secara bersamaan dalam satu waktu. Berdasarkan hal tersebut penggunaan KLT untuk menganalisis obat-obatan herbal masih populer. Dengan bantuan spektrofotodensitometer dapat diperoleh informasi kualitatif dan kuantitatif dari plat KLT tersebut. Keuntungan menggunakan KLT pada obat herbal adalah kesederhanaan, fleksibilitas, sensitif, dan lebih ekonomis (Liang et al, 2004). Data sidik jari kromatografi yang dapat direkam menggunakan KLTspektrofotodensitometer adalah kromatogram, nilai Rf, spektrum, panjang gelombang maksimum dan noda dengan penampak bercak. Hal tersebut merupakan profil sidik jari sampel dalam KLT (Liang et al, 2004). Komponen sidik jari pada obat herbal dengan metode KLT-Spektrofotodensitometri dapat dilihat pada gambar 2.5.
16
Gambar 2.5. Komponen sidik jari kromatografi pada tanaman herbal dengan metode KLT-Spektrofotodensitometri: (1) penampak bercak pada sinar UV 254 nm, visual dan UV 366 nm; (2) Kromatogram; (3) tabel Rf dan AUC; (4) Spektrum UV-Vis (Nayak and Mengi, 2010).
Pola puncak kromatogram yang diperoleh dari analisis dengan KLTSpektrofotodensitometri dapat digunakan sebagai sidik jari untuk menentukan tingkat kesamaan sampel herbal yang dianalisis. Setiap puncak pada kromatogram memiliki rasio luas puncak yang berperan penting dalam penentuan sidik jari (Feng and Runyi, 2005). Selain kromatogram, spektrum UV-Vis suatu senyawa juga
merupakan
komponen
sidik
jari
kromatografi
dengan
KLT-
Spektrofotodensitometri. Setiap senyawa memiliki spektrum UV-Vis yang spesifik. Spektrum UV merupakan hubungan yang menunjukkan penyerapan energi pada panjang gelombang UV untuk menghasilkan transisi elektronik.
17
Spektrum dapat memberikan informasi mengenai identitas suatu senyawa maupun data stabilitas senyawa tersebut (Feng and Runyi, 2005).
2.5
Pemanfaatan
Fungsi
Kosinus
dalam
Penentuan
Sidik
Jari
Kromatografi Fungsi kosinus ditentukan untuk menyatakan hubungan kedekatan antara dua vektor dalam hal ini adalah hubungan kedekatan antara dua buah sampel. Fungsi kosinus ini diterapkan dalam sidik jari kromatografi untuk menentukan hubungan kedekatan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya (Esseiva et al, 2003). Sidik jari kromatografi mencirikan pola kimia yang terdiri dari puncakpuncak yang menyajikan komposisi yang unik dari suatu sampel dalam kromatogram dengan memanfaatkan semua komponen kimia yang terdeteksi oleh instrumen untuk dianalisis. Sampel dengan pola kimia yang sama mungkin memiliki sifat yang mirip. Pengukuran kesamaan antar kromatogram (vektor) dapat dipresentasikan dalam tetapan Euclidean, koefisien korelasi Pearson, atau kosinus sudut dan rasio kesamaan untuk perbandingan yang objektif (Luo, 2003). Puncak-puncak kromatogram dan luas area di bawah puncak adalah karakteristik untuk setiap senyawa penyusun sampel. Korelasi antar sampel dapat dihitung dengan memanfaatkan data tersebut dan memasukkan ke dalam fungsi kosinus. Hubungan antar sampel ditentukan oleh koefisien korelasi antar sampel (Esseiva et al, 2003). Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai sudut pada suatu vektor yang dapat dilihat pada gambar 2.6.
18
Gambar 2.6. Sketsa sudut diantara dua vektor (Esseiva et al, 2003).
Gambar 2.6 menggambarkan dua vektor dan dengan sudut Ɵ. Untuk menentukan kedekatan antara dua vektor tersebut, dilakukan perhitungan sudut yang terdapat di antara dua vektor tersebut. Perhitungan fungsi kosinus dilakukan dengan aturan vektor untuk memperkirakan kedekatan antara dua vektor, sudut yang ada di antara kedua vektor tersebut dihitung. Dengan mengikuti aturan vektor, nilai korelasi antara dua kromatogram dapat dihitung dengan persamaan 1.
