BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Barang Bukti dan Macam-Macam Barang Bukti 1. Pengertian Barang Bukti Hukum Acara Pidana mempunyai tujuan untuk mencari dan mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan serta putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak-tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipermasalahkan1. Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh Penyidik setelah menerima laporan/pengaduan dari masyarakat atau diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana atau menerima penyerahan tertangkap tangan, kemudian dituntut oleh Penuntut Umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya hakim melakukan apakah dakwaan Penuntut Umum terhadap terbukti atau tidak. a. Menurut KUHAP Pasal 1 butir 16 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan."
1
Ratna Nurul Afiah, 1989, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13-14.
21
Berdasarkan pengertian (penafsiran otentik/ Authentieke interpretatie) sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa benda yang disita/ benda sitaan yang dalam beberapa pasal KUHAP (Pasal 8 ayat (3) huruf b, 40, 45 ayat (2), 46 ayat (2), 181 ayat (1), 194, 197 ayat (1) huruf I, 205 ayat (2) dinamakan juga sebagai “barang bukti” berfungsi (berguna) untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan2. Dari perumusan Pasal 1 butir 16 dan beberapa pasal KUHAP sebagaimana diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa benda sitaan yang berstatus sebagai barang bukti tersebut adalah berfungsi untuk kepentingan pembuktian. Oleh karena itu, penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam pelaksanaannya diadakan pembatasan-pembatasan antara lain keharusan adanya izin Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 38 ayat (1) KUHAP). Ketentuan tersebut dapat disimpangi, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut : Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapatkan persetujuannya3.
b. Menurut Para Ahli Terdapat beberapa definisi mengenai barang bukti sebagai berikut : a. Barang bukti adalah benda yang digunakan untuk meyakinkan Hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang dituduhkan kepadanya; barang yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam suatu perkara4. b. Barang bukti adalah hasil serangkaian tindakan Penyidik dalam penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan
2
H. M. A. Kuffal, Op. Cit, hal. 111. Andi Hamzah, 2004, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 145. 4 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, PT. Gramedia, Jakarta, hal. 140. 3
22
atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan5. c. Barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu perbuatan (kejahatan dan sebagainya)6. d. Barang bukti adalah benda atau barang yang digunakan untuk meyakinkan Hakim akan kesalahan Terdakwa terhadap perkara pidana yang dituntutkan kepadanya7. c. Barang Bukti Secara Umum Istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai untuk menikam orang. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang Negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti, atau hasil delik8. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bukti”-terjemahan dari bahasa Belanda, bewijs-diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bewijs diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna memberikan bahan kepada Hakim bagi penilaiannya. Sementara itu, membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan9. Yang lain daripada yang tercantum dalam KUHAP kita, ialah real evidence yang berupa objek materiil (materiil object) yang meliputi tetapi tidak terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televisi dan lain-lain. Real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut Hukum Acara Pidana kita (dan Belanda), yang bisa disebut “barang bukti”. Barang bukti berupa objek materiil ini tidak bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (dan Terdakwa)10.
5
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana: Untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung, hal. 99-100. 6 Koesparmono Irsan, 2007, Hukum Acara Pidana, Jakarta, hal. 90. 7 Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 47. 8 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 100. 9 Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hal. 3. 10 Andi Hamzah, Op. Cit, hal. 254-255.
23
2. Macam-Macam Barang Bukti Barang bukti adalah benda-benda yang biasa disebut Corpora Delicti dan Instrumenta Delicti11. Corpora delicti dan instrumenta delicti sebagai barang bukti secara tersirat dirumuskan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP menyebutkan, yang dapat dikenakan penyitaan adalah a. benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan tindak pidana; b. benda yang telah dipergunakan secara Iangsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Huruf a digolongkan Corpora delicti sedangkan huruf b, c, d dan e digolongkan Instrumenta delicti. Dalam hal tertangkap tangan, Penyidik berwenang melakukan penyitaan atas benda-benda tersebut sebagai berikut: a. Pasal 40 KUHAP, dalam hal tertangkap tangan Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. b. Pasal 41 KUHAP, dalam hal tertangkap tangan Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh Kantor Pos dan Telekomunikasi, Jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi Tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada Tersangka dan atau kepada pejabat Kantor Pos dan telekomunikasi, Jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan. 11
M. Karjadi dan R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, hal. 46.
24
Menurut Pasal 194 ayat (1) KUHAP, apabila suatu tindak pidana terbukti, maka terhadap barang bukti dari hasil kejahatan dikembalikan kepada yang berhak menerima kembali yang namanya tercantum (saksi korban) tanpa syarat apapun dalam putusan tersebut, kecuali menurut Undang-Undang harus dirampas untuk kepentingan Negara atau dimusnahkan, atau dirusak, sehingga tidak dapat dipergunakan. Pasal 194 ayat (2) KUHAP, barang bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai, misal untuk mencari nafkah harus segera dikembalikan atas pertimbangan segi kemanusiaan12. Pasal 194 ayat (3) KUHAP, putusan pengadilan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, barang bukti dapat diserahkan apabila memenuhi syarat tertentu dalam keadaan utuh.
B. Alat Bukti dan Barang Bukti 1. Macam-Macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam KUHAP macam-macam alat bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk, dan e. Keterangan Terdakwa.
Adapun penjelasan lebih lanjut alat-alat bukti sebagai berikut : a. Keterangan Saksi, untuk lebih jelasnya ketentuan tersebut menyebutkan bahwa: 1) Pasal 1 angka 26 KUHAP, Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang
12
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. Hal. 113.
