BAB II
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA Bank Syariah
2.1.1. Pengertian Bank Syariah
Perbankan syariah adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan
berdasarkan syariah (hukum) Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh
larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga
atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misalnya usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman, usaha media yang tidak islami), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. (http://wikipedia.org). Pengertian Perbankan Syariah Menurut UU No. 21 Tahun 2008 Pasal 1 Ayat 1, menyatakan bahwa “perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. “ sedangkan pengertian Bank Syariah dalam pasal 1 ayat 7, menyatakan bahwa “Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pemberian Rakyat Syariah”. Menurut Antonio dan Perwataatmadja pengertian perbankan syariah terbagi dalam dua pengertian, pengertian Pertama “Bank Islam atau Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam dan bank yang tata cara beroparasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Alqur’an dan Hadits”, pengertian kedua bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam “bank syariah adalah bank yang dalam operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuammalat secara Islam.
9
Menurut Muhammad (2005 : 13) menyatakan bahwa: “Bank Islam atau
selanjutnya disebutnya dengan Bank Syariah adalah bank yang beroperasi dengan
tidak mengandalkan pada bunga, operasionalnya dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Nabi SAW”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, perbankan syariah adalah lembaga keungan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip Syariah Islam.
2.1.2. Konsep Dasar Perbankan syariah Di dalam dunia perbankan yang diutamakan adalah kepercayaan dari masyarakat. Terutama perbankan syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya mengutamakan keadilan untuk semua pihak. Menurut Wirdiyaningsih (2006:1518) setiap kelembagaan yang menjalankan usaha syariah harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Menjauhkan diri dari kemungkinan a. Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka suatu hasil usaha, seperti penetapan bunga simpanan atau bunga pinjaman yang dilakuakan pada bank konvensional. b. Mengindari penggunaan sistem persentase biaya terhadap utang atau imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipat gandakan secara otomatis utang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu. c. Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewa barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya (barang yang sama dan sejenis, seperti uang ruoiah dengan uang rupiah yang masih berlaku) dengan memperoleh kelebihan bauk kuantitas maupun kualitas. d. Menghindari pengunaan sistem yang menetpakan di muka tambahan atas utang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai utang secara sukarela. Seperti penetapan bunga pada bank konvensional.
10
2. Menerapkan Prinsip sistem Bagi Hasil dan Jual Beli
Dengan mengacu kepada petunjuk Al-Qura’an, QS. al-Baqarah (2):275
… … ﻭﺃﺣﻞ ﷲ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﻭﺣﺮﻡ ﺍﻟﺮﺑﺎ
Artinya:
“allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah
(2):275)
Dan surat an-Nisa (4):29 kedua ayat tersebut memberikan penjelasan
bahwa : Allah SWT, telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, maka
setiap transaksi kelembagaan ekonomi islami harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksi didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat mengindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi. Menurut Warkum Sumitro (2004:17-18) Berdasarkan pelaksanaan dari prinsip-prinsip di atas, bank syariah mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Mengarahkan ekonomi ummat untuk bermuamalah secara islam, khususnya muamalah yang berhubungan dengan perbankan, agar terhindar dari praktik-praktik riba atau jenis-jenis usaha/perdagangan lain yang mengandung unsur tipuan, dimana jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam islam, juga telah menimbulkan dampak negativ terhadap kehidupan ekonomi umat. 2. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi, dengan jalan memeratakan pendapatan melalui kegiatan investasi agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana. 3. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat, dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kepada kelompok miskin, yang diarahkan pada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian berusaha (berwira usaha).
11
4. Untuk membantu menanggulangi (mengentaskan) masalah kemiskinan,
yang ada umumnya merupakan program utama dari Negara-negara yang
sedang berkembang. Upaya Bank Islam di dalam mengentaskan kemiskinan ini berupa pembianaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap seperti program pembinaan
pengusaha
produsen,
pembinaan
pedagang
perantara,
program
pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program
pengembangan usaha bersama.
5. Untuk
menjaga kestabilan ekonomi/moneter pemerintah. Dengan
aktivita-aktivitas Bank Islam yang diharpakan mampu menghindarkan inflasi akibat penerapan sistem bunga, menghindarkan persaingan tidak sehat antara lembaga keuangan, khususnya Bank dari pengaruh gejolak moneter baik dari dalam maupun dari luar negeri. 6. Untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank konvensional yang menyebabkan umat Islam berada di bawah kekuasaan bank, sehingga umat Islam tidak bisa melaksanakan ajaran agamanya secara penuh, terutama di bidang kegiatan bisnis dan perekonomiannya. 2.1.3. Ketentuan Hukum Perbankan Syariah Pengadaan perbankan berdasarkan prinsip syariah pertama kali diatur dalam UU No.17 tahun 1992 tentang perbankan dan PP No. 72 tahun 1992 yang kemudian disempurnakan dengan UU No. 10 Tahun 1998, yang memberikan ketegasan dan peluang yang cukup besar bagi perkembangan perbankan syariah. Kemudian, berdasarkan UU ini bank umum juga dibolehkan menjalankan dual banking sistem, yaitu opersi secara konvesional dan secara syariah sekaligus sepanjang operasi secara terpisah dengan membentuk cabang-cabang dan unit khusus syariah di kantor pusatnya. Hal ini sejalan dengan definisi dari bank umum yang tertera dalam pasal 1 ayat 3 UU no.10 Tahun 1998 yaitu, “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Undang-undang tersebut telah memberikan dasar hukum
12
yang lebih kokoh dan peluang yang lebih baik bagi pekembangan perbankan di Indonesia. Pengertian prinsip syariah termuat dalam Pasal 1 angka 13 Undang
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang berbunyi Prinsip Syariah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain adalah
untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa istiqna). Adapun fungsi dari Bank Syariah terdapat dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah yaitu menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dan dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 19 kegiatan Bank Umum Syariah meliputi: a. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; c. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
13
d. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad Murabahah, Akad salam,
Akad istishna’, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah;
e. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad qard atau Akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. Menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak
bergerak kapada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli
dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang bertentangan dengan Prinsip Syariah; g. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; i. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, sepeti Akad ijarah, misyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah; j. Membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia; k. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; l. Melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah; m. Menyedikan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah n. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah; o. Melakukan fungsi sebagai wali Amanat berdasarkan Akad wakalah; p. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
14
q. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan dalam bidang perbankan
dan di bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.1.4. Konsep Dasar Akad
Akad merupakan pernyataan keterikatan antara bank syariah dan nasabahnya merupakan dasar untuk melakukan transaksi di bank syariah. Tanpa akad seluruh transaksi yang dilakukan tidak sah menurut syariah Islam.
Karenanya semua transaksi di perbankan syariah harus dimulai dengan akad
antara bank dengan nasabahnya. Secara garis besar, hubungan ekonomi berdasarkan syariah Islam ditentukan oleh hubungan akad yang terdiri dari lima konsep dasar akad. Bersumber dari kelima konsep dasar inilah dapat ditemukan produk-produk bank syariah. Kelima konsep tersebut menurut Dwi Suwiknyo (2009) yaitu: a. prinsip simpanan murni (al-Wadi’ah), merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-Wadi’ah. Fasilitas al-Wadi’ah biasa diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. b. Prinsip bagi hasil (Syirkah), adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah mudharbah dan musyarakah. Lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sedangkan musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan. c. Prinsip Jual Beli (al-Tijarah), merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank yang
15
melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual
barang tersebut kepada nasabah dengan harga beli ditambah keuntungan
(mardin).
d. Prinsip Sewa (al-Ijarah). Secara garis besar terbagi kepada dua jenis,
pertama ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan trakror dan alat-
alat produk lainnya (operating lease). Dalam teknis perbankan, bank
dapat membeli terlebih dahulu peralatan yang dibutuhkan nasabah,
kemudian penyewaan dalam waktu dan hanya yang telah disepakati kepada nasabah. Kedua, Bat al takjiri atau ijarah al mutahiyah bit tamlik merupakan penggabungan sewa dan beli, dimana penyewa mempunyai
hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease). e. Prinsip Fee/jasa (al-Ajr Walumullah), meliputi layanan non-pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berasarkan prinsip ini antara lain bank garansi, kliring, inkaso, jasa transfer, dan lain-lain. Secara syariah, prinsip ini didasarkan pada konsep al-Ajr Walumullah. Berdasarkan lima konsep dasar akad tersebut, aktivitas usaha yang dapat dilakukan Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah bagi bank konvensional dalam melakukan penyaluran dana, meliputi: 1) transaksi jual beli berdasarkan prinsip: murabahah, salam, istishna ijarah wa iqtina, dan jual beli lainnya. 2) Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip: murabahah, musyarakah, dan bagi hasil lainnya. 3) Pembiayaan lainnya berdasarkan prinsip: hawalah, rahn, dan qard. 2.1.5. Produk Perbankan Syariah A.
Penghimpun Dana 1. Prinsip Wadi’ah Prinsip Wadi’ah adalah titipan dari suatu pihak ke pihak lain baik individu
maupun golongan yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat bila pemilik
16
menghendakinya.
Prinsip
wadi’ah
dalam
produk
bank
syariah
dapat
dikembangkan menjadi dua jenis yaitu:
a. Wadi’ah Yad adh-Dhamanah yaitu wadi’ah dimana penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap
saat, saat pemilik menghendakinya.
b. Wadi’ah Yad al-Amanah yaitu wadi’ah dimana penerima titipan tidak
bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut.
