BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesiapan Berubah 1. Definisi Kesiapan Berubah Holt, Armenakis, Feild & Harris (2007) mendefinisikan kesiapan individu untuk berubah sebagai sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi (apa yang berubah), proses (bagaimana perubahan diimplementasikan), konteks (lingkungan dimana perubahan terjadi), dan individu (karakteristik individu yang diminta untuk berubah) yang terlibat di dalam suatu perubahan. Kesiapan individu untuk berubah secara kolektif merefleksikan sejauh mana individu atau sekelompok individu cenderung untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini. Hanpachern, Morgan & Griego (1998) menyatakan bahwa kesiapan untuk berubah merupakan sejauh mana karyawan siap secara mental, psikologis atau fisik, sedia untuk berpartisipasi dalam aktivitas pengembangan organisasi. Terutama lebih merujuk pada kondisi dimana karyawan akan memiliki skor yang tinggi pada dukungan dan partisipasi dalam perubahan. Berneth (2004) menjelaskan bahwa kesiapan adalah lebih dari pemahaman akan perubahan, kesiapan adalah lebih dari keyakinan pada perubahan tersebut, kesiapan adalah kumpulan dari pemikiran dan intensi pada usaha perubahan yang spesifik. Backer (1995) juga mengemukakan bahwa
Universita Sumatera Utara
kesiapan karyawan untuk berubah melibatkan kepercayaan, sikap, dan intensi karyawan terhadap sejauh mana
tingkat perubahan dibutuhkan dan persepsi
karyawan serta kapasitas organisasi untuk melakukan perubahan tersebut dengan sukses. Karyawan yang siap untuk berubah akan percaya bahwa organisasi akan mengalami kemajuan apabila organisasi melakukan perubahan, selain itu mereka memiliki sikap positif terhadap perubahan organisasi dan memiliki keinginan untuk terlibat dalam pelaksanaan perubahan organisasi (Armenakis, Harris & Mossholder, 1993). Sebaliknya, apabila para karyawan tidak siap untuk berubah, maka mereka tidak akan dapat mengikuti dan merasa kewalahan dengan kecepatan perubahan organisasi yang sedang terjadi (Hanpacern et al, 1998) Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kesiapan untuk berubah adalah sikap komprehensif yang secara simultan dipengaruhi oleh isi, proses, konteks dan karakteristik individu; merefleksikan sejauh mana individu atau sekelompok individu cenderung untuk menyetujui, menerima, dan mengadopsi rencana spesifik yang bertujuan untuk mengubah keadaan saat ini.
2. Dimensi Kesiapan untuk Berubah Holt et al (2007) mengemukakan ada beberapa dimensi kesiapan karyawan untuk berubah sebagai berikut: a. Appropriateness (Ketepatan untuk melakukan perubahan) Dimensi ini merupakan dimensi yang menjelaskan tentang keyakinan individu bahwa perubahan yang diusulkan akan tepat bagi organisasi dan organisasi
Universita Sumatera Utara
akan mendapatkan keuntungan dari penerapan perubahan. Individu akan meyakini adanya alasan yang logis untuk berubah dan adanya kebutuhan untuk perubahan yang diusulkan, serta berfokus pada manfaat dari perubahan bagi perusahaan, efisiensi yang diperoleh dari perubahan, dan kongruensi tujuan perusahaan dengan tujuan perubahan. b. Change efficacy (Rasa percaya terhadap kemampuan diri untuk berubah) Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan individu tentang kemampuannya untuk menerapkan perubahan yang diinginkan, dimana ia merasa mempunyai keterampilan seta sanggup untuk melakukan tugas yang berkaitan dengan perubahan. Dengan kata lain, karyawan merasa bahwa ia memiliki kemampuan dan dapat menyelesaikan tugas dan aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan perubahan yang diusulkan. c. Management support (Dukungan manajemen) Dimensi ini menjelaskan aspek keyakinan atau persepsi individu bahwa para pemimipin atau manajemen akan mendukung dan berkomitmen terhadap perubahan yang diusulkan. Dengan kata lain, karyawan merasa bahwa pemimpin dan manajemen dalam organisasi memiliki komitmen dan mendukung pelaksanaan perubahan yang diusulkan. d. Personal benefit (Manfaat bagi individu) Merupakan dimensi yang menjelaskan aspek keyakinan mengenai keuntungan yang dirasakan secara personal yang akan didapatkan apabila perubahan tersebut diimplementasikan. Dengan kata lain karyawan merasa bahwa ia akan memperoleh manfaat dari pelaksanaan perubahan yang diusulkan.
