BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Beberapa hasil dari berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat dijadikan sebagai pendukung hasil penelitian yang ditemukan. Penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yang dijadikan acuan adalah terkait dengan masalah media massa, gaya hidup dan imitasi budaya populer berhijab. Oleh karena itu, peneliti melakukan langkah kajian terhadap beberapa hasil penelitian berupa tesis dan jurnal-jurnal melalui internet. Berikut beberapa penelitian terdahulu yang penulis jadikan acuan dalam penelitian ini : Dikutip dari hasil penelitian Lusiana Andriani (2014) yang berjudul "Peranan Media Terhadap Imitasi Budaya Pop Berhijab (Studi Kasus Pada Muslimah di Kota Medan)" menyatakan bahwa penggunaan hijab dengan kesadaran hati bukan karena ikut-ikutan dan gaya hidup meskipun media televisi, majalah, dan media sosial berperanan dalam hal mempengaruhi cara pandang informan. Namun di antaranya yang paling berperanan adalah media jejaring sosial, seperti : youtube, google, instagram, facebook, dan blok; sebab dapat dibawa kemana saja, dapat dilihat di mana saja, kapan saja, dan biayanya murah serta praktis. Selain itu, imitasi hijab pop di kota Medan masih mengikuti normanorma agama / syar'i dan dapat digunakan dengan tetap fashionable, tidak kuno, serta diupayakan untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisi (tidak dipaksakan memakai sesuatu yang tidak serasi dan pantas). Temuan lainnya juga mendapati bahwa teori peniruan (modelling theories) yang menekankan pada
13 Universitas Sumatera Utara
14 orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi masih terlihat disini, yang mana individu dipandang secara otomatis cenderung berempati dengan perasaan orangorang yang diamatinya dan meniru perilakunya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Susi Kurniawati (2014) yang berjudul "Popularitas Jilbab Selebritis Di Kalangan Mahasiswi (Studi pada mahasiswi
Fakultas
Ekonomi
Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta)"
menyatakan bahwa fenomena penggunaan hijab dikalangan mahasiswa semakin bertambah dengan varian yang bermacam-macam. Selain itu, selebritis yang menjadi inspirasi mereka bergaya dalam menggunakan hijab, terutama ketika mereka berada di lingkungan kampus atau universitas diantaranya adalah Marshanda dan Zaskia Mecca. Dari gaya mereka berpakaian jelas mereka terpengaruh atau mengalami imitasi dari media yang dibawa oleh selebritis dengan gaya mereka berpakaian .
Dalam menggunakan hijab, terlihat bahwa mahasiswa UMY menjadikan gaya berpakaian mereka sebagai identitas sosial mereka di mata teman-temannya. Ketika mereka memiliki ciri khas dengan gaya hijab yang menyerupai idolanya, maka identitas itu muncul dan jadi mudah dikenal di lingkunganya. Proses menjadikan artis sebagai trendsetter dalam berhijab oleh media menjadikan mahasiswi UMY mengikutiya dan diterima sebagai gaya hidup. Selain itu, dampak lain adalah munculnya konsumerisme karena adanya selebritis yang menjadi model atas jilbab tertentu.sehingga menjadi daya tarik bagi mahasisiwi. Penelitian yang dilakukan
Taruna Budiono (2013) dengan judul
"Pemaknaan Tren Fashion Berjilbab Ala Hijabers Oleh Wanita Muslimah Berjilbab" menyatakan jilbab yang dipakai oleh para wanita muslim digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, menunjukkan identitas diri, dan sebagai media ekspresi diri. Pesan utama yang ingin dinyatakan oleh para wanita
Universitas Sumatera Utara
15 berjilbab ini adalah bahwa selain melaksanakan perintah agama, mereka juga bisa tampil modis dan fashionable, serta tetap aktif dengan berbagai macam kegiatan tanpa terganggu jilbab yang mereka pakai. Lebih lanjut, media massa yang dijadikan rujukan oleh para wanita berjilbab adalah media internet, dimana kemudahan akses menjadi daya tariknya. Situs yang paling sering diakses adalah youtube. Mereka memilih internet karena kemudahan akses dimana saja, dan youtube dipilih karena youtube menawarkan konten audio visual yang menarik sama seperti televisi, ditambah dengan segala kelebihan internet yang melekat padanya. Selain itu daya tarik utama youtube adalah konten media tersebut yang bisa diunduh, sehingga bisa ditonton lagi sewaktu-waktu. Penelitian yang dilakukan oleh Yasinta Fauziah Novitasari (2014) yang berjudul "Makna Tradisi Jilbab Sebagai Gaya Hidup (Studi Fenomenologi Tentang Alasan Perempuan Memakai Jilbab dan Aktivitas Solo Hijabers Community)" menyatakan bahwa Solo Hijabers Community adalah suatu perkumpulan wanita muslimah yang berada di Kota Surakarta. Solo Hijabers Community ini dapat dikontruksikan sebagai komunitas yang bergaya, dalam artian komunitas muslimah yang berjilbab namun fashionable dengan mengkreasi jilbab mereka dengan tetap sesuai dengan syar’i. Hal tersebut memang telah menjadikan jilbab sebagai gaya hidup bagi mereka, karena mereka memiliki pendapat kenapa mereka melakukannya seperti itu. Hasil penelitian dalam penelitian ini adalah : (1) Alasan mereka untuk bergabung dengan komunitas ini karena mereka haus akan ilmu agama, komunitas muslimah dengan anggota mayoritas kaum muda dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Solo Hijabers Community (religi, charity dan fashion). (2) Pemaknaan jilbab oleh anggota Solo
Universitas Sumatera Utara
16 Hijabers Community, Jilbab sendiri berarti pembatas, penutup aurat yang dapat menjadi pelindung dan suatu kewajiban atau perintah agama guna menjaga kehormatan wanita muslimah. Banyak hal yang melatarbelakangi para anggota Solo Hijabers Community untuk mulai memakai hijab. Ada yang dilatarbelangi karena kesadaran sendiri, keinginan dan lingkungan keluarga yang islami. (3) Aktivitas Solo Hijabers Community antara lain : kegiatan religi, charity (amal), dan fashion. Penelitian yang dilakukan Dwita Fajardianie (2012) yang berjudul
"Komodifikasi Penggunaan Jilbab Sebagai Gaya Hidup dalam Majalah Muslimah (Analisis Semiotika pada Rubrik Mode Majalah Noor)" menyatakan bahwa terjadinya pergeseran model jilbab yang ditampilkan dalam majalah Noor. Dari yang biasa (menggunakan jilbab Paris) menjadi jilbab yang masuk dalam kriteria jilbab gaul. Hal tersebut terlihat pada perbedaan model jilbab pada gambar yang diambil dari tahun 2008 dan tahun 2011. Selain itu majalah Noor juga menampilkan jilbab dengan model yang unik dan fashionable karena memiliki ideologi yang berkaitan dengan dunia fashion. Hal ini terlihat dari slogan yang dimiliki oleh majalah Noor, yaitu "Yakin, Cerdas, Bergaya". Keunikan dan model jilbab yang dimuat di majalah Noor memang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dari majalah Noor. Majalah Noor membuat keunikan tersebut sebagai nilai jual agar memiliki keuntungan yang lebih. Selanjutnya penulis mengambil penelitian yang dilakukan Ade Suryanah (2010) yang berjudul "Pengaruh Menonton Tayangan Drama Seri Korea di
Indosiar terhadap Perilaku Imitasi di Kalangan Remaja Pangkalan Jati, Depok", meskipun penelitian ini tidak memiliki keterkaitan dengan penelitian yang sedang penulis lakukan, namun penulis melihatnya dari sisi perilaku imitasi yang kuat dari remaja dalam menonton tayangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
17 adanya pengaruh antara menonton tayangan drama seri Korea di Indosiar terhadap perilaku imitasi di kalangan remaja Pangkalan Jati, Depok. Pengaruh yang kuat menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,760 yang terletak antara 0,60-0,80. Korelasi yang terjadi memiliki pola positif searah, ini terlihat dengan tidak adanya tanda minus (-) di depan angka 0,760. Arah hubungan positif menunjukkan semakin tinggi frekuensi, intensitas, dan durasi dalam menonton tayangan drama seri Korea di Indosiar, maka semakin tinggi pula perilaku imitasi di kalangan remaja Pangkalan Jati, Depok. Peneliti juga mengatakan bahwa penonton terbanyak drama seri Korea di Indosiar ini berjenis kelamin perempuan dan masih duduk dibangku SMA, yang mana media dalam hal ini memang sangat memiliki pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi khalayaknya, sehingga khalayak penikmat media mengimitasi sesuatu yang dianggapnya menarik dan menjadi suatu kebudayaan populer atau kebudayaan yang sedang trend saat ini. Pengaruh yang kuat dari media ini juga dapat dilihat dalam penelitian dari Anggun Putri Pramitha (2013) dengan judul "Terpaan media Televisi dan Budaya (Studi Korelasi Antara Terpaan Film Cartoon Naruto di Global TV Terhadap Perilaku Imitasi Pada Komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta)". Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan metode survei dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Populasi dalam penelitian ini adalah komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta yang berjumlah 45 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi terpaan media
massa melalui film cartoon naruto tentang kebudayaan harajuku, maka akan semakin tinggi pula perilaku imitasi pada komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta karena tingginya frekuensi, durasi dan intensitas yang terjadi. Dalam
Universitas Sumatera Utara