25
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. 2) Pasal 1 angka 27 KUHAP, Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan-alasan dari pengetahuannya itu. 3) Pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
Pasal 185 ayat (1) KUHAP, Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Hal ini bertujuan agar Hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yaitu tentang kebenaran keterangan saksi apakah yang diterangkan tersebut sesuai yang ia lihat, ia dengar atau ia alami sendiri13. Satu hal yang harus diperhatikan bahwa keterangan seorang Saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah atas perbuatan yang didakwakan (Pasal 185 ayat (2) KUHAP), apalagi jika Terdakwa mungkir atas dakwaan itu. Ini berarti bahwa Hakim tidak boleh memberikan pidana kepada Terdakwa hanya didasarkan kepada keterangan seorang Saksi. Tidak setiap kejadian atau keadaan dapat disaksikan oleh seorang Saksi secara lengkap, akan tetapi Pasal 185 ayat (4) KUHAP keterangan beberapa saksi yang berdiri sendirisendiri, dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, jika keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, hingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian14. Keterangan saksi demikian ini disebut Kesaksian Berantai atau Ketting Bewijs. Kesaksian ini menurut S. M. Amin ada 2 : a. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan; b. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan15. Pasal 185 ayat (6) KUHAP, dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan : 13
Ibid. hal. 91. Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 22. 15 M. Haryanto, Op. Cit. hal. 91. 14
26
a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang ada pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Menilai keterangan saksi dengan menghubungkan dengan keterangan saksi lain, yang mungkin saling bertentangan, kemudian menghubungkan dengan alat bukti yang lain serta keterangan kausal keterangan saksi dengan alat bukti lain, merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Keterangan saksi yang tidak disumpah meskipun bersesuaian satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP16. Saksi d’auditu menceritakan keterangan orang lain tentang suatu kejadian. Keterangan saksi d’auditu bukan keterangan yang mempunyai nilai kesaksian atau bukan alat bukti. Demikian juga keterangan saksi yang disusun oleh akal, atau rekaan bukan merupakan kesaksian17. Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh Hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber pada alat dua alat bukti yang lain18.
b. Keterangan Ahli 1) Pasal 1 angka 28 KUHAP, Keterangan Ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 2) Pasal 186 KUHAP, Keterangan Ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP, dalam penjelasan dikatakan bahwa keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
16
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 21. Ibid, hal. 22. 18 Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 261. 17
27
Penyidik, atau Penuntut Umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh Penyidik dan Penuntut Umum, maka pada pemeriksaan di sidang ahli, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan Hakim. Merujuk pada ketentuan dalam KUHAP, keahlian dari seseorang yang memberikan keterangan ahli tidak hanya berdasarkan pengetahuan yang ia miliki melalui pendidikan formal, namun keahlian itu juga dapat diperoleh berdasarkan pengalamannya. Patut diperhatikan KUHAP membedakan keterangan seorang ahli di persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan di depan sidang pengadilan19. Sebagai suatu perbandingan, dapat dibaca pada California Evidence Code definisi tentang “seorang ahli” sebagai berikut. “A person is qualified to testify as an expert if he has special knowledge, skill, experience, training, or education sufficient to qualify him as an expert on the subject to which his testimony relates.” (Seseorang dapat memberikan keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya)20. Jika seorang ahli memberikan keterangan lisan di depan sidang pengadilan dan dicatat dalam berita acara oleh panitera21 dan di bawah sumpah disebut keterangan ahli (Pasal 186 KUHAP), sedangkan jika seorang ahli di bawah sumpah telah memberikan keterangan tertulis di luar persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan sidang pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan alat bukti surat22 (Pasal 187 KUHAP).
19
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 106-107. Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 268-269. 21 Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Raih Asa Sukses, Jakarta, hal. 76. 22 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 106-107. 20
28
Khusus terhadap “visum et repertum” sebagai suatu keterangan ahli menurut Staatsblad 1937 No. 350 mempunyai kekuatan bukti. Pasal 1 Staatsblad Tahun 1937 No. 350 menyatakan : “Visum et repertum” dari para dokter yang dibuat sumpah jabatan, yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Nederland atau Indonesia, ataupun atas sumpah khusus seperti dalam Pasal 2, dalam perkara pidana mempunyai kekuatan bukti, sepanjang visum et repertum itu memuat keterangan tentang apa yang dilihat oleh Dokter itu pada benda diperiksanya. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan atas dasar keahlian yang ia miliki, yang memberikan penghargaan atas sesuatu keadaan dengan memberikan kesimpulan pendapat, seperti hal kematian, maka saksi ahli akan memberikan pendapat tentang sebab-sebab kematian, apakah dari keracunan misalnya ataukah dari sebab yang lain23. Saksi dan ahli, oleh KUHAP dinyatakan sebagai alat bukti yang sah. Akan tetapi keterangan saksi dan ahli yang diberikan tanpa disumpah tidak mempunyai kekuatan pembuktian melainkan hanya dapat dipergunakan untuk menambah/ menguatkan keyakinan Hakim (Pasal 161 ayat (2) KUHAP)24. Isi keterangan ahli adalah penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal itu25.