Universita Sumatera Utara
Menurut Hanpachern (1997), dimensi kesiapan berubah terdiri dari tiga yaitu participating (keterlibatan anggota organisasi dalam pelaksanaan proses perubahan), promoting (adanya promosi yang dilakukan oleh anggota organisasi kepada rekannya) dan resisting (penolakan karyawan terhadap perubahan). Namun dalam penelitian ini dimensi kesiapan berubah yang digunakan adalah dimensi kesiapan berubah yang dikemukakan oleh Holt et al (2007).
3. Pengukuran Kesiapan untuk Berubah Holt et al (2007) mengemukakan bahwa dalam mengukur kesiapan individu untuk berubah, perlu diperhatikan beberapa perspektif yang terkandung di dalam domain-domain kesiapan untuk berubah, yaitu: a. Proses perubahan Merupakan langkah-langkah yang dilakukan selama implementasi perubahan. Salah satu dimensi dari proses perubahan adalah sejauh mana partisipasi karyawan diperbolehkan. b. Isi dari perubahan organisasi Merupakan inisiatif spesifik yang diperkenalkan (dan karakteristiknya). Secara khusus, isi perubahan organisasi terarah pada administrasi, prosedur, teknologi, atau karakteristik struktural dari organisasi. c. Konteks organisasi Merupakan kondisi dan lingkungan dimana para karyawan berfungsi dalam organisasi.
Universita Sumatera Utara
d. Atribut individual dari karyawan Biasanya beberapa karyawan lebih menghendaki adanya perubahan organisasi daripada karyawan lainnya. Isabella (Holt et al, 2007) menyatakan bahwa pengukuran kesiapan individu untuk berubah dapat dilakukan dengan metode kualitatif maupun kuantitatif. Meskipun metode kualitatif memberikan informasi yang kaya dan spesifik, namun metode kuantitatif merupakan suplemen yang sesuai, memberikan keuntungan yang unik bagi manager, konsultan pengembangan organisasi, dan peneliti dalam lingkungan atau suasana teretentu. Hal tersebut disebabkan oleh efisiensi yang diperoleh dari pendistribusian instrumen kuantitatif yang memiliki daerah cakupan yang luas dalam periode waktu yang relatif singkat.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan untuk Berubah Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai faktorfaktor atau variabel yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah. Holt et al (2007) mengemukakan bahwa kesiapan karyawan untuk berubah secara simultan dapat dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu: a.
Change content merujuk pada apa yang akan diubah oleh organisasi (misalnya perubahan sistem administrasi, prosedur kerja, teknologi, atau struktur)
b.
Change process meliputi bagaimana proses pelaksanaan perubahan yang telah direncanakan sebelumnya
Universita Sumatera Utara
c.