18 penelitian ini juga terdapat hubungan yang positif atau searah dengan taraf yang kuat antara terpaan media massa melalui film cartoon naruto tentang kebudayaan harajuku terhadap perilaku imitasi pada komunitas Shinzen Cosplay Team di Surakarta. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yessi Paradina Sella (2013) dengan judul "Analisa Perilaku Imitasi di Kalangan Remaja Setelah Menonton Tayangan Drama Seri Korea di Indosiar (Studi Kasus Perumahan Pondok Karya Lestari Sei Kapih Samarinda)" menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang kuat dari media, sehingga khalayak penikmat media itu mengimitasi kebudayaan yang sedang tren yang ditampilkan oleh media. Para remaja putri mengatakan bahwa tanpa disadari oleh masing-masing individu yang menjadi informan, secara tidak sadar bahwa mereka telah melakukan perilaku meniru secara berkelanjutan dan mulai mengaplikasikannya kepada kehidupan sehari-hari mereka. Hal tersebut terjadi akibat kurangnya kontrol dari orang tua, kurangnya tayangan bercita rasa lokal dengan penyajian yang menarik, serta kurangnya kedasaran dari remaja-remaja putri itu sendiri mengenai hal yang layak ditiru dan tidak terhadap tayangan seperti halnya drama seri Korea. Selain itu, juga adanya perilaku dasar remaja yang mengalami perubahan akibat paparan secara rutin oleh media televisi melalui drama seri Korea di Indosiar. Perubahan tersebut adalah perilaku meniru cara berpakaian dan memakai make up secara keseluruhan atau disebut dengan perilaku imitasi. Dari keenam informan yang diambil dari dua RT berbeda yang secara keseluruhan tidak menyadari apa yang mereka lakukan sebenarnya itu hanya akan mengubah jati diri mereka menjadi orang lain dengan melakukan perilaku meniru atau perilaku imitasi yang tanpa
Universitas Sumatera Utara
19 disadarinya. Bentuk perilaku imitasinya itu berupa memakai pakaian (baju, rok, celana) yang mengikuti idolanya yang memakai busana berpotongan rendah yang jauh dari norma ketimuran serta perilaku imitasi lainnya adalah memakai make up yang seharusnya belum mereka lakukan di usia dini. Penelitian yang dilakukan oleh Olivia M. Kaparang (2013) yang berjudul "Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi (Studi pada siswa SMA Negeri 9, Manado)" menyatakan bahwa budaya pop Korea sangat terlihat mulai mendominasi remaja SMA Negeri 9, Manado dan tampak jelas mereka mulai meninggalkan budaya Indonesia sebagai pegangan hidup keseharian. Mereka bahkan rela menghabiskan banyak waktu untuk memperoleh informasi mengenai budaya ini dibandingkan budaya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran budaya dan hal tersebut perlu ditindaklanjuti dari sekarang. Peran orang tua dan guru diperlukan dalam pengawasan akan perkembangan hidup para remaja dalam hal berhadapan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi informasi dan komunikasi. Pihak pemerintah pun perlu turut memajukan budaya bangsa dan membuatnya menjadi lebih menarik sehingga para remaja jadi lebih tertarik untuk memajukan budaya bangsa. Sementara apabila melihat perbandingan dengan hasil penelitian sebelumnya, terdapat beberapa perbedaan dan persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan sebagai berikut. 1) penelitian ini mengungkapkan terpaan media melalui majalah Hijabella tentang gaya hidup hijab modern; 2) penelitian ini mengungkapkan terpaan media massa terhadap imitasi budaya populer; dan 3) penelitian ini mengungkapkan imitasi budaya populer berhijab sebagai variabel
Universitas Sumatera Utara
20 intervening dan pengaruhnya terhadap gaya hidup serta majalah Hijabella sebagai media.
2.2. Pendekatan Positivisme Sebuah penelitian memerlukan satu sudut pandang yang menjadi acuan, agar penelitian tidak melahirkan sebuah kesalahan dari setiap aspek yang diteliti. Penelitian ini nantinya akan melihat sejauhmanakah pengaruh majalah Hijabella terhadap imitasi budaya populer hijab modern dan gaya hidup berhijab pada mahasiswi muslimah yang ada di Kota Medan. Penelitian ini menggunakan pendekatan posivisme yang lahir dari pemikiran Aguste Comte, seorang kebangsaan Prancis di abad sembilan belas yang juga menemukan pemahaman tentang Sosiologi (Ritzer dan Goodman, 2010:17). Peneliti yang menggunakan pendekatan ini lebih suka menggunakan data kuantitatif dan sering menggunakan eksperimen, survei, dan statistik. Pendekatan positivisme mencari kebenaran melalui langkah-langkah yang ketat, alat ukur yang tepat dan objektif serta melakukan serangkaian analisa terhadap hipotesis dalam penelitian. Pendekatan positivisme membuat jarak bagai subjek dan objek dalam penelitian. Secara akademik, kaidah positivisme banyak mempengaruhi penelitian sosial (Danandjaja, 2012:13). Gagasan utama pendekatan positivisme di sini adalah melihat ilmu sosial sebagai sebuah metode yang terorganisir untuk menggabungkan logika deduktif dengan observasi empiris yang tepat dari perilaku individu dalam menemukan dan mengkonfirmasi satu set kausal hukum probabilitas yang kemudian dapat digunakan untuk membuat prediksi pola umum dari aktivitas manusia (Neuman, 1997:6).
Universitas Sumatera Utara
21 2.3. Komunikasi Massa 2.3.1. Pengertian Komunikasi Massa Komunikasi massa (mass comunication) adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media communication). Hal ini berbeda dengan pendapat ahli psikologi sosial yang menyatakan bahwa komunikasi massa tidak selalu dengan menggunakan media massa. Menurut mereka pidato di hadapan sejumlah orang banyak di sebuah lapangan, misalnya, asal menunjukkan perilaku massa (mass behavior), itu dapat dikatakan komunikasi massa. Seperti dikemukakan di atas, para ahli komunikasi membatasi pengertian komunikasi massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa, misalnya : surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. Sehubungan dengan itu, dalam berbagai literatur sering dijumpai istilah mass comunications dan mass comunication seperti disebutkan di atas dan yang menjadi pokok pembahasan. Arti mass comunications sama dengan mass media atau dalam bahasa indonesia adalah media massa. Sedangkan yang dimaksud dengan mass communication adalah prosesnya, yakni proses komunikasi melalui media massa. Seperti ditegaskan sebelumnya, media massa dalam cakupan pengertian komunikasi massa itu adalah surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film. Jadi, media massa modern merupakan produk teknologi modern yang selalu berkembang menuju kesempurnaan. Bagaimana peliknya komunikasi massa, Werner I. Severin dan James W. Tankard, Jr. dalam bukunya, Communication Theories, Origins, Methods, Uses, mengatakan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
22 "Komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagian seni, dan sebagian ilmu. Ia adalah keterampilan dalam pengertian bahwa ia meliputi teknik-teknik fundamental tertentu yang dapat dipelajari seperti memfokuskan kamera televisi, mengoperasikan tape recorder, atau mencatat ketika berwawancara. Ia adalah seni dalam pengertian bahwa ia meliputi tantangan-tantangan kreatif seperti menulis skrip untuk program televisi, mengembangkan tata letak yang estetis untuk iklan majalah, atau menampilkan teras berita yang memikat bagi sebuah kisah berita. Ia adalah ilmu dalam pengertian bahwa ia meliputi prinsip-prinsip tertentu tentang bagaimana berlangsungnya komunikasi yang dapat dikukuhkan dan dipergunakan untuk membuat berbagai hal menjadi lebih baik" (Effendy, 2004:20-21). Selanjutnya Ardianto, Komala, dan Karlinah menyatakan bahwa komunikasi massa tersebut juga harus menggunakan media massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran dan televisi, keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah, keduanya disebut sebagai media cetak; serta media film (Ardianto dkk, 2004:3). Komunikasi massa juga melibatkan banyak komunikator, berlangsung melalui sistem bermedia dengan jarak fisik yang rendah (artinya jauh), memungkinkan penggunaan satu atau dua saluran indrawi (penglihatan, pendengaran), dan biasanya tidak memungkinkan umpan balik segera (Mulyana, 2005:71). Dari definisi-definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa komunikasi massa adalah komunikasi yang berlangsung antara komunikator dan komunikan secara tidak langsung yakni melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi, majalah atau film. Jika melihat pengertian komunikasi massa menurut Werner I. Severin dan James W. Tankard, Jr. dalam bukunya, "Communication Theories, Origins, Methods, Uses" dan Joseph A.Devito A. Devito dalam bukunya, "Communicology : An Introduction to the Study of communication", maka komunikasi massa mempunyai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat-sifat komponennya. Ciricirinya adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
23 a. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Secara singkat komunikasi massa itu adalah komunikasi dengan menggunakan atau melalui media massa. Karena melalui media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak langsung. Komunikator aktif menyampaikan pesan, komunikan pun aktif menerima pesan, namun diantara keduanya tidak dapat melakukan dialog sebagaimana halnya terjadi dalam komunikasi antarpersona. Dengan demikian, komunikasi massa itu bersifat satu arah. b. Komunikator pada komunikasi massa melembaga. Ciri komunikasi massa yang pertama adalah komunikatornya. Sebelumnya sudah dipahami bahwa komunikasi massa itu menggunakan media massa, baik media cetak maupun media elektronik. Apabila media komunikasi yang digunakan adalah televisi, tentu akan banyak lagi melibatkan orang seperti juru kamera, juru lampu, pengarah acara, bagian make up, floor manager dan lain-lain. c. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Komunikasi massa itu bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditujukan untuk semua orang dan tidak ditujukan untuk sekelompok orang tertentu. Oleh karenanya, pesan komunikasi massa bersifat umum. d. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Kelebihan komunikasi massa dibandingkan komunikasi yang lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama juga. Effendy mengartikan keserempakan media massa itu adalah keserempakan kontak dengan sejumlah besar penduduk dalam jarak yang jauh dari komunikator dan penduduk tersebut satu sama lainnya berada dalam keadaan terpisah. e. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Dalam komunikasi massa, komunikator bersifat heterogen karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan faktor usia, jenis kelamin, pemdidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama dan tingkat ekonomi (Effendy, 2004:22-26).
