BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Sebagai parameter utama dalam suatu penelitian ilmiah, tinjauan pustaka merupakan bagian yang penting untuk meletakan dasar pijakan dalam membangun suatu konstruk teoritik yang bermuara pada bagaimana membangun kerangka pikir, dan menyusun hipotesis penelitian. Dengan demikian, dalam bab ini akan diuraikan tentang teori-teori yang mendasari masing-masing variabel, dan bagaimana hubungan
komitmen
organisasi
dengan
faktor-faktor
yang
memengaruhinya yaitu; kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan jenis kelamin berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya.
2.1
Komitmen Organisasi
2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasi Efektifitas dan efisiensi suatu organisasi turut dipengaruhi oleh peran serta pegawai. Dengan demikian, komitmen pegawai bagi organisasi merupakan salah satu faktor penting dalam upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktifitas organisasi sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah: keyakinan pegawai dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai organisasi, kesediaan untuk mengerahkan usaha atas nama organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Pengertian ini ditegaskan oleh Mowday, Steers, dan Porter (dalam Chhabra, 2013, h.27), komitmen organisasi adalah: “Employee‟s belief in and acceptance of the organization‟s goals and 21
values, a willingness to exert effort on behalf of the organization, and a desire to maintain membership in the organization”. Hal yang sama dinyatakan oleh Luthans (2006) bahwa sebagai sikap, komitmen organisasi paling sering didefinisikan sebagai: (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, komitmen organisasi merupakan sikap yang mereflesikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan. Sementara itu, ada pernyataan yang mengatakan bahwa komitmen organisasi adalah: suatu keadaan psikologis yang mencirikan hubungan pegawai dengan organisasi dan implikasinya terhadap keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Pengertian komitmen organisasi ini ditegaskan oleh Meyer dan Allen (dalam Salami, 2008, h.32), komitmen organisasi adalah: “A psychological state that characterizes the employee‟s relationship with the organization with its implications for the decision to continue membership in the organization”. Pengertian ini sejalan dengan Robbins dan Judge (2008) yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu keadaan dimana seorang pegawai memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaanya dalam organisasi tersebut. Demikian halnya Mathis dan Jackson (2006) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah: derajat yang mana pegawai yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi. 22
Selanjutnya, komitmen organisasi didefinisikan sebagai tingkat loyalitas dan tanggungjawab terhadap misi bersama dan tingkat kemauan untuk mengerahkan upaya untuk mencapai misi tersebut. Definisi ini ditegaskan oleh Camp dan Chen.,et al (dalam Potter, 2012, h.16) bahwa komitmen organisasi adalah:“The extent of loyalty and responsibility felt toward a shared mission and the level of willingness to exert effort to achieve that mission”. Hal ini dipertegas oleh Alwi (2001) yang mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sikap individu untuk tetap berada dalam organisasi dan terlibat dalam upaya-upaya mencapai misi, nilai-nilai, dan tujuan organisasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa komitmen merupakan suatu bentuk loyalitas yang lebih konkrit yang dapat dilihat dari sejauh mana individu mencurahkan perhatian, gagasan, dan tanggungjawab dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan beberapa pengertian komitmen organisasi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah: sikap individu yang ditunjukan melalui keyakinan dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi, keinginan yang kuat untuk tetap mempertahankan keanggotaan dalam organisasi, dan mengerahkan segala upaya untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi.
2.1.2 Teori Komitmen Organisasi Menurut Wutun.,et al (2001), istilah komitmen organisasi sudah mulai diperkenalkan pada tahun 1961 oleh Etzioni dengan tipologi keterikatan terhadap organisasi yang meliputi: 1) Moral involvement, merupakan orientasi positif dan kuat terhadap organisasi karena ada informasi terhadap tujuan, nilai, dan norma organisasi serta identifikasi 23
pada pemegang otoritas. Individu memiliki komitmen terhadap organisasi sejauh mana konsistensi identitas pribadi dengan tujuan organisasi. 2) Calculative involvement, merupakan keinginan individu untuk tetap menetap pada suatu organisasi karena kepentingan timbalbalik dengan organisasi tersebut. 3) Alienative involvement, merupakan orientasi negatif terhadap organisasi, terutama pada situasi saat individu merasa terpaksa untuk berperilaku tertentu. Sementara itu, Mowday.,et al (1979) menyatakan bahwa teori komitmen organisasi berorientasi pada dua bentuk komitmen, yaitu; komitmen perilaku (behavioral commitment) dan komitmen sikap (attitudinal commitment). Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Komitmen perilaku (behavioral commitment ). Secara khusus, banyak definisi berfokus pada komitmen yang terkait dengan perilaku. Sebagai contoh, ketika kita berbicara tentang seseorang menjadi "terikat oleh perbuatannya" atau "perilaku yang melebihi harapan yang diinginkan dan/atau baku," kita berada dalam pengaruh yang berfokus pada manifestasi nyata dari komitmen. Seperti perilaku yang menggambarkan kesulitan biaya (kerugian) dalam organisasi sehingga individu melupakan tujuan sebagai pilihan dari tindakan untuk melibatkan diri pada organisasi. Pendekatan komitmen perilaku ini juga ditegaskan oleh Staw dan Salancik (Wutun.,et al, 2001), bahwa komitmen perilaku (behavioral commitment) didasarkan pada sejauh mana seseorang menetapkan keputusan untuk terikat pada organisasi berkaitan dengan adanya kerugian
jika
memutuskan
melakukan
alternatif
lain
di
luar
pekerjaannya saat ini. Berbeda dengan pendekatan sikap, pendekatan tingkah laku ini lebih menekankan pada proses dimana individu 24
mengembangkan komitmen tidak pada organisasi tetapi pada tingkah lakunya terhadap organisasi. 2. Kecenderungan kedua yang muncul dari teori komitmen organisasi adalah komitmen dalam hal sikap (attitudinal commitment). Artinya, komitmen sikap ada ketika "identitas orang (terkait) kepada organisasi" atau ketika "tujuan organisasi dan individu menjadi semakin terintegrasi atau kongruen" (Sheldon & Balai, dalam Mowday.,et al, 1979). Komitmen sikap demikian merupakan keadaan di mana seorang individu mengidentifikasi dengan organisasi tertentu dan tujuan, serta keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam rangka memfasilitasi tujuan tersebut. Hal ini juga ditegaskan oleh Staw dan Salancik (Wutun.,et al, 2001), bahwa komitmen sikap (attitudinal commitment) merupakan keadaan dimana individu mempertimbangkan sejauh mana nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi, serta sejauh mana keinginannya mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Pendekatan sikap ini memandang komitmen organisasi sebagai komitmen afektif serta berfokus pada proses bagaimana seseorang berpikir tentang hubungannya dengan organisasi. Sementara itu, ada pernyataan bahwa sebagai sikap (attitudinal commitment),
komitmen
organisasi
dikonseptulisasikan
sebagai
kekuatan relatif dari keterlibatan individu dan identifikasi dengan organisasi. Pernyataan ini ditegaskan oleh Mowday.,et al (1979, h.226), komitmen organisasi sebagai “The relative strength of an individual‟s identification with and involvement in a particular organization”. Definisi ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi memiliki arti lebih dari sekedar loyalitas yang pasif tetapi melibatkan hubungan aktif 25
dan keinginan karyawan untuk memberikan kontribusi yang berarti pada organisasinya. Hal ini menurut Mowday.,et al setidaknya dapat digambarkan melalui tiga sikap yang saling berkaitan antara lain: 1). Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap tujuan dan nilainilai organisasi; 2). Kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi; dan 3). Keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Selanjutnya, teori komitmen organisasi dikembangkan oleh Allen dan Meyer (1990) ke dalam tiga komponen komitmen organisasi (A three-component conceptualizational commitment), yakni; komitmen afektif, komitmen kontinyu, dan komitmen normatif. 1). Komitmen afektif mengacu pada keterikatan emosional pegawai, identifikasi pegawai dengan organisasi, dan keterlibatan pegawai pada organisasi. Pegawai dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam organisasi karena mereka ingin (want to). 2). Komitmen kontinyu mengacu pada komitmen berdasarkan persepsi atas kerugian yang akan diperoleh pegawai apabila tetap bergabung atau meninggalkan organisasi. Pegawai dengan komitmen kontinyu yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to). 3). Komitmen normatif mengacu pada perasaan pegawai terhadap kewajiban untuk tetap bekerja bagi organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen normatif yang kuat karena merasa wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Dari berbagai teori komitmen organisasi yang dijelaskan di atas, maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori komitmen organisasi dari Allen dan Meyer (1990) tentang tiga komponen komitmen organisasi (A three component conceptualizational commitment) yang meliputi; komitmen afektif, komitmen kontinyu, dan komitmen normatif. Alasannya, dalam upaya untuk meningkatkan 26
kinerja dan produktifitas GPM sesuai dengan visi, misi dan tujuannya, maka diperlukan peran serta pendeta yang ditunjukan melalui komitmennya bagi GPM. Komitmen pendeta bagi GPM dinyatakan melalui
kelekatan
secara
emosional
terhadap
organisasi
dan
mengidentifikasi dirinya dengan melibatkan diri dan menikmati keanggotaannya dalam organisasi (komitmen afektif); persepsi atas kerugian yang akan diperoleh oleh pendeta apabila tidak melanjutkan pekerjaanya dalam organisasi sehingga memilih untuk bertahan karena kebutuhannya (komitmen kontinuan); serta sisi moral yang dimiliki pendeta berupa kewajiban yang harus dilakukan kepada organisasi sebagai wujud tanggungjawab (komitmen normatif). Pendeta yang memiliki komitmen bagi GPM adalah karena mereka ingin (want to) tetap berada dalam GPM, mereka membutuhkan (need to), dan karena mereka merasa berkewajiban (ought to) untuk bertahan dalam GPM. 2.1.3 Komponen – Komponen Komitmen Organisasi Tingkat komitmen individu terhadap organisasi dapat diketahui melalui komponen-komponen yang berada di dalamnya. Porter.,et al (Schultz & Schultz, 1990) membahas tiga komponen utama dari komitmen organisasi sebagai: 1. Keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan organisasi, 2. Kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi, 3. Keinginan yang pasti untuk mempertahankan keanggotaan organisasi.