Organizational context terkait dengan kondisi atau lingkungan kerja saat perubahan terjadi. Armenakis & Harris (2009) mengidentifikasi lima faktor utama yang
dapat merubah keyakinan diri karyawan untuk mendukung perubahan yaitu: a. Discrepancy, yaitu keyakinan bahwa perubahan itu diperlukan oleh organisasi b. Aappropriateness yaitu adanya keyakinan bahwa perubahan spesifik yang dilakukan merupakan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dihadapi c. Efficacy yaitu rasa percaya bahwa karyawan dan organisasi mampu mengimplementasikan perubahan d. Principal support yaitu persepsi bahwa organisasi memberikan dukungan dan berkomitmen dalam pelaksanaan perubahan dan mensukseskan perubahan organisasi e. Personal valance yaitu keyakinan bahwa perubahan akan memberikan keuntungan personal bagi karyawan. Adarnya kelima keyakinan diatas tidak semata-mata hanya mempengaruhi kesiapan untuk berubah namun juga mempengaruhi bagaimana karyawan akan mengadopsi dan berkomitmen terhadap perubahan organisasi. Selain faktor di atas, McNabb & Sepic (1995) menemukan bahwa kepuasan kerja dan unjuk kerja memiliki pengaruh positif terhadap kesiapan untuk berubah. Karyawan yang memiliki kepuasan kerja dan unjuk kerja yang tinggi akan cenderung memiliki sikap positif terhadap perubahan. Hasil penelitian Zangaro (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara
Universita Sumatera Utara
komitmen organisasi dan dukungan organisasi, kepuasan dan keterlibatan kerja, dan kesetiaan dengan kesiapan individu untuk berubah. Hanpachern et al (1998) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan antara kesiapan untuk berubah dengan hubungan sosial dalam tempat kerja, budaya organisasi dan hubungan manajemen-kepemimpinan. Hal ini juga didukung oleh penelitian Madsen, Miller & John (2005) bahwa persepsi dari adanya relasi sosial yang baik atau positif juga berkaitan secara positif dengan kesiapan terhadap perubahan organisasi. Dalam penelitian Madsen et al (2005) juga ditemukan bahwa identifikasi, keterlibatan serta loyalitas terhadap organisasi berkaitan secara positif dengan kesiapan terhadap perubahan organisasi.
B. Job Insecurity 1. Definisi Job Insecurity Job
insecurity
adalah
ketidakberdayaan
untuk
mempertahankan
kelanjutan pekerjaan yang dikehendaki pada kondisi kerja yang mengancam (Grennhalgh & Rosenblatt, 1984). Hal ini berdasarkan persepsi dan interpretasi dari karyawan itu sendiri terhadap lingkungan kerjanya. Adanya berbagai perubahan yang terjadi di dalam organisasi membuat karyawan sangat mungkin merasa
terancam,
gelisah
dan
tidak
aman
karena
potensi
perubahan
mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi (Grennhalgh & Rosenblatt, 1984).
Universita Sumatera Utara
Definisi lain yang dikemukakan oleh Ashford, Lee & Bobko (1989) bahwa job insecurity merupakan suatu tingkat dimana para pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun terhadap situasi tersebut. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan tetapi juga kehilangan dimensi pekerjaan tersebut. Joelsen & Wahlquist (Hartley Jacobson, Klandermans & Van Vuuren, 1991) menyatakan bahwa job insecurity merupakan pemahaman individual pekerja sebagai tahap pertama dari proses kehilangan pekerjaan. Pada kenyataannya, populasi yang mengalami Job insecurity adalah selalu dalam jumlah yang lebih besar daripada pekerja yang benar-benar kehilangan pekerjaan. Hartley et al (1991) menambahkan bahwa job insecurity dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang diperolehnya. Selain itu, Smithson & Lewis (2000) menyatakan bahwa job insecurity merupakan kondisi seseorang (karyawan) yang menunjukkan rasa bingung atau merasa tidak aman dikarenakan kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Kondisi ini muncul karena banyaknya jenis pekerjaan yang sifatnya sesaat atau pekerjaan kontrak. Makin banyak jenis pekerjaan dengan durasi waktu yang sementara atau tidak permanen menyebabkan semakin banyaknya karyawan yang mengalami job insecurity.
Universita Sumatera Utara
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa job insecurity merupakan penilaian pekerja terhadap suatu keadaan dimana mereka merasa terancam dan mereka merasa tidak berdaya untu mempertahankan kelanjutan pekerjaan tersebut.