c. Surat Definisi yang disebut surat dalam proses perdata juga berlaku bagi proses pidana sebagai berikut : “Surat-surat adalah semua benda yang berisi tanda-tanda baca yang dapat dimengerti yang dipergunakan untuk mengemukakan isi pikiran”. Dengan demikian, maka foto-foto dari benda-benda lain, denah-denah (plattegrond), gambar-gambar keadaan (situatie tekening), bukanlah termasuk surat dalam proses pidana, tetapi merupakan tanda bukti umpama surat-surat yang dicuri atau dipalsukan26. Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah : a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan
23
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 24. Ibid. 25 M. Haryanto, Op. Cit. hal. 92. 26 A. Karim Nasution, 1975, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana Jilid II, Jakarta, hal. 111. 24
29
tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu; b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Pasal 187 KUHAP, tidak diatur tentang pembuktian dengan surat, namun pada asasnya maka aturan tentang kekuatan pembuktian dengan surat, bahwa Hukum Acara Pidana tetap berlaku prinsip negatief wettelijk, bahwa tidak ada alat-alat bukti yang dapat memaksa Hakim pidana untuk menjatuhkan hukuman, kecuali ia yakin akan kesalahan Terdakwa bahwa ia telah melakukan tindak pidana yang didakwakan27. Untuk klasifikasi Pasal 187 huruf a dan b, berupa berita acara sidang yang dibuat panitera pengganti, panggilan, atau relaas sidang yang dibuat juru sita/ juru sita pengganti, putusan hakim, akta jual beli, Berita Acara Pemeriksaan setempat, dan sebagainya28. Bukti surat atau tulisan demikian disebut akte. Akta ialah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dsb.) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi29. Akte ialah suatu tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian maka penandatanganan dari seseorang dalam akte, seseorang tersebut diharapkan akan pertanggungjawaban tentang kebenaran isi tulisan tersebut dalam akte. Dan akte dapat dibedakan dalam beberapa jenis yakni akte autentik dan akte di bawah tangan. Akte autentik adalah suatu akte yang dibuat dalam suatu bentuk tertentu atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk membuatnya di wilayah yang bersangkutan. Misalnya, Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh menteri 27
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 25. Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia Perspektif, Teoretis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 106. 29 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hal. 30. 28
30
kehakiman, yang berkuasa akte-akte di satu wilayah tertentu; juru sita, pegawai pencatatan sipil, dan lain-lainnya merupakan pejabat umum yang diangkat untuk suatu wilayah tertentu. Contoh akte autentik, misalnya akte kelahiran memberikan bukti sempurna tentang kelahiran seorang anak dari perkawinan antara suami A dan istri B. Kekuatan bukti sempurna ini diartikan bahwa isi akte tersebut dianggap benar oleh Hakim, kecuali jika ada bukti lawan yang mempunyai derajat atau senilai yang mempunyai kekuatan melumpuhkan. Dengan demikian hakim harus mempercayai akan kebenaran akte autentik tersebut, sampai ada bukti lawan yang dapat melumpuhkannya. Di samping mempunyai kekuatan bukti sempurna, maka akte autentik mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak-pihak yang menandatangani akte itu, sedang terhadap pihak ketiga, akte autentik mempunyai kekuatan bukti bebas. Berbeda dengan akte autentik, maka akte di bawah tangan tidak dibuat di hadapan atau oleh pejabat umum, tetapi dibuat sengaja untuk dijadikan bukti, misal akte di bawah tangan ialah kuitansi pembayaran, perjanjian sewa-menyewa rumah tinggal. Akte di bawah tangan oleh pihak-pihak dibubuhi pernyataan (legalisasi artinya mengesahkan) oleh Notaris atau Hakim Pengadilan Negeri, Bupati, dan Walikota. Misalnya akte lahir dilegalisasi oleh Ketua/ Hakim Pengadilan Negeri, artinya yang disahkan ialah tanda tangan pejabat pada pencatatan sipil tersebut30. Kekuatan pembuktian surat diserahkan kepada pertimbangan Hakim, tetapi dalam hal ini yang dapat dipertimbangkan hanya akta autentik, sedangkan surat di bawah tangan tidak dapat dipertimbangkan dalam Hukum Acara Pidana31. Selain akte, terdapat surat biasa yang dibuat bukan untuk dijadikan bukti32. Pasal 187 huruf c KUHAP, seperti visum et repertum, surat keterangan ahli tentang sidik jari33 (daktiloskopi), surat keterangan ahli tentang balistik (Balistik ialah berkaitan dengan balistika atau benda bergerak menurut hukum
30
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 25-27. M. Haryanto, Op. Cit. hal. 93. 32 Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit. hal. 27. 31
33
Sidik Jari ialah penyelidikan bekas jari untuk mengetahui dan membeda-bedakan orang (dengan meneliti garis-garis rekaman ujung jari); rekaman jari; cap jempol.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hal. 1302.
31
balistika.)34, surat keterangan ahli tentang kedokteran forensik35, surat keterangan
ahli tentang kedokteran kehakiman. Di dalam ketentuan huruf d (Pasal 187 KUHAP) tersebut dengan tegas dinyatakan bentuk ‘surat lain’ hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Jadi, bentuk ‘surat lain’ yang diatur dalam huruf d ‘hanya dapat berlaku jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain’. Menurut logikanya, suatu surat yang harus tergantung pada alat bukti yang lain, tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti. Sebab kalau sesuatu alat bukti masih terus digantungkan pada alat bukti lain, tentu belum melekat sifat alat bukti. Artinya, kalau ‘surat lain’ digantungkan pada alat bukti lain, baru bernilai sebagai alat bukti, sudah jelas pada diri bentuk ‘surat lain’ tadi tidak terdapat suatu nilai alat bukti. Dengan demikian, bentuk ‘surat lain’ ini tidak dapat dikategorikan alat bukti surat36.
d.Petunjuk
Pasal 188 KUHAP (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : a. keterangan saksi; b. surat; c. keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. Alfitra mengutip pendapat P. A. F. Lamintang mengatakan, petunjuk memang hanya merupakan dasar yang dapat dipergunakan oleh Hakim untuk 34
Balistika ialah ilmu tentang gerak atau dorongan proyektil (peluru meriam ditembakkan, peluru kendali yang diluncurkan, dsb.) termasuk proses dan kekuatannya.
Ibid, hal. 127. 35
Kedokteran Forensik ialah ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penerapan ilmu pengetahuan medis bagi persoalan hukum pidana dan kejahatan dengan menggunakan fakta-fakta medis; yurisprudensi kedokteran; yurisprudensi medis. Ibid, hal. 338. 36 Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 107.
32
menganggap suatu kenyataan sebagai terbukti, atau dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti seperti misalnya keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang terjadinya suatu kenyataan, melainkan ia hanya merupakan suatu dasar pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian mana kemudian Hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut dengan kenyataan yang dipermasalahkan37. Kiranya orang dapat mengetahui bahwa pembuktian yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk di dalam berbagai alat bukti itu, tidak mungkin akan dapat diperoleh oleh Hakim tanpa mempergunakan suatu redenering atau suatu pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara kenyataan yang satu dengan kenyataan yang lain, atau antara suatu kenyataan dengan tindak pidananya sendiri38. Alfitra mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro, apa yang disebut sebagai petunjuk sebenarnya bukan alat bukti, melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan menggunakan alat-alat bukti sah yang lain, yaitu keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa39.
