BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pemetaan Pemetaan dapat diartikan sebagai proses terpadu yang meliputi kegiatan
pengumpulan, pengolahan dan visualisasi dari data keruangan (Wibowo 2009). Sedangkan peta dapat berupa gambaran permukaan bumi yang menggambarkan lokasi suatu tempat dan memiliki topik tersendiri (Flavelle, tidak ada tahun terbit). Proses pemetaan partisipatif tidak berbeda dengan proses pemetaan, yang membedakan hanyalah teknik yang digunakan dan sumberdaya yang melakukan. Pemetaan partisipatif memiliki kriteria tersendiri, yakni melibatkan seluruh anggota masyarakat, masyarakat menentukan sendiri topik pemetaan dan tujuannya, masyarakat menentukan sendiri proses yang berlangsung, proses pemetaan dan produk-produk yang dihasilkan bertujuan untuk kepentingan masyarakat, sebagian besar informasi yang terdapat di peta berasal dari pengetahuan lokal dan masyarakat menentukan penggunaan peta yang dihasilkan. Peta dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti mencatat dan mengesahkan pengetahuan lokal atau pengetahuan tradisional, pengorganisasian rakyat dan meningkatkan kesadaran mengenai masalah-masalah tanah dan lingkungan, perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam masyarakat adat, meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berkomunikasi dan menjalin kerjasama dengan pihak luar dan menegaskan serta menegosiasikan kepemilikan kawasan adat. 2.2
Masyarakat adat Masyarakat adat dalam Perda Kabupaten Nunukan No. 03/2004 tentang
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat adalah mereka yang memiliki empat kriteria sebagai berikut : a. Adanya sekelompok masyarakat yang memiliki integritas, teratur dan bertindak sebagai satu kesatuan yang terikat dan tunduk pada tatanan hukum adatnya; b. Adanya struktur lembaga sendiri yang memiliki kewenangan untuk mengadakan aturan-aturan yang diakui dan ditaati oleh warganya;
5
c. Adanya kekayaan masyarakat hukum tersendiri yang terpisah dari kekayaan masing-masing warganya; dan d. Adanya wilayah tertentu yang merupakan wilayah kekuasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Perda Hak Ulayat di atas juga mendefinisikan masyarakat adat sebagai kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang bersifat tetap, mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, kesatuan lingkungan berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Simarmata 2006). Purba (2002) mendefinisikan masyarakat adat adalah mereka yang memiliki ciri sebagai berikut: a. Individu yang lahir, dibesarkan dan menetap di suatu tempat, biasanya di pedesaan; b. Seluruh anggotanya menempati kawasan yang sama dalam kurun waktu yang cukup lama; c. Hubungan diantara individu-individunya didasarkan pada keturunan dan kesamaan wilayah pemukiman; d. Warganya masih homogen atau terdapat kebudayaan dominan; e. Dominan warganya masih terikat kuat pada hukum adat, nilai kearifan dan tradisi pelestarian lingkungan; f. Lisan atau tertulis terdapat aturan adat yang dipahami, diterima, diwariskan dan dipatuhi oleh sebagian besar warganya; g. Adanya perangkat hukum adat yang masih berperan kuat menegakan hukum adat; h. Memiliki hubungan historis, kultural, ekonomi, sosial, budaya dengan tanah dimana ia bermukim; i. Memiliki nilai-nilai yang masih dianut secara turun temurun oleh sebagian besar warganya; dan j. Warganya masih mematuhi kearifan atau tradisi pelestarian lingkungan. Desa Long Alango masuk kedalam Wilayah Persekutuan Hukum Adat Hulu Bahau, berbatasan di sebelah utara dengan Desa Long Kemuat dan di selatan dengan Desa Long Tebulo. Pembentukan suatu kampung (Leppo) serta batas-
6