2. Aspek-Aspek Job Insecurity Grennhalgh & Rosenblatt (1984) mengungkapkan bahwa Job insecurity terdiri dari dua aspek yaitu aspek ancaman akan kehilangan pekerjaan itu sendiri dan aspek ancaman kehilangan facet-facet penting dalam pekerjaan seperti gaji, kesempatan untuk promosi dan lain sebagainya. Ashford et al (1989) mengembangkan komponen-komponen job insecurity menjadi dua, yaitu: a. Keparahan ancaman (severity of threat) Keparahan ancaman meliputi seberapa besar individu mempersepsikan adanya ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan dan ancaman terhadap pekerjaannya secara keseluruhan. 1) Ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan Aspek-aspek yang bekaitan dengan pekerjaan, meliputi kesempatan untuk promosi, kebebasan menentukan jadwal pekerjaan, dan lain-lain. Persepsi seseorang mengenai besarnya ancaman aspek-aspek pekerjaan dapat diketahui melalui seberapa besar aspek-aspek tersebut dirasakan penting dan seberapa besar kemungkinan individu kehilangan aspek-aspek tersebut. Semakin penting dan semakin tinggi aspek-aspek tersebut
Universita Sumatera Utara
dipersepsikan mungkin hilang, maka semakin tinggi tingkat ancaman terhadap aspek-aspek dalam pekerjaan yang dirasakan individu tersebut. 2) Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan Ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan merupakan persepsi seseorang mengenai adanya kejadian-kejadian negatif yang dapat mempengaruhi pekerjaannya, seperti diberhentikan untuk sementara waktu. Ancaman tersebut dapat diketahui melalui seberapa penting dan seberapa mungkin kejadian-kejadian negatif tersebut dipersepsikan akan mempengaruhi pekerjaannya secara keseluruhan. b. Ketidakberdayaan (powerlessness) Ketidakberdayaan menunjukkan kemampuan seseorang untuk mencegah munculnya ancaman yang berpengaruh terhadap pekerjaan secara keseluruhan dan aspek-aspek dalam pekerjaan. Individu yang memiliki tingkat ketidakberdayaan yang rendah memiliki tingkat job insecurity yang tinggi.
3. Dampak Job Insecurity Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ashford et al (1989) diketahui bahwa job insecurity yang tinggi yang dirasakan karyawan akan berhubungan dengan: a. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru Ketegangan yang dipengaruhi oleh job insecurity juga penting disebabkan karena efeknya terhadap turnover. Seperti stressor lainnya, job insecurity
Universita Sumatera Utara
mungkin berhubungan dengan respon penarikan diri (sebuah usaha untuk menghindari stres). Oleh karena itu job insecurity seharusnya mempunyai hubungan yang positif dengan keinginan untuk bekerja. Karyawan yang mengalami job insecurity mungkin juga meninggalkan pekerjaan demi alasan yang masuk akal. Hal ini akan masuk akal bagi karyawan yang khawatir terhadap kesinambungan pekerjaan mereka, kemudian mencari kesempatan karir yang lebih aman (Grennhalgh & Rosenblatt, 1984; Ashford et al, 1989). b. Komitmen organisasi yang rendah Karyawan mengembangkan pendekatan efektif dalam sikap terhadap perusahaan sepanjang waktu, yang ditunjukkan sebagai level komitmen, kepuasan dan kepercayaan yang tinggi. Perasaan job insecurity dapat mengancam pendekatan tersebut terhadap perusahaan (Mowday, Steers & Porter, 1979; Ashford et al, 1989). Selain itu karyawan mengharapkan perusahaan dapat diandalkan untuk menegakkan akhir dari kontrak psikologis di antara mereka (Buchanan, 1974 ; Ashford et al, 1989). c. Trust organisasi yang rendah Job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan komitmen karyawan dan kepercayaan mereka terhadap perusahaan. Hubungan ini akan terjadi karena karyawan yang merasa tidak aman akan kehilangan kepercayaan dan keyakinan bahwa perusahaan dapat diandalkan dan pendekatan mereka terhadap perusahaan akan berkurang (Forbes, 1985; Ashford et al, 1989).
Universita Sumatera Utara
d. Kepuasan kerja yang rendah Persepsi terhadap job insecurity akan berhubungan secara negatif dengan pengukuran kepuasan kerja. Karyawan dengan tingkat persepsi terhadap job insecurity yang tinggi akan kurang puas dengan pekerjaan mereka (Oldam, Julik, Ambrose, Stevina & Brand, 1986; Ashford et al, 1989). e. Meningkatnya gangguan psikologis Penurunan kondisi kerja seperti rasa tidak aman (insecure) menurunkan kualitas individu bukan dari pekerjaannua semata, namun juga mengarahkan pada munculnya rasa kehilangan martabat yang pada akhirnya menurunkan kondisi psikologis dari karyawan yang bersangkutan. Jangka panjangnya akan muncul ketidakpuasan dalam bekerja dan akan mengarah pada intensi turnover (Roskies & Guerin, 1998; Greenglass, Burke & Fiksenbaum, 2002). Jadi dapat disimpulkan bahwa job insecurity dapat menyebabkan karyawan untuk mencari pekerjaan baru, memiliki komitmen organisasi yang rendah, trust organisasi yang rendah, kepuasan kerja yang rendah serta meningkatkan gangguan psikologis.