2. Prinsip Mudharabah Mudharabah adalah kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal sedangkan mudharib (pihak kedua atau pihak lain selain pihak pertama) menjadi pengelola dana dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan di muka. Sedangkan berdasarkan prinsip kewengan penggunaan dana, prinsip mudharabah dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a. Mudharabah al-Mutlaqah yaitu kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal (pihak pertama) menyediakan modal dan memberikan kewenangan penuh kepada mudharib dalam menentukan jenis dan tempat investasi, sedangkan keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan dimuka. b. Mudharabah Muqqayadah yaitu kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal dan memberikan kewenangan terbatas kepada mudharib dalam menentukan jenis dan tempat investasi, dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan di muka. B.
Penyaluran Dana 1. Prinsip Jual Beli Mekanisme jual beli adalah upaya yang dilakukan untuk trasfer of
property dan tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi harga jual barang. Prinsip jual beli ini dikembangkan menjadi bentuk-bentuk pembiayaan sebagai berikut:
17
a. Murabahah, yaitu suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian
bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan
dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank +
margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan.
b. Salam, yaitu pembiayaan jual beli dimana pembeli memberikan uang terlebih dahulu terhadap barang yang dibeli yang telah disebutkan
spesifikasinya dengan pengantaran kemudian.
c. Istishna, yaitu pembiayaan jual beli yang dilakukan antara bank dan nasabah
dimana penjual (pihak bank) membuat barang yang dipesan oleh nasabah. Bank untuk memenuhi pesanan nasabah dapat mensubkan pekerjaannya kepada pihak lain. 2. Prinsip Ijarah Ijarah adalah perjanjian sewa yang memberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang akan disewa dengan imbalan uang sewa sesuai dengan persetujuan dan setelah masa sewa berakhir maka barang dikembalikan kepada pemilik, namun penyewa dapat juga memiliki barang yang disewa dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 3. Prinsip Syirkah Prinsip syirkah dengan basis pola kemitraan untuk produk pembiayaan di bank syariah dioperasionalkan dengan pola musyarakah dan mudharabah. a. Musyarakah, yaitu perjanjian pembiayaan antara bank syariah dengan nasabah yang membutuhkan pembiayaan, dimana bank dan nasabah secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang juga dikelola secara bersama atas prinsip bagi hasil sesuai dengan penyertaan dimana keuntungan dan kerugian dibagi sesuai kesepakatan di muka. b. Mudharabah, yaitu kerjasama antara dua pihak dimana shahibul maal menyediakan modal sedangkan mudharib menjadi pengelola dana dimana keuntungan dan kerugian dibagi menurut kesepakatan di muka.
18
C.
Produk Jasa 1. Al-Hiwalah (alih utang piutang)
Hawalah adalah akad pemindahan nasabah kepada bank untuk membantu
nasabah mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya dan bank
mendapat imbalan atas jasa pemindahan piutang tersebut.
2. Rahn (Gadai)
Ar-Rahnu adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta (nilai
ekonomis) sebagai jaminan hutang, hingga pemilik barang yang bersangkutan
boleh mengambil hutang. Ar-Rahn berarti juga pledge atau pawn (gadai), yaitu
kontrak atau akad penjaminan dan mengikat saat hak penguasaan atas barang jaminan berpindah tangan. Dalam kontrak tersebut, tidak terjadi pemindahan kepemilikan atas barang jaminan. Atau dengan kata lain, merupakan akad penyerahan barang dari nasabah kepada bank sebagai jaminan sebagian atau seluruhnya atas hutang yang dimiliki nasabah. Dengan demikian, pemindahan kepemilikan atas barang hanya terjadi dalam kondisi tertentu sebagai efek atau akibat dari kontrak. 3. Al-Qardh (Pinjaman Kebaikan) Al-Qardh digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka waktu pendek (short time). Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana qardh yang diberikan kepada nasabah diperoleh dari dana zakat, infak dan shadaqah. 4. Wakalah Wakalah yaitu akad perwakilan antara kedua belah pihak (bank dan nasabah) dimana nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu. 5. Kafalah (Bank Garansi) Kafalah yaitu akad pemberian garansi/jaminan oleh pihak bank kepada nasabah untuk menjamin pelaksanaan proyek dan pemenuhan kewajiban tertentu oleh pihak yang dijamin.
19
2.2.
Pembiayaan Perbankan Syariah
Pengertian Pembiayaan 2.2.1.
Menurut peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang ketentuan umum bank syariah menyebutkan bahwa pembiayaan adalah:
“Penyediaan
dana
atau
tagihan
yang
dipersamakan
berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai dan diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan, tanpa imbalan, atau bagi hasil.” Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada bank syariah atau istilah teknisnya disebut sebagai aktiva produktif. Menurut Ketentuan Bank Indonesia aktiva produktif adalah penanaman dana Bank Syariah baik dalam rupiah mapun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, qard, surat berharga syariah penempatan, penyertaan modal, 2.2.2. Tujuan Pembiayaan Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: tujuan pembiayaan untuk tingkat makro, dan tujuan pembiayaan untuk tingkat mikro. Secara makro pembiayaan bertujuan untuk: a. Peningkatan ekonomi umat, artinya masyarakat yang tidak dapat akses ekonomi, dengan adanya pembiayaan mereka dapat melakukan akses ekonomi. Dengan demikian dapat meningkatkan tarif ekonominya. b. Tersedianya dana bagi peningkatan usaha, artinya: untuk pengembangan usaha membutuhkan dana tambahan. Dana tambahan ini dapat diperoleh dengan melakukan aktivitas pembiayaan. Pihak yang surplus dana menyalurkan kepada pihak minus dana, sehingga dana dapat tergulirkan. c. Meningkatkan produktivitas, artinya: adanya pembiayaan memberikan peluang bagi masyarakat usaha dengan mampu meningkatkan daya
20
produksinya. Sebab upaya produksi tidak akan dapat jalan tanpa adanya
dana.
d. Membuka lapangan kerja baru, artinya: dengan dibuka sektor-sektor usaha melalui penambahan dana pembiayaan, maka sektor usaha tersebut akan menyerap tenaga kerja. Hal ini berarti membuka atau menambah
lapangan kerja baru.
e. Terjadi distribusi pendapatan, artinya: masyarakat usaha produktif
mampu melakukan aktivitas kerja, berarti
mereka memperoleh
pendapatan dari hasil usahnya. Penghasilan merupakan bagian dari pendapatan masyarakat. Jika ini terjadi maka akan terdistribusi pendapatan. Adapun secara mikro, pembiayaan diberikan dalam rangka untuk: a. Upaya memaksimalkan laba, artinya: setiap usaha yang dibuka memiliki tujuan tertinggi, yaitu menghasilkan laba usaha. Setiap usaha menginginkan
mampu
mencapai
laba
maksimal,
untuk
dapat
menghasilkan laba maksimal maka mereka perlu dukungan dana yang cukup. b. Upaya meminimalkan resiko, artinya: usaha yang dilakukan agar mampu menghasilkan
laba
maksimal,
maka
pengusaha
harus
mampu
meminimalkan laba resiko yang mungkin timbul. Risiko kekurangan modal usaha dapat diperoleh melalui tindakan pembiayaan. c. Pendayagunaan sumber ekonomi, artinya: sumber daya ekonomi dapat dikembangkan denga melakukan mixing antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia serta sumber daya modal. Jika sumber daya alam dan sumber daya manusianya ada, dan sumber daya modal tidak ada. Maka dipastikan diperlukan pembiayaan. Dengan demikian, pembiayaan pada dasarnya dapat meningkatkan daya guna sumber-sumber daya ekonomi. d. Penyaluran kelebihan dana, artinya: dalam kehidupan masyarakat ini ada pihak yang memiliki kelebihan sementara ada pihak yang kekurangan. Dalam kaitannya dengan masalah dana, maka mekanisme pembiayaan
21
dapat menjadi jembatan dalam penyeimbangan dana dari pihak yang
kelebihan dana, dari pihak yang kelebihan dana (surplus) kepada pihak
yang kekurangan (minus) dana. (Muhammad, 2005: 16-18).
2.2.3. Fungsi Pembiayaan
Fungsi pembiayaan dewasa ini pada dasarnya ialah pemenuhan jasa untuk
melayani kebutuhan masyarakat (to serve the society) dalam rangka mendorong
dan melancarkan perdagangan, mendorong dan melancarkan produksi, jasa-jasa dan bahkan konsumsi yang kesemuanya itu pada akhirnya ditujukan untuk
menaikkan taraf hidup rakyat banyak. Kalau dijabarkan lebih rinci, maka fungsi-fungsi pembiayaan adalah sebagai berikut : a. Pembiayaan dapat memajukan arus tukar menukar barang dan jasa. Andaikata suatu saat belum tersedia uang sebagai alat pembayar, maka dengan adanya pembiayaan, lalu lintas pertukaran barang dan jasa dapat terus berlangsung. b. Pembiayaan dapat mengaktifkan pembayaran yang idle. Sebagaimana diketahui bahwa terjadinya pembiayaan disebabkan oleh adanya golongan surplus dana dan golongan defisit dana, maka dari golongan yang surplus ini akan terkumpul sejumlah dana yang tidak digunakan (idle). Dana yang tidak digunakan tersebut jika dipindahkan atau lebih tepatnya dipinjamkan kepada golongan defisit, maka akan berubah menjadi dana efektif. c. Pembiayaan dapat menciptakan alat pembayaran yang baru. Dalam hal ini yang dimaksud adalah salah satu jenis pembiayaan yang diberikan oleh bank umum yaitu Pembiayaan Rekening Koran. Dalam pembiayaan R/K begitu perjanjian pembiayaan ditandatangani dan syarat-syarat pembiayaan telah terpenuhi, maka dapat pada dasarnya pada saat itu telah beredar uang giral baru di masyarakat sejumlah pembiayaan R/K tersebut. Hal tersebut disebabkan karena peminjam mempunyai hak tarik
22
atas sejumlah dana yang ada pada rekening koran tersebut, yang pada
dasarnya adalah rekening giro.