Perbuatan, kejadian, atau keadaan bertalian dengan alat bukti petunjuk adalah “fakta hasil pembuktian dari pemeriksaan persidangan” yang didukung oleh alat-alat bukti. Fakta tersebut berupa perbuatan, kejadian, atau keadaan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri belum memenuhi unsur perbuatan pidana. Baru berkualifikasi sebagai unsur perbuatan pidana kalau fakta-fakta tersebut dirangkai satu sama lain, maupun dirangkai dengan tindak pidana itu sendiri melalui analisis hukum40. Kata persesuaian Pasal 188 ayat (1) KUHAP, adanya syarat yang satu dan yang lain harus dapat persesuaian, berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah atau sebuah alat bukti petunjuk dengan satu buah bukti lain ada persesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti. Dengan kata lain merupakan kekuatan utama petunjuk sebagai alat bukti karena kesesuaian tersebut antara yang satu dengan yang lain dalam hal perbuatan, kejadian, atau keadaan, maka hakim menjadi yakin akan perbuatan yang dilakukan Terdakwa41. Dalam penerapannya kepada Hakimlah diletakkan kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan merupakan petunjuk.
37
Alfitra, Op. Cit. hal. 102. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 79. 39 Alfitra, Op. Cit, hal. 108. 40 Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, PT. Alumni, Bandung, hal. 76-77. 41 Alfitra, Op. Cit., hal. 105. 38
33
Pasal 188 ayat (2) KUHAP, hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa (de waarneming van de rechter). Dengan kata lain serta diperlukan apabila alat bukti lain belum mencukupi batas minimum pembuktian. Pada prinsipnya dalam praktik penerapan alat bukti petunjuk cukup rumit dan tidak semudah yang dibayangkan secara teoritis. Walaupun demikian, hal ini bukanlah berarti bahwa alat bukti petunjuk tidak penting eksistensinya. Menurut para praktisi dan yurisprudensi alat bukti petunjuk cukup penting eksistensinya dan apabila bukti tersebut diabaikan, akan menyebabkan putusan yudex facti dibatalkan Mahkamah Agung Republik Indonesia42. Menurut A. Hamzah, jika diperhatikan Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa untuk menilai kekuatan alat bukti petunjuk adalah kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani Hakim pada waktu pemeriksaan di muka sidang yang dilakukannya dengan arif dan bijaksana. Kecermatan dan kesaksamaan Hakim di sini adalah “pengamatan Hakim” di muka sidang. Jadi, sebenarnya KUHAP telah mengakui pentingnya peranan pengamatan Hakim sebagai alat bukti, tetapi tidak secara tegas dicantumkan dalam Pasal 184 KUHAP43. Pembuktian sebagian besar perkara pidana, sering harus didasarkan atas petunjuk-petunjuk. Hal ini adalah seseorang yang melakukan kejahatan, terlebihlebih mengenai tindak pidana yang berat, akan melakukannya dengan terangterangan. Selalulah pelakunya akan berusaha menutupi perbuatannya dalam tabir kegelapan. Hanya karena dengan dapat diketahuinya keadaan-keadaan tertentulah tabir tersebut kadang-kadang dapat terungkap, sehingga kebenaran yang ingin disembunyikan dapat ditemukan44. Di sini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada Hakim. Dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan Hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh Hakim (eigen waarneming van de rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh Hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum45. Apabila diperhatikan dari rumusan Pasal 188 ayat (1 dan 3) KUHAP, maka pada akhirnya untuk menilai kekuatan pembuktian dari petunjuk diserahkan kepada Hakim. Ini berarti bahwa petunjuk sama dengan pengamatan oleh Hakim
42
Lilik Mulyadi, 2012, Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus Dalam Teori dan Praktik, PT. Alumni, Bandung. hal. 502-503. 43 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 76. 44 A. Karim Nasution, Jilid III, Op. Cit. Hal. 31. 45 Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 272.
34
(eigen waarneming van de rechter). Jika memang demikian, maka pengamatan sendiri oleh seorang Hakim harus dilakukan selama sidang (dalam persidangan)46.
e. Keterangan Terdakwa
1) Pasal 1 angka 15 KUHAP, Terdakwa adalah seorang Tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. 2) Pasal 189 KUHAP
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan merupakan alat bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan Terdakwa tentang apa yang ia perbuat, apa yang ia ketahui, dan apa yang ia alami47.
46 47
M. Haryanto, Op. Cit. Hal. 94. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 96.
35
Keterangan terdakwa yang dikatakan mengandung nilai pembuktian yang sah sebagai berikut: a. Keterangan harus dinyatakan di depan sidang pengadilan. b. Isi keterangan terdakwa mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa, segala hal yang diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri. c. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri (Pasal 189 ayat (3) KUHAP). Artinya mengenai memberatkan atau meringankan keterangan terdakwa di sidang pengadilan, hal itu berlaku terhadap dirinya sendiri dan tidak boleh dipergunakan untuk meringankan atau memberatkan orang lain atau Terdakwa lain dalam perkara yang sedang diperiksa. d. Keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain48 (Pasal 189 ayat (4) KUHAP). Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang (keterangan tersangka) dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya (tafsiran a contrario49 dari Pasal 189 ayat (2) KUHAP).
Sedangkan terhadap keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang hanya dapat digunakan dalam eksistensinya “membantu” menemukan bukti di sidang pengadilan. Dalam praktik, KUHAP yang tidak mengejar “pengakuan Terdakwa” pada tahap pemeriksaan di depan persidangan Terdakwa dijamin kebebasannya dalam memberikan keterangannya (Pasal 52 KUHAP), dilarang diajukan pertanyaan bersifat menjerat terhadap Terdakwa (Pasal 166 KUHAP), Terdakwa berhak untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya (Pasal 175 KUHAP) sehingga Hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya Terdakwa (Pasal 158 KUHAP). Begitupun sebaliknya, walaupun keterangan Terdakwa berisikan “pengakuan” tentang perbuatan yang ia lakukan, barulah mempunyai nilai pembuktian apabila didukung dan berkesesuaian dengan alat bukti lainnya (Pasal 184 ayat (1) huruf a, b, c, dan d KUHAP)50. Pada prinsipnya keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dan dapat dipergunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asal didukung suatu alat bukti sah lainnya. Dalam praktik peradilan lazimnya terhadap keterangan terdakwa ketika diperiksa Penyidik kemudian keterangan tersebut 48
Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 112.