C. Job Involvement 1. Definisi Job Involvement Job involvement (keterlibatan kerja) merupakan internalisasi nilai-nilai tentang kebaikan pekerjaan atau pentingnya pekerjaan bagi keberhargaan seseorang. Job involvement sebagai tingkat sampai sejauh mana performansi kerja seseorang mempengaruhi dirinya dan tingkat sampai sejauh mana seseorang
Universita Sumatera Utara
secara psikologis mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan dalam gambaran diri totalnya (Lodahl & Kejner, 1965; Cohen, 2003). Demikian pula dengan Schultz & Schultz (1990) mendefinisikan keterlibatan kerja merupakan intensitas dari identifikasi psikologis seseorang terhadap pekerjaannya. Rabinowitz & Hall (1977) mendefinisikan job involvement ke dalam dua kategori. Pertama, job involvement dipandang sebagai suatu “performance selfesteem contingency”, job involvement adalah tingkat sampai sejauh mana harga diri individu dipengaruhi oleh tingkat performansinya ketika bekerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa job involvement yang lebih rendah atau yang lebih tinggi menunjukkan harga diri yang lebih rendah atau yang lebih tinggi yang diperoleh ketika bekerja. Kedua, job involvement sebagai suatu identifikasi psikologis dengan pekerjaan seseorang. Davis & Newstrom (1997) mendefinisikan job involvement adalah tingkatan sampai seberapa besar seseorang menekuni serta menggunakan waktu dan tenaga untuk pekerjaannya dan memandang pekerjaan sebagai satu hal penting bagi hidupnya. Hal ini dapat dilihat dari kesediaan karyawan untuk mematuhi peraturan dan melaksanakan prosedur perusahaan yang telah ditetapkan, menyelesaikan seluruh pekerjaan dengan tepat waktu, serta memanfaatkan potensi keahliannya secara maksimal untuk pekerjaannya. Brown (1996) mengemukakan bahwa job involvement merujuk pada tingkat dimana seseorang secara psikologis memihak kepada organisasinya dan pentingnya pekerjaan bagi gambaran dirinya. Seseorang yang memiliki job
Universita Sumatera Utara
involvement yang tinggi dapat terstimulasi oleh pekerjaannya dan tenggelam dalam pekerjaannya. Hal ini didukung oleh Robbins (2001) bahwa karyawan yang memiliki tingkat keterlibatan yang tinggi sangat memihak dan benar-benar peduli serta akan melebur dengan bidang pekerjaan yang mereka lakukan. Namun seseorang yang terlibat dalam pekerjaannya belum tentu merasa senang dengan pekerjaannya karena pada kenyataannya, seseorang yang tidak merasa senang dengan pekerjaannya juga dapat memiliki derajat keterlibatan yang sama dengan orang yang menyukai pekerjaannya (Lodahl & Kejner, 1965; Ciliana & Mansoer, 2008). Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa job involvement merupakan intensitas dimana seorang karyawan mengidentifikasikan diri terhadap pekerjaannya yang ditandai dengan adanya kepedulian yang tinggi dan terlibat secara aktif dalam pekerjaan, adanya perasaan terikat secara psikologis terhadap pekerjaan yang dilakukan dan keyakinan yang kuat terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.
2. Dimensi Job Involvement Lodahl & Kejner (1965; Cohen, 2003) mengemukakan bahwa job involvement memiliki 2 dimensi sebagai berikut: a.
Performance self-esteem contingency Dimensi ini merefleksikan tingkat dimana rasa harga diri seseorang dipengaruhi oleh performansi kerjanya. Aspek ini mencakup tentang seberapa jauh hasil kerja seorang karyawan (performance) dapat mempengaruhi harga
Universita Sumatera Utara
dirinya (self esteem). Keterlibatan kerja muncul ketika performansi yang baik meningkatkan harga diri seseorang (Vroom, 1964; Kanungo, 1982). b.