………….(3)
Dimana a1, a2, a3,…, an besaran atau nilai dari variabel 1-n untuk kromatogram a, dan b1, b2, …, bn menyatakan besaran variabel 1-n untuk kromatogram b (Esseiva et al, 2003). Sampel yang memiliki hubungan kedekatan yang baik adalah yang memberikan nilai korelasi C mendekati 100 (Dufey et al, 2006). Fungsi kosinus memiliki keuntungan yaitu mudah memproses hasil dari perhitungan dan memberikan nilai data tunggal dibandingkan nilai hasil grafik.
19
Hasil perhitungan fungsi kosinus ini secara langsung akan menunjukan hubungan antara satu sampel dengan sampel yang lainnya (Esseiva et al, 2003).
2.6
Pemanfaatan Cross Correlation Function dalam Penentuan Sidik Jari Kromatografi Dalam membandingkan perubahan bentuk spektrum UV akibat berbagai
perlakuan digunakan analisis fungsi cross correlation function pada rentang daerah panjang gelombang analisis (190 s/d 400 nm). Koefisien korelasi r dihitung dengan:
……………………….. (4)
(Harmita, 2004). Dimana xi dan yi adalah harga absorbansi relatif dari dua spektrum yang dibandingkan pada 1 panjang gelombang, penjumlahan dilakukan pada rentang 190 s/d 400 nm (Harmita, 2004).
2.7
Antioksidan Antioksidan merupakan molekul yang dapat mencegah oksidasi dari
molekul lain. Antioksidan berperan penting dalam melindungi sel dari kerusakan dengan kemampuan memblok proses kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas. Radikal bebas merupakan atom yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada lapisan paling luar. Hal ini mengakibatkan
20
radikal bebas bersifat sangat reaktif dan bereaksi dengan protein, lipida, karbohidrat dan DNA. Antioksidan melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas dengan menyumbangkan elektron ke radikal bebas sehingga dapat menstabilkan dan menghentikan reaksi berantai. Dengan demikian aktivitas reaktif dari radikal bebas menjadi tidak berbahaya karena dinetralkan oleh antioksidan (Hamid et al., 2010).
2.8
1,1-diphenyl-2-picryl-hydrazyl (DPPH) 1,1-diphenyl-2-picryl-hydrazyl atau DPPH merupakan radikal bebas yang
dapat dilihat pada gambar 2.4 (A). DPPH bersifat stabil, mempunyai warna ungu tua dan memiliki serapan pada panjang gelombang sekitar 520 nm. Apabila larutan DPPH dicampurkan dengan senyawa yang mampu mendonorkan atom hidrogen, DPPH akan berubah menjadi bentuk tereduksi seperti pada gambar 2.7 (B) dengan berkurangnya warna ungu menjadi kuning pucat (Molyneux, P., 2004).
A.
B. Gambar 2.7 Struktur molekul DPPH (A) Bentuk radikal DPPH; (B) Bentuk tereduksi DPPH (Molyneux, P., 2004).
Reaksi antara DPPH dengan senyawa yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan seperti yang dilihat pada gambar 2.8. Pada reaksi tersebut, Z*
21
merupakan DPPH dan AH merupakan senyawa yang mampu mendonorkan atom hidrogen. Sedangkan ZH adalah bentuk tereduksi dari DPPH dan A * adalah radikal bebas. Radikal bebas ini kemudian mengalami reaksi lebih lanjut untuk mengontrol stoikiometri secara keseluruhan. Skrining antioksidan dengan metode DPPH merupakan metode yang akurat, mudah dan ekonomis karena DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang bersifat stabil (Sagar et al, 2011).
Gambar 2.8 Reaksi antara DPPH dengan senyawa pendonor hidrogen (Sagar et al, 2011).
2.9
Pemanfaatan KLT dalam Skrining Aktivitas Antioksidan KLT telah banyak dikembangkan dan diterapkan untuk analisis kualitatif
dalam penentuan aktivitas antioksidan. Reagen derivatisasi yang digunakan untuk penentuan aktivitas antioksidan ini adalah DPPH. Pada skrining antioksidan, KLT adalah metode yang menjadi pilihan karena memiliki keunggulan dalam fleksibilitas, sederhana, sensitif dan lebih ekonomis (Wang et al, 2012). Skrining aktivitas antioksidan dengan KLT dilakukan dengan melarutkan ekstrak uji dalam pelarut dan ditotolkan pada plat KLT silika gel 60 F254 kemudian dielusi dengan fase gerak tertentu. Plat KLT disemprot dengan larutan DPPH (2mg/ml) dalam pelarut metanol. Hasil positif senyawa memiliki aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan munculnya spot berwarna kuning pada plat yang berwarna ungu (Badarinath et al, 2010).
43