49
Tafsiran a Contrario (Ind.) ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu Pasal undangundang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh Pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada di luar Pasal tersebut.
Sudarsono, Op. Cit. hal. 472. 50 Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 504-505.
36
dicatat dalam Berita Acara Penyidik dan Terdakwa. Konkrit dan singkat keterangan terdakwa dalam BAP yang dibuat penyidik. Jika ditelaah lebih lanjut, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang harus didukung oleh suatu alat bukti lain yang sifatnya adalah limitatif oleh karena jika Judex facti51 mempermasalahkan terdakwa hanya berdasarkan keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang, tanpa diperkuat alat bukti lain yang sah52. Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan terdakwa tidak menghilangkan syarat minimum pembuktian. Jadi meskipun seorang Terdakwa mengaku, tetap harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain, karena yang dikejar kebenaran material53.
Hanya keterangan terdakwa di depan sidang pengadilanlah yang menjadi alat bukti. Keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang sempurna harus disertai keterangan yang jelas tentang keadaan-keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana dilakukan olehnya. Keterangan tersebut, semua atau sebagian, harus cocok dengan keterangan korban atau dengan alat-alat bukti lainnya54. Pada hakikatnya, dengan adanya “pencabutan/ penarikan” maka korelasi keterangan terdakwa terhadap BAP adalah :
a) Apabila alasan “pencabutan/ penarikan” keterangan tersebut beralasan, keterangan yang diberikan dalam BAP dianggap tidak benar. Oleh karena itu, keterangan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 183 KUHAP sehingga keterangan terdakwa yang diterapkan adalah sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yakni apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. b) Apabila “pencabutan/ penarikan” keterangan tersebut tidak dibenarkan karena tidak logis dan tidak beralasan yang kuat (irasional), BAP tetap dianggap benar dan merupakan bukti petunjuk tentang kesalahan terdakwa55. Memang disatu pihak secara teoritis dan yuridis Terdakwa mempunyai hak untuk mungkir (menolak; tidak mengaku(i); menyangkal), adanya jaminan hak
51
Judex Facti ialah hakim mengenai fakta-fakta; maksudnya hakim yang memeriksa tentang duduknya permasalahan perkara yang berhubungan langsung dengan fakta-faktanya yaitu hakim tingkat pertama dan hakim tingkat banding (tidak termasuk hakim kasasi).
Sudarsono, Op. Cit. hal. 199. 52 Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 114-115. 53 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op. Cit. hal. 97. 54 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. hal. 114. 55 Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 117-118.
37
asasi Terdakwa dalam KUHAP untuk memberi keterangan secara bebas karena pada hakikatnya keterangan terdakwa merupakan keterangan yang Terdakwa nyatakan di sidang tentang ia lakukan atau ia lakukan sendiri atau alami sendiri56. Sehingga kekuatan pembuktian keterangan terdakwa diserahkan kepada Hakim57.
2. Korelasi Barang Bukti dan Alat Bukti
Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, tidak tampak adanya hubungan antara barang bukti dan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada Terdakwa, harus : -
Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;
-
Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, Hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya. Namun demikian Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang
bukti persidangan, (1) Hakim Ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini. (2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada Saksi. Barang bukti itu sangat penting bagi Hakim untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani atau periksa. Barang bukti dan alat bukti merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam persidangan, untuk mengejar kebenaran apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum maka setelah memeriksa Terdakwa dan Saksi, Hakim pun memperlihatkan barang bukti tersebut, dan menanyakan kepada Terdakwa dan Saksi apakah ia mengenal barang bukti tersebut, dan apakah betul barang bukti tersebut yang dicuri oleh Terdakwa dan apakah benar barang bukti itu adalah milik Saksi, dan seterusnya58.
56
Ibid, hal. 116. M. Haryanto, Op. Cit. Hal. 95. 58 Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hal. 19. 57
38
Apabila dikaitkan antara Pasal 184 ayat (1) dengan Pasal 181 ayat (3) KUHAP, maka barang bukti akan menjadi : a. Keterangan saksi, jika keterangan tentang barang bukti dimintakan kepada Saksi. b. Keterangan terdakwa, jika keterangan tentang barang bukti diminta kepada Terdakwa59. c. Keterangan ahli, jika seorang ahli memberikan keterangan secara lisan terkait dengan barang bukti di sidang pengadilan. d. Petunjuk, barang bukti pengganti merupakan petunjuk bagi Hakim untuk menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, apabila ada korelasi dengan barang bukti atau dengan barang bukti yang lain. e. Surat, jika seorang ahli memberikan keterangan secara tertulis di luar persidangan terkait dengan barang bukti yang dimintakan keterangan kepadanya.
Dengan demikian barang bukti memiliki peranan penting dalam mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, serta dapat membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan Terdakwa. Itulah sebabnya Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan atau menghadapkan barang bukti selengkap-lengkapnya di sidang pengadilan60.
3. Peranan Barang Bukti Dalam Pembuktian
Tentang peranan barang bukti dalam pembuktian dapat diketahui dari perumusan Pasal-Pasal sebagai berikut :
a. Pasal 45 KUHAP (1) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut:
59
Ibid, hal. 20. Ibid, hal. 21-22.