Psychological identification Dimensi ini merujuk pada tingkat sejauh mana seseorang mengidentifikasikan dirinya secara psikologis pada pekerjaannya atau pentingnya pekerjaan bagi gambaran diri totalnya. Orang yang memiliki keterlibatan kerja adalah orang yang menganggap pekerjaan sebagai bagian yang paling penting dalam hidupnya. Ini berarti bahwa dengan bekerja, ia dapat mengekspresikan diri dan menganggap bahwa pekerjaan merupakan aktivitas yang menjadi pusat kehidupannya (Dubin, 1966; Kanungo, 1982).
3. Karakteristik Job Involvement Ada beberapa karakteristik dari karyawan yang memiliki job involvement yang tinggi maupun yang rendah menurut Mathis & Jackson (2006), yaitu: a. Karakteristik karyawan yang memiliki job involvement tinggi 1) Menghabiskan waktu untuk bekerja 2) Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pekerjaan dan organisasi 3) Merasa puas dengan pekerjaannya 4) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesi, karir dan organisasi 5) Memberi usaha yang terbaik untuk organisasi 6) Tingkat absesnsi dan intensi turnover rendah 7) Memiliki motivasi yang tinggi
Universita Sumatera Utara
b. Karakteristik karyawan yang memiliki job involvement rendah 1) Tidak berusaha keras untuk kemajuan organisasi 2) Tidak peduli dengan pekerjaan maupun perusahaan 3) Tidak puas dengan pekerjaan 4) Tidak berkomitmen dengan pekerjaan maupun organisasi 5) Tingkat absen dan intensi turnover tinggi 6) Motivasi kerja rendah 7) Kurang bangga dengan pekerjaan maupun organisasi
D. Kaitan Job Insecurity dan Kesiapan untuk Berubah Pesatnya kemajuan teknologi, tekanan ekonomi, persaingan bisnis yang ketat maupun semakin tingginya tuntutan pelanggan memaksa organisasi untuk melakukan perubahan. Perubahan tersebut menghadirkan sesuatu yang baru atau dengan kata lain perubahan merupakan upaya pergeseran dari status quo ke kondisi yang baru (Wibowo, 2005). Perubahan
yang
dilakukan
organisasi
beraneka
ragam
seperti
restrukturisasi, merger, akuisisi dan program “right-sizing” yang disertai dengan pengurangan tenaga kerja. Sebagai konsekuensinya, Burchell (2002) menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah karyawan yang merasa insecure tentang eksistensi pekerjaan mereka di masa mendatang (Goksoy, 2012). Senada dengan hal tersebut, Grennhalgh & Rosenblatt (1984) mengemukakan bahwa adanya berbagai perubahan yang terjadi di dalam organisasi membuat karyawan sangat mungkin merasa terancam, gelisah dan tidak
Universita Sumatera Utara
aman karena potensi perubahan mempengaruhi kondisi kerja dan kelanjutan hubungan serta balas jasa yang diterimanya dari organisasi. Selain itu, Anderson (2010) mengemukakan bahwa sebagian karyawan atau anggota organisasi, perubahan dapat memberikan pencerahan dan menggairahkan, namun perubahan juga dapat menyakitkan, stressful dan membuat frustrasi. Vakola & Nikolaou (2005) menyatakan bahwa perubahan organisasi merupakan tantangan terhadap cara hal-hal yang dilakukan secara normal atau biasa dalam organisasi, dan akibatnya individu merasakan ketidakpastian, stres dan kekhawatiran mengenai peluang mengalami kegagalan dalam menghadapi situasi baru. Penelitian yang dilakukan oleh Goksoy (2012) menemukan bahwa job insecurity memberikan kontribusi negatif terhadap kesiapan untuk berubah. Ketika karyawan merasa insecure, mereka tidak akan merasa siap untuk berubah, tidak akan termotivasi, tidak menerima ide perubahan dengan bergairah dan secara jelas menganggap perubahan sebagai ancaman bagi diri mereka. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Babalola (2013) bahwa job insecurity memiliki kontribusi negatif terhadap keterbukaan perubahan. Karyawan yang merasa insecure akan lebih tertutup atau kurang terbuka terhadap perubahan yang dilakukan organisasi. Selain itu, De Witte (1999) menyatakan bahwa karyawan sangat dipengaruhi oleh perubahan organisasi, karena mereka melihat kehilangan pekerjaan tidak hanya dari segi sosioekonomi saja namun juga keuntungan secara psikologis.