2.3.2. Fungsi Komunikasi Massa Fungsi komunikasi massa yang begitu banyak dapat disederhanakan menjadi empat fungsi saja, yaitu : a. Menginformasikan (to inform); Maksudnya memberikan informasi kepada masyarakat, karena perilaku menerima informasi merupakan perilaku alamiah masyarakat. Dengan menerima informasi yang benar masyarakat akan merasa aman tentram. Informasi akurat diperlukan oleh beberapa bagian masyarakat untuk bahan dalam pembuatan
Universitas Sumatera Utara
24 keputusan. Informasi dapat dikaji secara mendalam sehingga melahirkan teori baru dengan demikian akan menambah perkembangan ilmu pengetahuan. Informasi disampaikan pada masyarakat melalui berbagai tatanan komunikasi, tetapi
yang
lebih
banyak
melalui
kegiatan
komunikasi
massa
(mass
communication). b. Mendidik (to educate); Maksudnya adalah mendidik masyarakat. Kegiatan komunikasi pada masyarakat dengan memberikan berbagai informasi tidak lain agar masyarakat menjadi lebih baik, lebih maju, lebih berkembang kebudayaannya. Kegiatan mendidik masyarakat dalam arti luas adalah memberikan berbagai informasi yang dapat menambah kemajuan masyarakat dengan tatanan komunikasi massa. Sedangkan kegiatan mendidik masyarakat dalam arti sempit adalah memberikan berbagai informasi dan juga berbagai ilmu pengetahuan melalui berbagai tatanan komunikasi kelompok pada pertemuan-pertemuan, kelas-kelas, dan sebagainya. c. Menghibur (to entertain); Maksudnya adalah menghibur masyarakat. Perilaku masyarakat menerima informasi selain untuk memenuhi rasa aman juga menjadi sarana hiburan masyarakat. Apalagi pada masa sekarang ini banyak penyajian informasi melalui sarana seni hiburan. d. Mempengaruhi (to influence); Maksudnya mempengaruhi masyarakat. Kegiatan memberikan berbagai informasi pada masyarakat juga dapat dijadikan sarana untuk mempengaruhi masyarakat tersebut ke arah perubahan sikap dan perilaku yang diharapkan (Effendy, 2004:31).
Universitas Sumatera Utara
25 2.3.3. Majalah sebagai Media Komunikasi Massa Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak (Cangara, 2006:119). Sedangkan media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis, seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara, 2006:122). Selanjutnya Burhan Bungin memberikan definisi media massa sebagai institusi yang menebarkan informasi berupa pesan berita, peristiwa atau produk budaya yang mempengaruhi dan merefleksikan suatu masyarakat (Bungin, 2008:258). Media massa juga merupakan media komunikasi dan informasi yang melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh masyarakat secara massal pula (Bungin, 2008:72). Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti menangkap kesimpulan bahwa media massa adalah media komunikasi
yang menyebarkan informasi
secara massal
dan khalayak
memperhatikan pesannya secara bersamaan. Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan. Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya media massa berperan : a. Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu peranannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya, dan menjadi masyarakat yang maju. b. Selain itu, media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka dan jujur/ benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi dan menjadi masyarakat yang terbuka dengan informasi. Sebaliknya pula, masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu, informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat, menjadi masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya.
Universitas Sumatera Utara
26 c. Terakhir media massa sebagai media hiburan. Sebagai agent of change, media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, dan menjadi katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan bermasyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya (Bungin, 2008:85-86). Media yang termasuk kedalam kategori media massa adalah surat kabar, majalah, radio, TV dan film. Kelima media tersebut dinamakan "The Big Five Of Mass Media (Lima besar media massa)", media massa sendiri terbagi menjadi dua macam, yaitu : media massa cetak (printed media) dan media massa elektonik (electronic media). Tetapi sekarang ini ditambah dengan media online. Yang termasuk media massa elektronik adalah radio, TV, Film (movie), termasuk CD; sedangkan media massa cetak dari segi formatnya dibagi menjadi enam, yaitu : a. b. c. d. e. f.
Koran atau surat kabar (ukuran kertas broadsheet atau setengah plano). Tabloid (setengah broadsheet). Majalah (setengah tabloid atau kertas ukuran polio kuarto). Buku (setengah majalah). Newsletter (polio atau kuarto, jumlah halaman lazimnya 4-8 halaman). Buletin (setengah majalah jumlah halaman lazimnya 4-8) (Romly, 2002:5). Media massa memang beranekaragam, baik media yang berbentuk cetak
(surat kabar, majalah, tabloid, dan lain sebagainya, media elektronik (televisi dan radio), dan media online. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan media cetak yaitu majalah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997:615), majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai laporan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca dan menurut waktu penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan dan sebagainya, dan menurut pengkhususan isinya dibedakan atas majalah berita, majalah wanita, remaja, olah raga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu dan sebagainya. Selain itu, majalah merupakan penerbitan pers berkala yang
Universitas Sumatera Utara
27 menggunakan kertas sampul, yang memuat bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun foto-foto (Junaedhi, 1995:155). Majalah merupakan refleksi dari masyarakat atau keadaan zamannya dimana pembacanya diharapkan akan mendapatkan gambaran yang utuh mengenai segala sesuatu yang sedang berkembang saat itu. Oleh karenanya majalah dapat dikatakan sebagai penemuan yang fenomenal. Majalah adalah salah satu bagian dari pers yang membawa misi penerangan, pendidikan, dan hiburan. Penerbitan majalah dimulai pertama kali di London, Inggris; yang kemudian menyusul penerbitan-penerbitan lainnya pada tahun 1741 di Amerika Serikat, tetapi baru pada abad ke-19 majalah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Abad ke-20 yang dikenal sebagai abad revolusi informasi telah membawa dunia pers khususnya majalah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ini terlihat dari banyaknya majalah-majalah yang beredar tidak hanya di negaranegara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Nama-nama majalah tersebut seperti : Femina, Gadis, Hai, Kartini, Kawanku, dan lain sebagainya. Majalah-majalah tersebut telah memiliki kelompoknya masingmasing. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat modern lebih bersifat selektif terhadap media yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mereka akan informasi. Karena itulah sebagian orang mengatakan, majalah merupakan perpaduan antara surat kabar dan buku. Majalah memiliki ruang dan waktu yang lebih leluasa untuk menyajikan suatu peristiwa dengan selengkap-lengkapnya, sehingga isi majalah biasanya lebih mendalam dan lengkap dibandingkan surat kabar harian.