60
39
a. apabila perkara masih ada ditangan Penyidik atau Penuntut Umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dengan disaksikan oleh Tersangka atau kuasanya; b. apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh Penuntut Umum atas izin Hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya. (2) Hasil pelelangan benda yang bersangkutan yang berupa uang dipakai sebagai barang bukti. (3) Guna kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian dari benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. b. Pasal 181 KUHAP
(1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini. (2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada Saksi. (3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada Terdakwa atau Saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu. Menurut Andi Hamzah bahwa “Barang Bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil, pendirian atau dakwaan. Sedangkan menurutnya alat-alat bukti ialah upaya pembuktian melalui alat-alat yang diperkenankan untuk dipakai membuktikan dalil-dalil atau dalam perkara pidana dakwaan di sidang pengadilan, misalnya keterangan terdakwa, kesaksian, keterangan ahli, surat dan petunjuk sedang dalam perkara perdata termasuk persangkaan dan sumpah61. Secara material, barang bukti berguna bagi Hakim untuk menyandarkan keyakinannya. Hakim tidak harus yakin bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, meskipun alat-alat bukti yang sudah memenuhi syarat pembuktian62.
61 62
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 99. Alfitra, Op. Cit. hal. 129-130.
40
Barang bukti dengan alat bukti adalah berbeda, namun kedua hal tersebut ada hubungannya satu dengan yang lain yaitu untuk kepentingan pembuktian peristiwa pidana dan dapat menambah keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan di persidangan. Barang bukti setelah digunakan di persidangan, statusnya akan diputus oleh hakim di dalam putusannya. Hakim akan menetapkan di dalam putusannya tentang barang bukti untuk dikembalikan kepada yang paling berhak, dirampas untuk kepentingan negara atau dirampas untuk dimusnahkan63. Dalam persidangan tidak selamanya barang bukti itu tetap berupa benda yang disita semula oleh Penyidik. Adakalanya yang dihadapkan ke persidangan adalah barang bukti pengganti, karena barang bukti semula atau aslinya telah dijual lelang berdasarkan Pasal 45 KUHAP.
Ada pula barang bukti pengganti di persidangan, tetapi tidak ada hubungannya dengan Pasal 45 KUHAP. Melainkan memang semula benda tersebut disita oleh penyidik sebagai barang bukti yang asli, misalnya barang yang dicuri itu adalah gelang emas, kemudian pada waktu Tersangka tertangkap, gelang emas tersebut telah dijual dan uang hasil penjualannya itu dibelikan pakaian. Dalam keadaan begini maka pakaian itulah yang disita oleh Penyidik sebagai barang bukti.
Dalam Pasal 181 KUHAP secara material barang bukti berguna untuk menyandarkan keyakinan hakim yang diajukan dalam persidangan, oleh karena itu Ratna Nurul Afiah mengatakan : Bagi Hakim untuk memperlihatkan barang bukti kepada terdakwa maupun saksi karena barang bukti merupakan alat pembuktian dan penambah keyakinan Hakim atas kesalahan Terdakwa. Diperlihatkannya barang bukti tersebut untuk menjaga jangan sampai barang bukti yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara Terdakwa dijadikan bahan bukti, disamping untuk menjaga tertukarnya barang bukti tersebut, sehingga jangan sampai barang yang dijadikan bahan bukti tidak dikenal oleh Terdakwa atau Saksi64.
63
Gatot Supramono, 2008, Bagaimana Mendampingi Seseorang di Pengadilan (Dalam Perkara Pidana dan Perkara Perdata), Djambatan, Jakarta, hal. 38-39. 64 Ratna Nurul Afiah, Op. Cit., hal. 175.
41
C. Sistem Atau Teori Pembuktian Di dalam hakim memeriksa perkara pidana dan selanjutnya akan menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diperiksanya butuh adanya pembuktian apakah yang didakwakan oleh Penuntut Umum dapat dibuktikan sehingga dapat dipakai sebagai dasar untuk menyatakan Terdakwa bersalah serta dasar untuk menjatuhkan pidana kepada Terdakwa65. Dalam Hukum Acara Pidana dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu sebagai berikut : 1. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut Undang-Undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar Undang-Undang positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya berdasarkan Undang-Undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan Hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).
Singkatnya, Undang-Undang telah menentukan tentang adanya alat-alat bukti mana yang dapat dipakai Hakim, cara Hakim harus mempergunakan kekuatan alatalat bukti tersebut dan cara Hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Dalam aspek ini, Hakim terikat kepada adagium66 kalau alat-alat bukti tersebut telah dipakai sesuai ketentuan Undang-Undang, Hakim mesti menentukan Terdakwa bersalah, walaupun Hakim “berkeyakinan” bahwa sebenarnya Terdakwa 65
M. Haryanto, Op. Cit. Hal. 85. Adagium merupakan pepatah; peribahasa: sebuah – Latin menyatakan “Ubi societas, ibi justicia”, artinya di mana ada masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (keadilan). Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hal. 7. 66
42
bersalah. Begitu pun sebaliknya, apabila tidak dapat dipenuhi cara mempergunakan alat bukti sebagaimana ditetapkan Undang-Undang, Hakim harus menyatakan Terdakwa tidak bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya Terdakwa bersalah67.
Menurut yang pertama yaitu disebut “ajaran positif menurut hukum” yang diterapkan dalam proses inquisitoir pada masa-masa lalu, maka alat-alat serta dasardasar pembuktian ditentukan dalam Undang-Undang dan Hakim sangat terikat padanya. Menurut sistem ini, Hakim harus menyatakan sebagai terbukti hal-hal yang telah disimpulkan dari sejumlah alat-alat pembuktian berdasarkan Undang-Undang sedang keyakinannya menurut hati nuraninya tidak boleh memegang peranan sama sekali68. Teori pembuktian ini ditolak juga oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, karena katanya bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, keyakinan seorang Hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat69.