batas arealnya merupakan hasil dari sejarah suku Leppo Ma‟ut dan perpindahan penduduknya dari satu desa ke desa lainnya. Namun, pada akhir tahun 1991 Camat Long Pujungan memerintahkan semua desa, termasuk Desa Long Alango saat itu, agar menetapkan batas wilayahnya masing-masing secara definitif dan hasilnya harus diserahkan ke kantor kecamatan (Lamis 1999). Desa Long Alango di Kecamatan Bahau Hulu berpenduduk suku Kenyah Leppo‟ Ma‟ut yang telah bermukim sejak tahun 1957-1958. Mereka diperkirakan berasal dari daerah daratan Cina, dimana suku Kenyah tergeser oleh suku Madap atau Marap dan terpaksa mengungsi berlayar menyeberangi lautan. Salah satu perahu suku Kenyah mendarat di Kuala Telang Usan (Sungai Baram) di pantai utara borneo. Kondisi yang tidak aman dengan suku-suku tetangga di daerah tersebut, menyebabkan Suku Kenyah mulai masuk ke pedalaman Kalimantan sampai ke daerah Sungai Belaga. Perpindahan tersebut belum berhenti di Sungai Belaga, mereka berpindah ke pegunungan antara hulu Sungai Belaga, Sungai Baram, Sungai Iwan dan Sungai Bahau. Perpindahan ke hulu Sungai Bahau disambut baik oleh Leppo‟ Ke yang terlebih dahulu berada di daerah tersebut (Lahang 1999). Pada tahun 1940-an, beberapa penduduk Desa Long Kemuat membuka ladang di daerah Sungai Lango karena areal lahan di sekitar Long Kemuat semakin terbatas untuk perladangan. Kepala adat besar saat itu (Apuy Njau) mengajak masyarakat untuk mencoba menggarap sawah pada tanah bekas ladang di sekitar Sungai Lango yang banyak memiliki anak sungai dan mengalir sepanjang tahun. Pembukaan ladang di areal Sungai Lango memberikan hasil yang baik. Jarak yang cukup jauh antara Sungai Lango dengan desa, menyebabkan Kepala Adat Besar dan Kepala Desa Long Kemuat pada tahun 1948 mengajak masyarakat berpindah ke Long Alango dan pada tahun 1952 terbentuklah Desa Long Alango. Perpindahan penduduk Desa Long Kemuat tetap berjalan hingga tahun 1960-an. Pada akhirnya di Desa Long Kemuat terdapat tujuh KK yang tidak berpindah ke Desa Long Alango dan Desa Long Kemuat dapat berkembang kembali setelah menerima perpindahan penduduk dari Long Aking.
7
2.3
Tana ‘Ulen Tanah merupakan modal dasar masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
hidup seperti untuk membuka ladang, berburu, mencari ikan, mencari rotan, mencari kayu bangunan dan mencari hasil hutan. Kawasan ulen persekutuan adat Desa Long Alango telah ada sejak berdirinya desa, bahkan sejak mulainya masyarakat membuka hutan untuk pertanian, dan merupakan hubungan langsung yang kuat antara masyarakat desa dan tanahnya. Dengan demikian, sumber daya alam di kawasan ulen hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat desa. Konsep ulen yang dikenal di wilayah persekutuan adat hulu bahau identik dengan hak ulayat yang dikenal di berbagai persekutuan adat di Indonesia. Hak ulayat dalam Perda Kabupaten Nunukan No. 03/2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat didefinisikan sebagai hak atas tanah, hutan dan perairan yang meliputi kesatuan lingkungan hidup, yang dikelola oleh kesatuan penguasa menurut hukum adatnya berdasarkan hak bersama bagi semua anggota masyarakat hukum adat. Kriteria akan keberadaan hak ulayat dalam Perda itu disebutkan jika terdapat sekelompok orang yang masih terikat dengan tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama masyarakat adat; terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga masyarakat adat dan terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang diakui dan ditaati oleh warga masyarakat adat. Tana „ulen masyarakat adat atau “Tanah Adat” adalah tanah yang dilindungi, dijaga kelestariannya dan hasil hutannya, dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat setempat sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Tana „ulen di dalam wilayah masyarakat suku Kenyah pada umumnya dan suku Leppo Ma‟ut khususnya sudah dibuat secara turun temurun, sampai kini dipertahankan dengan nama Tana „ulen masyarakat adat. Tana „ulen berupa kawasan tanah yang keberadaannya diperuntukkan bagi kaum paren (bangsawan) sebagai penguasa di desa tersebut, dan dijadikan tempat simpanan atau cadangan sumberdaya alam yang dapat diambil sewaktu-waktu sesuai kepentingan kaum paren (Konradus 1999). Tana „ulen masyarakat adat Long Alango terletak di aliran Sungai Enggeng di mulen oleh Apuy Njau selaku kepala adat besar Hulu Bahau.
8
Fungsinya adalah untuk cadangan ikan, hasil buruan dan hasil hutan lainnya bagi kepentingan kegiatan pesta dan kebutuhan bahan bangunan untuk warga desa. Untuk pengambilan hasil hutan dari Tana „ulen ditentukan waktu khusus dan alasan khusus yang disebut buka ulen (Sirait 1999). Pada awal tahun 1960-an, Tana „ulen akhirnya berubah status menjadi milik desa (disebut Tana „ulen leppo‟) dan kemudian diperkuat dengan surat keputusan oleh pemerintah daerah tingkat I Kalimantan timur pada tahun 1967. Sehingga Tana „ulen leppo‟ dijaga dan dikelola dengan seksama untuk kepentingan bersama sebagai sumber pemenuhan kebutuhan masyarakat seperti bahan bangunan, bahan pangan, dan HHNK bernilai ekonomi. Pada tahun 1963-1964 ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia praktek pengelolaan Tana „ulen mengalami perubahan drastis. Para prajurit TNI pada waktu itu bertugas di wilayah perbatasan (pos-pos penjagaan) menjadi terbiasa masuk berburu di Tana „ulen desa-desa daerah Bahau Hulu untuk mencari lauk-pauk, dengan mengajak sejumlah warga setempat. Dalam pengelolaan Tana „ulen leppo‟ oleh desa, terdapat sejumlah aturan yang dipatuhi bersama oleh semua warganya secara ketat. Hasil hutan diambil pada waktu-waktu tertentu yang disebut buka ulen dan tidak mengikuti kalender tetap seperti kalender perladangan, serta khusus untuk kepentingan desa. Hal-hal yang tidak diperbolehkan seperti ngusa (mengambil atau mengusahakan hasil hutan) diluar waktu buka ulen atau melewati batas waktu buka ulen, masuknya warga desa lain tanpa ijin kepala desa dan memotong rotan atau menebang pohon kayu manis yang masih muda. Pelanggaran terhadap aturan-aturan pengelolaan Tana „ulen leppo‟ dikenakan sanksi yang disesuaikan dengan jenis pelanggaran. Jika pelanggar adalah warga di luar desa, dikenakan sanksi lebih berat. Demikian juga kaum paren, pimpinan atau aparat desa karena mereka berasal dari keluarga yang mendukung adanya Tana „ulen leppo‟, yaitu golongan yang menjadi teladan bagi warga desa lainnya. 2.4
Sistem Informasi Geografi (SIG) Pada dasarnya terdapat dua jenis data yang digunakan untuk memodelkan
kenampakan-kenampakan dunia nyata saat ini. Data spasial atau sering disebut dengan aspek-aspek keruangan seperti data koordinat, posisi dan ruang
9
merupakan data awal yang digunakan untuk memodelkan penampakan rupa bumi. Sedangkan data kedua adalah data atribut atau sering disebut sebagai data yang menjelaskan secara deskriptif mengenai fenomena yang dimodelkan. Data yang digunakan untuk menampilkan kenampakan dunia nyata tersebut dapat disimpan dan diproses (dilakukan secara terpisah) sedemikian rupa sehingga dapat ditampilkan dalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan sesuai kebutuhan. Keunggulan tersebut menjadi nilai lebih tersendiri bagi SIG dibandingkan peta yang menampilkan dan menyimpan data secara bersamaan. Sistem Informasi Geografi menurut Prahasta (2002) adalah suatu teknologi baru yang berbasiskan komputer dan menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. Dengan demikian terdapat empat kemampuan SIG yang berbasiskan komputer dalam menangani informasi bereferensi geografi yakni input data, manajemen data, analisis dan manipulasi data serta luaran atau tampilan yang diinginkan (Aronoff 1989 diacu dalam Prahasta 2005). Weng (2010) mengatakan SIG dapat digunakan untuk menangani berbagai data yang bersifat geografis, termasuk di dalamnya data atribut dan spasial yang mampu menjelaskan berbagai kenampakan rupa bumi dan konsep mendasar dari SIG adalah lokasi dalam sebaran keruangan dan keterkaitannya. Sistem Informasi Geografi ini memiliki sistem yang komplek dan terdiri atas beberapa komponen seperti perangkat keras, perangkat lunak, data & informasi geografi serta sumberdaya manusia. Perangkat keras tersebut seperti komputer, mouse, keyboard, monitor, hard disk, digitizer, printer, plotter dan scanner. Perangkat lunak yang dapat digunakan seperti IDRISI, MapInfo, ERDAS, Arc View dan Arc Gis. Data dan informasi geografi yang diperlukan secara langsung dapat diperoleh dengan mendijitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari laporan-laporan, sedangkan data dan informasi geografi yang dibutuhkan secara tidak langsung dapat diperoleh dengan cara mengimportnya dari perangkat lunak SIG yang lain. Sumberdaya manusia atau orang-orang yang memiliki keahlian dalam manajemen dan mengerjakan SIG merupakan salah satu unsur terpenting.
10
Sistem Informasi Geografis memadukan data keruangan dan data atributnya dalam menampilkan dunia nyata. Sistem Informasi Geografis menyimpan semua informasi deskriptif data keruangan sebagai atribut-atribut di dalam basis data yang berbentuk tabel dan dapat dihubungkan. Setelah dihubungkan antara data keruangan dan tabel yang bersangkutan, dapat dilakukan pencarian terhadap data atribut melalui lokasi-lokasi dalam data keruangan. Keterkaitan antara data keruangan dan atributnya ditampilkan dalam satuan-satuan yang disebut layer. Gedung, hutan, jalan dan batas-batas desa merupakan contoh layer yang jika dikumpulkan akan membentuk basis data SIG. Rancangan basis data akan menentukan efektifitas dan efisiensi proses-proses pemasukan, pengelolaan dan luaran SIG. 2.5
Global Positioning System (GPS) Gunarso et al. (2003) mengartikan GPS sebagai sebuah alat dengan sistem
radio navigasi dan menggunakan satelit dalam menentukan suatu lokasi. Puntodewo et al. (2003) mengatakan frekuensi sinyal radio yang dipancarkan sebuah satelit sangat rendah dan secara kontinu. Sinyal radio tersebut akan diterima secara pasif oleh GPS. Selain satelit dan GPS, dalam menentukan lokasi terdapat pula stasiun pengontrol yang tersebar di beberapa tempat. Stasiun ini berfungsi menilai kelayakan satelit, menentukan orbit dan memonitor satelit GPS. Satelit GPS tersebut berjumlah 24 buah dengan ketinggian 11.500 mil dan mengorbit selama 12 jam (dua orbit dalam sehari) serta memiliki kecepatan 2000 mil per jam. Satelit tersebut dioperasikan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Sinyal yang dipancarkan satelit agar dapat diterima dengan baik oleh GPS memerlukan kondisi dibagian atas GPS tanpa halangan apapun, baik awan, tajuk pepohonan maupun gedung-gedung. Sinyal satelit minimal yang diperlukan untuk menghitung posisi dalam tiga dimensi sebanyak 4 buah.