d. Pembiayaan sebagai alat pengendali harga. Dalam hal ini andaikata diperlukan adanya perluasan jumlah uang yang beredar di masyarakat, maka salah satu caranya dengan jalan mempermudah dan mempermurah
pemberian pembiayaan perbankan syariah kepada masyarakat. Dalam
keadaan sebaliknya yaitu andaikata diperlukan untuk mempersempit
jumlah uang yang beredar maka diusahakan adanya pembatasan pemberian pembiayaan dengan suatu pagu (ceiling atau plafond) pembiayaan tertentu.
e. Pembiayaan
dapat
mengaktifkan
dan
meningkatkan
manfaat/faedah/kegunaan potensi-potensi ekonomi yang ada. Dengan adanya bantuan permodalan berupa pembiayaan, maka seorang pengusaha baik industriawan, petani, dan lain-lain bisa memproduksi atau meningkatkan produksi dari potensi-potensi ekonomi yang dimilikinya. 2.3
Analisis dan Pengawasan Pembiayaan Apabila kita cermati secara seksama, pembiayaan merupakan sumber
pendapatan terbesar dari suatu bank sekaligus sumber risiko operasi bisnis perbankan terbesar yang berakibat pada kredit/pembiayaan bermasalah bahkan macet, yang akan mengganggu operasional dan likuiditas bank. Oleh karena itu, seorang analis pembiayaan harus dapar meneliti berbagai faktor yang diperkirakan dapat mempengaruhi kemampuan dan kesediaan calon nasabah untuk memnuhi kewajiban kepada bank. Berdasarkan Undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1988 Pasal 8 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa: 1. Ayat 1 Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
23
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Ayat 2
Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2.3.1 Tujuan Analisi Pembiayaan
Menrurut
Muhammad
(2005:305),
bahwa
untuk
keamanan
dan
keselamatan pembiayaan sampai selesai, bank syariah perlu melakukan analisis pembiayaan. Analisis pembiayaan memiliki dua tujuan yaitu: 1. Tujuan Utrama Pemenuhan jasa pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat dalam menolong dan melancarkan perdagangan, produksi jasa, bahkan konsumsi yang kesemuanya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. 2. Tujuan Khsusus Risiko pembiayaan bermasalah/macet dapat diperkecil dengan melakukan analisa pemniayaan, yang bertujuan untuk menilai seberapa besar kemampuan dan kesedian debitur mengembalikan pembiayaan yang mereka pinjam dan membayar margin keuntungan dan bagi hasil sesuai dengan perjanjian pembiayaan yang telah disepakati. Berdasarkan penilaian ini bahkan akan dapat memperkirakan tinggi rendahnya resiko yang akan ditanggung. Dengan demikian, pihak bank dapat pula memutuskan apakah permintaan suatu pembiayaan akan ditolak, diteliti kembali, ataupun disetujui. 2.3.2 Prinsip Analisis Pembiayaan Prinsip adalah sesuatu yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu tindakan. Prinsip analisis pembiayaan adalah pedoman-pedoman yang harus diperhatikan oleh pejabat pembiayaab bank syariah pada saat melakukan analisis pembiayaan. Secara umum, prinsip analisis pembiayaan didasarkan pada rumus 24
5C seperti halnya pada bank konvensional. Tetapi seiring dengan perkembangan waktu prinsip atau konsep dasar analisi atau konsep dasar analisa pembiayaan
bertamabah dengan rumus 4P dan SHAFT.
diragukan oleh perbankan, baik bank syariah maupun perbankan
konvensional. Penjelasan analisis pembiayaan 5C yaitu:
Analisis pembiayaan 5C merupakan analisis yang secara umum masih
1. Character (karakter) Analisis ini merupakan analisis kualitatif yang tidak dapat dideteksi secara numeric. Namun demikian hal ini merupakan pintu gerbang utama proses persetujuan pembiayaan. Kesalahan dalam menilai karakter calon nasabah dapat berakibat fatal pada kemungkinan pembiayaan terhadap orang yang beritikad buruk. 2. Capacity (kapasitas atau kemampuan) Kapasitas calon nasabah sangat penting diketahui untuk memahami kemampuan seseorang dalam berbisnis. Hal ini dapat dipahami karena sikap yang baik belum tentu memiliki kemampuan yang baik pula dalam berbisnis. Untuk memahami kapasitas nasabah, bank harus memperhatikan: a. Angka-angka hasil produksi b. Angka-angka penjulan dan pembelian c. Perhitungan rugi laba perusahaan saat ini dan proyeksi kedepan d. Data keungan perusahaan beberapa tahun terakhir yang tercermin dalam neraca laporan keungan. 3. Capital (modal) Analis modal diarahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan calon nasabah terhadap usahanya sendiri. Jika nasabah tidak yakin akan usahanya sendiri, maka orang lain akan lebih tidak yakin akan usaha tersebut. Untuk mengetahui hal tersebut, maka bank harus mealakukan hal-hal sebagai berikut: a. Melakukan analisa neraca sedikitnya 2 (dua) tahun terakhir.
25
b. Malakukan analisa ratio untuk mengetahui likuiditas, solvabilitas,
dan rentabilitas dari perusahaan yang dimaksud.
4. Collateral (jaminan) Analisa ini diarahkan terhadap jaminan yang diberikan. Jaminan dimaksudkan harus mampu menggantikan resiko bisnis calon nasabah.
Analisa yang dilakukan antara lain:
a. Meneliti kepemilikan jaminan yang diserahkan
b. Mengukur dan memperkirakan stabilitas harga jaminan yang dijaminkan. c. Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan uang dalam waktu
relatif singkat tanpa harus mengurangi nilainya. d. Memperhatikan peningkatannya sehingga secara legal bank dapat dilindungi. e. Rasio jaminan terhadap jumlah pembiayaan. Semakin tinggi rasio tersebut, maka semakin tinggi pula kepercayaan bank terhadap kesungguhan calon nasabah. f. Marketabilitas jaminan. Jenis dan lokasi jaminan sangat menetukan tingkat marketable suatu jaminan.
Untuk analisa pembiayaan 4P, merupakan prinsip analisa pembiayaan lain yang mulai diterapkan oleh perbankan. Pembiayaan analisa pembiayaan rumus 4P yaitu: 1. People (karakter) Analisa ini dimaksudkan untuk menilai karakter calon nasabah mempunyai karakter yang pantas atau tidak dalam pemberian pinjaman. Keberhasilan dalam menentukan calon nasabah yang pertama adalah menilai karakter calon nasabah tersebut. Apabila terjadi kesalahan dalam penilaian karakter calon nasabah, akan fatal akibatnya jika terdapat itikad yang kurang baik dari calon nasabah tersebut.
26
2. Purpose (tujuan)
Analisa ini bertujuan untuk menilai apakah tujuan dari permohonan
pinjaman tersebut sesuai dengan tujuan yang sebenarnya atau tidak. Apabila penggunaan dana tidak sesuai dengan tujuan yang direncakan, maka akan menggangu kepada semua rencana yang mungkin dari awal
sudah direncakan dan diperhitungkan.
3. Prospect (prospek bisnis)
Analisa ini sangat penting dalam melihat apakah bisnis yang nantinya akan dijalankan atau sudah dijalankan ini dapat berkembang dan memiliki prospek yang bagus atau tidak apabila dijalankan.
4. Payment (kemampuan bayar) Analisis kemampuan bayar akan sangat diperlukan dalam memberikan pinjaman kepada calon nasabah. Hal ini dikarenakan oleh kemampuan bayar calon nasabah sangat berpengaruh terhadap pendapatan dan juga kemungkinan kerugian yang akan diterima oleh pihak bank.
Analisa SHAFT merupakan prinsip tambahan yang kini diterapkan oleh perbankan syariah. Penjelasan analisa pembiayaan rumus SHAFT yaitu: 1. Shidik (benar atau jujur) Kejujuran dalam segala hal akan menentukan suatu kebrhasilan. Dalam hal ini pembiayaan, dana yang akan diberikan haruslah dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya. Apabila terjadi kebohongan ditakutkan akan berdampak buruk kepada usaha yang akan dijalankan atau yang sedang berjalan. 2. Amanah (Dipercaya atau transpran) Pembiayaan sangat memerlukan kepercayaan karena dana dalam pengelolaannnya tidak akan terus mendapatkan pantauan setiap waktu, tetapi nasabah harus tetap menjalankan usahanya agar tetap berjalan sesuai dengan yang diinginkan. 3. Fathonah (Pandai)
27
Orang yang pandai pasti akan dapat menjalankan sesuatu dengan tanpa
banyak kekeliruan. Kalaupun ada gangguan yang dihadapi selama
mengelola perusahaan yang dijalankan, pastilah akan ada penyelesaian yang tepat dilakukan. 4. Tabligh (Komunikasi)
Mengkomunikasikan suatu informasi yang ada akan membantu pihak
bank dalam mengawasi perkembangan dana yang diberikan kepada
calon nasabahnya.