Universita Sumatera Utara
E. Pengaruh Job Involvement terhadap Kesiapan untuk Berubah Job
involvement
merupakan
intensitas
dimana
seseorang
mengidentifikasikan diri secara psikologis terhadap pekerjaannya, terlibat secara aktif serta menyeadari bahwa unjuk kerjanya merupakan hal yang penting bagi harga dirinya (Lodahl & Kejner, 1965; Cohen, 2003). Karyawan yang memiliki job involvement yang tinggi adalah karyawan yang memandang pekerjaan sebagai bagian yang sangat penting dalam kehidupannya dan karyawan yang dipengaruhi secara personal oleh situasi kerjanya. Sedangkan karyawan dengan job involvement yang rendah tidak memandang pekerjaan sebagai bagian yang penting dalam kehidupan psikologisnya. Minatnya tidak terletak pada pekerjaan yang ia miliki dan ia juga tidak terpengaruh oleh jenis pekerjaan apa yang sedang dilakukannya ataupun seberapa baik ia melakukan pekerjaan tersebut. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi job involvement diantaranya karakteristik pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan yang kuat, memiliki otonomi keberagaman, identitas tugas yang jelas, umpan balik dan memungkinkan pekerja untuk memiliki artisipasi yang tinggi. Hal ini dapat diartikan bahwa karyawan yang terlibat dalam pekerjaannya memiliki kebutuhan pertumbuhan yang kuat dan berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaannya. Karyawan tersebut akan lebih siap untuk berubah karena perubahan dapat memenuhi kebutuhannya untuk terus bertumbuh dan berkembang dalam pekerjaannya (Ciliana & Mansoer, 2008).
Universita Sumatera Utara
Job involvement adalah bagaimana individu melihat pekerjaan mereka berhubungan dengan lingkungan kerja dan pekerjaan itu sendiri, dan bagaimana pekerjaan dan kehidupan mereka menyatu atau saling terkait. Memiliki job involvement yang rendah memberikan kontribusi terhadap perasaan karyawan tentang keterasingan tujuan, keterasingan dalam organisasi atau perasaan terpisah antara apa yang karyawan lihat sebagai "kehidupan" dan pekerjaan yang mereka lakukan. Alienasi dan job involvement berkorelasi satu sama lain (Hirschfeld & Field, 2000; Rabinowitz & Hall, 1981; Hafer & Martin 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Zangaro (2001) menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara komitmen organisasi dan dukungan organisasi, kepuasan dan job involvement, dan kesetiaan dengan kesiapan individu untuk berubah. Selanjutnya Weber & Weber (2001) menemukan bahwa ada keterkaitan antara involvement atau partisipasi karyawan dalam organisasi dengan kesiapan karyawan untuk berubah. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Shah (2009), bahwa job involvement memiliki korelasi positif yang signifikan terhadap kesiapan untuk berubah. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi job involvement seorang karyawan maka semakin tinggi pula kesiapan berubah keryawan tersebut, demikian pula sebaliknya. Madsen et al (2005) menemukan keterlibatan dalam organisasi memiliki hubungan yang bermakna dengan kesiapan individu untuk berubah. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi memiliki kesiapan untuk berubah yang lebih tinggi daripada individu yang terlibat secara pasif. Individu yang terlibat secara aktif dalam organisasi, akan memiliki
Universita Sumatera Utara
keterlibatan yang cukup tinggi pula terhadap pekerjaannya. Selain itu karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan menunjukkan perasaan solidaritas yang tinggi terhadap perusahaan dan mempunyai motivasi internal yang tinggi. Sehingga dapat dikatakan bahwa karyawan yang memiliki keterlibatan kerja yang tinggi akan lebih siap untuk mengikuti dan terlibat dalam perubahan yang dilakukan oleh perusahaan.
F. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ada
pengaruh
negatif
job insecurity terhadap kesiapan berubah
karyawan. 2. Ada pengaruh positif job involvement terhadap kesiapan berubah karyawan.
Universita Sumatera Utara