Universitas Sumatera Utara
28 Boove dalam Liliweri (1992: 75) mengemukakan media massa cetak (dalam hal ini majalah) yang baik harus memiliki daya tarik, antara lain : a. Daya tarik pesan, meliputi isi pesan, tata bahasa, sistem penulisan dan aktualitas berita yang disajikan dalam majalah. b. Daya tarik fisik, meliputi gambar (kualitas gambar/ foto dan kualitas kertas), tata letak, tata warna (teknik pewarnaan dan kualitas warna) dari majalah tersebut. c. Daya tarik kuantitas, meliputi frekuensi terbitnya media (majalah). d. Massa cetak tersebut dan jumlah halaman yang tersedia. e. Daya tarik dengan menggunakan teknik propaganda. Untuk menciptakan daya tarik, media massa cetak menggunakan teknik propaganda yang dapat mempengaruhi khalayak sasarannya seperti menggunakan public figure dan slogan. Gempuran media yang mengedepankan teknologi terbaru tidak mematikan perkembangan majalah. Sampai saat ini majalah tetap berkembang dengan jurus lamanya; yaitu dengan menjual segmentasi, mengupayakan kemasan yang eye cathing, permainan warna, desain, dan kualitas kertas sebagai nilai jual (selling point). Namun, majalah tidak bisa lagi selalu dituntut layaknya sebuah “toko serba ada” yang menyediakan beragam kebutuhan informasi. Berbeda dengan suratkabar, majalah dituntut lebih fokus untuk menjangkau khalayak atau target audiens tertentu. Berikut sejumlah kategori majalah menurut Morissan dan setiap kategori dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan isi (editorial content) dan ketertarikan pembaca (audiensice appeal), yaitu : majalah konsumen (consumer magazines), majalah pertanian (farm magazines), majalah bisnis (bussiness publications), dan majalah perdagangan (Morissan, 2012:282-284). Selain memiliki kategori atau karakteristik yang telah penulis kemukakan di atas, ternyata majalah juga memiliki keunggulan. Berikut beberapa keunggulan dari majalah diantaranya :
Universitas Sumatera Utara
29 1. Permanen. Keunggulan majalah yang dapat dilihat secara nyata adalah daya hidup pesannya yang lama. Televisi dan radio memiliki ciri bahwa pesan yang disampaikan memiliki waktu hidup yang sangat singkat dan juga tidak dapat diulang. Pesan muncul seketika dan hilang seketika. Surat kabar biasanya langsung ditinggalkan segera setelah selesai dibaca. Namun majalah biasanya dibaca dalam periode beberapa hari dan sering kali disimpan untuk digunakan sebagai referensi di masa datang. Majalah adalah media yang paling lama disimpan di rumah dibandingkan dengan media lainnya. Suatu penelitian yang dilakukan terhadap sekelompok pembaca majalah menemukan bahwa pembaca menghabiskan waktu hampir satu jam, namun dalam periode dua hingga tiga hari untuk menyelesaikan bacaan majalah yang dibelinya. Studi juga menunjukkan sekitar 75 persen pembaca menyimpan majalah yang digunakan untuk referensi di masa depan (Morissan, 2012:289). Bahkan rubrik-rubrik yang ada di dalam majalah dapat dikliping. Keuntungan jangka hidup majalah yang lebih panjang ini memungkinkan audiensi untuk membaca secara lebih rileks atau tidak terburu-buru, sehingga memberi kesempatan pembaca untuk melihat-lihat isi majalah secara lebih cermat. Sifat permanen majalah ini juga dapat membuka kemungkinan beberapa orang untuk membaca majalah yang sama (Morissan, 2012:289290). 2. Kualitas Reproduksi. Atribut paling berharga yang dimiliki majalah adalah kualitas reproduksinya. Majalah pada umumnya dicetak di atas kertas berkualitas tinggi dan menggunakan proses percetakan yang memungkinkan reproduksi yang sangat bagus, baik dalam hitam putih ataupun berwarna. Pada
Universitas Sumatera Utara
30 umumnya, kualitas reproduksi majalah jauh lebih baik dibandingkan media cetak lainnya, seperti : surat kabar, khususnya jika menggunakan warna (Morissan, 2012:287). 3. Isi Majalah. Majalah dengan isi atau editorial yang kuat yang dapat menarik minat dan memenuhi kebutuhan demografis serta gaya hidup konsumen yang terus berubah memiliki posisi yang kuat untuk menarik pembaca (Morissan, 2012:298). Pada masa lalu, mungkin sulit membayangkan akan terbitnya majalah yang isinya khusus membahas mengenai tata rias muslimah, khususnya hijab; namun saat ini sudah ada beberapa majalah yang menyajikan editorial yang khusus membahas mengenai tata rias muslimah, khususnya hijab (seperti : majalah Hijabella, Laiqa, Scraft, dan lain sebagainya). 4. Kreativitas Fleksibel. Majalah memiliki keunggulan dalam hal kreativitas dalam penyajiannya, baik dalam hal desain, tata letak, ukuran, dan lain sebagainya. Dari segi ukuran, majalah memiliki ukuran yang standart, sekitar 210.5mm x 270,5mm dan sekarang ini bahkan majalah ada yang berukuran kecil seperti buku dengan ukuran sekitar 21,5cm x 17,5cm. Dengan berbagai ukuran yang standart dan kecil seperti buku itu, maka majalah mudah dibawa kemana-mana tanpa membuat beban bagi pembacanya. 5. Majalah karena bersifat tertulis dan cetak, maka dianggap pembaca sebagai sesuatu yang aktual dan layak dipercaya.
2.4. Teori Norma Budaya (Cultural Norms Theory) Teori norma budaya menyatakan bahwa komunikasi massa mempunyai efek tidak langsung (indirect effect) terhadap perilaku individu melalui kemampuannya untuk membentuk norma-norma. Melvin DeFleur (dalam Severin
Universitas Sumatera Utara
31 dan Tankard Jr, 1979) menyatakan pada dasarnya teori norma budaya mengemukakan bahwa media massa melalui presentasi selektif dan penekanan ada tema-tema tertentu menciptakan kesan di antara para khalayaknya. DeFleur menegaskan penekanan pada topik-topik dari norma budaya, tersusun atau ditetapkan dalam beberapa cara spesifik. Biasanya menurut DeFleur, perilaku individual dibimbing oleh norma-norma dan sebagai aktor yang terpengaruh norma-norma yang berkaitan dengan topik atau situasi, maka media massa akan memberikan pengaruh tidak langsung (Suprapto, 2009:53). Teori norma budaya dari DeFleur ini tampaknya menawarkan banyak harapan Di mana teori ini menyatakan bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan menekankan pada tema-tema tertentu mampu menciptakan kesan yang mendalam pada khalayaknya. Peranan media massa dapat menumbuhkan kesan yang dapat mempengaruhi norma, seperti tindakan-tindakan kekerasan yang merupakan "cara" untuk berhubungan dengan pihak lain. Di samping itu pula, media massa akan membentuk streotipe seksual dan citra anggota khalayak terutama yang menyangkut materialisme dan konsumerisme (Suprapto, 2009:54). Jadi inti dari teori ini adalah melihat cara-cara media massa mempengaruhi sebagai suatu produk budaya. Pada hakikatnya, teori norma budaya menganggap bahwa media massa melalui pesan-pesan yang disampaikannya secara tertentu dapat menumbuhkan kesan-kesan yang oleh khalayak disesuaikan dengan norma budayanya. Perilaku individu umumnya didasarkan pada norma-norma budaya yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Dalam hal ini media akan bekerja secara tidak langsung untuk mempengaruhi sikap individu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
32 Paling sedikit ada tiga cara untuk mempengaruhi norma budaya yang dapat ditempuh oleh media massa. Pertama, pesan-pesan komunikasi massa dapat memperkuat pola-pola budaya yang berlaku dan membimbing masyarakat untuk mempercayai bahwa pola-pola tersebut masih tetap berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Kedua, media dapat menciptakan pola-pola budaya baru yang tidak bertentangan dengan pola budaya yang ada, bahkan menyempurnakannya. Ketiga, media massa dapat mengubah norma budaya yang berlaku dan dengan demikian mengubah perilaku individu-individu dalam masyarakat (Suprapto, 2009:25-26). Menurut Lazarfeld dan Merton dalam Wright (1985) mengatakan bahwa media sebenarnya hanya berpengaruh dalam memperkokoh norma-norma budaya yang berlaku. Mereka berpandangan bahwa media bekerja secara konservatif dan hanya menyesuaikan diri dengan norma budaya masyarakat seperti selera dan nilai-nilai, daripada memimpin mereka untuk membentuk norma-norma yang baru. Lazarfeld dan Merton mengatakan bahwa media memperkuat status quo belaka daripada menciptakan norma-norma baru yang berarti (Suprapto, 2009:26). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media massa dapat memperkuat norma budaya dengan informasi-informasi yang disampaikan setiap hari. Selain itu, media massa dapat mengaktifkan perilaku tertentu. Hal tersebut terjadi apabila informasi yang disampaikan sesuai dengan kebutuhan individu dan tidak bertentangan dengan struktur norma budaya yang berlaku. Media massa bahkan dapat menumbuhkan norma-norma budaya baru dalam perilaku selama norma tersebut tidak dihalangi oleh hambatan-hambatan sosial budaya (Suprapto, 2009:26-27).