2.4
Usaha Mikro Kecil dan Menengah
2.4.1 Pengertian UMKM Mengacu kepada Undang-undang Nomor 20 Pasal 1 Tahun 2008 tentang usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dimana: 1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perongan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau dari Usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,dikuasi, atau menjadi bagian langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 4. Berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang berbadan yang hokum termasuk koperasi. (suhardjono, 2003:53)
28
Sedangkan Biro Pusat
Statistik (BPS) mendefinisikan skala usaha
berdasarkan jumlah pekerja. UK adalah perusahaan (baik yang berbadan hukum
atau tidak) yang mempunyai 5-19 orang termasuk pemilik usaha atau pengusaha, dan UM adalah usaha antara 20-99 orang, dan perusahaan dengan jumlah lebih 99
orang dikategorikan sebagai UB. (tulus, 2003: 307-308) Tujuan dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 3 disebutkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
bertujuan
menumbuhkan
dan
mengembangkan
usahanya
dalam
rangka
membangun perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi yang
berkeadilan. Adapun tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah antara lain: a.
Mewujudkan
struktur
perekonomian
nasional
yang
seimbang,
berkembang, dan berkeadilan; b.
Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
c.
Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan
daerah,
penciptaan
lapangan
kerja,
pemerataan
pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
2.4.2 Karakterikstik UMKM Karakteristik Usaha Kecil (UK) adalah: a. Jenis barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang berubah b. Lokasi/tempat usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah c. Pada umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih sederhana, keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sdah membuat neraca usaha d. Sudah memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP
29
e. Sumber daya manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam
berwirausaha
f. Sebagaian usaha akses ke perbankan dalam hal keperluan modal
g. Sebagian besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik
seperti business planning.
Sedangkan karakteristik Usaha Menengah (UM), yakni:
a. Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keauangan, bagian pemasaran dan bagian produksi; b. Telah melakukan manajemen keaungan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan c. Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll; d. Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll; e. Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan; f. Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik. (http://hanieffeui.wordpress.com) Adapun jenis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Jenis usaha kecil dan menengah dikategorikan berdasarkan jenis produk
atau jasa yang dihasilkan, maupun aktivitas yang dilakukan oleh suatu usaha kecil, serta mengacu pada criteria UMKM menurut KADIN, juga dari Bank Indonesia (BI), yaitu: a. Usaha perdagangan Terdiri dari keagenan yaitu: agen Koran dan majalah, sepatu, pakaian dan lain-lain. Pengecer yaitu: minyak, sembako, buah-buahan. Ekspor/impor: berbagai produk local dan internasional. Sector informal: pengumpulan barang bekas, kaki lima dan lain-lain. 30
b. Usaha pertanian Terdiri dari pertanian pangan maupun perkebunan: bibit dan peralatan pertanian, buah-buahan dan lain-lain. Perikanan darat/laut: tambak udang,
pembuatan krupuk ikan dan produk lain dari hasil prikanan dan laut.
Peternakan dan usaha lain yang termasuk lingkup pengawasan department.
Pertanian: produsen telur ayam, susu sapi, dan lain-lain produk hasil peternakan. c. Usaha Industri Terdiri dari industry logam/kimia: pengrajin logam, kulit, keramik, fiberglass, marmer dan lain-lain. Industry makanan/minuman: makanan tradisional, minuman ringan, catering, produk lainnya. Pertambangan: galian. Aneka industry kecil: pengrajin perhiasan, ukiran batu dan lainlain. Konveksi: produsen garment, batik, tenun-ikat, dan lain-lain. d. Usaha Jasa Terdiri dari konsultan: hukum, pajak, manajemen. Perencana: perencana teknis, perencana sistem. Perbengkelan: bengkel mobil, elektronik, jam. Transportasi: travel, taksi, angkutan umum. Restoran: rumah makan, coffe shop, cafetarian, dan lain-lain.
e. Usaha Jasa konstruksi Terdiri dari kontraktor bangunan, jalan, kelistrikan, jembatan, pengairan dan usaha-usaha lain yang berkaitan dengan teknis kontruksi bangunan. (Harimurti, 2001: 3-6) 2.4.3 Penyebab Kegagalan Pembiayaan UMKM Mudrajat Kuncoro menyebutkan dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada beberapa kendala dalam pengembangan UMMK di indonesia, dintaranya:
31
1. Adanya pungutan Liar (PUNGLI) mulai dari proses perizinan sampai
pangadaan barang dan ekspor barang tersebut.
2. Kebijakan makro pemerintahan yang kurang mendukung.
3. Permasalahan kredit lama dan bunga tinggi dari perbankan dan lembaga
keungan lainnya.
Agunan P. Samosir, dalam studi kasusnya menjelaskan tentang hambatan
ekspor produksi UM. Adapun beberapa faktor penghambat diantaranya:
1. Faktor Internal a. Kurang likuiditas (tambahan Modal) b. Nilai upahnya 2. Faktor Eksternal a. Melemahnya nilai tukar rupiah b. Kurang akses informasi pasar dalam dan luar negeri c. Turunnya daya beli masyarakat, sebagai akibat dari turunnya pendapatan riil masyarakat. d. Menurunnya permintaan pasar e. Kenaikan harga bahan baku f. Kurangnya dukungan pemerintah kepada UMK yang berorientasi pada ekspor. g. Tingginya pungutan.
2.4.4 Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) dalam Persepektif Islam Dalam Islam telah dikatakan bahwa siapa saja yang mau berusaha untuk berhasil entah itu umat kecil atau umat yang besar jika ia bersungguh-sungguh melakukannya maka Allah S.W.T akan senantiasa memberikan yang terbaik baginya. Sama juga dengan pedagang kecil meski mereka memiliki banyak kekurangan
salah
satunya
mengenai
modal
usaha
meningkatkan
dan
mengembangkan usahanya tetapi dengan usaha yang sungguh-sungguh dan memanfaatkan apa saja yang mereka miliki asal tidak bertentangan dengan ajaran agama pasti Allah S.W.T akan memberikan yang terbaik bagi mereka, hal ini termaktub dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Mulk ayat 15:
32
ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﺟﻌﻞ ﻟﻜﻢ ﺍﻷﺭﺽ ﺫﻟﻮﻻ ﻓﺎﻣﺸﻮﺍ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻛﺒﻬﺎ ﻭﻛﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﺭﺯﻗﻪ ﻭﺇﻟﻴﻪ ﺍﻟﻨﺸﻮﺭ
Artinya: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah
di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Misbahul Munir (2007:117-123) dalam bukunya Ajaran-ajaran Ekonomi
Rasulullah, terdapat sebuah hadist riwayat Thabrani disebutkan: : Dari Ibn Umar bahwasannya Nabi SAW bersabda: “sesungguhnya Allah SWT menyukai seorang hamba mukmin yang berketrampilan” (HR. Thabrani). Dalam hadist ini Rasulullah SAW, menjelaskan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya untuk bekerja, terutama dengan cara berwirausaha, karena orang mukmin yang bekerja dan berwirausaha akan dicintai oleh Allah SWT. Islam juga mengajarakan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah hadist. Seseorang yang bekerja sendiri, tidak dibawah suruhan orang lain, adalah orang-orang yang meletakkan tangannya di atas, sebaliknya seseorang yang bekerja sebagai buruh, pegawai atau yang serupa, adalah orang yang meletakkan tangannya di bawah. Karena ia minta kepada orang lain untuk diberi pekerjaan atau tunduk kepada pemerintah
orang
yang
dipertuannya.
Biasanya
orang
yang
demikian
pendapatannya ditentukan oleh orang lain. Jika suatu negara jumlah penduduknya lebih banyak yang berwirausaha, dari pada yang menjadi pegawai, buruh atau karyawan, maka kemakmuran negeri itu lebih cepat tercapai. Karena orang yang berwirausaha lebih banyak yang berlaku produktif daripada konsumtif. Maka amat tepat dan bijaksana, bahwa Islam menganjurkan kepada setiap penganutnya, agar berwirausaha sesuai dengan
33
keahlian setiap orang. Manfaat atau keuntungan dari sifat kewirausahaan ini adalah jiwa merdeka dan berani menghadapi risiko yang tidak terduga-duga.