27
Hal yang sama juga ditegaskan oleh Yang ( 2012) berdasarkan tiga komponen komitmen organisasi yang diungkapkan oleh Porter., et al antara lain: 1. Value Commitmen yaitu, keyakinan kuat dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi. 2. Effort Commitmen yaitu, kemauan untuk mengerahkan usaha yang cukup besar untuk mencapai tujuan organisasi. 3. Retention Commitmen yaitu, keinginan yang pasti untuk mempertahankan keanggotaan organisasi. Sementara
itu,
Mowday.,et
al
(Crosswell,
2006)
mengidentifikasi tiga komponen terkait komitmen organisasi, yakni: 1. Keyakinan yang kuat dalam mencapai tujuan dan nilai organisasi. 2. Keterlibatan, kemauan untuk mengerahkan usaha bagi organisasi dan, 3. Loyalitas, yakni keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan organisasi. Selanjutnya, Alen dan Meyer (1990) mengajukan konsep mengenai tiga komponen komitmen organisasi (A three-component conceptualizational commitment) yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen berkelanjutan (continuance commitment), dan komitmen normatif (normative commitment). Ketiga komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Komitmen afektif (affective commitment), mengacu pada keterikatan emosional pegawai, identifikasi pegawai dengan organisasi, dan keterlibatan pegawai pada organisasi. Pegawai
28
dengan komitmen afektif yang kuat akan tetap berada dalam organisasi karena mereka ingin (want to). 2. Komitmen kontinyu (continuance commitment), mengacu pada komitmen berdasarkan persepsi atas kerugian yang akan diperoleh pegawai apabila tetap bergabung atau meninggalkan organisasi. Pegawai dengan komitmen kontinyu yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to). 3. Komitmen normatif (normative commitment), mengacu pada perasaan pegawai terhadap kewajiban untuk tetap bekerja bagi organisasi. Pegawai
yang memiliki komitmen normatif yang
kuat karena merasa wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Berdasarkan beberapa pandangan tentang komponen komitmen organisasi yang dikemukakan di atas, maka komponen - komponen komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990) akan digunakan penulis untuk mengukur komitmen organisasi pendeta GPM. Alasannya, karena komponen-komponen tersebut diyakini memiliki relevansi dengan karakteristik pekerjaan pendeta pada organisasi GPM. Pendeta yang menyatakan komitmennya bagi GPM ditentukan oleh adanya keinginan emosional yang kuat untuk terlibat sebagai anggota organisasi (komitmen afektif), adanya pertimbangan untung dan rugi jika harus meninggalkan organisasi (komitmen berkelanjutan), dan kepatuhan untuk setia pada organisasi dengan melakukan tugas dan kewajibanya (komitmen normatif). Hal ini tentu berimplikasi pada peningkatan kinerja dan produktifitas GPM sesuai dengan visi, misi, dan tujuan organisasi. Dengan demikian, ketiga komponen ini akan digunakan penulis untuk mengukur komitmen pendeta bagi GPM yang merupakan subjek dari penelitian ini. 29
2.1.4 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Komitmen Organisasi Komitmen organisasi merupakan variabel yang telah banyak diteliti oleh para ahli dalam kaitan dengan dunia kerja. Hal ini penting sebab eksistensi sebuah organisasi tidak terlepas dari peran pegawai yang memiliki komitmen bagi organisasi tersebut. Komitmen organisasi pegawai sangat berpengaruh bagi efektifitas dan efisiensi sebuah organisasi. Dengan demikian, untuk meningkatkan komitmen organisasi pegawai, penting bagi sebuah organisasi mengetahui berbagai faktor yang memengaruhinya. Menurut Hodge dan Anthony (Ristaniar, 2010), beberapa faktor yang memengaruhi komitmen organisasi antara lain: kepuasan kerja, identifikasi, dan keterlibatan kerja. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Kepuasan kerja. Ketika karyawan memperoleh kepuasan pribadi pada tugasnya mereka akan lebih toleran dalam mangarahkan dan mengontrol dirinya jika mengalami kekecewaan. 2. Identifikasi. Ketika karyawan merasa tujuan pribadinya sejalan dengan tujuan perusahaan, akan timbul identifiksi dan rasa percaya bahwa perusahaan akan bermanfaat bagi mereka. 3. Keterlibatan kerja. Karyawan yang aktif berpartisipasi dalam perusahaan dan pekerjaan (khususnya dalam pengambilan keputusan) juga memiliki rasa komitmen dan lebih tertarik pada organisasi. Sementara itu, Johar dan Shah (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang memengaruhi komitmen pegawai bagi organisasi. Artinya, seorang pegawai yang memiliki kecerdasan emosional yang baik adalah pegawai yang mampu mengontrol dan mengelola emosi secara positif dan stabil 30
dalam lingkungan kerja sehingga berdampak pada komitmennya bagi organisasi dan membuat kualitas pekerjaannya menjadi lebih baik. Hal yang sama dinyatakan oleh Akomolafe dan Olatomide (2013), kepuasan kerja dan kecerdasan emosional merupakan faktor yang memengaruhi komitmen guru terhadap organisasi sekolah. Manurut Mowday.,et al (Prasetyo.,et al, 2005), faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi antara lain: 1. Karakteristik personal. Karakteristik personal meliputi: usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, ras, serta faktor kepribadian. 2. Karakteristik
pekerjaan.
Karakteristik
pekerjaan
meliputi:
pekerjaan yang menantang, kejelasan tugas, umpan balik sebagai sarana evaluasi hasil kerja, interaksi sosial dan suasana kondusif. 3. Karakteristik
struktural
atau
karakteristik
organisasi.
Karakteristik organisasi meliputi: desentralisasi dan otonomi tanggungjawab, kualitas hubungan atasan-bawahan, sifat dan karakteristik pimpinan. 4. Pengalaman kerja. Meliputi ketergantungan organisasi kerja, nilai pentingnya individu bagi organisasi keja, sejauh mana harapan karyawan dapat terpenuhi oleh organisasi kerja, sikap positif rekan kerja terhadap organisasi kerja, dan tipe kepemimpinan. Berdasarkan beberapa faktor yang dikemukakan di atas, maka dapat
disimpulkan
bahwa
secara
umum
komitmen
organisasi
dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan individu (pegawai) dan faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan pekerjaan (organisasi) tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan faktor-faktor yang 31
memengaruhi komitmen organisasi yaitu, faktor internal meliputi: kecerdasan emosional dan karakteristik personal (jenis kelamin), serta kepuasan kerja sebagai faktor eksternal. Ketiga faktor ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh interaksinya terhadap komitmen pendeta bagi GPM, dengan asumsi: (1). Dalam organisasi gereja, pendeta merupakan pegawai organik yang dipekerjakan sesuai dengan profesinya untuk menjalankan program - program pelayanan sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi. Dengan demikian, kepuasan kerja pendeta juga harus mendapat perhatian dari gereja dengan mengakomodir berbagai kebutuhan pendeta. (2). Sebagai pegawai yang memiliki karakteristik yang pada umumnya berbeda dengan pegawai diperusahan, pendeta harus mampu merefleksikan perilaku kerjanya berdasarkan pada nilainilai ajaran gereja. Dengan demikian, kecerdasan emosional merupakan faktor penting yang harus dimiliki oleh pendeta. (3). Dalam organisasi gereja, baik pendeta laki-laki maupun perempuan memiliki peran dan tanggungjawab yang sama untuk menjalankan program-program pelayanan gereja sesuai dengan visi, misi, dan tujuan organisasi sebagai manifestasi dari sikap komitmennya bagi organisasi
2.2
Kepuasan Kerja
2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja Mengenai batasan atau definisi kepuasan kerja belum ada keseragaman,
walaupun
demikian
sebenarnya
tidaklah
terdapat
perbedaan yang prinsip dari padanya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah: keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang dihasilkan dari penilaian pekerjaan atau pengalaman 32
kerja seseorang. Pengertian kepuasan kerja ini ditegaskan oleh Locke (dalam Nifadkar & Dongre, 2014, h.2), kepuasan kerja adalah: "A pleasurable or positive emotional state resulting from the appraisal of one's job or job experiences". Pengertian ini sejalan dengan Luthans (2006) dengan memberikan definisi komprehensif dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan kepuasan kerja adalah: keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Robbins dan Judge (2008), kepuasan kerja sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sebaliknya seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut. Sementara itu, ada pernyataan bahwa kepuasan kerja adalah: seperangkat perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan serta emosi karyawan terhadap pekerjaan mereka. Ungkapan ini di tegaskan oleh Newstrom (dalam Srivastava, 2013, h.159), kepuasan kerja adalah: “A set of favourable or unfavourable feelings and emotions with which employees view their work.” Kepuasan atau ketidakpuasan dalam pekerjaan berkaitan dengan aspek-aspek pekerjaan yang disukai atau tidak disukai. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan oleh Spector (dalam Potter, 2012, h.21), kepuasan kerja adalah: “Overall attitude of the extent to which a job or facets of a job are liked or disliked”. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Howell dan Robert (Wijono, 2012), kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya karyawan terhadap berbagai aspek dari pekerjaannya. Jika 33
karyawan bersikap positif terhadap pekerjaan yang dikerjakannya, maka ia akan memperoleh perasaan puas terhadap apa yang dikerjakannya. Sebaliknya, jika karyawan bersikap negatif (tidak suka), maka ia akan merasa tidak puas terhadap apa yang dikerjakannya. Perasaan puas atau tidak puas karyawan terhadap pekerjaannya memerlukan evaluasi secara menyeluruh dari pekerjaannya, sebab kepuasan kerja adalah suatu konstruk sikap yang mencerminkan evaluasi dari pekerjaannya. Ungkapan ini ditegaskan oleh Ilies dan Judge (dalam Maheshwari & Mehta, 2013, h.6) yang menegaskan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah:“An attitudinal construct reflecting one‟s evaluation of his or her job”. Berdasarkan konsep kepuasan dan ketidakpuasan kerja, Herzberg (Thoha, 2009) menjelaskan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan isi pekerjaan (job content) dan ketidakpuasan kerja selalu disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan konteks pekerjaan (job context). Menurut Herzberg, kepuasan kerja disebut juga motivator yaitu kebutuhan psikologis yang berhubungan dengan penghargaan terhadap individu yang secara langsung berkaitan dengan pekerjaannya (elemen pekerjaan itu sendiri) dan merupakan sumber kepuasan kerja, sedangkan ketidakpuasan
kerja
disebut
hygiene
yaitu
faktor-faktor
yang
berhubungan ketidakpuasan kerja dan merupakan suatu faktor ekstrinsik, yang berkaitan dengan keadaan pekerjaan. Hal ini kemudian dikenal dengan nama teori dua faktor. Dengan demikian, dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah: suatu sikap yang ditunjukan melalui keadaan emosional menyenangkan atau tidak menyenangkan seseorang terhadap isi pekerjaan (job content) dan 34
konteks pekerjaan (job context) melalui evaluasi serta pengalaman kerjanya.