Universitas Sumatera Utara
33 2.5. Imitasi Budaya Populer Menurut Jalaluddin Rakhmat, teori peniruan (modeling theories) hampir sama dengan teori identifikasi, memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan kemampuan afektifnya. Tetapi berbeda dengan teori identifikasi, teori peniruan menekankan orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi. Di sini, individu dipandang secara otomatis cenderung berempati dengan perasaan orangorang yang diamatinya dan meniru perilakunya. Membandingkan perilaku seseorang dengan orang yang lain yang diamati, yang berfungsi sebagai model. Komunikasi massa menampilkan berbagai model untuk ditiru oleh khalayaknya. Media cetak mungkin menyajikan pikiran dan gagasan yang lebih jelas dan lebih mudah dimengerti daripada yang dikemukakan orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Media piktorial seperti televisi, film, dan komik secara dramatis mempertontonkan perilaku fisik yang mudah dicontoh. Melalui media, orang meniru perilaku idola mereka. Teori peniruanlah yang dapat menjelaskan mengapa media massa begitu berperan dalam menyebarkan mode berpakaian, fashion, gaya berbicara, atau berperilaku tertentu lainnya (Rakhmat, 2005:216). Perilaku mempunyai arti yang lebih konkret daripada "jiwa". Karena lebih konkret itu, maka perilaku lebih mudah dipelajari daripada jiwa. Termasuk dalam perilaku disini adalah perbuatan-perbuatan yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert). Perilaku yang terbuka adalah perilaku yang kasat mata, dapat diamati secara langsung oleh panca indera, seperti : cara berpakaian atau cara berbicara. Perilaku tertutup hanya dapat diketahui secara tidak langsung, misalnya : berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dan sebagainya (Sarwono, 2009:8). Di dalam
Universitas Sumatera Utara
34 penelitian ini, perilaku yang diteliti mengenai perilaku yang terbuka atau perilaku yang kasat mata, yaitu dari cara menggunakan hijab yang modern. Menurut Gerungan (2004:64), imitasi bukan merupakan dasar pokok dari semua interaksi sosial, melainkan merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial, yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku diantara orang banyak. Dengan cara imitasi, pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap-sikap, ide-ide, dan adat istiadat dari suatu keseluruhan kelompok masyarakat. Dengan demikian, seseorang itu dapat lebih melebarkan dan meluaskan hubungan-hubungannya dengan orang lain. Selanjutnya menurut Gabriel Tarde dalam Ahmadi (2007:52), perilaku imitasi adalah seluruh kehidupan sosial yang sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi saja, walaupun pendapat ini berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Berdasarkan pengertian di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa perilaku imitasi adalah segala macam kegiatan yang ditiru atau dicontohkan oleh orang yang melihatnya. Perilaku imitasi ini bisa dalam wujud terbuka ataupun tertutup. Maksud dari wujud terbuka ini adalah perilaku yang kasat mata dan dapat diamati secara langsung oleh pancaindra, seperti : cara berpakaian atau cara berbicara. Sedangkan wujud yang tertutup adalah perilaku yang tertutup dan hanya dapat diketahui secara tidak langsung, misalnya : berpikir, sedih, berkhayal, bermimpi, takut, dan sebagainya. Alex Sobur dalam bukunya Psikologi Umum (2003:152) mengemukakan bahwa ada beberapa indikator yang terdapat dalam perilaku imitasi, diantaranya :
Universitas Sumatera Utara
35 1. Indikator motif. Meliputi dorongan yang bersifat irasional maupun yang rasional, ikutikutan dan uji coba. Pada awalnya dorongan seorang konsumen untuk melakukan tindak pemilihan diantara jenis kegiatan karena rasa senang. Namun kenyataannya sering kali pertimbangan itu bukan hanya pertimbangan rasa
senang
saja,
banyak
pertimbangan
lainnya,
sehingga
mampu
meningkatkan harga dirinya dan dikagumi. 2. Indikator Mode. Mencakup kegiatan yang sedang popular dan digemari oleh banyak orang. Adapun kesempatan dari aspek-aspek yang mendasari perilaku seseorang dalam berperilaku adalah pengenalan masalah, pencarian informasi, penilaian alternatif, keputusan untuk melakukan perilaku. Dalam penelitian ini, imitasi atau peniruan yang terjadi adalah imitasi dalam hal budaya dalam menggunakan hijab, dimana dahulu hijab dianggap kuno, lebih tradisional, monoton, tidak modis, tidak gaul, konvensional, berbentuk kotak, menutup dada, tidak dililit-lilit, dan biasa saja; tetapi sekarang hijab lebih modis, modern, menarik, gaya, menampilkan berbagai model (bervariasi), treni, menggunakan berbagai macam corak, berbagai macam aksesoris, dan lain sebagainya yang dapat menarik daya tarik penggunanya tanpa menghilangkan sisi religius dari penggunaan hijab. modis, modern, menampilkan berbagai model. Kemunculan hijab modern ini berasal dari adanya kebudayaan baru yang pada awalnya tidak ada Indonesia. Kebudayaan baru itu dikenal dengan kebudayaan populer atau yang biasa disebut juga dengan budaya pop.
Universitas Sumatera Utara
36 Untuk membahas pengertian “budaya populer” ada baiknya perlu pahami dulu tentang kata “budaya”, dan selanjutnya tentang “pop”. Selanjutnya untuk mendefinisikan budaya pop perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. John Storey mengutip tiga pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh Raymond Williams, yaitu : "Pertama, pengertian kebudayaan mengacu pada suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Kedua, kebudayaan bisa berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu. Terakhir, kebudayaan diartikan untuk merujuk pada karya dan praktek-praktek intelektual dan terutama aktivitas artistik" (Storey, 2003:2). Sedangkan kata ”pop” diambil dari kata ”populer”. Williams memaknai istilah populer sebagai berikut : (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Storey, 2003:10). Kemudian untuk mendefinisikan budaya pop perlu mengkombinasikan dua istilah yaitu ”budaya” dan ”populer”. Selanjutnya dapat dilihat definisi mengenai budaya pop, berikut ini : 1. Budaya Pop merupakan budaya yang menyenangkan dan disukai banyak orang. Contoh : buku novel atau larisnya album single R&B. Definisi budaya pop dengan demikian harus mencakup dimensi kuantitatif, apakah suatu budaya itu dikonsumsi oleh banyak orang. Pop-nya budaya populer menjadi sebuah prasyarat. 2. Definisi kedua budaya Pop adalah budaya sub standar, yaitu kategori residual (sisa) untuk mengakomodasi praktek budaya yang tidak memenuhi persyaratan budaya tinggi. Budaya tinggi merupakan kreasi hasil kreativitas individu, berkualitas, bernilai luhur, terhormat dan dimiliki oleh golongan elit, seperti para seniman, kaum intelektual dan kritikus yang menilai tinggi rendahnya karya budaya. Sedangkan budaya pop adalah budaya komersial (memiliki nilai jual) dampak dari produksi massal. Contohnya : Pers pop Pers berkualitas Sinema pop Sinema berkualitas Hiburan pop Seni/budaya 3. Budaya pop merupakan budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk dikonsumsi massa. Budaya ini dikonsumsi tanpa pertimbangan
Universitas Sumatera Utara
37 apakah budaya tersebut dapat diterima di dalam masyarakat atau tidak. Budaya pop dianggap sebagai dunia impian kolektif. 4. Budaya pop berasal dari pemikiran postmodernisme. Hal ini berarti pemikiran tersebut tidak lagi mengakui adanya perbedaan antara budaya tinggi dan budaya pop dan menegaskan bahwa semua budaya adalah budaya komersial. (Storey, 2003 : 10-16). Kebudayaan populer banyak berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu, seperti pementasan mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan semacamnya. Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan, maka budaya itu umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai by pass penyebaran pengaruh di masyarakat (Bungin, 2008:100). Sebagaimana yang dijelaskan bahwa budaya populer lebih banyak mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudian mengesankan lebih konsumtif. Richard Dyer mengatakan hiburan merupakan kebutuhan pribadi masyarakat yang telah dipengaruhi oleh struktur kapitalis (Bungin, 2008:101-102). Saat ini, istilah budaya populer umumnya lebih disukai karena istilah ini dengan sederhana berarti apa yang sebagian atau banyak orang sukai. Istilah ini juga memiliki konotasi dengan apa yang populer di kalangan masyarakat (McQuail, 2011:66). Budaya populer (yang intinya berarti budaya yang populer dan dinikmati oleh banyak orang) sekarang ini menjadi pilihan dan tidak lagi membawa asosiasi yang buruk. Budaya pop dalam hal ini adalah produk persilangan dari upaya yang banyak dan tiada henti untuk berekpresi dengan cara kontemporer yang bertujuan menjangkau orang dan menjaring pasar, dan sebuah tuntutan yang aktif dari orang-orang yang disebut Fiske sebagai makna dan kesenangan (McQuail, 2011:128).
Universitas Sumatera Utara
38 Selanjutnya untuk melihat mengenai imitasi budaya populer hijab modern, maka peneliti akan memaparkan apa yang dimaksud dengan hijab. Hijab adalah salah satu identitas seorang muslimah. Selain itu, hijab adalah busana muslim terusan panjang yang menutupi seluruh badan (kecuali, tangan, kaki, dan wajah) yang biasa dikenakan oleh para perempuan muslim. Mengenakan hijab terkait dengan tuntutan syariat islam yang mewajibkan muslimah untuk menutup aurat dengan cara menggunakan pakaian tertentu yang dikenal dengan istilah jilbab (hijab). Namun, jilbab dan hijab tentu berbeda secara spesifik. Syekh al-Bani berkata, "Setiap jilbab adalah hijab, tetapi tidak semua hijab itu jilbab, sebagaimana
yang
tampak".