Bahkan dalam sebuag riwayat disebutkan:
ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﺘﺠﺎﺭﺓ ﻓﺎﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﺗﺴﻌﺔ ﺍﻋﺸﺎﺭﺃﻟﺮﺯﻕ
“Berdaganglah, karena sembilan dari sepuluj rizki itu berasal dari wirausaha (perdagangan)”. (Hadist Mursal)
Riwayat di atas mengandung arti bahwa dari sekian banyak rizki Allah
SWT, yang diberikan kepada manusia di dunia, 90% di antaranya diberikan
melalui cara perdagangan, sedangkan sisanya hanya 10% diperebutkan oleh sekian banyak manusia mulai dari pegawai negeri, pegawai swasta, karyawan, buruh, petani dll. 2.5
Kualitas Pembiayaan Pembiayaan merupakan salah satu unit kegitan bank dalam mendapatkan
pendapatan, tetapi selain itu pembiyaan juga merupakan unit kegitan bank yang memiliki resiko sesuai dengan jumlah/besar-kecilnya pembiayaan yang didapat. Berdasarkan peraturan Bank Syariah No. 5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003, tentang Kualitas Aktiva Produktif bagi Bank Syariah, khusus untuk pembiayaan murabahah kualitasnya ditetapkan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu: (1) lancar, (2) kurang lancar, (3) diragukan, (4) macet. Adapun penggolongan kualitas pembiayaan murabahah bisa dilihat dari aspek yang dintaranya (http://esharianomics.com): A. Prospek Usaha 1. Lancar a) Potensi pertumbuhan kegiatan usaha nasabah baik b) Pasar yang stabil dan tidak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian
34
c) Persaingan yang terbatas, termasuk posisi yang kuat dalam
pasar
d) Manajemen
sangat
baik
(manajemen
independen,
berpengalaman dan memiliki kemampuan) e) Perusahaan afiliasi atau grup stabil dan mendukung usaha
f)
Tenaga kerja yang memadai dan belum pernah tercatat mengalami perselisihan atau pemogokan
2. Dalam Perhatian Khusus a) Potensi pertumbuhan kegiatan usaha nasabah terbatas; b) Posisi di pasar baik, tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian; c) Pangsa pasar sebanding dengan pesaing; d) Manajemen
baik
(manajemen
independen,
kurang
pengalaman tapi memiliki kemampuan); e) Perusahaan afiliasi atau grup stabil tidak memiliki dampak yang memberatkan terhadap nasabah; f) Tenaga kerja pada umumnya memadai dan belum pernah tercatat mengalami perselisihan atau pemogokan; 3. Kurang Lancar a) Kegiatan usaha nasabah menunjukkan potensi pertumbuhan yang sangat terbatas atau tidak mengalami pertumbuhan; b) Pasar dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian; c) Posisi di pasar cukup baik tetapi banyak pesaing, namun dapat pulih kembali jika melaksanakan strategi bisnis yang baru; d) Manajemen cukup baik; e) Hubungan dengan perusahaan afiliasi atau grup mulai memberikan dampak yang memberatkan terhadap nasabah;
35
f) Tenaga kerja berlebihan namun hubungan pimpinan dan
karyawan pada umumnya baik;
4. Diragukan
a) Kegiatan usaha nasabah menurun;
b) Pasar
dipengaruhi
oleh
perubahan
kondisi
perekonomian;
sangat
c) Persaingan usaha sangat ketat dan operasional perusahaan mengalami permasalahan yang serius; Manajemen kurang
pengalaman; d) Perusahaan afiliasi atau grup telah memberikan dampak yang memberatkan nasabah; e) Tenaga kerja berlebihan dalam jumlah yang besar sehingga dapat menimbulkan keresahan; 5. Macet a) Kelangsungan usaha nasabah sangat diragukan untuk pulih kembali dan kemungkinan besar usaha akan terhenti; b) Kehilangan pasar sejalan dengan kondisi perekonomian yang menurun; c) Manajemen sangat lemah; d) Perusahaan afiliasi sangat merugikan nasabah; e) Terjadi pemogokan tenaga kerja yang sulit diatasi.
B. Kondisi Keuangan 1. Lancar a) Perolehan laba tinggi atau stabil; b) Permodalan kuat;
36
c) Likuiditas dan modal kerja kuat;
d) Jumlah portofolio yang sensitif terhadap perubahan nilai
tukar valuta asing relatif sedikit atau telah dilakukan lindung nilai (Hedging) secara baik;
2. Dalam Perhatian Khusus
a) Perolehan laba cukup baik namun memiliki potensi menurun; b) Permodalan cukup baik dan pemilik mempunyai
kemampuan untuk memberikan modal tambahan apabila diperlukan; c) Likuiditas dan modal kerja umumnya baik; d) Analisis arus kas menunjukkan bahwa meskipun nasabah mampu memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan margin namun terdapat indikasi masalah tertentu yang apabila tidak diatasi akan memengaruhi pembayaran pada masamendatang; e) Analisis arus kas menunjukkan bahwa nasabah dapat memenuhi kewajiban pembayaran pokok serta margin tanpa dukungan sumber dana tambahan; f) Beberapa portofolio sensitif terhadap perubahan nilai tukar valuta asing tetapi masih terkendali; 3. Kurang Lancar a) Perolehan laba rendah; b) Rasio utang terhadap modal cukup tinggi; c) Likuiditas kurang dan modal kerja terbatas; d) Analisis arus kas menunjukkan bahwa nasabah hanya mampu membayar pokok dan sebagian dari margin;
37
e) Kegiatan usaha terpengaruh perubahan nilai tukar valuta
asing;
f) Perpanjangan piutang untuk menutupi kesulitan keuangan;
4. Diragukan
a) Laba sangat kecil atau negatif;
b) Kerugian operasional dibiayai dengan penjualan aset; c) Rasio utang terhadap modal tinggi; Likuiditas sangat rendah;
d) Analisis arus kas menunjukkan ketidakmampuan nasabah dalam membayar pokok dan margin; e) Kegiatan usaha terancam karena perubahan nilai tukar valuta asing; f) Piutang baru digunakan untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo; 5. Macet a) Mengalami kerugian yang besar nasabah tidak mampu memenuhi seluruh kewajiban dan kegiatan usaha tidak dapat dipertahankan; b) Rasio utang terhadap modal sangat tinggi; c) Kesulitan likuiditas; d) Analisis arus kas menunjukkan bahwa nasabah tidak mampu menutup biaya produksi; e) Kegiatan usaha terancam oleh fluktuasi nilai tukar valuta asing; f) Piutang baru digunakan untuk menutup kerugian operasional;
38
C. Kemampuan Membayar
1. Lancar a) Pembayaran angsuran tepat waktu dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan akad;
b) Nasabah selalu menyampaikan informasi keuangan secara
teratur dan akurat; c) Dokumentasi perjanjian piutang lengkap dan pengikatan agunan kuat;
2. Dalam Perhatian Khusus a) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau margin sampai dengan 90 hari; b) Nasabah menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat; c) Dokumentasi perjanjian piutang lengkap dan pengikatan agunan kuat; d) Pelanggaran terhadap persyaratan perjanjian piutang yang tidak prinsipil; 3. Kurang Lancar a) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui 90 hari sampai dengan 180 hari; b) Nasabah menyampaikan informasi keuangan tidak teratur dan meragukan; c) Dokumentasi perjanjian piutang kurang lengkap dan pengikatan agunan kuat; d) Pelanggaran terhadap persyaratan pokok perjanjian piutang;
39
e) Perpanjangan perjanjian piutang untuk menyembunyikan
kesulitan keuangan;
4. Diragukan
a) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau
margin yang telah melampaui 180 hari sampai dengan 270 hari;
b) Nasabah tidak menyampaikan informasi keuangan atau
tidak dapat dipercaya;
c) Dokumentasi perjanjian piutang tidak lengkap dan pengikatan agunan lemah; d) Pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian piutang; 5. Macet a) Terdapat tunggakan pembayaran angsuran pokok dan/atau margin yang telah melampaui 270 hari; b) Dokumentasi pembiayaan dan/atau pengikatan agunan tidak ada. 2.6 Inflasi 2.6.1 Pengertian Inflasi Inflasi didefinisikan sebagai kecenderungan kenaikan harga secara umum. Kecenderungan yang dimaksudkan disini adalah bahwa kenaikan tersebut bukan terjadi sesaat. Misalnya, harga-harga barang menjelang lebaran, atau hari libur lainnya, cenderung naik. Namun, setelah perayan usai, masyarakat kembali hidup seperti semula, harga akan kembali ke kondisi semula (Djohanputro, 2006). Singkatnya inflasi adalah gejala kenaikan harga barangbarang yang bersifat umum dan terus-menerus (Rahardja & Manurung, 2004).
40
Di bidang moneter, laju inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat
mengganggu upaya perbankan dalam mengerahkan dana masyarakat. Hal ini
disebabkan, karena tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan tingkat suku bunga riil menjadi menurun. Fakta demikian akan mengurangi hasrat masyarakat
untuk menabung sehingga pertumbuhan dana perbankan yang bersumber dari masyarakat akan menurun (Pohan, 2008).
Menurut Revell (1979), adanya hubungan antara profitabilitas bank
dengan inflasi. Serta dampak dari inflasi tergantung pada bunga bank serta
biaya operasional lain yang menjadi lebih tinggi. Selain itu, sebagian besar
penelitian (Bourke, 1989; Molyneux & Thornton, 1992) melihat adanya hubungan positif antara inflasi atau suku bunga jangka panjang
dengan
profitabilitas. Serta adanya hubungan negatif antara inflasi dengan profitabilitas bank, seperti dimukakan oleh Uche (1996) dan Ogowewo & Uche (2006). 2.6.2 Jenis Inflasi Menurut Sifatnya Jenis inflasi menurut sifatnya dibagi menjadi (Nopirin, 1992): a. Inflasi merayap (creeping inflation) Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10% per tahun). Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil serta dalam jangka yang relatif lama. b. Inflasi menengah (galloping inflation) Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar, (biasanya double digit atau bahkan triple digit) dan kadangkala berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Artinya, harga-harga minggu/ bulan ini lebih tinggi dari minggu/ bulan lalu dan seterusnya. Efeknya terhadap perekonomian lebih berat daripada inflasi yang merayap (creeping inflation). c. Inflasi tinggi (hyper inflation) Merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Harga-harga naik sampai 41
lima atau enam kali. Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan
uang. Nilai uang merosot dengan tajam, sehingga ingin ditukarkan dengan
barang. Perputaran uang makin cepat, harga naik secara akselerasi. Biasanya
keadaan
ini
timbul
apabila pemerintah mengalami defisit
anggaran belanja (misalnya ditimbulkan oleh adanya perang) yang
dibelanja/ditutup dengan mencetak uang.
2.6.3 Jenis Inflasi Menurut Sebab Terjadinya
Jenis inflasi menurut sebab terjadinya dibagi menjadi (Dernburg, 1994):
a. Demand Pull Inflation
Sebagaimana dalam gambar 2.2, anggaplah perekonomian dimulai pada suatu tingkat harga mula-mula, P1, dan tingkat output riel, O1, di mana (P1, O1) berada pada perpotongan antara kurva permintaan dan penawaran, masingmasing D1D1 dan SS. Sekarang anggaplah bahwa kurva permintaan agregat bergeser keluar ke D2D2. Pergeseran seperti itu dapat berasal dari berbagai faktor, seperti perluasan pengeluaran pemerintah yang disebabkan perang atau pergeseran keluar pada fungsi konsumsi atau investasi dari sektor swasta. Sebagaimana ditunjukkan gambar 2.2, apapun sumbernya, pergeseran kurva permintaan agregat menaikkan tingkat output riil (dari O1 ke O2) dan tingkat harga (dari P1 ke P2). Maka ini memberikan contoh tentang apa yang disebut inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation), yaitu situasi di mana pergeseran kurva permintaan “menarik ke atas” tingkat harga dan menyebabkan inflasi. Tentu saja, besar inflasi yang sebenarnya akan tergantung pada sejauh mana kurva permintaan bergeser dan pada bentuk kurva penawaran. Jika kurva penawaran adalah curam, karena mungkin mendekati penggunaan tenaga kerja penuh, akan terdapat kenaikan harga yang lebih besar dan tanggapan output riel yang lebih kecil daripada jika kurva penawaran kurang curam.
42
Gambar 2.2
Demand Pull Inflation
P
AS
P2 P1
AD1
AD2
0
Q1 Q2
Grafik 1. Demand Pull Inflation
b. Cost Push Inflation Walaupun pergeseran permintaan agregat dapat menciptakan inflasi, namun inflasi mungkin pula timbul sekalipun kurva permintaan tetap. Hal ini dapat terjadi jika kurva penawaran agregat bergeser ke atas ke sebelah kiri, sebagaimana diperlihatkan dalam gambar 2.3. Karena kita berpendapat bahwa di dalam kondisi yang “normal”, sepanjang waktu kurva penawaran bergeser ke bawah dan ke sebelah kanan, bagaimana pergeseran yang terbalik seperti itu dapat terjadi? Sayangnya, sebagaimana sejarah memperlihatkannya, ada banyak sekali cara. Pada dasarnya, setiap perkembangan yang membatasi penawaran atau mendorong harga naik secara otonom akan menyebabkan penawaran bergeser ke atas. Peristiwa-peristiwa dalam praktek yang telah menghasilkan pergeseran seperti itu termasuk kegagalan panen, kenaikan harga minyak otonom yang ditimbulkan oleh OPEC, dan turunnya produktivitas. Pengaruh pergeseran penawaran yang sebaliknya, telah dilukiskan dalam gambar 2.3. Karena kurva penawaran bergeser dari S1 S1 ke S2 S2, harga tentu saja naik, yang kadangkadang disebut inflasi dorongan biaya (cost push inflation).
43
Gambar 2.3
Cost Push Inflation
P
AS2
AS1
P2
P1
AD
0
Q2 Q1
Q
Grafik 2. Cost Push Inflation 2.6.4 Jenis Inflasi Menurut Asal Dari Inflasi
Jenis inflasi menurut asal dari inflasi dibagi menjadi (Boediono, 1985): a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panenan gagal dan sebagainya. b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) Penularan inflasi dari luar negeri ke dalam negeri ini dapat mudah terjadi pada negara-negara yang perekonomi annya terbuka. Penularan inflasi ini dapat terjadi melalui kenaikan harga-harga baik itu impor maupun ekspor baik secara demand inflation maupun cost inflation 2.7
Pembiayaan Bermasalah (Non Performing Finance) Pembiayaan yang merupakan salah satu bentuk aktiva produktif pada
Bank Syariah memiliki risiko kegagalan atau tidak tertagihnya kembali pembiayaan yang telah disalurkan. Risko pembiayaan muncul pada saat bank tidak dapat memperoleh kembali tagihannya atas pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan. Menurut Muhammad (2001 : 178), risiko
44
pembiayaan muncul jika Bank tidak bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan atau bunga dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedanng dilakukan.
Penyebab utama terjadinya resiko pembiayaan adalah terlalu midahnya pihak memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut Bank
untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas. Akibatnya, penilaian dari pembiayaan yang diberikan kurang cermat akan risiko pembiayaan yang mungkin muncul. Kegagalan ini akan semakin tampak ketika perekonomian dilandasi krisis
atau resesi. Turunnya penjualan akan mengurangi penghasilan perusahaan. Sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan untuk memenuhi atau membayar
kewajiban-kewajibannya. Hal ini semakin diperberat dengan pembiayaan yang menggunakan prinsip bagi hasil, karena jika terjadi kerugian maka yang akan menanggung adalah pemilik modal, jika dalam hal ini bank sebagai pemilik modal maka bank akan berpotensi menanggung kerugian yang terjadi dari pembiayaan yang diberikan oleh bank itu sendiri. Aktiva produktif dalam hal ini pembiayaan merupakan salah satu indikator penilaian kinerja dan kesehatan pada Bank Syariah. Menurut Muhammad (2002 : 231), menjelaskan bahwa komponen penilaian aktiva produktif sebagai indikator penilaian kinerja dan kesehatan bank syariah terdiri dari total pembiayaan bermasalah dan total pembiayaan atau pembiayaan yang diberikan. Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut:
=
ℎ
2.7.1 Penyebab Pembiayaan Bermasalah Kegagalan perbankan diantaranya disebabkan oleh nilai atau tingkat non performing financing yang meningkat. Non Performing Financing pada dasarnya disebabkan oleh faktor intern dan ekstern. Kedua faktor tersebut tidak dapat dihindari mengingat adanya kepentingan yang saling berkaitan sehingga mempengaruhi kegiatan usaha bank. 45
a. Faktor Intern Yang dimaksud dengan fakor intern adalah kelalaian dari pihak bank
sendiri, yaitu yang terdiri dari: 1. Kebijakan pemberian pembiayaan yang terlalu ekspansif Peningkatan penghimpunan dana dari pihak ketiga yang cukup pesat
menyebabkan beberapa bank melakukan pertumbuhan pertumbuhan
pembiayaan yang melebihi tingkat wajar. Hal ini disebabkan untuk
menghindari terjadinya pengumpulan dana, seharusnya bank tetap melakukan kebijakan pemberian pembiayaan dengan prosedur kehatihatian untuk menghindari terjadinya risiko pembiayaan yang bermasalah. 2. Pemyimpangan pemberian pembiayaan Bank-bank pada umumnya telah memiliki pedoman dan tata cara pemberian pembiayaan. Namun pada pelaksanaannya seringkali tidak dilakukan dengan patuh dan taat asa. Penyimpangan pemberian kredit terhadap prosedur atau kebijakan yang ada pada umumnya disebabkan oleh kurangnya kuiantitas maupun kualitas pejabat-pejabat pemberi pembiayaan selain disebabkan oleh adanya dominasi pemutusan pembiayaan oleh pejabat tertentu pada bank yang bersangkutan. 3. Iktikad kurang baik pemilik maupun pengurus dan pegawai bank Seringkali terjadi pemilik atau pengurus dan pegawai bank memberikan pembiayaan kepada debitur yang sebenarnya tidak bankable. Kegitan usaha yang tidak bankable tersebut diantara lain kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya dan juga ketidakjelasan debitur yaitu pengguna dana yang sebenarnya berbeda dengan yang tercantum pada bukti-bukti yang ada. 4. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan pembiayaan 5. Lemahnya sistem informasi
b. Faktor ekstern Selain faktor intern, redapat juga faktor ekstern yaitu: 1. Kegagalan usaha debitur
46
2. Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingkat suku bunga
3. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat
4. Musibah yang terjadi pada usaha debitur atau kegiatan usahanya
2.7.2 Dampak Pembiayaan Bermasalah
Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar dapat mengakibatkan dampak
yang kurang menguntungkan baik bagi pembiayaan, dunia perbankan, maupun
terhadap kegiatan ekonomi dan moneter negara. Menurut Mahmoedin (2004 : bahwa dampak yang akan diakibatkan oleh pembiayaan bermasalah 111),
diantaranya: 1. Dampak terhadap kelancaran operasional bank pemberi pembiayaan Bank yang diundang masalah pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan mengalami kesulitan operasional. Pembiayaan dengan kualitas buruk memerlukan cadangan penghapusan yang semakin besar sehingga menyebabkan biaya yang harus ditanggung untuk mengadakan cadangan tersebut akan semakin besar, hal ini jelas akan mempengaruhi profitabilitas bank syariah. Profitabilitas yang semakin menurun akan mengurangi modal sendiri dan membuat CAR menjadi menurun. Sehingga bank memerlukan modal dana segar. Apabila bank syariah tidak dapat menambah modal sendiri maka nilai kesehatan operasional akan menurun, hal ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut. 2. Dampak terhadap dunia perbankan Pembiayaan bermasalah dalam jumlah besar akan menurunkan tingkat operasi bank tersebut. Apabila penurunan pembiayaan dan profitabilitas sudah sangat parah sehingga mempengaruhi likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas bank, maka kepercayaan para penitip dana terhadap bank akan menurun. 3. Sistem perbankan yang terganggu karena pembiayaan bermasalah akan menghilangkan kesempatan bank untuk membiayai kegiatan operasinya
47
dan perluasan debitur lain karean terhentinya perputaran dana yang akan
dipinjamkan. Hal ini akan memperkecil kesempatan pengusaha lain
untuk memnfaatkan peluang bisnis dan investasi yang ada.
Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah 2.7.3
Penangan pembiayaan bermasalah merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dalam peroses pmbiayaan. Agar pembiayaan di bank syariah berjalan baik, maka pejabat syariah perlu memahami sistem dan mekanisme pembiayaan yang baik dan benar. Disamping itu perlu terus mengembangkan mekanisme
pengawasan yang lebih komprehensif dengan pendekatan risiko (risk based
supervision) dalam pembiayaan. Menurut Muhammad (2005 : 168), ada dua hal penting yang perlu dilakukan dalam menghadapi pembiayaan bermasalah, yaitu: 1. Analisis dan penyelesaian pembiayaan bermasalah Risiko yang tejadi dalam peminjaman adalah peminjaman yang tertunda atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan, untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syariah harus mampu
menganalisis
penyebab
permasalahannya.