2.2.2 Teori Kepuasan Kerja Menurut Wexley dan Yukl (As‟ad, 1995), ada tiga macam teori kepuasan kerja yang lazim di kenal yaitu; Discrepancy theory, Equity theory, dan Two factor theory.
a. Teori kesesuaian (discrepancy theory) Teori kesesuaian Locke (Siegel & Lane, 1982) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan dengan beberapa aspek pekerjaan mencerminkan pertimbangkan nilai ganda yaitu; pertama, kesesuaian antara apa yang diinginkan seseorang dengan apa yang diterima, dan kedua, apa pentingnya pekerjaan yang diinginkan oleh individu. Kepuasan kerja secara keseluruhan bagi seorang individu adalah jumlah dari masing-masing aspek kepuasan kerja dikalikan dengan pentingnya aspek untuk orang tersebut. Menurut Locke seseorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang pribadi, tergantung bagaimana ia mempersepsikan adanya kesesuaian atau pertentangan antara keinginan-keinginan dan hasil keluarannya.
b. Teori keadilan (equity theory) Menurut As‟ad (1995), equity theory dikembangkan oleh Adams (1963). Adapun pendahulu dari teori ini adalah Zaleznik (1958) dikutip dari Locke (1969). Prinsip dari teori ini adalah bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan equity dan inequity atas 35
suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun ditempat lain. Lebih lanjut teori ini mengatakan setiap karyawan akan membandingkan ratio input-out comes dirinya dengan ratio input-out comes orang lain (comparison persons). Bila perbandingan itu dianggap cukup adil (equity), maka ia akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi menguntungkan (over compensation in equity), bisa menimbulkan kepuasan tetapi bisa pula tidak. Namun bila perbandingan itu tidak seimbang dan merugikan (under compensation in-equity), akan timbul ketidakpuasan.
c. Teori dua faktor (two-factor theory) Menurut Manisera.,et al (2005), Herzberg dalam teori dua faktor menyatakan, kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja disebabkan oleh sekumpulan faktor-faktor yang berbeda dan independen. Menurut Herzberg, ketika seseorang merasa puas, maka kepuasaan mereka dicirikan melalui pekerjaan itu sendiri. Sedangkan ketika seseorang merasa tidak puas dengan pekerjaan, mereka menjadi tidak nyaman dengan lingkungan di mana mereka bekerja. Faktor-faktor yang menentukan kepuasan dan ketidakpuasan dalam pekerjaan dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor kepuasan kerja. Menurut Herzberg, faktor kepuasan kerja disebut sebagai motivator atau intrinsik yang berhubungan dengan isi pekerjaan (job content) yang meliputi: prestasi (achievement),
pengakuan
(recognition),
tanggungjawab
(responsibility), kemajuan (advancement), pekerjaan itu sendiri (the work it self), dan kemungkinan berkembang (the possibility 36
of growth). Faktor-faktor ini diperlukan untuk perbaikan substansial dan memotivasi seseorang untuk menunjukan kinerja yang lebih tinggi. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka akan timbul asa ketidakpuasan yang berlebihan (Rowland, 2012). 2. Faktor
ketidakpuasan
kerja.
Menurut
Herzberg,
faktor
ketidakpuasan kerja disebut sebagai hygiene (kesehatan) atau ekstrinsik yang berada dalam lingkungan pekerjaan, yang berhubungan dengan konteks pekerjaan (job context) yang meliputi: upah/gaji, status, keamanan kerja, kondisi kerja, kebijakan perusahaan, hubungan rekan kerja, dan pengawasan. Menurut Herzberg, faktor-faktor ini ada untuk menjaga kepuasan yang terjadi dan bersifat pencegahan terjadinya ketidakpuasan, serta mendorong pegawai untuk tetap pada pekerjaannya. Apabila faktor-faktor ini tidak terpenuhi, maka dapat membuat ketidakpuasan pegawai, tetapi jika dipenuhi, tidak selalu meningkatkan kepuasan. Ketidakpuasan kerja merupakan akibat dari kondisi yang mengelilingi dimana pekerjaan dilakukan (Rowland, 2012). Dengan demikian, kunci meningkatkan tingkat kepuasan pegawai menurut teori dua faktor ini adalah dengan memenuhi faktor hygience dan memaksimalkan motivator. Dari berbagai teori kepuasan kerja yang dijelaskan di atas, maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori dua faktor (two-factor theory) dari Herzberg (Manisera.,et al, 2005 & Rowland, 2012). Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan kerja selalu dihubungkan dengan faktor motivator/isi pekerjaan (job content), sedangkan ketidakpuasan kerja disebabkan karena hubungan pekerjaan tersebut dengan aspek-aspek disekitar yang berhubungan dengan faktor hygiene /konteks pekerjaan (job context). 37
Penggunaan teori kepuasan kerja tersebut disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk menjelaskan kepuasan kerja pendeta GPM melalui teori dua faktor tersebut. Alasannya bahwa pendeta sebagai pegawai organik GPM akan meras puas dalam pekerjaannya apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Semakin besar kebutuhan pendeta terpenuhi, makin puas pula pendeta tersebut. Begitu pula sebaliknya, makin sedikit kebutuhan pendeta yang terpenuhi, pendeta tersebut akan merasa tidak puas dalam pekerjaan.
2.2.3 Aspek-Aspek Kepuasan Kerja Colee (2013) dalam mengukur kepuasan kerja “Church Staff Members‟ (Majelis Gereja) menggunakan job satisfaction survey (JSS) berdasarkan sembilan aspek kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Spector (1997) antara lain: 1. Gaji/upah, didefinisikan sebagai kepuasan dengan kompensasi finansial yang diterima untuk melakukan pekerjaan itu. 2. Promosi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan kesempatan untuk dipromosikan atau maju dalam pekerjaan. 3. Pengawasan, didefinisikan sebagai kepuasan dengan atasan langsung, atau dalam hal ini, pendeta senior. 4. Tunjangan, didefinisikan sebagai kepuasan dengan manfaat tambahan atau imbalan yang ditawarkan. 5. Upah tambahan/Bonus, didefinisikan sebagai kepuasan dengan imbalan tambahan yang ditawarkan untuk kinerja yang baik. 6. Kondisi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan aturan dan prosedur dalam lingkungan kerja.
38
7. Rekan kerja, didefinisikan sebagai kepuasan dengan siapa yang bekerja. 8. Sifat Kerja, didefinisikan sebagai kepuasan dengan sifat dari pekerjaan itu sendiri. 9. Komunikasi, didefinisikan sebagai kepuasan dengan komunikasi dalam organisasi. Sementara
itu,
Dhespande
(1996)
dalam
penelitiannya,
mengukur kepuasan kerja dengan Overall Job Satisfaction yang terdiri atas lima aspek yakni; upah, promosi, kepuasan dengan rekan kerja, kepuasan dengan pengawasan, dan kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri. Dalam penelitiannya, dijelaskan bahwa: 1). Upah adalah dimana seseorang meyakini apa yang harus didapatkan; 2). Promosi mengukur bagaimana perasaan karyawan tentang prosedur administrasi yang sesuai dengan pemberian promosi. Berbagai faktor yang menciptakan kepuasan dengan promosi adalah: frekuensi promosi, pentingnya promosi, dan keinginan untuk promosi. 3). Kepuasan dengan rekan kerja. Kepuasan dengan rekan kerja untuk melihat seberapa baik karyawan bergaul dengan karyawan lainnya dan seberapa baik seorang karyawan melihat ke sesama karyawannya. 4). Kepuasan dengan pengawasan, jika pengawas
dianggap
memiliki
kompeten
dengan
pekerjannya.
5). Kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri, bagaimana perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, dan segi pekerjaan itu sendiri, yakni peluang bagi kreativitas dan berbagai tugas, memungkinkan individu untuk meningkatkan pengetahuannya, dan perubahan tanggung jawab, jumlah pekerjaan, otonomi, job enrichment, dan kompleksitas pekerjaan. Aspek-aspek
yang
digunakan
oleh
Desphane
dalam
penelitiannya, juga digunakan oleh Koh dan Boo (2001) yang mengembangkan pengukuran kepuasan kerja yang disebut Job 39
Satisfaction Questionnaire (JSQ) berdasarkan lima aspek kepuasan kerja yang meliputi: kepuasan terhadap gaji, kepuasan terhadap promosi, kepuasan terhadap rekan kerja, kepuasan terhadap supervisi/atasan, dan kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Herzberg. Penjelasan kelima aspek sebagai berikut: 1. Kepuasan terhadap gaji, berhubungan dengan gaji yang diberikan organisasi dibandingkan dengan organisasi lainnya; mempertimbangkan gaji dengan tanggungjawab dan tunjangantunjangan yang memuaskan di tempat kerja. 2. Kepuasan terhadap promosi, berhubungan dasar atau sistem promosi di tempat kerja dalam pekerjaannya dan tingkat karir anggota yang bekerja dalam suatu organisasi. 3. Kepuasan terhadap rekan kerja, berhubungan dengan rekan kerja dan kerja sama dari rekan kerja. 4. Kepuasan terhadap supervisi, berhubungan dengan dukungan dari atasan; atasan yang berkompeten di bidangnya; sikap atasan yang tidak mendengarkan pendapat orang lain; dan perlakuan yang tidak adil oleh atasan. 5. Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, berkaitan dengan perasaan anggota organisasi yang terkait dengan pekerjaan, rasa senang dengan jumlah beban pekerjaan dan kirangnya prestasi anggota dalam mengerjakan tugas dalam pekerjaan. Dari berbagai aspek kepuasan kerja di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan lima aspek kepuasan kerja yang dikemukakan oleh Despane (1996), dan dikembangkan oleh Koh dan Boo (2001). Alasannya, karena aspek-aspek tersebut diyakini memiliki relevansi dengan karakteristik pekerjaan sebagai pendeta pada organisasi GPM. Sebagai pegawai (pekerja gereja), kelima aspek kepuasan kerja 40
yang dikemukakan meliputi gaji yang diterima, promosi, rekan kerja, supervisi/pengawasan, dan pekerjaan itu sendiri diyakini memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja pendeta GPM. Dengan demikian, kelima aspek ini akan digunakan penulis untuk mengukur kepuasan kerja pendeta GPM yang merupakan subjek dari penelitian ini.
2.3
Kecerdasan Emosional
2.3.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Istilah “kecerdasan emosional” secara resmi dicetuskan oleh psikolog Salovey dan Mayer (1990) yang menghasilkan teori dan definisi komprehensif pertama mengenai kecerdasan sosial. Bermula dari dasar teori emosi dan berbagai kecerdasan, maka kecerdasan emosional didefinisikan sebagai subset kecerdasan sosial yang mencakup kemampuan untuk memonitor perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan emosi dan perasaan, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun pemikiran dan tindakan seseorang. Definisi kecerdasan emosional tersebut ditegaskan oleh Salovey dan Mayer (1990, h.189), kecerdasan emosional adalah: “The subset of social intelligence that involves the ability to monitor one‟s own and other‟s feeling and emotions, to discriminate among them and to us this information to quide one‟s thinking and actions”. Definisi ini sejalan dengan Labbaf (2011, h.537) yang menyimpulkan pemahaman mengenai kecerdasan emosional dengan menyatakan: “According to them, emotional intelligence is the ability to monitor one‟s own and others‟ emotions, to discriminate among them, and use the information to guide one‟s thinking and actions.” Pendapat ini mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk memahami 41
emosi dirinya sendiri dan emosi orang lain untuk membedakannya dan menggunakan informasi untuk mengarahkan pemikiran dan tindakan seseorang. Lebih lanjut, Mayer dan Salovey mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mempersepsikan emosi, untuk mengakses dan membangkitkan emosi sehingga dapat membantu pikiran memahami emosi dan makna emosional, dan untuk merefleksikan pengaturan emosi untuk mendorong emosi dan pikiran menjadi lebih baik. Definisi ini ditegaskan oleh Mayer dan Salovey (dalam Oney, 2009, h.25), kecerdasan emosional adalah:“ability to perceive emotions, to access and generate emotions so as to assist thought, to understand emotions and emotional meanings, and to reflectively regulate emotions so as to promote both better emotion and thought”. Pernyataan ini kemudian didukung oleh Mayer, Salovey, dan Caruso, mendefinisikan kecerdasan emosional adalah: kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan
emosi,
mengasimilasi
emosi
dalam
pikiran,
memahami dan memberikan pertimbangan yang sehat dengan emosi, dan mengatur emosi dalam diri dan orang lain. Ungkapan ini ditegaskan oleh Mayer, Salovey, dan Caruso (dalam Gowing, 2001, h.85), kecerdasan emosional adalah: “the ability to perceive and express emotion, assimilate emotion in thought, understand and reason with emotion, and regulate emotion in the self and others”. Sementara itu, ada pernyataan yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah: kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam menghadapi frustrasi; untuk mengontrol impuls dan menunda kepuasan; untuk mengatur suasana hati seseorang dan menjaga tekanan dari hilangnya kemampuan untuk berpikir. Pengertian kecerdasan emosional ini ditegaskan oleh Goleman (dalam Oney 2009, 42
h.25), kecerdasan emosional adalah:“being able to motivate oneself and persist in the face of frustrations; to control impulse and delay gratification; to regulate one‟s moods and keep distress from swamping the ability to think”. Selanjutnya, Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosional mengarah pada kapasitas pengenalan perasaan diri sendiri dan orang lain, kapasitas memotivasi diri sendiri dan kapasitas mengelola emosi diri dengan baik dan dalam hubungan dengan orang lain. Penjelasan ini di tegaskan oleh Goleman (dalam Labbaf 2011, h.532), “Emotional intelligence „„refers to the capacity for recognizing our own feelings and those of others, for motivating ourselves, and for managing emotions well in ourselves and in our relationships”. Pengertian kecerdasan emosional tersebut sejalan dengan pernyataan bahwa kecerdasan emosional adalah: kemampuan seseorang mengetahui apa yang dirasakan, dan mampu memotivasi diri untuk dapat melakukan tugastugas dengan lebih baik. Kepekaan terhadap perasaan orang lain, dan mampu menjalin hubungan yang lebih baik. Definisi ini diungkapkan oleh Dulewicz dan Higgs (dalam John, 2011, h.436), “Emotional intelligence is about knowing what you are feeling, and being able to motivate yourself to get jobs done. It is sensing what others are feeling and handling relationships effectively.” Dalam satu kesempatan, Goleman (2007) dalam bukunya “working with emotional intelligence” sebagaimana dikutip oleh Bakumawa (2012), bahwa kecerdasan emosional adalah: kemampuan mendengarkan emosi dengan baik dan menjadikan hal tersebut sebagai sumber informasi penting untuk membangun efektivitas hubungan intrapersonal dan interpersonal yang diekspresikan melalui kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. 43
Demikian halnya Covey (2005), menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah: pengetahuan mengenai diri sendiri, kesadaran diri, kepekaan sosial, empati, dan kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik dengan orang lain. Selanjutnya, Bar-on (Stein & Howard, 2002) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan serangkaian kemampuan,
kompetensi,
dan
kecakapan
non
kognitif
yang
memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Sementara itu, ada pendapat yang mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional adalah: kemampuan untuk memahami, menerima dan mengakui emosi dan perasaan kita sendiri, termasuk dampaknya terhadap diri kita sendiri dan orang lain dan menggunakan pengetahuan ini
untuk
meningkatkan
perilaku
serta
untuk
mengelola
dan
meningkatkan hubungan kita dengan orang lain. Pendapat tersebut diperjelas oleh Cartwright dan Solloway (2007, h.1), “Emotional Intelligence is the ability to understand, accept and recognize our own emotions and feelings, including their impact on ourselves and other people and to use this knowledge to improve our own behaviours as well as to manage and improve our relationship with others”. Kishan dan Sebastian (2014) mendefinisikan kecerdasan emosional adalah: kemampuan untuk secara efektif mempersepsikan, mengungkapkan, memahami, dan mengelola emosi diri dan emosi orang lain dengan cara yang positif dan produktif. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional berkaitan dengan kapasitas untuk
melihat
emosi,
memahami
informasi
dari
emosi
dan
mengelolanya. Hal tersebut diperjelas oleh Marques (dalam John, 2011, h.437), “Emotional intelligence is involved in that capacity to perceive 44
emotions, understand the information of those emotions and manage them”. Berdasarkan beberapa pengertian kecerdasan emosional yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah: kemampuan individu dalam mengelola emosi diri dan emosi orang lain dengan cara yang positif dan produktif untuk membangun hubungan intrapersonal dan interpersonal yang efektif di tempat kerja, yang di implementasikan melalui kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial dalam upaya melaksanakan program-progam pelayanan sesuai dengan visi, misi dan tujuan organisasi.
2.3.2 Teori Kecerdasan Emosional Dalam bidang Psikologi, akar teori kecerdasan emosional setidaknya berawal dari gerakan pengujian kecerdasan. E. L. Thorndike (1920), Profesor Psikologi Pendidikan di Columbia University Teachers College, yang pertama kali mengidentifikasi aspek kecerdasan emosional yang ia sebut sebagai kecerdasan sosial (social intelligence). Menurut Thorndike (Goleman, 2001), kecerdasan sosial adalah: kemampuan untuk memahami dan mengelola antara pria dan wanita, anak-anak-untuk bertindak bijaksana dalam hubungan sesama manusia. Lebih lanjut, Thorndike.,et al (Oney, 2009) menjelaskan, kecerdasan sosial merupakan faktor yang dapat berkontribusi terhadap persepsi keadaan internal tentang diri dan orang lain. Pada tahun 1983, teori kecerdasan emosional menjadi bagian dari pandangan Garner tentang multiple intelligence yang mencakup dua jenis kecerdasan pribadi yaitu; kecerdasan interpersonal dan kecerdasan 45
intrapersonal. Salah satu aspek dari kecerdasan pribadi yang berkaitan dengan perasaan dan cukup dekat dengan apa yang disebut sebagai kecerdasan emosional (Salovey & Meyer, 1990; Goleman, 2001). Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk memahami niat, motivasi, dan keinginan orang lain, dan konsekuensinya dapat bekerja secara efektif dengan orang lain. Ungkapan ini ditegaskan oleh Gardner (dalam Perez., et al, 2005, h.124), bahwa: “interpersonal intelligence denotes a person‟s capacity to understand the intentions, motivations, and desires of other people and, consequently, to work effectively
with
others”.
Sebaliknya,
kecerdasan
intrapersonal
melibatkan kemampuan untuk memahami diri sendiri, untuk memiliki model kerja yang efektif dari diri termasuk keinginan sendiri, ketakutan, dan kapasitas untuk menggunakan informasi tersebut secara efektif dalam mengatur kehidupan diri seseorang. Ungkapan ini juga ditegaskan oleh Gardner (dalam Perez.,et al, 2005, h.124), bahwa: “intrapersonal intelligence involves the capacity to understand oneself, to have an effective working model of oneself—including one‟s own desires, fears, and capacities —and to use such information effectively in regulating one‟s own life”. Berdasarkan konsep kecerdasan Gardner, pada tahun 1990, Peter Salovey dari Yale dan rekannya John Mayer dari University of New Hampshire menerbitkan karya artikel "Emotional Intelligence." Artikel ini kemudian menjadi teori kecerdasan emosional yang paling berpengaruh dalam berbagai bentuk sekarang ini. Model asli Salovey dan Mayer (1990), mengidentifikasi kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, untuk membedakan antara mereka, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan seseorang. Definisi ini 46
ditegaskan oleh Salovey dan Mayer (dalam Aghdasi.,et al, 2011, h.1966), kecerdasan emosional adalah:“ability to monitor one‟s own and other‟s feelings and emotions, to discriminate among them, and to use this information to guide one‟s thinking and action”. Lebih lanjut, Schutte., et al (1997) menyatakan, teori kecerdasan emosional yang dicetuskan oleh Salovey dan Meyer (1990) memiliki dasar pikir tentang tiga aspek kemampuan adaptif kecerdasan emosional yang meliputi: 1). Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion) yang terdiri dari aspek penilaian dan ekspresi dalam diri dan orang lain. Aspek penilaian dan ekspresi emosi dalam diri dibagi lagi ke dalam sub aspek yaitu, verbal dan non-verbal, dan penerapan pada orang lain dibagi menjadi sub aspek persepsi non verbal dan empati. 2). Regulasi emosi (regulation of emotion) yang terdiri dari regulasi emosi dalam diri dan orang lain, dan 3). Pemanfaatan emosi dalam pemecahan masalah (utilization of emotions in solving problems) yang terdiri dari aspekaspek perencanaan yang fleksibel, berpikir kreatif, mengendalikan suasana hati, dan motivasi emosi. Pada tahun 1995, teori kecerdasan emosional dipopulerkan oleh Goleman melalui bukunya “emotional intelligence” yang banyak menyajikan hubungan penting kecerdasan emosional dan memperluas konsep dengan memasukkan sejumlah keterampilan sosial dan komunikasi tertentu yang dipengaruhi oleh pemahaman dan ekspresi emosi (Schutte, 1997). Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan dalam menghadapi frustrasi; untuk mengontrol impuls dan menunda kepuasan; untuk mengatur suasana hati seseorang dan menjaga tekanan dari hilangnya kemampuan untuk berpikir. Ungkapan ini ditegaskan oleh Goleman (dalam Oney, 2009, h.25), kecerdasan emosional adalah:“being able to 47
motivate oneself and persist in the face of frustrations; to control impulse and delay gratification; to regulate one‟s moods and keep distress from swamping the ability to think”. Selanjutnya pada tahun 1997, Cooper dan Sawaf (Goleman, 2001) menerbitkan buku populer "EQ Eksekutif" yang menguraikan model kecerdasan emosional yang berhubungan dengan keterampilan dan sifat khusus untuk empat aspek antara lain: 1). Keterampilan emosional (emotional literacy), yang mencakup pengetahuan tentang emosi diri dan fungsinya; 2). Ketahanan emosional (emotional fitness), yang meliputi daya tahan emosional dan fleksibilitas; 3). Emosional yang mendalam (emotional depth), yang melibatkan intensitas emosional dan potensi untuk berkembang, dan 4). Alkimia emosional (emosional alchemy), yang mencakup kemampuan untuk menggunakan emosi untuk memicu kreativitas. Dalam perkembangan teori kecerdasan emosional, Mayer dan Salovey (1997) merumuskan model revisi kecerdasan emosional yang memberikan penekanan lebih pada komponen kognitif dengan mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mempersepsikan emosi, untuk mengakses dan membangkitkan emosi sehingga dapat membantu pikiran memahami emosi dan makna emosional, dan untuk merefleksikan pengaturan emosi untuk mendorong emosi dan pikiran menjadi lebih baik. Definisi ini ditegaskan oleh Mayer dan Salovey (dalam Oney, 2009, h.25), kecerdasan emosional adalah:“ability to perceive emotions, to access and generate emotions so as to assist thought, to understand emotions and emotional meanings, and to reflectively regulate emotions so as to promote both better emotion and thought”. Selanjutnya, menurut Mayer dan Salovey (Schutte.,et al, 1997), model yang direvisi terdiri dari empat kemampuan 48
kecerdasan emosional anatar lain; 1). Persepsi, penilaian dan ekspresi emosi; 2). Fasilitasi emosional berpikir; 3). Pemahaman, menganalisis dan menggunakan pengetahuan emosional, dan 4). Regulasi emosi untuk pertumbuhan emosi dan intelektual lebih lanjut. Persepsi, penilaian dan ekspresi emosi dipandang sebagai proses yang paling dasar, sedangkan regulasi emosi membutuhkan proses yang paling kompleks. Penekanan ini berfokus pada kemampuan mental yang spesifik untuk mengenali dan mengatur emosi (misalnya, mengetahui apa yang seseorang rasakan adalah kemampuan mental, sedangkan yang keluar dan yang ditunjukan adalah perilaku). Pada tahun 1998, dalam bukunya “Working with Emotional Intelligence”, Goleman melakukan penyempurnaan pada model kecerdasan emosional yang digunakan sebelumnya. Ia mengusulkan teori kinerja yang dibangun di atas model dasar kecerdasan emosional, beradaptasi untuk memprediksi efektivitas pribadi di tempat kerja dan dalam kepemimpinan yang diwujudkan dalam kesuksesan kerja. Model kecerdasan emosional Goleman (1998) berisi empat gagasan/konsep kecerdasan emosional yang menonjol antara lain; (a) Kesadaran diri (Self awareness) adalah: kemampuan untuk memahami diri sendiri, sering disebut sebagai kecerdasan intrapersonal; (b) manajemen diri (self-management) adalah: kemampuan untuk mengendalikan emosi dan impuls seseorang dan beradaptasi dengan perubahan situasi; (c) kesadaran sosial (social awareness) adalah: kecerdasan interpersonal yang mencerminkan kemampuan untuk merasakan, memahami, dan bereaksi terhadap emosi orang lain; dan (d) manajemen hubungan (relationship management) adalah: kemampuan untuk menginspirasi, mempengaruhi, dan mimbina orang lain untuk mengelola konflik (Oney, 2009; Goleman, 2001). 49
Sementara itu, Goleman (Labbaf, 2011; Goleman, 2001) menyatakan bahwa kecerdasan emosional mengarah pada kapasitas pengenalan perasaan diri sendiri dan orang lain, kapasitas memotivasi diri sendiri dan kapasitas mengelola emosi diri dengan baik dan dalam hubungan dengan orang lain. Hal ini kemudian diidentifikasi ke dalam lima domain atau aspek kemampuan kecerdasan emosional yang terdiri dari dua kompetensi antara lain; 1). Kompetensi pribadi (competencies personal) yaitu, mengetahui dan mengelola emosi dalam diri yang meliputi: Kesadaran Diri (self awareness), pengaturan diri (self regulasi), dan Motivasi (motivation); 2). Kompetensi sosial (social competencies) yaitu, mengetahui dan mengelola emosi orang lain yang meliputi: Empati (empathy) dan keterampilan Sosial (social skill). Pada suatu kesempatan, menurut Huges.,et al (2012), berbagai teori kecerdasan emosional dapat dibagi menjadi dua model yaitu; model kemampuan (ability model) dan model campuran (mixed model). Model kemampuan berfokus pada bagimana emosi memengaruhi cara para pemimpin berpikir, memutuskan, merencanakan, dan bertindak. Model ini mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai empat kemampuan terpisah tapi berhubungan, yang meliputi: 1). Kemampuan memahami diri sendiri dan emosi orang lain secara akurat; 2). Kemampuan menghasilkan emosi untuk memfasilitasi pikiran dan tindakan; 3). Kemampuan untuk secara akurat memahami penyebab emosi dan makna yang mereka sampaikan; 4). Kemampuan mengatur emosi
seseorang.
Sedangkan
model
campuran
mendefinisikan
kecerdasan emosional tidak hanya mencakup kemampuan, tetapi juga sejumlah atribut lain yang jauh lebih luas dan komprehensif. Hal tersebut di atas juga diungkapkan oleh (Oney, 2009), bahwa ada dua model kecerdasan emosional yang dominan yaitu model 50
campuran dari Bar-On dan model kemampuan dari Mayer, Salovey, dan Caruso. Model campuran (mixed model) yang dikemukakan oleh Bar-On dalam teorinya menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah: suatu kesatuan kecakapan nonkognitif, kompetensi, dan keterampilan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan lingkungan dan tekanan. Pernyataan ini ditegaskan oleh Bar-On (dalam Oney, 2009, h.25-26), kecerdasan emosional adalah:“an array of noncognitive capabilities, competencies, and skills that influence one‟s ability to succeed in coping with environmental demands and pressures”. Kecerdasan emosional menurut Bar-on meliputi lima aspek utama antara lain: 1). Intrapersonal, meliputi: penghargaan diri, kesadaran diri emosional, ketegasan, kebebasan, dan aktualisasi diri; 2). Interpersonal, meliputi: empaty, tanggungjawab sosial, dan hubungan interpersonal; 3). Adaptasi, meliputi: pengujian kenyataan, fleksibilitas, dan pemecahan masalah; 4). Manajemen stress, meliputi: daya tahan terhadap stress, dan Kontrol impuls; dan 5). Suasana hati secara umum, meliputi: optimisme, dan kebahagiaan. Dari berbagai teori kecerdasan emosional yang dijelaskan di atas, maka untuk kepentingan penelitian ini, penulis mengadaptasi teori kecerdasan emosional dari Goleman (1998) yaitu tentang teori kinerja yang dibangun di atas model dasar kecerdasan emosional. Hal ini penting sebab sebagai pegawai (pekerja gereja), pendeta harus memiliki kecerdasan emosional yang baik untuk meningkatkan efektivitas pribadi dan kepemimpinan di tempat kerja. Pendeta yang memiliki kecerdasan emosional yang baik mencerminkan potensi dirinya dalam hal keterampilan kesadaran diri (self-awareness), manajemen diri (selfmanagement), kesadaran sosial (social awareness), dan manajemen 51
hubungan
(relationship
management)
yang
diwujudkan
dalam
kesuksesan kerja.
2.3.3 Aspek - Aspek Kecerdasan Emosional Ada tiga aspek utama kecerdasan emosional menurut Salovey & Mayer (1990) yaitu; 1). Penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion) yang terdiri dari aspek penilaian dan ekspresi dalam diri dan orang lain. Aspek penilaian dan ekspresi emosi dalam diri dibagi lagi ke dalam sub aspek yaitu, verbal dan non-verbal, dan penerapan pada orang lain dibagi menjadi sub aspek persepsi non verbal dan empati. 2). Regulasi emosi (regulation of emotion) yang terdiri dari regulasi emosi dalam diri dan orang lain, dan 3). Pemanfaatan emosi dalam pemecahan masalah (utilization of emotions in solving problems) yang terdiri dari aspek-aspek perencanaan yang fleksibel, berpikir kreatif, mengendalikan suasana hati, dan motivasi emosi (Schutte, et al, 1997). Sementara itu, Goleman (Luthans, 2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional meliputi lima aspek, antara lain: 1. Kesadaran
diri,
dengan
karakteristik
pemahaman
diri;
pengetahuan tentang perasaan sebenarnya pada satu kejadian. 2. Manjemen diri, dengan karakteristik menangani emosi untuk memudahkan, bukannya menghalangi tugas; tidak setuju dengan emosi negatif dan kembali ke jalur konstruktif untuk penyelesaiaan masalah. 3. Motivasi diri, dengan karakteristik tetap pada tujuan yang diinginkan mengatasi impuls emosi negatif dan menunda gratifikasi untuk memperoleh hasil yang diinginkan. 52
4. Empati, dengan karakteristiknya memahami dan sensitive dengan perasaan orang lain; dapat merasakan apa yang dirasakan dan diinginkan orang lain. 5. Keterampilan sosial,
dengan karakteristiknya kemampuan
membaca situasi sosial, lancar dalam berinteraksi dengan orang lain dan membentuk jaringan; dapat menuntun emosi dan tindakan orang lain. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Robbins dan Judge (2008), bahwa orang - orang yang mengenal emosi mereka sendiri dan mampu dengan baik membaca emosi orang lain dapat menjadi lebih efektif dalam pekerjaan mereka. Hal itu dapat dilakukan melalui lima aspek kecerdasan emosional yakni; 1). Kesadaran diri; sadar atas apa yang anda rasakan; 2). Manajemen diri; kemampuan mengelola emosi dan dorongan-dorongan anda sendiri; 3). Motivasi diri; kemampuan bertahan dalam menghadapi kemunduran dan kegagalan; 4). Empati; kemampuan merasakan apa yang dirasakan orang lain; dan 5). Keterampilan sosial; kemampuan menangani emosi-emosi orang lain. Selanjutnya menurut Yukl (2005), kecerdasan emosional meliputi empat aspek yang saling berhubungan, yakni: 1. Kesadaran diri merupakan pemahaman atas mood dan emosi orang itu sendiri, bagaimana berubah seiring waktu, dan implikasinya pada kinerja tugas dan hubungan antarpribadi. 2. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan seseorang secara akurat kepada orang lain dengan bahasa dan komunikasi non verbal. 3. Empati adalah kemampuan untuk mengenali mood dan emosi pada orang lain dan memahami bagaimana hal itu bereaksi terhadap emosi dan perilaku anda. 53
4. Pengaturan diri adalah kemampuan untuk menyalurkan emosi ke dalam perilaku yang tepat untuk situasi itu, bukannya memberikan respons dengan prilaku yang impulsif atau menarik diri ke dalam sebuah keadaan depresi setelah mengalami kekecewan. Dalam pengembangan dan validasi ukuran baru, Tsaosis (2008) dalam pengukurannya tentang Self-Repport kecerdasan emosional yang disebut Greek Emotional Intelligence Scale (GEIS), dikembangkan untuk mengukur sifat kecerdasan emosional yang terdiri dari empat aspek keterampilan emosional berdasarkan teori Mayer dan Salovey (1997), meliputi; ekspresi dan pengenalan emosi (expression and recognition of emotion); mengelola emosi (control of emotions); menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (use of emotion for facilitating thinking); dan kepedulian dan empati (caring and empathy). Penjelasannya sebagai berikut:
1. Ekspresi dan pengenalan emosi (expressioan & recognition of emotions). Menggunakan hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakan dan menuntun menuju sasaran, membantu diri dalam mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
2. Mengelola emosi (control of emotions). Menangani emosi dalam diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
3. Menggunakan emosi untuk memfasilitasi pikiran (use of emotional for facilitating thinking). Mengetahui apa yang 54
dirasakan pada suatu dan menggunakannya untuk memandu dalam pengambilan keputusan serta menjadi tolak ukur yang realistis atas kemampuan dan kepercayaan diri yang kuat.
4. Kepedulian atau empati (caring & empathy). Merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif orang lain, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang. Sementara itu, Wong dan Law (Libbrecht.,et al, 2010) mengembangkan skala pengukuran tentang Self-Repport kecerdasan emosional atau Wong Lau Emotional Intelligence Scale (WLEIS), yang digunakan untuk penilaian diri dan orang lain. Skala kecerdasan emosional ini didasarkan pada empat aspek dari definisi kecerdasan emosional Davies., et al (1998) yaitu; 1). Penilaian emosi diri (selfemotion appraisal), mengukur kemampuan individu untuk memahami dan mengekspresikan emosi mereka sendiri; 2). Penilaian emosi orang lain (others emotion appraisal), mengukur kemampuan seseorang untuk merasakan dan memahami emosi orang lain; 3). Penggunaan Emosi (use of emotion), menunjukkan kemampuan individu untuk menggunakan emosi mereka secara efektif dengan mengarahkan pada kegiatan yang konstruktif dan kinerja individu. 4). Pengaturan emosi (regulation of emotion) mengacu pada kemampuan individu untuk mengelola emosi mereka sendiri. Lebih lanjut, Boyatzis, Goleman, dan Rhee (dalam Gowing, 2001) mengembangkan Emotional Competence Inventory (ECI) untuk mengukur 20 kompetensi kecerdasan emosional berdasarkan empat aspek kecerdasan emosional dari teori Goleman (1998) antara lain; kesadaran diri (self-awareness); manajemen diri (self-management); 55
kesadaran sosial (social awareness), dan manajemen hubungan (relationship management). Dalam perkembangan ECI, Sala (2002) menyederhanakan
pengukuran
kompetensi
kecerdasan
emosional
menjadi 18 kompetensi berdasarkan empat aspek kecerdasan emosional dari teori working with emotional intelligence Goleman (1998), antara lain: 1. Self-Awareness (Kesadaran Diri) adalah: kemampuan untuk memahami diri sendiri, preferensi, sumber informasi, dan intuisi. Aspek kesadaran diri meliputi tiga kompetensi: a. Kesadaran emosional (emotional awareness). Mengenali emosi diri dan efeknya. b. Akurat Penilaian Diri (accurate self-assesment). Mengetahui kekuatan dan kelemahan diri. c. Percaya Diri (self-confidance). Perasaan yang kuat tentang harga diri dan kemampuan diri. 2. Self-Management (Manejemen Diri) adalah: kemampuan untuk mengelola emosi dalam diri, impuls, dan sumber informasi. Aspek manajemen diri meliputi enam kompetensi: a. Pengaturan
diri
Emosional
(Emotional
Self-control).
Mengatur emosi dan mengurangi impuls yang menggangu. b. Transparan (Transparency). Menjaga integritas, bertindak sesuai dengan nilai-nilai diri. c. Adaptasi (Adaptability). Fleksibel dalam menangangi sebuah perubahan. d. Prestasi (Achievement). Berusaha untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan e. Inisiatif (Initiative). Kesiapan untuk bertindak mendapatkan peluang. 56
f. Optimis (Optimisme). Ketekunan dalam mengejar tujuan walaupun rintangan dan hambatan. 3. Social Awareness (Kesadaran Sosial) adalah: kemampuan untuk menangani
hubungan
dan
kesadaran
terhadap
perasaan,
kebutuhan, dan kepentingan orang lain. Aspek kesadaran sosial terdiri atas tiga kompetensi: a. Empati (Empathy). Merasakan perasaan dan perspektif orang lain, dan memberikan perhatian aktif dalam keprihatinan mereka. b. Kesadaran
Organisasi
(Organizational
awareness).
Mempelajari situasi emosional kelompok dan hubungan kekuasaan. c. Orientasi Pelayanan (Service Orientation). Mengantisipasi, mengenali, dan memenuhi kebutuhan pelanggan. 4. Relationship Management (Manejemen Hubungan) adalah: kemampuan untuk menimbulkan respon yang di inginkan pada orang lain. Dimensi manajemen hubungan terdiri atas enam kompetensi: a. Pengembangan orang lain (Developing others). Merasakan kebutuhan untuk pengembangan diri orang lain, dan memperkuat kemampuan mereka. b. Kepemimpinan Inspirasional (Inspirational Leadership). Menjadi inspirasi dan membimbing individu dan kelompok. c. Katalis
Perubahan
(Change
Catalyst).
Inisitaif
atau
mengelola perubahan. d. Pengaruh (Influence.). Menggunakan
taktik yang efektif
untuk mendapat kepercayaan. 57
e. Manajemen Konflik (Conflict Management). Negosiasi dan menyelesaikan perselisihan. f. Team Kerja dan Kolaborasi (Teamwork and Collaboration). Menciptakan visi bersama dan sinergi dalam kerja sama tim, bekerja dengan orang lain menuju tujuan bersama. Dari berbagai aspek kecerdasan emosional di atas, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan empat aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Sala (2002) berdasarkan pengembangan dari teori Golemen (1998). Alasannya, karena aspek-aspek tersebut sangat relevan dengan karakteristik pekerjaan pendeta GPM. Pendeta sebagai pegawai (pekerja gereja) harus memiliki kecerdasan emosional yang baik untuk meningkatkan efektivitas pribadi dan kepemimpinan di tempat kerja. Pendeta yang memiliki kecerdasan emosional yang baik mencerminkan potensi dirinya dalam hal keterampilan kesadaran diri (self-awareness), manajemen diri (self-management), kesadaran sosial (social
awareness),
dan
manajemen
hubungan
(relationship
management) yang diwujudkan dalam kesuksesan kerja. Hal ini tentunya berimplikasi untuk meminimalisir perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan dan aturan organisasi, sehingga akan berdampak positif bagi efektifitas pelaksanaan program-program pelayanan gereja. Dengan demikian, keempat aspek ini akan digunakan penulis untuk mengukur kecerdasan emosional pendeta GPM yang merupakan subjek dari penelitian ini.
58
2.4.
Jenis Kelamin
2.4.1. Pengertian Jenis Kelamin Menurut Wahab (2012), manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan secara kodrat dibedakan menjadi dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Antara kedua jenis kelamin tersebut terdapat perbedaan karakteristik khas yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya, baik ditinjau dari segi fisik maupun dari segi psikis. Jenis kelamin dalam bahasa Inggris disebut dengan „sex‟. Sex berasal dari bahasa Latin “secare” yang mempunyai arti membagi atau memisahkan. Hal ini ditegaskan oleh Handayani dan Sugiarti (2002), bahwa seks adalah: pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Dengan demikian seks mengandung arti perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis serta memiliki perbedaan dan ciri-ciri sendiri. Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi organisme yang berbeda Sementara itu, Sasongko (2009) menyatakan bahwa jenis kelamin atau seks adalah: perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan sehingga bersifat permanen dan universal. Definisi jenis kelamin kemudian dipertegas oleh Badudu dan Zain (2001), jenis kelamin adalah: pembedaan atas laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina. Pembedaan itu berdasarkan perbedaan biologis yang dibawa sejak lahir dan mempunyai ciri-ciri diantaranya pada genital, bentuk tubuh, kepala, payudara, pinggul, tangan dan kaki, rambut yang tampak. Seluruh
59
perbedaan yang ada menjadikan perempuan dan laki-laki berbeda satu dengan yang lain dalam hal biologis maupun psikologis. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin (seks) dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis memiliki ciri-ciri tersendiri. Secara kodrati, keduanya (perempuan & laki-laki) memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Jadi, secara umum jenis kelamin (seks) digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis.
2.5.
Hasil-Hasil Penelitian Sebelumnya Komitmen pegawai terhadap organisasi merupakan salah satu
faktor penting dalam suatu organisasi. Semakin baik komitmen organisasi pegawai maka efektifitas pelaksanaan tugas akan lebih optimal. Tanpa komitmen yang baik dari pegawai, organisasi akan mengalami kesulitan mencapai hasil yang maksimal. Komitmen yang baik dari seorang pegawai terhadap organisasi mencerminkan besarnya rasa tanggungjawab terhadap tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Hal ini dapat mendorong gairah kerja, semangat kerja dan mendukung tercapainya tujuan organisasi. Dengan demikian, untuk meningkatkan komitmen pegawai bagi organisasinya, maka perlu ditelusuri faktorfaktor apa saja memiliki hubungan dengan peningkatan komitmen organisasi pegawai. Oleh sebab itu, berbagai penelitian sebelumnya telah menemukan hasil analisa bahwa, kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan karakteristik personal (jenis kelamin) menjadi faktor yang memiliki keterkaitan dengan komitmen organisasi.
60
2.5.1. Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Komitmen Organisasi Untuk mendorong agar pegawai memiliki komitmen yang baik, maka organisasi perlu berupaya agar para pegawainya memiliki kepuasan dalam bekerja. Artinya, kepuasan kerja merupakan salah satu faktor penting yang memiliki keterkaitan terhadap peningkatan komitmen organisasi. Ada berbagai temuan yang dilakukan oleh para ahli dalam kaitan dengan hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi diantaranya; penelitian Mohammed dan Eleswed (2013) terhadap 156 karyawan Bank Internasional Global di Manama, kerajaan Bahrain. Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang positif signifikan
antara
kepuasan
kerja
dengan
komitmen
organisasi
(r=0.669;p=0.00<0.05). Demikian juga, peneltian yang dilakukan oleh Ravindranath.,et al (2014) terhadap 117 perawat di rumah sakit India. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepuasan kerja dan komitmen organisasi perawat secara signifikan berhubungan satu sama lain dengan koefisien korelasi sebesar 0.54 (p<0.05). Penelitian yang dilakukan oleh Chan dan Qiu (2011) terhadap 213 buru migrant di kota Shishi, propinsi Fujian, juga menunjukan hasil yang sama. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi dengan nilai koefisien korelasi (r=0.488; p=0.000<0.01). Hal ini didukung oleh penelitian Azeem (2010), terhadap 128 karyawan di Industri Jasa yang menemukan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi (r=0.56, p = 0.00<0.05). Sementara itu, penelitian Srivastava (2013), terhadap 247 manajer tingkat menengah milik organisasi sektor swasta. Berdasarkan 61
hasil Korelasi Pearson Product Moment ditemukan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan positif yang signifikan dengan Komitmen Organisasi (r=0.72; p<0.01). Demikian juga penelitian dari Al-Aameri (2000), terhadap 400 perawat di sejumlah rumah sakit di kota Riyadh. Hasil penelitian menunjukan bahwa, kepuasan kerja berkorelasi positif signifikan dengan komitmen organisasi dengan koefisien korelasi 0.59 (p<0.01). Penelitian dari Xiao.,et al (2012), terhadap 191 pekerja kerah putih di perusahan otomotif Jerman di Cina, Shanghai menunjukan bahwa, ketiga aspek kepuasan kerja (otonomi pekerjaan, kepuasan penghargaan, dan kepuasan gaji) memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen organisasi karyawan dengan koefisien korelasi; koefisien korelasi aspek otonomi pekerjaan sebesar (r=0.543, p<0.01); kepuasan gaji (r=0.438, p<0.01), dan kepuasan penghargaan (r=0.360. p<0.01). Temuan ini menunjukkan bahwa karyawan dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi (tentang otonomi pekerjaan, kepuasan penghargaan, dan kepuasan gaji) lebih berkomitmen untuk organisasi mereka. Adanya hubungan antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi mengindikasikan bahwa pegawai akan berkomitmen bagi organisasi apabila organisasi tersebut dapat mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan pegawai tersebut. Jika kebutuhannya dapat terpenuhi, maka pegawai akan memperoleh kepuasan dalam bekerja sehingga menjadi daya dorong untuk tetap berkomitmen bagi organisasi tersebut. Semakin pegawai merasa puas dalam pekerjaannya, maka tingkat komitmen pegawai bagi organisasi tersebut akan semakin tinggi. Demikian halnya, apabila pegawai mengalami ketidakpuasan dalam pekerjaannya, maka komitmen pegawai bagi organisasi akan semakin rendah, sehingga berdampak pada kinerja dan produktifitas suatu organisasi. 62
Sebaliknya, ada beberapa hasil penelitian yang ditemukan berbeda oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Tat dan Rasli (2001), terhadap 103 pegawai di salah satu perguruan tinggi negeri-Malaysia, menunjukan hasil yang beragam antara aspek kepuasan kerja (desain pekerjaan, gaji, kesejahteraan, dan manajemen) dengan tiga komponen komitmen organisasi (afektif, kontinyu dan normatif). Hasil menunjukkan, ada hubungan lemah yang signifikan antara aspek kepuasan kerja (desain kerja) dan komitmen afektif (β=0.21, p<0.05), sedangkan aspek gaji dan kesejahteraan tidak ada hubungan yang signifikan dengan komitmen afektif. Selain itu, ditemukan hasil bahwa semua aspek kepuasan kerja tidak berhubungan secara signifikan dengan komitmen berkelanjutan dan komitmen normatif. Sementara itu, penelitian dari Suki dan Suki (2011), terhadap 112 pegawai sektor industri di Labuana menemukan hasil bahwa, kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki korelasi yang lemah (tidak kuat) dengan r = 0.575 pada tingkat kepercayaan 90%. Sedangkan, penelitian Curry.,et al (Malik.,et al, 2010); Mukhyi (Sijabat, 2011); dan William; Mathieu (Muhadi, 2007); Draper, Halliday, Jowett, Normand, dan O'Brien, (Aghdasi.,et al, 2011) menunjukan, tidak ada hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada karakteristik organisasi tertentu, komitmen organisasi tidak selalu berhubungan dengan seberapa puas atau tidak puas pegawai tersebut dalam pekerjaanya. Orientasi pegawai terhadap pekerjaan yang dilakukan dalam suatu organisasi tidak menempatkan aspek-aspek kepuasan kerja sebagai hal yang utama. Artinya, kepuasan kerja bukan menjadi sebuah hal yang mutlak bagi pegawai untuk berkomitmen bagi organisasi tersebut. 63
2.5.2. Hubungan Organisasi
Kecerdasan
Emosional
Dengan
Komitmen
Selain kepuasan kerja, beberapa peneliti sebelumnya juga telah melakukan penelitian terhadap keterkaitan antara kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi. Semakin tinggi kecerdasan emosional seorang pegawai maka semakin tinggi komitmen pegawai terhadap organisasi. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Sarboland (2012), terhadap 320 karyawan pada 19 kantor pajak di propinsi Ardebil. Berdasarkan analisis korelasi pearson diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi (Sig = 0.012<0.05). Demikian halnya penelitian yang dilakukan oleh Aghabozorgi.,et al (2014), terhadap 175 perawat rumah sakit umum di Sanandaj. Hasil menunjukan, kecerdasan emosional memiliki hubungan yang positif dengan komitmen organisasi perawat RSU Sanandaj (r = 0.76). Korelasi signifikan pada 0,05 dari tingkat alpha. Sementara itu, penelitian Antony (2013), terhadap 115 pekerja eksekutif di FCI OEN Konektor Cochin, Kerala menunjukan, ada hubungan positif kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi sebesar 0.39 (p<0.05). Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh Sani dan Ghorbani (2012), terhadap 147 pegawai keuangan dan kredit di Salehieen Institut Iran Timur. Hasil menunjukan, ada hubungan antara kecerdasan emosional dan komitmen organisasi pegawai nilai koefisien korelasi sebesar 0,429 (p<0.05). Demikian hal juga penelitian Amoozadeh., et al (2013), terhadap 200 karyawan bank dan lembaga keuangan kota Darrehshahr. Hasil menunjukan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan emosional dan komitmen organisasi (beta=0.459, t=5,110, p=0.000 < 0.05). Dengan demikian, 64
semakin tinggi kecerdasan emosional seorang pegawai, maka semakin tinggi pula komitmennya terhadap organisasi tersebut. Berbeda dengan hasil penelitian di atas, beberapa penelitian sebelumnya menemukan hasil yang berbeda antara lain: Beri dan Beri (2014) dalam penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan swasta di 30 Sekolah Menengah Atas di kabupaten Jammu menemukan hasil bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dan komitmen organisasi (r= - 0.01; p<0.05). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Aghdasi.,et al (2011), terhadap 234 karyawan pada sebuah organisasi di Iran. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecerdasan emosional tidak memiliki efek langsung terhadap komitmen organisasi. (β = 0.14, t = 1.79) pada tingkat sig. 0.05. Hasil temuan ini didukung oleh Efendi dan Sutanto (2013); Wong dan Law; dan Guleryus., et al (Aghdasi, 2011). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa komitmen organisasi tidak selalu memiliki hubungan dengan kemampuan pegawai mengelola emosinya dalam lingkungan pekerjaan. Artinya, pegawai yang cerdas emosi belum tentu memiliki komitmen orgaisasi yang tinggi. Demikian juga, pegawai yang kecerdasan emosi rendah belum tentu komitmen organisasinya juga rendah. Komitmen organisasi bukan disebabkan oleh seberapa cerdasnya pegawai mengelola emosinya.
2.5.3. Kepuasan Kerja Dan Kecerdasan Emosional Dengan Komitmen Organisasi Penelitian Akomolafe dan Olatomide (2013), terhadap 220 guru sekolah menengah di Ekiti State-Nigeria. Berdasarkan hasil uji korelasi regresi ditemukan nilai R sebesar 0.64, menunjukan adanya pengaruh kepuasan kerja dan kecerdasan emosional terhadap komitmen organisasi 65
dengan koefisien determinasi (R²) sebesar 0.55. Hal ini menunjukkan bahwa variabel kepuasan kerja dan kecerdasan emosional memberikan pengaruh terhadap perubahan variabel komitmen oganisasi sebesar 55%, sedangkan sisanya 45% dipengaruhi oleh variabel lain. Hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan kecerdasan emosional secara signifikan berpengaruh terhadap komitmen organisasi guru [F (2.217) = 44.74; P<0.05]. Temuan ini mengindikasikan bahwa kombinasi dari variabel independen (kepuasan kerja dan kecerdasan emosional) yang efektif dalam memprediksi komitmen organisasi guru dan itu tidak bisa terjadi secara kebetulan. Berdasarkan besarnya nilai koefisien korelasi berganda (0.64) dan multiple R Square (0.55) bisa disimpulkan bahwa 55% dari total varians dalam komitmen organisasi guru dipertanggungjawabkan dengan kombinasi linear dari variabel independen.
2.5.4. Pengaruh Interaksi Kepuasan Kerja Dan Jenis Kelamin Terhadap Komitmen Organisasi Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi kepuasan kerja dan jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, beberapa peneliti menemukan hasil yang berbeda. Penelitian dari Nifadkar dan Dongre (2014), terhadap 52 staf pengajar di Universitas, Pune-India, menemukan hasil bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi (β = 0,371, t= 2,615, p<0.013), namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan komitmen organisasi (β= -0,088, t= -0,592, p<0.558). Hasil penelitian ini didukung oleh Eftekhri dan Sadegh (2013), terhadap 183 orang ahli penyuluhan pertanian di propinsi Guilan. Hasil penelitian menunjukan, kepuasan kerja memiliki pengaruh yang signifikan dengan komitmen 66
organisasi, namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara kepuasan kerja laki-laki dan perempuan terhadap komitmen organisasi (t= 0.838; sig= 0.403 ≥ 0.01). Demikian juga penelitian dari Salami (2008), terhadap 320 karyawan organisasi layanan dan manufaktur di Oyo, Nigeria. Hasil penelitian menunjukan, kepuasan kerja secara signifikan memiliki pengaruh terhadap komitmen organisasi (R2= 03, β= 0.24,F = 5.20, p<0.05). Namun demikian, jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi (β=0.03; t= 0.60, p<0.05). Artinya, semakin tinggi tingkat kepuasan kerja pegawai laki-laki dan perempuan, semakin tinggi tingkat komitmen organisasi. Temuan ini mengindikasikan bahwa pegawai laki-laki dan perempuan memiliki kepuasan kerja yang sama, sehingga dalam melakukan pekerjaan dapat memberikan yang terbaik dengan ditunjukan melalui komitmen bagi organisasi. Oleh karena itu, organisasi perlu mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan setiap pegawai untuk meningkatkan komitmen terhadap organisasi tanpa harus ada diskriminasi. Sebaliknya, hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh Pala., et al (2008), terhadap 473 petugas kesehatan di Bursa-Turky. Hasil menunjukan, ada hubungan yang positif signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi staf perawat kesehatan 0.485 (p<0.01). Disamping itu, ditemukan juga bahwa jenis kelamin memiliki
hubungan
dengan
komitmen
organisasi.
Temuan
ini
mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan kerja pegawai laki-laki dan perempuan terhadap komitmen mereka bagi organisasi. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan akan lebih berkomitmen bagi organisasi apabila keinginan mereka dapat diakomodir sesuai dengan kebutuhan masing-masing. 67
2.5.5. Pengaruh Interaksi Kecerdasan Emosional Dan Jenis Kelamin Terhadap Komitmen Organisasi Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi kecerdasan emosional dan jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, beberapa peneliti menemukan hasil diantaranya; Franzway; Singh dan Vinnicombe (dalam Fisher.,et al, 2004), menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin, emosi dan komitmen organisasi. Dalam konteks organisasi, perempuan cenderung mengalami emosi yang berbeda dengan laki-laki dalam kaitan dengan komitmen organisasi. Terhadap perbedaan ini, perempuan
cenderung
menampilkan
perubahan
emosi
dalam
tindakannya sehingga sering diartikan sebagai kurangnya komitmen. Lebih lanjut Singh dan Vinnicombe mengatakan bahwa dalam kerja, wanita dianggap memiliki tingkat komitmen organisasi lebih rendah dari daripada laki-laki. Penelitian mereka menunjukkan bahwa komitmen perempuan terlibat pertimbangan emosional yang berbeda dengan lakilaki. Sebaliknya, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Beri dan Beri (2014), dalam penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan swasta di 30 Sekolah Menengah Atas di kabupaten Jammu, menemukah hasil bahwa kecerdasan emosional tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen organisasi (r= -0.01; p<0.05), dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kecerdasan emosional antara guru lakilaki dan perempuan, dengan t-nilai adalah 0,141 yang tidak signifikan pada 0,05 dan 0,01. Demikian juga penelitian Sani dan Ghorbani (2012), terhadap 147 personil keuangan dan kredit di Salehieen Institut-Iran Timur. Hasil menunjukan bahwa tingkat kecerdasan emosional antara laki-laki dan perempuan tidak menunjukan adanya perbedaan terhadap komitmen organisasi dengan hasil uji t= 0.263 (p<0.05). Hasil temuan 68
ini didukung oleh penelitian dari Aghdasi., et al (2012); Efendi dan Sutanto (2013; dan Wong dan Law; Guleryuz (Aghdasi, 2011). Temuan ini mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional dan jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi. Artinya, pegawai laki-laki dan perempuan memiliki kecerdasan emosional yang sama, sehingga dalam melakukan pekerjaan dapat memberikan yang terbaik dengan ditunjukan melalui adanya komitmen bagi organisasi.
2.5.6. Perbedaan Komitmen Organisasi Ditinjau Dari Jenis Kelamin Salah satu faktor demografi yang diteliti oleh beberapa penelitian sebelumnya dalam kaitan dengan komitmen organisasi adalah jenis kelamin. Penelitian Pala.,et al (2008), terhadap 473 petugas kesehatan di Bursa-Turky. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada perbedaan tingkat komitmen organisasi antara laki-laki dan perempuan. Penelitian Shoaib., et al (2013), terhadap 371 karyawan sektor perbankan di Pakistan menemukan, ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan mengenai persepsi komitmen terhadap organisasi. Karyawan perempuan lebih memiliki komitmen afektif dari pada laki-laki dengan nilai rata-rata sebesar 2.54 dan laki-laki sebesar 2.46 (t= -0.3041; sig= 0.002), sedangkan karyawan laki-laki lebih cenderung memiliki komitmen normatif dibandingkan perempuan dengan nilai rata-rata 2.32 dan perempuan sebesar 2.14 (t= 2.68; sig= 0.008). Sementara itu, persepsi tentang komitmen kontinyu antara laki-laki dan perempuan kurang lebih sama dengan nilai rata-rata untuk laki-laki 2.38 dan perempuan 2.40 (t= -1.803; sig= 0.07). Hasil temuan ini didukung oleh Celik (2008), terhadap 233 staf kantor pajak di Mersin-Turky. Hasil uji Man-Whitney 69
U menunjukan, ada perbedaan yang signifikan antara karyawan laki-laki dan perempuan terhadap komitmen normatif (p=0.06<0.05). Komitmen normatif karyawan laki-laki rata-rata lebih tinggi dari karyawan perempuan. Selain itu, ada perbedaan yang signifikan antara karyawan laki-laki dan perempuan terhadap komitmen afektif (p=0.014<0.05). Komitmen afektif karyawan perempuan rata-rata lebih tinggi dari karyawan laki-laki, sedangkan untuk komitmen kontinyu, tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan (p=0.288 > 0.05). Penelitiann Leow (2011), terhadap 961 tenaga kerja eksekutif dan non eksekutif pada industri dagang di lembah Klang-Malaysia. Berdasarkan koefisien regresi untuk jenis kelamin ditemukan signifikan (β= -0.236, p<0.01). Namun demikian, koefisien negatif menunjukkan bahwa komitmen karyawan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan. Dalam hal ini, aspek emosi memiliki peran penting antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Franzway.,et al (Fisher.,et al, 2004), bahwa dalam konteks organisasi, perempuan cenderung mengalami emosi yang berbeda dengan laki-laki dalam kaitan dengan komitmen organisasi. Hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh Suki dan Suki (2011), pada pegawai sektor industri bahwa tidak terdapat hubungan signifikan jenis kelamin dengan komitmen organisasi dengan tingkat signifikan
sebesar
(p=0.273>0.05).
Temuan
yang
sama
juga
diperlihatkan oleh Salami (2008), terhadap 320 karyawan organisasi layanan manufaktur di Oyo, Nigeria memperlihatkan, jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap komitmen organisasi (β= 0.03; t= 0.60, p<0.05). Demikian juga penelitian Alshitri (2013), terhadap karyawan pada organisasi publik di Arab Saudi. Hasil penelitian menunjukan, tidak ada pebedaan yang signifikan komitmen 70
organisasi antara karyawan laki-laki dan perempuan (F=0.043; p=0.837>0.05). Hasil temuan ini didukung oleh Sani dan Ghorbani (2012), terhadap 147 personil keuangan dan kredit di Salehieen InstitutIran Timur. Berdasarkan hasil uji t diperoleh tingkat signifikan sebesar (p= 0.184>0.05) yang berarti bahwa tidak ada perbedaan komitmen organisasi antara laki- laki dan perempuan. Hal ini berarti bahwa, tingkat komitmen terhadap organisasi antara laki-laki dan perempuan tidak menunjukan adanya perbedaan. Perempuan dan laki-laki memiliki sikap yang sama dalam menyatakan komitmennya terhadap organisasi dimana mereka dipekerjakan.
2.6.
Model Penelitian Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka model
penelitian yang dikembangkan dalam penelitian ini sebagai berikut: Gambar 1.1 Model Penelitian KEPUASAN KERJA KOMITMEN ORGANISASI KECERDASAN EMOSIONAL JENIS KELAMIN
Keterangan: X1
: Kepuasan kerja
X2
: Kecerdasan emosional
X3
: Jenis Kelamin
Y
: Komitmen organisasi. 71
2.7.
Hipotesis Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan model penelitian
yang ada, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan signifikan antara kepuasan kerja dan kecerdasan emosional dengan komitmen pendeta bagi GPM 2. Ada pengaruh interaksi kepuasan kerja dan jenis kelamin terhadap komitmen pendeta bagi GPM 3. Ada pengaruh interaksi kecerdasan emosional dan jenis kelamin terhadap komitmen pendeta bagi GPM 4. Ada perbedaan signifikan komitmen pendeta bagi GPM ditinjau dari jenis kelamin.
72