Sehingga,
memang
terkadang
kata
hijab
dimaksudkan untuk makna jilbab. Adapun makna lain dari hijab adalah sesuatu yang menutupi dirinya, baik berupa tembok sekat, ataupun yang lainnya. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah SWT berikut ini : "........... Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir..." (QS. Al-Ahzab 33 ayat 53). Secara etimologis hijab berasal dari bahasa Arab jalaba, yang berarti menghimpun atau membawa. Istilah hijab di negara lain memiliki penamaan yang berbeda-beda. Contohnya, di Iran disebut chador, di India dan pakistan disebut pardeh, di Libya disebut milayat, di Irak disebut abaya, di turki charshaf, dan di Malaysia di sebut tudung, sementara di negara Arab-Afrika disebut hijab. Didalam penelitian ini, penulis menggunakan kata hijab untuk kata jilbab. Sedangkan, kerudung, yang lazim dikenal di Indonesia, dalam Al-Qur'an disebut khumur. Hal ini sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT. Sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
39 ".......... Dan, hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ....... (QS. An-Nuur 24 ayat 31). Kata khumur dalam penggalan ayat tersebut merupakan bentuk jama' (plural) dari kata khamar. Dalam bahasa Indonesia, khamar diartikan kerudung yang tidak lebar dan tidak panjang. Imam AL-Qurthubi menerjemahkan khumur secara lebih luas, yaitu semua yang menutupi kepala wanita, baik itu panjang atau pendek. Begitu juga dengan Imam Al-Alusi, dia menerjemahkannya dengan kata miqna'ah, yang berarti tutup kepala, tanpa menjelaskan bentuknya panjang atau lebarnya secara konkret. Jika
ditelaah
lebih
jauh,
ayat
Al-Qur'an
tersebut
sebenarnya
memerintahkan untuk memanjangkan kain penutup itu kebagian dada, yang diambil dari kata juyub (saku-saku baju). Artinya, jika perempuan hanya memakai penutup kepala tanpa memanjangkannya kebagian dada, maka ia belum melaksanakan perintah dalam ayat tersebut. Dengan kata lain, penutup kepala menurut ayat tersebut haruslah panjang menutup dada dan sekitarnya, selain juga baju muslimah yang menutupinya. Hijab di Indonesia memang identik dengan kerudung (khumur) atau kain menutupi kepala, terutama rambut, telinga, dan leher (kecuali wajah). Di Indonesia, penggunaan kata hijab memang dipakai secara luas sebagai busana yang lebih dikenal dengan kerudung yang menutupi area kepala perempuan (kecuali wajah). Kerudung ini biasanya dirangkai dengan baju yang menutupi seluruh tubuh, kecuali telapak tangan dan kaki (Firdaus, 2013:17-19). Kata hijab atau jilbab dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada tahun 1990, bersamaan dengan mulai populernya penggunan hijab
Universitas Sumatera Utara
40 atau jilbab di kalangan muslimah perkotaan. Dalam kosata bahasa Indonesia atau menurut KBBI, hijab atau jilbab adalah kerudung lebar yang dipakai perempuan muslim untuk menutupi kepala dan lehernya sampai dada. Karenanya, mereka yang menutupi bagian itu disebut orang yang berhijab atau berjilbab (Prasetia, 2010:31). Dengan demikian, hijab merupakan sesuatu cara atau media bagi perempuan untuk menutup aurat. Seperti yang diketahui, menurut sebagian ulama, aurat bagi seorang perempuan yang wajib ditutup adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah/muka dan seluruh telapak tangannya sampai pergelangan tangan. Ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari 'Aisyah, "Hai Asmaa! Sesungguhnya perempuan itu apabila ia telah dewasa/sampai umur, maka tidak patut menampakkan sesuatu dari dirinya melainkan ini dan ini". Rasulullah SAW berkata sambil menunjuk wajah/muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangannya sendiri (Fitri dan Khasanah, 2013:3). Jadi, rambut perempuan termasuk juga aurat yang tidak boleh sembarangan orang memegang atau bahkan melihatnya, kecuali mahram. Selanjutnya, dapat dilihat perkembangan pemakaian hijab di Indonesia. Hal ini bertujuan agar dapat dipahami perjuangan hidup lahir dan batin muslimah terdahulu dalam menumbuhkan semangat berhijab. Beberapa tahun kebelakang, berbagai kasus tentang pelarangan hijab memang banyak terjadi di negara sekuler. Bahkan, pada dekade 80an, di Indonesia juga terjadi kasus sama. Maraknya muslimah yang berhijab di negeri ini tentu saja tidak datang secara tiba tiba dan tidak tumbuh seperti jamur dimusim hujan. Hijab tumbuh subur di Nusantara setelah melalui perjuangan, pengorbanan, air mata, dan derita
Universitas Sumatera Utara
41 panjang para muslimah. Setidaknya, sejarah mencatat bahwa perjuangan kaum muslimah pengguna hijab mulai marak sejak awal 1980-an. Meskipun demikian, sebelum itu, sebenarnya juga telah ada yang memperjuangkannya. Namun, semua pihak sepakat bahwa gerakan yang secara masif mengajak kaum muslimah di Indonesia untuk menutup aurat dimulai sejak tahun 1980-an, seiring dengan semangat kebangkitan Islam diseluruh dunia. Seperti yang ditulis dalam sejarah, pada tahun 1983, terjadi perdebatan ihwal pengguna hijab di sekolah antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Noegroho Notosoesanto yang kemudian direspon oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Waktu itu, hijab masih menggunakan kata kerudung. Pada tahun1984 saja, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia belum ada kata hijab atau jilbab, yang digunakan adalah kata yang belum populer pada saat itu, yaitu hijab yang merujuk pada kain penutup aurat perempuan muslim dan 4 tahun belakang ini kata itu mulai populer lagi di Indonesia. Sejak dahulu hingga sekarang, hijab memang selalu mengalami transformasi. Awalnya, hanya sedikit perempuan muslim yang memakai hijab. Namun secara perlahan, kini perkembangan perempuan yang memakai hijab terus tumbuh sebagai sebuah kewajiban dalam menutup aurat. Hal ini juga tidak terlepas dari peran beberapa desainer yang merancang pakaian dan hijab modern atau tren yang mengikuti mode fashion, sehingga kelihatan tidak ketinggalan zaman. Dahulu, sebelum mode fashion hijab banyak muncul di pasaran, memang banyak orang yang berpendapat bahwa hijab adalah pakaian orang kampung atau kolot, seperti orang yang hidup di zaman dahulu dan sudah kuno (Fitri dan Khasanah, 2013:15). Anggapan tersebut dapat dilihat dari beberapa syarat hijab
Universitas Sumatera Utara
42 yang dijadikan sebagai standart mode hijab berdasarkan ayat Al-Qur'an, hadists Nabi, dan atsar salaf sebagai berikut : 1. Menutup seluruh anggota tubuh, selain bagian yang dikecualikan (wajah dan kedua telapak tangan). 2. Tidak dimaksudkan untuk berhias diri. 3. Harus tebal dan tidak tipis. 4. Harus longgar dan tidak ketat. 5. Tidak berbau apek tetapi juga tidak beraroma wangi. 6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki. 7. Bukan merupakan pakaian kemasyhuran atau popularitas (Al-Albani, 2013:59). 8. Bahan dan modelnya jangan terlalu mewah dan berlebihan atau mencolok mata, dengan warna yang aneh-aneh, sehingga menarik perhatian orang. Apalagi jika sampai menimbulkan rasa angkuh dan sombong (Fitri dan Khasanah, 2013:17-18). Namun, kini sepertinya pernyataan itu mulai terkikis dengan lahirnya banyak mode hijab. Sebelumnya memang jarang orang yang berhijab, baik anak muda maupun orang tua. Namun dengan munculnya model kerudung yang beraneka ragam, banyak muslimah yang kini memakai hijab. Walaupun tidak semuanya murni lahir dari diri sendiri atau hanya ingin mengikuti mode saja, mode hijab yang kini semakin beraneka ragam dapat mengubah masyarakat yang awalnya beranggapan bahwa hijab itu menyeramkan menjadi menyukainya. Ini adalah salah satu dampak positif perkembangan mode hijab (Fitri dan Khasanah, 2013:15-16). Selain itu ada beberapa manfaat dan keuntungan yang diperoleh dari menggunakan hijab, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Rambut seorang perempuan muslimah yang berhijab terlindung dari sengatan panas matahari dan terlindungi dari debu serta polusi, sehingga, rambutnya kelihatan selalu bersinar. 2. Dihormati sebagai seorang muslimah. Penghormatan yang dimaksud tentu saja bukan seperti anak buah kepada atasan. Penghormatan ini lebih abstrak. Orang-orang disekitar akan memperlakukan dengan baik karena mereka melihat orang yang menggunakan hijab sebagai orang yang baik akhlaknya. Hijab yang dikenakan menjaga seseorang dari perbuatan yang asusila. Karena itu, berhijab harus secara sempurna, sehingga sama sekali tidak menampakkan daya tarik seksual dari sipengguna. 3. Identitas para muslimah semakin jelas. Dengan memakai hijab, identitas
Universitas Sumatera Utara
43
4.
5.
6.
7.