Analisis
dan
penyelesaian pembiayaan bermasalah pada bank syariah dapat dilakukan dengan langkah-langkah tersebut: a. Analisis
sebab
kemacetan.
Analisis
sebab-sebab
kemacetan
pembiayaan dapat dilakukan pada aspek internal dan eksternal berikut: a) Aspek internal
Peminjam kurang cakap dalam usaha yang digeluti.
Manajemen yang tidak baik atau kurang rapih.
Laporan keuangan tidak lengkap.
Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan perencanaan.
Perencanaan yang kurang matang.
Dana yang diberikan kurang memadai untuk menjalankan usaha tersebut.
48
b) Aspek eksternal
Aspek pasar kurang mendukung
Kemampuan daya beli masyarakat kurang
Kebijakan pemerintah pengaruh lain dari luar usaha.
Kenakalan peminjam.
b. Menggali potensi peminjam
Anggota yang mengalami kemacetan dalam memenuhi kewajiban harus dimotivasi untuk memulai dan membenahi usahanya kembali
dan mengantisipasi penyebab kemacetan usaha atau angsuran. Untuk itu perlu digali potensi yang ada pada peminjam agar dana yang telah digunakan lebih efektif digunakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: a) Adakah peminjam memiliki kecakapan lain? b) Adakah peminjam memiliki usaha lain? c) Adakah penghasilan lain peminjam? d) Melakukan perbaikan akad (remdila) e) Memberikan peminjaman ulang, mungkin dapat berbentuk pembiayaan al- Qarddul Hasan, murabahah,dan mudharabah f) Penundaaan pembayaran g) Rescheduling (memperkecil angsuran dengan memperpanjang akad dan margin baru) h) Memperkecil margin keuntungan bagi hasil 2. Penyitaan barang jaminan (collateral) pembiayaan Jaminan yang dijaminkan nasabah kepada bank syariah dapat dilakukan penalty atau penyitaan. Masalah penyitaan atau eksekusi jaminan di bank syariah sangat tergantung pada kebijakan manajemen. Ada yang melakuan eksekusi, namun ada pula yang tidak melakukan eksekusi jaminan nasabah yang mengalami kemacetan pembiayaan. Kebanyakan bank syariah lebih memberlakukan upaya rescheduling recorditioning, dan pembiayaan ulang dalam bentuk al-Qarddul Hasan dan jaminan harus tetap ada sebagai persyaratan jaminannya. 49
Kalau pun terpaksa harus dilakukan dengan penyitaan, maka penyitaan
dilakukan kepada nasabah yang nakal dan tidak mengembalikan
pembiayaan. Namun dalam pelaksanaannya tetap dilakukan dengan cara-cara sebagaimana yang diajarkan ajaran Islam, seperti: 1. Simpati: sopan, menghargai, dan fokus pada tujuan penyitaan
2. Empati:
menyelami keadaan nasabah, bicara seakan untuk
kepentingan nasabah, membangkitkan kesadaran nasabah untuk
mengembalikan utangnya 3. Menekan: tindakan ini dilakukan jika dua tindakan sebelumnya tidak
diperhatikan
Apabila cara ketiga tidak juga diacuhkan oleh nasabah, maka cara-cara yang ditempuh adalah dengan terpaksa untuk: 1. Menjual barang jaminan
Prosedur yang dijalankan dalam hal ini adalah jika sebelumnya telah diadakan perjanjian atau didalam akad secara tertulis disebutka untuk menjual barang jaminan. Jika nilai jaminan tidak sebanding dengan nilai yang dipinjamkan maka dari salah satu dari kedua belah pihak harus menutupinya. Prosedur penjualan barang jaminan adalah dijual kemudian dikonversikan lalu ditutupi. 2. Menyita barang yang sesuai dengan nilai pinjaman
Prosedur ini hanya dapat dilakukan jika sebelumnya telah dibuat perjanjian secara tertulis untuk menyita barang yang senilai dengan nilai pinjaman. 2.8
Tinjauan Umum Profitabilitas (ROA)
2.8.1 Pengertian Profitabilitas Menurut Bambang Riyanto (1995:44) “Profitabilitas adalah kemampuan menghasilkan laba selama periode tertentu dengan menggunakan aktiva atau modal, baik modal secara keseluruhan maupun modal sendiri”. Keuntungan sudah menjadi tujuan utama dari setiap perusahaan dari keuntungan tersebut modal akan
50
bertambah yang pada giliranya akan meningkatkan kemampuan bank dalam melaksanakan operasinya. Keuntungan yang diperoleh selain ditentukan oleh
kecakapan dan keterampilan pimpinan bank, juga tidak lepas dari kepercayaan para pemegang saham dan masyarakat yang menyimpan uangnya berupa giro,
tabungan dan deposito. Untuk memupuk kepercayaan masyarakat yang menyimpan dananya, bank dituntut untuk memelihara alat-alat likuid yang cukup besar tanpa menghilangkan kesempatan untuk memperoleh laba optimal.
Malayu Hasibuan (2007:100) mengemukakan bahwa: Profitabilitas Bank
adalah kemampuan suatu bank untuk memperoleh laba yang dinyatakan dalam
persentase. Profitabilitas pada dasarnya adalah laba yang dinyatakan dalam persentase profit. Sedangkan menurut Lukman Dendawijaya (2005:118) mengemukakan bahwa: Profitabilitas adalah ukuran mengenai kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan selama periode tertentu. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa profitabilitas merupakan hasil akhir dari berbagai kebijakan dan keputusan manajemen yang menunjukan efektivitas pengelolaan aktiva perusahaan dalam menghasilkan laba. Keuntungan yang rendah merupakan hambatan bagi pertumbuhan bank dan juga dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank dan sebaliknya. Dalam analisis ini dicari hubungan timbal balik dengan pos-pos yang pada laporan laba/rugi bank dengan pos pada neraca bank guna memperoleh berbagai indikasi yang bermanfaat dalam mengatur tingkat efisiensi dan profitabilitas bank yang bersangkutan. Analisis Rasio Profitabilitas suatu bank antara lain adalah Return on Asset, Return on Equity, Rasio Biaya Operasional dan Net Profit Margin. 2.8.2 Pengertian Return on Assets (ROA) Rasio
profitabilitas
menunjukkan
kemampuan
perusahaan
untuk
menghasilkan laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Semakin tinggi profitabilitas perusahaan semakin tinggi efisiensi perusahaan tersebut dalam memanfaatkan fasilitas perusahaan. Analisis profitabilitas perusahaan merupakan bagian utama dari laporan keuangan. Seluruh
51
laporan keuangan dapat digunakan untuk analisis profitabilitas dan yang paling penting adalah laporan laba rugi. Laporan rugi laba melaporkan hasil operasi
perusahaan selama satu periode. Profitabilitas untuk mengukur kesanggupan perusahaan untuk menghasilkan laba (Mardiyanto,2008:46). Profitabilitas dapat
diukur dengan menggunakan ROA (return on asset). Return on Assets (ROA) adalah salah satu metode penilaian yang digunakan untuk mengukur tingkat rentabilitas atau profitabilitas sebuah bank, yaitu tingkat keuntungan yang dicapai
oleh sebuah bank dengan seluruh dana yang ada di bank, bagaimana efisiensi bank untuk memperoleh laba dari setiap rupiah atas asset yang dimiliki. suatu
ROA digunakan dengan membandingkan laba setelah pajak terhadap total asset. Dalam hal ini Bank Indonesia biasanya tidak memberlakukan ketentuan yang ketat terhadapa rasio ini, sepanjang suatu bank tidak mengalami kerugian atau tidak adanya tanda-tanda atau kecenderungan untuk mengalami kerugian dimasa yang akan datang (Susilo, 2000:32) Return On Assets (ROA) adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan secara keseluruhan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut semakin baik pula posisi bank tersebut dan penggunaan asset. ROA merupakan perbandingan antara pendapatan bersih dengan rata-rata aktiva atau perbandingan dari laba setelah pajak dan zakat terhadap total asset.
2.9
=
ℎ
Hubungan antara NPF dengan Profitabilitas
100%
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (2001 : 178), “risiko kredit muncul jika bank bisa memperoleh kembali cicilan pokok dan bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukan”. Pada dasarnya suatu bisnis tidak dapat terlepas dari risiko, seperti halnya bank yang tidak dapat terlepas dari risiko kredit berupa tidak lancarnya pembayaran kembali atau Non Performing Financing (NPF). NPF adalah kredit yang tidak menepati jadwal angsuran sehingga terjadi tunggakan. NPF yang tinggi akan menimbulkan kesulitan 52
sekaligus menurunkan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan terutama tingkat profitabilitas. Peningkatan NPF mengakibatkan bank harus menyediakan
cadangan penghapusan piutang yang cukup besar sehingga kemampuan memberikan pembiayaan menjadi sangat terbatas.
