BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Dasar Perpajakan
2.1.1
Definisi dan Unsur Pajak Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP) Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1, yang dimaksud dengan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian pajak telah banyak dikemukakan oleh para ahli dalam gaya bahasa yang berbeda-beda. Namun masing-masing definisi memiliki tujuan yang sama. Menurut Rochmat Soemitro, dalam buku Perpajakan Mardiasmo (2006 :1), yang dimaksud dengan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi tersebut di atas menurut Mardiasmo (2006:1) dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut : a. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
b. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. c. Tanpa jasa timbal balik atau kontra prestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga
negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2
Fungsi Pajak Dari pengertian pajak yang telah disampaikan pada sub bab diatas, secara
teoritis dan praktis dapat dilihat bahwa pajak memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan negara dan masyarakat (Mardiasmo, 2006:1), yaitu; 1. Fungsi Budgeter Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai-pengeluaranpengeluarannya. 2. Fungsi Regulerend Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh : a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif. c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0%, untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia.
2.1.3
Jenis Pajak Menurut Resmi (2005:6), terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokan menurut golongannya, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutannya, yaitu; 1. Menurut Golongannya a. Pajak Langsung Pajak langsung merupakan pajak yang harus dipikul dan ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Tidak Langsung Pajak tidak langsung merupakan pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 2. Menurut Sifatnya a. Pajak Subjektif Pajak subjektif
merupakan
keadaan pribadi Wajib keadaan subjeknya.
pajak yang
pengenaannya memperhatikan
Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan
Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Objektif Pajak objektif merupakan pajak yang pengenaannya
memperhatikan
objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan
timbulnya
memperhatikan
keadaan
kewajiban pribadi
membayar
Subjek
pajak,
tanpa
Pajak (Wajib Pajak)
maupun tempat tinggal. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 3. Menurut Lembaga Pemungutannya a. Pajak Negara (Pusat) Pajak Negara (Pusat)
merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga Negara pada
umumnya. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Daerah Pajak Daerah
merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
baik daerah tingkat I maupun daerah tingkat II dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Contoh : Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi) : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) : Pajak Pembangunan I, Pajak Penerangan Jalan, Pajak atas Reklame.
2.1.4
Sistem Pemungutan Pajak Di dalam bidang perpajakan kita telah mengenal sistem pemungutan pajak
yang terdiri dari (Tjahjono, 2000:26-27) : 1. Official Assessment System Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang
kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak. 2. Self Assessment System Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. 3. With Holding System With Holding System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga, bukan fiskus dan bukan pula Wajib Pajak yang bersangkutan, untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.1.5
Hambatan Pelaksanaan Pemungutan Pajak Hambatan terhadap pelaksanaan pemungutan pajak menurut Tjahjono
(2000:31) dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: 1. Perlawanan Pasif Masyarakat enggan membayar pajak, yang disebabkan antara lain: a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat. b. Sistem perpajakan yang sulit dipahami masyarakat. c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
2. Perlawanan Aktif Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak, bentuknya antara lain: a. Tax Avoidance, yaitu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang. b. Tax Evasion, yaitu meringankan beban pajak dengan cara yang melanggar undang-undang (menggelapkan pajak).
2.2
Sistem Self Assessment (Self Assessment System) Self Assessment System merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang Perpajakan (KUP) yang berlaku (Djuanda dan Lubis, 2002:65). Dalam hal ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta pelaksanaan pemungutan pajak berada di tangan Wajib Pajak. Aparat pajak hanya bertugas melakukan penyuluhan dan pengawasan untuk mengetahui kepatuhan Wajib Pajak. Jadi, self assessment system adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal 5 M, yakni mendaftarkan diri di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke Bank/Kantor Giro Pos dan melaporkan penyetoran tersebut kepada DJP (Direktur Jenderal Pajak) melalui SSP (Surat
Setoran Pajak) PPh Pasal 25, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik dan benar. (Nurmantu, 2005:108) Self Assessment System ini pada dasarnya sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 1967 melalui Undang-undang No. 8 Tahun 1967, Jo. PP 11 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak atas Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, dan Pajak Kekayaan, yang lebih dikenal dengan sistem Menghitung Pajak Sendiri/Menghitung Pajak Orang (MPS/MPO). Akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata sistem ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan, bahkan penerimaan dari sektor pajak menurun. Dapat dikatakan bahwa pemungutan pajak dengan sistem MPS/MPO gagal, karena tidak didukung dengan sikap yang jujur dari Wajib Pajak serta pengawasan yang intensif dan akurat dari pihak pemerintah/administrasi pajak. Selain itu sanksi yang diterapkan juga tidak efektif dijalankan. Kegagalan sistem tersebut tidak menyrutkan optimisme aparat pajak untuk membangun sistem perpajakan yang modern dan menjadikan pemerintah dan berbagai kalangan mendukung konsep Self Assessment System ini sebagai sesuatu yang wajar dan prospektif di masa depan sehingga secara konsepsional Self Assessment System yang digunakan telah diterapkan sejak tahun 1984 hingga saat ini, yang sangat ideal bagi sistem perpajakan Indonesia. Disebut ideal, karena sistem tersebut di berlakukan di lingkungan sosial yang ketika itu masih memiliki pengetahuan dan kesadaran perpajakan yang relatif rendah. Di lingkungan itu masih banyak masyarakat yang memandang pajak secara negatif, sehingga masyarakat berusaha untuk menghindarinya.
Dalam rangka melaksanakan Self Assessment System ini diperlukan prasyarat yang harus dipenuhi untuk menunjang keberhasilan dari pelaksanaan sistem pemungutan ini (Suandy, 2002:95), yaitu : 1. Kesadaran Wajib Pajak (Tax Consciousnessi) Kesadaran Wajib Pajak artinya Wajib Pajak mau dengan sendirinya melakukan
kewajiban
menghitung, membayar dan
perpajakannya
seperti
mendaftarkan
diri,
melaporkan jumlah pajak terutangnya.
2. Kejujuran Wajib Pajak Kejujuran Wajib Pajak artinya Wajib Pajak melakukan kewajibannya dengan sebenar-benarnya tanpa adanya manipulasi, hal ini dibutuhkan di dalam sistem ini karena fiskus memberi
kepercayaan
kepada
Wajib
Pajak
untuk
mendaftarkan diri, menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutangnya. 3. Kemauan Membayar Pajak dari Wajib Pajak (Tax Mindedness) Tax Mindedness artinya Wajib Pajak selain memiliki kesadaran akan kewajiban perpajakannya, namun juga dalam dirinya memiliki hasrat dan keinginan
yang
tinggi dalam membayar pajak terutangnya. 4. Kedisplinan Wajib Pajak (Tax Discipline) Kedisplinan Wajib Pajak artinya Wajib Pajak dalam melakukan kewajiban perpajakannya dilakukan dengan tepat waktu sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku. Kesit (2001:191), menyatakan bahwa : “Berlakunya Self Assessment System pemungutan pajak menuntut Wajib Pajak untuk lebih mandiri dalam pengelolaan administrasi perpajakannya”. Hal ini merupakan
bentuk refleksi dari azas pemungutan pajak yang dianut oleh pemerintah yaitu azas pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kepada masyarakat. Azas pemungutan ini membawa konsekuensi tersendiri bagi Wajib Pajak. Konsekuensi yang ditimbulkan oleh Self Assessment System ini, Wajib Pajak diwajibkan untuk mendaftarkan diri, menghitung, melaporkan dan menyetorkan pajaknya yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak tersebut. Sarana perhitungan, pelaporan, serta penyetoran tersebut (Gunadi, 2002:33), antara lain : 1. Surat Pemberitahuan (SPT) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang
menurut
Ketentuan Undang-Undang Perpajakan (KUP).
2. Surat Setoran Pajak (SSP) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara atau ke tempat pembayaran lain yang telah ditetapkan oleh
Menteri
Keuangan. 3. Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. 4. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah surat ketetapan yang digunakan untuk menjadi dasar jumlah pajak yang harus dibayar, atau pajak kurang bayar tambahan, atau pajak lebih bayar, dan pajak nihil
5. Surat Keputusan Pembetulan Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-perundangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak. 6. Surat Keputusan Keberatan Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Gambar 2.1 Self Assessment System Menghitung
Tarif PTKP
Memperhitungkan
Pajak dilunasi dalam tahun berjalan
Pajak Terutang (PT)
Kredit Pajak (KP)
Self Assessment
( PT - KP ) Membayar Melapor Surat Pemberitahuan
Sumber : Zain, M. (2003:112)
PT > KP
PT = KP
PT < KP
Kurang Bayar
Nihil Bayar
Lebih Bayar
Masa dan Tahunan
Restitusi Pembayaran
2.3
Pajak Penghasilan (PPh) Pajak penghasilan adalah Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak.(Penyuluhan Pajak, Bandung Desember 2009) Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 Pasal 2, menyatakan : Yang menjadi Subjek Pajak adalah: 1
a. Orang Pribadi Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. b. Warisan yang belum terbagi Warisan
yang
belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek
Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. 2
Badan Badan adalah sekumpulan orang dan/ atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha
milik negara atau badan usaha
milik daerah dengan nama dan
dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi dua (Waluyo, 2008 : 90), yaitu: 1
Subjek Pajak Dalam Negeri adalah:
a. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia. b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit 1.
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria. pembentukannya
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan; 2.
pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
3.
penerimaannnya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
4.
pembukuannya diperiksa oleh aparat fungsional negara; dan
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. 2
Subjek Pajak Luar Negeri adalah: a. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan menjalankan
dan
tidak bertempat
kedudukan
di Indonesia,
yang
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap
di Indonesia; dan
b. Orang Pribadi yang hari
yang
tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
berada di Indonesia tidak lebih 183 (seratus delapan puluh tiga) dalam
didirikan
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
dan tidak bertempat
menerima atau
kedudukan di Indonesia,
memperoleh pengahsilan dari Indonesia
yang dapat tidak
dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dalam Undang-Undang Pajak Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4, menyatakan: Yang termasuk Objek Pajak adalah: 1
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;
2
Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan atau penghargaan;
3
Laba usaha;
4
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham atau anggota; c. keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
pemecahan, atau pengambil alihan usaha;
peleburan,
pemekaran,
d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan tanda turut pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan. 5
Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
6
Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7
Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8
Royalti;
9
Sewa dan pengahsilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10 Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 11 Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang diterapkan dengan Peraturan Pemerintah; 12 Keuntungan karena selsish kurs mata uang asing; 13 Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 14 Premi asuransi;
15 Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 16 Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajak; Menurut golongannya Pajak Penghasilan digolongkan kepada Pajak Langsung, dikarenakan pajak ini harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pihak lain. Dan menurut sifatnya, Pajak Penghasilan adalah Pajak Subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Sedangkan berdasarkan Lembaga Pemungutannya Pajak Penghasilan termasuk kedalam Pajak Pusat (Pajak Negara) yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Gustian dan Lubis (2001:18), mengungkapkan bahwa : “Pajak Penghasilan dikenankan kepada Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak. Apabila seseorang atau badan hukum termasuk Subjek Pajak dan menerima penghasilan yang merupakan Objek Pajak, maka Subjek Pajak tersebut menjadi Wajib Pajak. Oleh karena itu, wajib mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan wajib membayar Pajak penghasilan”. Pajak Penghasilan Pasal 25, yaitu ketentuan yang mengatur tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.(Brevet Pajak, Lambert Consult) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan : 1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. 2. Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 24. 3. Dibagi 12 ( dua belas ) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan – bulan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun yang lalu. PPh Pasal 25 ini mengatur tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan. Pajak penghasilan PPh Pasal 25 harus dibayar / disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan takwin berikutnya setelah masa pajak berakhir. Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling lambat dua puluh hari setelah masa pajak dalam bentuk Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ketiga.
Orang pribadi yang tidak melakukan usaha atau pekerjaan bebas dan apabila besarnya PPh Pasal 25 menurut SPT Tahunan adalah nihil, tidak mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25.
2.4
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
2.4.1
Pengertian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP) Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 6, yang dimaksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
2.4.2
Fungsi NPWP Fungsi NPWP (Penyuluhan Pajak Bandung, Desember 2009), yaitu:
1
Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
2
Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan.
2.4.3
Pencantuman NPWP NPWP harus dituliskan dalam setiap dokumen perpajakan, (penyuluhan Pajak
Bandung, Desember 2009) antara lain pada : 1
Formulir pajak yang dipergunakan Wajib Pajak.
2
Surat menyurat dalam hubungan dengan perpajakan.
3
Dalam hubungan dengan instansi tertentu yang mewajibkan mengisi NPWP.
2.4.4
Pendaftaran NPWP Semua Wajib Pajak berdasarkan sistem self assessment wajib mendaftarkan
diri pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus mendapatkan NPWP. (Mardiasmo, 2006:23) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 Ayat 1, menjelaskan : “Semua Wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan
pemotongan/pemungutan
sesuai
atau dengan
diwajibkan ketentuan
untuk
melakukan
Undang-Undang
Pajak
Penghasilan 1984 dan perubahannya. Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisah penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.”
2.4.5
Sanksi Bagi mereka yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, atau
menyalahgunakan atau tanpa hak NPWP sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang bayar.(Mardiasmo, 2006:24)
2.4.6
Penghapusan NPWP Dalam UU KUP Pasal 2 Ayat 6, Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal:
1
Wajib Pajak orang pribadi meninggal dan tidak meninggalkan warisan,
2
Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan,
3
Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai bagi,
4
Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
5
Bentuk usaha tetap yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya sebagai bentuk usaha tetap,
6
Wajib Pajak orang pribadi lainnya selain yang dimaksud dalam angka 1 (satu) dan angka 2 (dua) yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.
2.4.7
Format NPWP NPWP terdiri dari 15 (lima belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama
merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.(Mardiasmo, 2006:25) Formatnya adalah sebagai berikut : XX. XXX. XXX. X–XXX. XXX
2.5
Surat Pemberitahuan (SPT)
2.5.1
Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak (WP)
digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Penyuluhan Pajak, Desember;2009) Dalam Penyuluhan Pajak, Desember 2009; dijelaskan bahwa terdapat 2 (dua) macam SPT yaitu: a. SPT Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak b. SPT Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
2.5.2
Fungsi SPT Menurut Primandita (2009;10), yang dikutip dari susunan satu naskah
Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 28 Tahun 2007, fungsi SPT yaitu: a. Wajib Pajak PPh
Sebagai sarana Wajib Pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : 1
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
2
Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.
3
Harta dan kewajiban.
4
Pemotongan / pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
b. Pengusaha Kena Pajak Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya tentang dan untuk melaporkan tentang: 1
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran.
2
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak laindalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Pemotong / Pemungut Pajak Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan.
2.5.3
Ketentuan Tentang Penyampaian SPT Dalam Penyuluhan Pajak yang dilaksanakan Desember 2009, dikatakan
bahwa SPT wajib diisi secara benar, lengkap, jelas, dan harus ditandatangani. Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
2.5.4
Batas Waktu Penyampaian SPT Menurut Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan No. 28 Tahun 2007, batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah: a. Untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. b. Untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. c. Untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
2.5.5
Sanksi Tidak Atau Terlambat Menyampaikan SPT Pasal 7 ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007, apabila Surat Pemberitahuan
tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda: 1 SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah). 2 SPT Tahunan PPh Badan Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah). 3 SPT Masa PPN Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah). 4 SPT Masa lainnya Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah).
Pasal 7 ayat (2) UU KUP No. 28 tahun 2007, pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap: a. Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah meninggal dunia, b. Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjan bebas, c. Wajib pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia, d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melaukan kegiatan lagi di Indonesia, e. Wajib Pajak Badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan berlaku. f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi, g. Wajib pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, h. Wajib Pajak lain yaitu Wajib Pajak yang dalam keadaan antara lain: kerusuhan massal, kebakaran, ledakan bom, atau aksi terorisme, perang antar suku atau kegagalan sistem komputer administrasi penerimaan negara atau perpajakan.
2.6.
Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan Pasal 25, yaitu ketentuan yang mengatur tentang
perhitungan besarnya angsuran bulanan Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.(Brevet Pajak, Lambert Consult).
Adapun yang menjadi dasar hukum pemungutan PPh Pasal 25 menurut Ilyas dan Suharno ( 2007: 233) yaitu : 1
Pasal 25 Undang – undang No.7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan diperbarui lagi menjadi Undang – undang No. 36 Tahun 2008 yang mulai berlaku per 1 Januari 2009.
2
Keputusan Mentri Keuangan No. 552/KMK.04/2000 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan yang harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, BUMN, BUMD dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian, b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan, d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, e. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
3
Keputusan
Direktorat
Jendral
Pajak
No.
KEP-537/PJ./2000
tentang
Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Pajak Berjalan Dalam Hal – Hal Tertentu. 4
Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-210/PJ./2001 tentang Angsuran Bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Dalam Masa Transisi Tahun Pajak 2001.
Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-207/PJ./2001 tentang Kewajiban Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.
2.7.
Pengaruh Self Assessment System
Terhadap
Penerimaan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi Pemungutan pajak dengan self assessment system diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara, tetapi fenomena yang terjadi ketika diterapkan sistem ini mulai tahun 1984 hingga sekarang tidak berjalan secara optimal, hal ini bisa dilihat dari banyaknya potensial loss pada sektor pajak di Indonesia, meskipun secara umum tiap tahun jumlah penerimaan pajak meningkat. Jumlah peningkatan penerimaan pajak di setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) umumnya memang meningkat, tetapi peningkatan ini terjadi seiring dengan perkembangan jumlah penduduk yang secara umum penghasilannya diatas PTKP jika dilihat dari sudut penerimaan pajak penghasilan orang pribadi