muslimah akan mudah diketahui oleh orang lain. Tidak perlu menunjukkan apa pun karena orang dengan mudah mengenali yang dikenakan. Secara otomatis, oang lain akan memperlakukannya sebagai seorang muslim. Misalnya, jika bertemu dengan muslimah yang lain, mereka akan menyapa dan memberikan perhatian. Mereka akan meringankan kesulitan dan membantunya apabila membutuhkan. Berhijab membuat pengguna lebih anggun dan cantik. Sebuah perasaan yang aman dan tenang akan mendorong seseorang untuk selalu tersenyum dan memancarkan wajah yang menyenangkan. Karena setelah mengenakan hijab, pengguna akan menjadi muslimah yang cantik dan anggun. Dengan sendirinya, wajah cantik itu akan terlihat dari diri pengguna. Tentu saja, kecantikan ini adalah kecantikan dari dalam, bukan karena make-up dari salon kecantikan. Kecantikan ini juga tidak dapat dibuat-buat. Ia tidak dapat pula direkayasa, namun bersifat alami dan hakiki. Ia muncul dengan keikhlasan mengenakan hijab. Inilah anugerah Allah yang harus disyukuri. Berhijab membuat pengguna semakin termotivasi untuk baik dan shalihah. Dengan mengenakan hijab, pengguna akan selalu termotivasi untuk melakukan sesuatu lebih baik. Pakaian itulah nantinya yang akan membantu pengguna termotivasi diri untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. Hijab itulah yang nantinya membuka pintu kebaikan yang akan dimasuki kemudian. Dan, terbukalah pintu kebaikan lainnya yang mungkin selama ini tidak pernah dibayangkan. Berkah hijab ini membuat pengguna semakin nyaman menjadi seorang muslim. Berhijab membuat pengguna sulit berdosa. Dengan menggunakan hijab, hati lebih mudah ditata dan dikelola. Manajemen hawa nafsu menjadi semakin stabil seiring dengan ilmu yang didapatkan. Di depan pengguna, banyak perbuatan dosa yang sudah sedemikian terbuka, dan bahkan para pelakunya justru menawarkan kepada pengguna. Maka, harus membentengi diri sejak dini. Salah satu benteng yang dapat dipersiapkan adalah dengan menggunakan hijab. Berhijab membuat pengguna semakin terjaga dan selalu bisa istiqamah. Pengguna selalu berdoa kepada Allah untuk dikaruniai sifat istiqamah (konsisten) dalam setiap amal yang dilakukan. Tidak terkecuali pula tentang amalan menggunakan hijab dan berharap dapat menggunakan hijab seterusnya. Dengan menggunakan hijab, pengguna berharap dapat menjaga hati dari keputusan seperti itu. Pengguna pun dapat selalu istiqamah di jalan Allah (Firdaus, 2013:27-29). Dalam beberapa tahun ini, fenomena menggunakan hijab dengan mode
yang bervariasi atau hijab yang modern memang sedang menjadi tren di Indonesia dan menjadi kebudayaan yang sedang populer saat ini. Fenomena Pemakaian hijab di Indonesia dengan berbagai variasi mode hingga membentuk sebuah tren sebenarnya belum diketahui secara pasti kapan terjadinya di Indonesia. Tetapi dilihat dari perkembangannya, fenomena ini dimulai pada tahun
Universitas Sumatera Utara
44 2010 dan disertai dengan dibentuknya sebuah komunitas yang bernama Hijabers Community. Hijabers Community atau Komunitas Hijabers Indonesia didirikan pada 27 November 2010 di Jakarta. Sekitar 30 perempuan dari berbagai latar belakang dan profesi berkumpul bersama demi berbagi visi untuk membentuk sebuah komunitas yang menampung berbagai kegiatan yang berkaitan dengan hijab dan muslimah. Mereka berusaha menumbuhkan kecintaan terhadap islam melalui fashion. Hijabers Community tidak hanya berkembang di Jakarta, tetapi juga ada di beberapa kota besar di Indonesia, contohnya : Komunitas Hijabers Bandung, Komunitas Hijabers Surabaya, Komunitas Hijabers Medan, Komunitas Hijabers Solo, Komunitas Hijabers Palembang, dan lain sebagainya. Bahkan di kota kecil di Indonesia sekarang ini sudah ada Hijabers Community, seperti : Komunitas Hijabers Dumai. Komunitas Hijabers ini memperkenalkan hijab yang lebih modern, stylish, fashionable, modis, dan gaya; walaupun dengan menutup aurat. Selain itu, dalam komunitas Hijabers juga diajarkan mengenai make up, tutorial hijab, sharing seputar hijab, fotografi, dan lain sebagainya. Berkembangnya fenomena tren fashion dan Komunitas Hijabers di seluruh dunia, terutama di Indonesia, menurut penulis memiliki dampak positif maupun negatif, antara lain : a. Dampak Positif a). Dengan dibentuknya sebuah komunitas tersebut, pemakaian hijab sebagai penutup tubuh para perempuan muslim semakin banyak dan menjadi tren. b). Menjadi media dakwah, sehingga pemakaian hijab kini lebih menarik. c). Mencoba mengubah persepsi masyarakat yang menganggap hijab sebagai bentuk fashion yang tidak mengikuti tren mode. d). Dibentuknya komunitas hijab sebagai upaya mempererat tali silaturrahmi
Universitas Sumatera Utara
45 antar sesama pengguna hijab. b. Dampak Negatif a). Mengurangi esensi dari penggunaan hijab yang sesunguhnya. b). Dipandang sebagai salah satu produk kapitalisme (digunakan sebagai ajang bisnis). c). Menimbulkan kesenjangan sosial mengingat jenis-jenis hijab yang ada tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan (sosial) dan lain sebagainya. Dengan kehadiran Hijabers Community, hijab memang semakin dikenal dan banyak diminati masyarakat Indonesia, karena hijab yang ditampilkan Hijabers Community ini merupakan hijab modern dan dapat menarik perhatian orang yang melihatnya, sehingga sekarang ini hijab semakin diminati di Indonesia dan banyak orang yang mengikuti mode berhijab modern tersebut. Hijab yang dikenakan Hijabers Community juga dianggap tidak kuno lagi seperti zaman dahulu. Memang, jika dilihat dari syarat hijab yang sesungguhnya, hijab modern ini sudah lepas dari syariat Islam, karena orang yang menggunakan hijab modern pasti dianggap orang yang mengerti dengan fashion dan mode. Orang yang bermode pasti akan menjadi pusat perhatian orang banyak, sedangkan menurut syarat hijab yang telah penulis kemukakan di atas, menggunakan hijab jangan untuk mencari perhatian dan popularitas. Itulah kenyataan yang dapat dilihat sekarang ini, menggunakan hijab karena tren yang terjadi sekarang ini, bukan karena agama dan peraturan yang ada dalam agama. Pendapat mengenai hal ini dapat dilihat dalam artikel Powell (2003), dia mengatakan bahwa karena proses popularisasi busana muslim dan proses westernisasi terjadi bersama-sama di Indonesia, maka mode menjadi unsur
Universitas Sumatera Utara
46 berpakaian yang sangat penting dan pada saat ini kalau berhijab dianggap sebagai orang yang bermode. Oleh karena itu, ada banyak perempuan di Indonesia yang baru berhijab. Selanjutnya Powell (2003) menjelaskan bahwa hijab bukan lagi sebagai lambang ibadah, tetapi lambang orang yang bermode saja. Maksudnya, kalau berhijab, menjadi orang yang berpakaian sesuai dengan mode terakhir. Hijab tidak punya hubungan dengan ketaatan beragama lagi, karena siapa saja bisa berhijab dan sebagian besar lebih khawatir bagaimana penampilannya jika berhijab daripada nilai ketaatan agamanya. Artikel tersebut mencerminkan pendapat yang biasa terhadap adanya imitasi kebudayaan populer, yaitu : bahwa jika ada sesuatu (dalam hal ini hijab modern) yang populer, arti agama atau sejarah sudah hilang (Raleigh, 2004:11-12). Jadi fenomena yang dapat diihat sekarang ini, dengan adanya budaya modern yang diterapkan atau digabungkan dalam hijab, hijab menjadi diterima masyarakat Indonesia dengan baik. Mereka juga beranggapan bahwa hijab itu modis, modern, tidak terlihat kuno, dan mereka juga mulai meminati hijab (yang awalnya mereka tidak mau menggunakan hijab dan akhirnya memutuskan untuk memakai hijab). Perkembangan hijab juga semakin berkembang saat ini dan Rasulullah SAW juga tidak pernah melarang seseorang untuk mengikuti tren modern yang menjadi budaya saat ini, namun jangan sampai melupakan syariat Islam saja. Islam telah mensyariatkan hijab untuk menutup aurat para muslimah, jadi jangan sampai budaya modern mengikisnya (Fitri dan Khasanah, 2013:30-31).
Universitas Sumatera Utara
47 2.6. Gaya Hidup Gaya hidup adalah pola kehidupan segolongan orang, atau pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia pada masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997:297). Selain itu, Kotler (2005:210), mendefinisikan gaya hidup sebagai pola kehidupan seseorang sebagaimana diekspresikan dalam aktivitas, minat, dan opininya. Gaya hidup menggambarkan keseluruhan diri seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Orang–orang yang berasal dari sub-budaya, kelas sosial, dan pekerjaan yang sama dapat memiliki gaya hidup yang berbeda. Pengertian yang sama dikemukakan oleh Sutisna (2002:145) yang menyatakan gaya hidup adalah bagaimana orang menghabiskan waktu mereka (aktifitas), apa yang mereka anggap penting dalam lingkungannya (minat), serta apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia disekitarnya (pendapat). Sedangkan menurut ahli sosiologi David Chaney, gaya hidup merupakan seperangkat praktek dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu. Maksudnya siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain. Gaya hidup membantu memahami (bukan membenarkan) apa yang orang lakukan bermakna bagi dirinya maupun orang lain (Chaney, 2003:40). David Chaney berpendapat bahwa gaya hidup (lifestyle) merupakan ciri sebuah dunia modern atau yang biasa disebut modernitas. Gaya hidup adalah seperangkat praktik dan sikap yang masuk akal dalam konteks tertentu. Maksudnya siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri maupun orang lain.