Dalam menyalurkan pembiayaan, bank mempunyai harapan agar
pembiayaan tersebut mempunyai risiko minimal dalam arti dapat dikembalikan sepenuhnya tepat pada waktunya. Namun pada kenyataannya, bila bank gagal
dalam mengelola risiko tersebut dalam hubungannya dengan perkreditan bank, akan timbul kredit bermasalah. Oleh karena itu, keamanan pembiayaan harus
menjadi pertimbangan utama dalam memberikan pembiayaan. Bank syariah dalam kebijakan penyaluran pembiayaan harus benar-benar memperhatikan keamanan dan keselamatan pembiayaan itu, karena sesungguhnya penyaluran pembiayaan jauh lebih mudah daripada penarikan kembali pembiayaan tersebut. 2.10 Hubungan antara Inflasi dengan Profitabilitas Inflasi menjadi salah satu indikator makro ekonomi dalam perekonomian Indonesia. Inflasi sangat mempengaruhi aktivitas pelaku ekonomi baik itu di sektor riil maupun di sektor moneter. Transaksi berdasarkan prinsip syariah yang dilakukan Bank Syariah berhubungan langsung dengan sektor riil. Ketika inflasi berlangsung sektor riil biasanya dihadapi dengan dua kesulitan. Dari sisi produksi, biaya yang ditanggung perusahaan untuk berproduksi akan naik sehinggga harga jual outputnya akan ikut naik. Sedangkan dari sisi permintaan, inflasi menyebabkan pendapatan riil masyarakat berkurang, karena penurunan nilai uang, yang mengakibatkan orang enggan menabung. Yang mengakibatkan bank mengalami kekurangan dana dalam menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan yang merupakan penghasilan utama Bank Syariah. Sehingga akan mengurangi demand terhadap barang dan jasa Bank syariah. Sehingga pastinya akan berdampak negatif pada profitabilitas yang ingin dicapai Bank Syariah. Dengan kata lain jika inflasi naik maka tingakat profiabilitas yang didapat Bank Syariah turun.
53
2.11 Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan selalu berdasarkan atas ilmu pengetahuan yang
sudah ada, yang diantaranya adalah berdasarkan pendapat para peneliti yang dapat
menghasilkan pendapat yang kredibel dari penelitiannya. Penelitian terdahulu
yang dapat saya jadikan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Penelitian yang dilakukan oleh Claudia S.H (2010) dengan judul
Pembiayaan Murabahah Bank Syariah Mandiri Kepada Usaha Kecil. Dengan Variabel bebas, adalah Pembiayaan Murabahah dan variabel terikat adalah Usaha
Kecil. Hasil penelitiannya menghasilkan bahwa Pembiayaan Murabahah pada Bank syariah mandiri merpakan pembiayan yang paling sesuai bagi memnuhi segala keperluan Usaha Kecil dari segi permodalan. Analisis Pengaru Inflasi, BI Rate, dan Nilai Tukar Mata Uang terhadap Profitabilitas Bank Periode 2003-2007, merupakan penelitian yang dilakukan Febrina Dwijayanti dan Prima Naomi (2009). Dimana Variabel bebasnya adalah Modal Inti, Inflasi, BI Rate, dan Nilai Tukar Mata Uang sedangkan ROA sebagai variabel terikat. Alat analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda. Peneliti menyatakan bahwa Tingkat Inflasil berpengaruh negatif terhadap profit (ROA), BI Rate berpengaruh negative terhadap ROA. Sedangkan Nilai Tukar Mata Uang berpengruh negative dan terhadap ROA. Sedangkan Fitriani Prast Iyaningtyas (2010) atas dasar penelitiannya yang berjudul Faktor-Faktor yang mempengaruhi Profitabilitas Perbankan (studi pada Bank Umum Go Public Yang Listed du Bursa Efek Indonesia Tahun 2005-2008) Dengan Variabel bebas, adalah CAR, NPL, BOPO, LDR, NIM dan Pangsa Kredit sedangkan variabel terikat adalah Profit (ROA). Hasil penelitiannya menghasilkan bahwa CAR berpengaruh signifikan positif terhadap profitabilitas bank, NPL berpengaruh signifikan negatif terhadap profitabilitas bank, BOPO berpengaruh signifikan negatif terhadap profitabilitas, LDR berpengaruh positif terhadap profitabiitas, dan NIM berpangaruh positif terhadap profitabilitas, sedangkan
54
Pangsa Kredit berpengaruh signifikan positif terhadap profitabilitas. Alat analisis yang digunakan adalah regresi linear berganda.
Analisis Pengaruh Faktor Makro Ekonomi, Pangsa Pasar, dan Karakteristik
Bank terhadap Profitabilitas Bank Syariah 2005-2008 merupaka penelitian yang
dilakukan Adi Setiawan pada tahun 2009, dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Pada penelitiannya, Adi Setiawan dapat menarik kesimpulan bahwa Makro ekonomi, dengan indicator yang digunakan dalah inflasi dan GDP tidak berpengaruh terhadap ROA bank syariah di Indonesia. Sedangkan pangsa
pasar berpengaruh signifikan terhadap ROA. Dan Karakteristik bank yang dilihat
dari CAR, NPF, BOPO, dan ukuran bank. Dimana CAR berpengaruh positif secara signifikan terhadap ROA dan FDR berpengaruh positif secara signifikan terhadap ROA. NPF berpengaruh negative secara signifikan terhadap ROA. BOPO berpengaruh negative secara signifikan terhadap ROA. Size berpengaruh negative terhadap ROA. Sedangkan Secara simultan semua variabel bebas berpengaruh signifikan terhadap ROA. Analisis Pengaruh Kecukupan Modal, Eisiensi, Likuiditas, NPL, dan PPAP terhadap ROA Bank yang terdaftar di BEJ Pada Periode 2001 s/d 2004, merupaka penelitian yang dilakukan Yacub Azwir pada tahun 2009, dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Pada penelitiannya, Yacub Azwir dapat menarik kesimpulan indikator CAR, BOPO, LDR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA, sedangkan indikator yang lain yaitu NPF dan PPAP bepngaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ROA. Pengaruh Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) Kurs dan Inflasi, terhadapap Kinerja Return On Asset (ROA) Bank Muamalat Indonesia pada Januari 2001- Desember 2005 merupaka penelitian yang dilakukan Aisyah Defy R. simatupang pada tahun 2006, dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Pada penelitiannya, Aisyah Defy R. simatupang bahwa terdapat perbedaan yang pengaruh faktor eksternal pada Januari 2001 – Desember 2005, pada Januari 2001 – Juni 2003 indikator SWBI, Kurs, berpengaruh terhadap ROA
55
Bank Muamalat Indonesia, akan tetapi indikator Inflasi tidak berpengaruh terhadap ROA BMI, sedangkan Inflasi Pada Juni 2003 – Desember 2005 sangat
berpengaruh terhadap ROA BMI.
2.12 Kerangka Pemikiran
Bank syariah sebagimana bank konvensional berfungsi sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Suhardjono (2003: 3) mengemukakan bahwa “Penyaluran kredit atau pembiayaan merupakan bisnis utama bank, sehingga bagian terbesar dari asset bank berupa kredit atau
pembiayaan”. Peyaluran pembiayaan ini diharapkan mendapatkan kauntungan
sehingga dapat mengembangkan usaha. Dalam UU No. 10 Tahun 1998 di sebutkan bahwa : “Pembiayaan adalah peyediaan uang atau tagihan, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangaka waktu tertentu dengan imbalan/bagi hasil”. Peyaluran dana dalam bentuk pembiayaan biasanya mendominasi sebagaian besar pengalokasian dana bank. Salah satu pembiayaan yang turut serta menyumbang aktivitas perbankan syariah pada Bank Muamalat Indonesia adalah pembiayaan bagi sektor UMKM dengan menggunakan akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah. Adapun dalam murabahah, pembeli berhak mengajukan karakteristik barang yang di inginkan untuk membiayai suatu usaha tertentu dan bank harus memberitahukan berapa harga dan keuntungan dari barang yang di jual belikan. Perjalanan aktivitas bisnis perbankan syariah pada dasarnya tidak terlepas dari hambatan dan risiko kegagalan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Begitu juga dengan praktik pembiayaan UMKM dalam perbankan syariah. Risiko pembiayaan UMKM antara lain kurang lancarnya pengembalian pembiayaan atau non performing financing (NPF) yang disebabkan tersendat-sendat pembayaran kredit dan tidak mencukupi kewajiban minimum yang diterapkan sampai dengan
56
kredit yang sulit untuk memperoleh pelunasan atau bahkan tidak dapat ditagih. Risiko tersebut juga timbul karena ketidakmampuan nasabah dalam memenuhi
kewajibannya saat jatuh tempo., disamping itu hambatan yang terjadi diakibatkan oleh faktor ekonomi makro yang salah satunya berupa inflasi yang terjadi pada
suatu negara dimana bisa terjadinya kemungkinan kegagalan, sehingga dapat berpengaruh terhadap tingkat profitabilitas bank.
57
Dari kerangka pemikiran di atas, dapat dibuat sebuah bagan seperti di
bawah ini :
Gambar 2.4
Kerangka Pemikiran
BANK UMUM SYARIAH
Dana Pihak Ketiga dan Ekuitas
Menghimpun Dana
Menyalurkan Dana
Pembiayaan
Pembiayaan UKM
NPF
Profitabilitas
UMKM
(ROA)
Inflasi
58
2.13
Hipotesis Penelitian
Menurut Sugiyono (2010; 84), hipotesis merupakan “ jawaban sementara
terhadap rumusan masalah penelitian .“
Adapun hipotesis yang dapat saya ajukan dalam penelitian ini berdasarkan uraian
diatas adalah: H1 :
Tingkat Non Performing Financing UMKM berpengaruh negatif
terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia.
H2 :
Tingkat inflasi berpengaruh negatif terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia.
H3:
Tingkat Non Performing Financing UMKM dan inflasi secara bersamasama berpengaruh terhadap profitabilitas (ROA) Bank Muamalat Indonesia.
59