2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Melulu (Conviction Intime) Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan Hakim melulu. Teori ini disebut juga conviction intime. 67
Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 193. A. Karim Nasution, Op. Cit. hal 27. 69 Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 247. 68
43
Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan Terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin Terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam UndangUndang70. Dalam perkembangannya, lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim mempunyai dua bentuk polarisasi yaitu : “Conviction Intime” dan “Conviction Raisonee”. Melalui sistem pembuktian “Conviction Intime”, kesalahan Terdakwa bergantung kepada “keyakinan” belaka, sehingga Hakim tidak terikat oleh suatu peraturan (bloot gemoedelijk overtuiging, conviction intime). Apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan sistem penerapan sistem pembuktian “Conviction Intime” mempunyai bias subyektif, yaitu : “Apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya Terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” Hakim. Keyakinan Hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan Terdakwa. Dari mana Hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan Hakim dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau pengakuan Terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang Terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, Hakim leluasa membebaskan Terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan Terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama Hakim tidak yakin atas kesalahan Terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun kesalahan Terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan Hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan Terdakwa “tidak terbukti” berdasar alat-alat bukti yang sah, Terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas “dasar keyakinan” Hakim. Keyakinan Hakimlah yang paling “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya Terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan Terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib Terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.” Pada sistem pembuktian “Conviction Raisonee” keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan kesalahan Terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan71.
70 71
Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 248. Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 195-196.
44
Menurut sistem ini tidak diakui aturan-aturan pembuktian yang obyektif untuk kekuatan pembuktian (bewijskracht), dan menyerahkan segala sesuatunya pada dasardasar penilaian subyektif dari Hakim. Dengan sendirinya sistem ini juga menyampingkan setiap alasan yang menjadi dasar dari sesuatu keputusan Hakim72. Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian demikian yang pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini katanya memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun. Menurut Andi Hamzah, pengadilan adat dan swapraja pun memakai sistem keyakinan hakim melulu selaras dengan kenyataan bahwa pengadilan-pengadilan tersebut dipimpin oleh hakim-hakim yang bukan ahli (berpendidikan) hukum. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. Pelaksanaan pembuktian seperti pemeriksaan dan pengambilan sumpah saksi, pembacaan berkas perkara terdapat pada semua perundang-undangan acara pidana, termasuk sistem keyakinan hakim melulu (conviction intime)73.
3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonnee) Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim yang dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction 72 73
A. Karim Nasution, Op. Cit. hal. 28. Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 248-249.
45
rasionee) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewisjtheorie). Persamaan antara keduanya ialah keduanya sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah74. Perbedaan ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus berdasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan75. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua yaitu yang pertama pangkal tolak pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan undangundang. Kemudian pada yang pertama dasarnya ialah suatu konklusi yang tidak didasarkan undang-undang, sedangkan yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang-undang yang disebut limitatif76.
4. Teori Pembuktian Berdasar Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk) Istilah “negatiefe-wettelijke” berarti “wettelijk”, adalah berdasarkan UndangUndang, sedang “negatief” adalah bahwa walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan Undang-Undang, maka Hakim belum boleh menjatuhkan hukuman, sebelum ia memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Pasal 183 KUHAP berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu 74
Ibid. M. Haryanto, Op. Cit. hal. 86. 76 Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 249-250. 75
46
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewisjstheorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, kata D. Simons), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang77. Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa sistem pembuktian berdasar undangundang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasar dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua ialah berfaidah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan78.
Menurut Pasal 183 KUHAP tersebut dapat diketahui bahwa KUHAP menganut teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif, karena : 1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah dan dengan alat bukti tersebut; 2. Menimbulkan keyakinan hakim79.
77
Ibid, hal. 250 dan 252. Andi Hamzah, Op. Cit. hal. 253. 79 M. Haryanto, Op. Cit. hal. 87. 78
47
D. Hukum Pembuktian dan Sumber-Sumber Hukum Pembuktian 1. Hukum Pembuktian Dalam mempelajari aturan pembuktian, kita akan menemukan beberapa istilah dalam hukum pembuktian sebagai berikut : 1. Alat Pembuktian (bewijsmiddel) 2. Penguraian Pembuktian (bewijsvoering) 3. Kekuatan Pembuktian (bewijskracht) 4. Dasar Pembuktian (bewijsgrond) Ad. 1. Alat Pembuktian : oleh karena kejadian-kejadian yang harus dibuktikan pada hakekatnya selalu terletak dalam masa lampau, maka diperlukanlah alat-alat pembantu untuk dapat menggambarkannya kembali. Kejadian-kejadian tersebut ataupun hal-hal lain, dari mana mereka dapat disimpulkan, biasanya dapat dan akan meninggalkan tanda-tanda, ada kalanya bersifat lahiriah dalam dunia luar, yang mana dapat dipertunjukan untuk disaksikan Hakim, atau bersifat batiniah dalam kesadaran manusia, yang dengan keterangan-keterangan dapat dikemukakan. Dari satu dan lain hal, maka Hakim dapatlah dengan kepastian yang lebih kurang menggambarkan suatu kejadian kembali. Alat-alat dengan mana tanda-tanda tersebut disampaikan pada Hakim (keterangan lisan atau tertulis dan pengalaman sendiri) disebut alat-alat bukti. Ad. 2. Penguraian Pembuktian : penguraian pembuktian adalah cara-cara mempergunakan alat-alat bukti tersebut. Penguraian pembuktian tersebut memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perkara di persidangan Pengadilan. Hakim haruslah meneliti apakah dapat terbukti bahwa terdakwa telah melakukan hal-hal seperti dituduhkan padanya, oleh karena pertama-tama atas dasar hal-hal yang terbuktilah dapat dijawab pertanyaan tentang dapat dihukumnya sesuatu perbuatan dari terdakwa. Ad. 3. Kekuatan Pembuktian : kekuatan pembuktian artinya pembuktian dari masingmasing alat bukti. Dalam pembuktian, maka Hakim adalah sangat terikat pada kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti. Ad. 4. Dasar Pembuktian : dasar pembuktian adalah isi (inhoud) dari alat bukti yang dinamakan dasar pembuktian. Umpama, keterangan seorang saksi bahwa ia telah melihat sesuatu, disebut alat bukti; tetapi keadaan apa yang dilihatnya, yaitu apa yang dialaminya ataupun yang diterangkannya sebgai saksi disebut dasar pembuktian80.
Pada ketentuan ini “hukum pembuktian” dalam sidang pengadilan dilakukan secara aktif oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menyatakan kesalahan dari terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan dan sebaliknya 80
A. Karim Nasution, Op. Cit. hal. 24-26.
48
terdakwa atau penasihat hukum akan berusaha untuk menyatakan dan membuktikan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum81. Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui faktafakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian82. Martiman Prodjohamidjojo menyatakan bahwa sistem hukum pembuktian dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh mempengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan. Atas pengertian sistem hukum pembuktian ini, Akil Mohtar mengutip pendapat Indriyanto Seno Adji menyimpulkannya dengan kata-kata : Jadi, sistem (hukum pembuktian) ini mengatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan oleh Terdakwa untuk pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya Terdakwa melakukan perbuatan (tindak) pidana yang didakwakan kepadanya83. Kemudian apabila dijabarkan secara lebih khusus mengenai hukum pembuktian yang bersifat umum dalam KUHAP berorientasi kepada dimensi-dimensi sebagai berikut: a. Mengenai apa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Keterangan saksi yang sah adalah yang dinyatakan di sidang pengadilan dan keterangan seorang saksi tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan (asas “unus testis nullus testis”), tetapi keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu dan berikutnya petunjuk diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
81
Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 482. Alfitra, Op. Cit. hal. 21. 83 Akil Mohtar, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Sekjen dan Kepaniteraan MK, Jakarta, hal. 83. 82
49
b. Adanya “asas pembuktian undang-undang secara negatif” atau lazim dipergunakan terminologi asas “Negatief Wettelijk Bewijstheorie” untuk menyatakan seorang bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. c. Mengenai nilai atau kekuatan alat-alat bukti dalam melakukan pembuktian serta bagaimana cara menilainya yaitu dengan secara sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain, persesuaian dengan alat bukti yang lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu serta cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memperngaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya, kemudian cara melakukan pembuktian84.
2. Sumber-Sumber Hukum Pembuktian Sumber-sumber hukum pembuktian adalah a. Undang-Undang; b. Doktrin Atau Ajaran; c. Yurisprudensi Apabila di dalam praktik menemui kesulitan dalam penerapan atau menjumpai kekurangan atau untuk memenuhi kebutuhan maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi85.
a. Undang-Undang Pada dasarnya, aspek “pembuktian” dimulai tahap penyelidikan perkara pidana dimana tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, sudah ada tahap pembuktian. Begitu pula halnya dengan penyidikan dimana ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Oleh karena itu, dengan tolak ukur ketentuan Pasal 1 angka 2 dan angka 5 KUHAP untuk dapat dilakukannya tindakan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan bermula dilakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga sejak tahap awal diperlukan adanya pembuktian dan alat-alat bukti86. Proses awal “pembuktian” di depan sidang pengadilan mulai dengan pemeriksaan saksi korban (Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP) akan tetapi bagi JPU proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukan tuntutan pidana 84
Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 167-168. Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi, Mandar Maju, Bandung, hal. 10. 86 Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 477. 85
50
(requisitoir) yang dapat dilanjutkan dengan repliek atau re-repliek. Kemudian bagi terdakwa dan atau penasihat hukum akan berakhir dengan dibacakan pembelaan (pledooi), yang dapat dilanjutkan dengan acara dupliek atau re-dupliek sedangkan bagi majelis hakim berakhirnya proses pembuktian ini diakhiri dengan adanya pembacaan putusan (vonnis) baik di Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding87. Secara konkrit Adami Chazawi menandaskan, bahwa : “Dari pemahaman tentang arti pembuktian di sidang pengadilan sebagaimana yang diterangkan di atas, maka sesungguhnya kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan 2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Bagian pembuktian yang pertama, adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan di muka sidang pengadilan oleh JPU dan PH (a decharge) atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai (Pasal 182 ayat 1 huruf a KUHAP). Dimaksudkan selesai menurut Pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang (termasuk pemeriksaan setempat). Bagian pembuktian kedua, ialah bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing oleh tiga pihak tadi. Oleh JPU pembuktian dalam arti kedua ini dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi PH pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pledooi), dan majelis hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonnis) yang dibuatnya88.” Penjatuhan pidana oleh hakim melalui dimensi “hukum pembuktian” ini secara hukum berorientasi kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP. Ketentuan normatif Pasal 183 KUHAP tersebut merupakan asas pembuktian UndangUndang secara negatif (Negatief Wettelijk Bewijstheorie)89.
b. Doktrin Atau Ajaran Dikaji secara umum, “pembuktian” berasal dari kata “bukti” yang berarti sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; tanda; hal yang menjadi tanda perbuatan jahat90. Pembuktian merupakan proses, cara,
87
Ibid. hal. 479. Ibid. hal. 480. 89 Ibid. hal. 481. 90 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Op. Cit. hal. 217. 88
51
perbuatan membuktikan; usaha menunjukakan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan91. Menurut M. Yahya Harahap, dikaji dari perspektif yuridis, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang caracara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa92.
c. Yurisprudensi a. Yurisprudensi ialah ajaran hukum melalui peradilan; himpunan putusan hakim93. b. Yurisprudensi ialah kumpulan/sari keputusan Mahkamah Agung tentang berbagai vonis beberapa macam jenis kasus perkara berdasarkan pemutusan kebijaksanaan para hakim lainnya dalam memutuskan kasus-kasus perkara yang (hampir) sama; dengan adanya yurisprudensi itu para hakim secara tidak langsung membentuk materi hukum atau yurisprudensi itu juga merupakan sumber hukum94. Penerapan hukum pembuktian dalam putusan hakim dapat dipahami melalui bentuk surat putusan pemidanaan95.
91
Ibid. hal. 218. Lilik Mulyadi, Op. Cit. hal. 477. 93 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Op. Cit. hal. 1568. 94 Yan Pramadya Puspa, 1977, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris, Aneka Ilmu, Semarang, hal. 927-928. 95 Hendar Soetarna, Op. Cit. hal. 153. 92
52