Universitas Sumatera Utara
48 Praktik gaya hidup bisa dilihat dari bagaimana penampakan luar seseorang. Bisa dilihat dari fashion dan cita rasa yang berhubungan dengan apa yang disediakan oleh industri-industri budaya, seperti : mobil, pakaian, makanan, bahkan nasehat. Selain itu, juga dapat dilihat dari perabotan, tata krama, perkembangan teknologi representasi, seperti : komputer, HP (handphone), televisi, dan semua barang-barang atau jasa yang menjadi ikon pada era modern sekarang ini (Chaney, 2003:167-183). Salah satu klasifikasi gaya hidup terpopuler didasarkan pada pengukuran psikografis. Psikografis ini merupakan konsep yang terkait dengan gaya hidup dan suatu instrumen untuk mengukur gaya hidup. Yang termasuk pengukuran psikografis adalah melalui kerangka kerja AIO (Setiadi, 2003:149). AIO (Activity, Interest dan Opinion) sebagai istilah yang mengacu pada pengukuran kegiatan atau aktifitas (activity), minat (interest), dan pendapat (opinion). Dalam penelitian ini, gaya hidup yang dilihat lebih kepada fashion, khususnya fashion hijab modern. Sekarang ini, aspek fashion hijab memang semakin menyentuh kehidupan sehari-hari setiap orang. Fashion mempengaruhi apa yang dikenakan, dimakan, bagaimana kehidupan, dan bagaimana memandang diri sendiri. Fashion atau mode hijab yang sedang tren di Indonesia saat ini adalah hijab yang lebih modern dan modis dengan berbagai macam gaya pemakaian dan warna. Berikut dapat dilihat gambar fashion atau mode hijab modern tersebut.
Gambar 2.1. Fashion atau Mode Hijab Modern
Universitas Sumatera Utara
49 2.7. Kerangka Konsep Teori-teori yang dijadikan landasan pada kerangka teori harus dapat menghasilkan kerangka konsep, Menurut Nawawi (2007:40), kerangka konsep merupakan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Variabel Bebas atau Independent Variable (X) Variabel bebas adalah segala gejala, faktor, atau unsur yang menentukan atau mempengaruhi munculnya variabel kedua yang disebut variabel terikat. Tanpa variabel ini, maka variabel berubah, sehingga akan muncul menjadi variabel terikat yang berbeda atau yang lain atau bahkan sama sekali tidak ada yang muncul (Nawawi, 2007:57). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah "Majalah Hijabella" 2. Variabel intervening dalam penelitian ini adalah "Imitasi Budaya Populer". 3. Variabel Terikat atau Dependent Variable (Y) Variabel terikat adalah sejumlah gejala atau faktor maupun unsur yang muncul dipengaruhi dan ditentukan oleh adanya variabel bebas dan bukan karena adanya variabel lain (Nawawi, 2007:57). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Gaya Hidup muslimah (mahasiswi) di Kota Medan (Y).
2.8. Model Teoritis Model
teoritis
merupakan
paradigma
yang
mentransformasikan
permasalahan-permasalahan terkait antara satu dengan lainnya. Berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
50 variabel-variabel yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut : Imitasi budaya populer P2
P3
Majalah Hijabella
Gaya hidup
P1
e1
Gambar 2.2. Model Teoritis
2.9. Variabel Penelitian Operasional adalah mengukur konsep yang abstrak menjadi konsruk yang dapat diamati dan diukur. Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep di atas, maka dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, yaitu sebagai berikut : Tabel 2.1 Variabel Operasional Variabel Teoritis Variabel Bebas (X) Majalah Hijabella
Variabel Intervening/Mediasi (M) Imitasi Budaya Populer Variabel Terikat (Y) Gaya Hidup
Variabel Operasional 1. Daya tarik pesan, meliputi: a. Isi pesan b.Tata bahasa c. Sistem penulisan d.Aktualisasi pesan 2. Daya tarik fisik, meliputi : a. Gambar b.Tata warna c. Tata letak 3. Frekuensi terbit 1. Motif 2. Mode 1. Activity (Aktivitas) 2. Interest (Minat)
Universitas Sumatera Utara
51
Karakteristik Responden
3. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Opinion (Pendapat) Universitas Usia Uang saku per bulan Suku Semester Fakultas
2.10. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan unsur penelitian yang menginformasikan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi variabel operasional adalah seperti petunjuk pelaksana bagaimana cara mengukur variabel. Dalam penelitian ini, variabel-variabel dapat didefinisikan sebagai berikut: 1. Variabel Bebas (X) : Majalah Hijabella a. Daya tarik pesan, meliputi : (a) Isi pesan, yaitu bagaimana isi pesan yang terdapat dalam majalah Hijabella dapat dipahami, sehingga mampu memberikan pengetahuan baru bagi khayalak yang membacanya. (b) Tata bahasa, maksudnya adalah susunan bahasa yang disajikan dalam Majalah Hijabella, apakah jelas menggunakan bahasa yang mudah dipahami atau sebaliknya. Asumsinya, dengan menggunakan bahasabahasa sederhana yang mudah untuk dipahami oleh khayalaknya akan menimbulkan hasrat yang tinggi untuk terus membacanya. (c) Aktualisasi pesan, yakni menyangkut dari kekinian sebuah pesan yang disajikan dalam Majalah Hijabella.
Universitas Sumatera Utara
52 b. Daya tarik fisik, meliputi : (a) Gambar, maksudnya mutu dan kualitas gambar yang disajikan dalam Majalah Hijabella. Sebuah majalah selalu akan dilengkapi dengan gambar/ foto untuk dapat memperkuat pesan yang ingin disampaikan. (b) Tata warna, maksudnya keserasian warna yang disajikan oleh Majalah Hijabella. (c) Tata letak, maksudnya keserasian dari letak-letak pesan yang disajikan baik itu mengenai pesan yang disampaikan, foto, dan sampai kepada iklan yang terdapat dalam Majalah Hijabella. c. Frekuensi terbit, yakni waktu terbit dari Majalah Hijabella tersebut. 2. Variabel Intervening (Mediasi) (M) : Imitasi Budaya Populer Berhijab a. Motif meliputi dorongan yang bersifat irasional maupun yang rasional, ikutikutan dan uji coba. Pada awalnya dorongan seorang konsumen untuk melakukan tindak pemilihan di antara jenis kegiatan karena rasa senang. Namun kenyataannya sering kali pertimbangan itu bukan hanya pertimbangan rasa
senang
saja,
banyak
pertimbangan
lainnya,
sehingga
mampu
meningkatkan harga dirinya dan dikagumi. b. Mode mencakup kegiatan yang sedang popular dan digemari oleh banyak orang. 3. Variabel Terikat (Y) : Gaya Hidup Muslimah (Mahasiswa) a. Activity (aktivitas) dengan indikator kegiatan rutin. b. Interest (minat) dengan indikator prioritas hidup. c. Opinion (pendapat) dengan indikator persepsi terhadap hijab modern yang sedang tren di Indonesia saat ini.
Universitas Sumatera Utara
53 4. Karakteristik Responden a. Universitas, adalah perguruan tinggi yang terdiri dari sejumlah fakultas yang menyelenggarakan pendidikan ilmiah dan profesional dari sejumlah disiplin ilmu tertentu. Universitas dalam penelitian ini adalah tempat mahasiswi muslimah berkuliah atau menuntut ilmu. b. Usia, adalah umur responden yang berkuliah di tiga universitas yang menjadi lokasi penelitian. c. Uang saku per bulan, adalah uang saku atau pendapatan yang dimiliki mahasiswi muslimah yang menjadi responden penelitian, baik uang yang berasal dari orang tua mereka maupun yang didapatkan sendiri dari bekerja atau usaha. Uang saku atau pendapatan ini dapat memicu keinginan responden untuk membeli Majalah Hijabella dan mengimitasi budaya populer hijab modern tersebut, sehingga merubah gaya hidup mereka sehari-hari di dalam berhijab yang pastinya mengeluarkan biaya atas ketertarikan dengan fashion hijab tersebut. d. Suku, adalah golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan. Suku akan melihatkan dari suku manakah responden penelitian berasal. e. Semester, adalah tingkatan yang memperlihatkan baru atau lamanya responden penelitian telah berkuliah. f. Fakultas, adalah bagian perguruan tinggi tempat mempelajari suatu bidang ini. Fakultas ini juga yang membedakan bidang ilmu mana yang sedang ditekuni responden penelitian, apakah bidang ilmu yang berkaitan dengan ilmu eksakta atau ilmu sosial.
Universitas Sumatera Utara
54 2.11. Hipotesis Penelitian Hipotesis secara sederhana merupakan dugaan sementara yang diharapkan terjadi dalam penelitian. Hipotesis memfokuskan untuk berpikir lebih dalam tentang kemungkinan. Sebagai pengganti, hipotesis membimbing peneliti kearah pemahaman yang lebih luas tentang implikasi pertanyaan dan variabel yang terlibat. Dengan menentukan hipotesis, peneliti harus berpikir lebih hati-hati. Hipotesis adalah pernyataan yang bersifat dugaan mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Champion dalam Rakhmat (2004:14), hipotesis merupakan penghubung antara teori dan dunia empiris. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1 : Ho : Tidak terdapat pengaruh Majalah Hijabella terhadap imitasi budaya populer berhijab mahasiswi muslimah di Kota Medan. Ha : Terdapat pengaruh Majalah Hijabella terhadap imitasi budaya populer berhijab mahasiswi muslimah di Kota Medan. H2 : Ho : Tidak terdapat pengaruh imitasi budaya populer berhijab terhadap gaya hidup mahasiswi muslimah di Kota Medan. Ha : Terdapat pengaruh imitasi budaya populer berhijab terhadap gaya hidup mahasiswi muslimah di Kota Medan. H3 : Ho : Imitasi budaya populer berhijab tidak memediasi pengaruh Majalah Hijabella terhadap gaya hidup mahasiswi muslimah di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
55 Ha:
Imitasi budaya populer berhijab memediasi pengaruh Majalah Hijabella terhadap gaya hidup mahasiswi muslimah di Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara