BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Tongkol 1. Pengertian Ikan Tongkol Ikan tongkol merupakan salah satu jenis ikan laut, oleh Dirjen Perikanan, Departemen Pertanian (1979) dimasukkan dalam daftar ikan ekonomis yang penting. Berdasarkan klasifikasi tempat hidupnya, ikan tongkol termasuk jenis perikanan pelagis, yaitu ikan yang hidup di perairan lepas dasar atau lapisan antara dasar dan permukaan (Dirjen Perikanan, 1979). Struktur daging ikan tongkol terdiri atas daging merah dan putih, perbedaan warna daging disebabkan karena adanya pigmen daging yang disebut mioglobin. Daging warna merah hanya terdapat pada bagian samping dari tubuh ikan dibawah kulit, sedangkan daging warna putih hampir disemua bagian tubuh ikan (Rahayu et.al, 1992). Menurut ukuran tubuh ikan, ikan tongkol termasuk ikan besar karena panjang tubuhnya lebih dari 20 cm. Dimana untuk ukuran kecil, jika panjang tubuhnya kurang dari 10 cm dan ukuran menengah jika panjang tubuhnya antara 10-20 cm. Sedang menurut bentuk tubuhnya, ikan tongkol termasuk dalam tipe peluru torpedo (Hadiwiyoto, 1993). Klasifikasi ikan tongkol yaitu termasuk kelas Piscces, Sub kelas Teleoster, ordo Permocorphi, Sub ordo Scombridea, Famili Scombridae, Genus Auxis, Spesies Auxis thazard
(Dirjen Perikanan, 1979). Jenis ikan tongkol, dapat
dibedakan menjadi dua macam jenis ikan yaitu: ikan Tuna yang mempunyai sisik kecil diseluruh tubuhnya, ikan Bonito yang sisik-sisik terbatas hanya pada bagian tubuh saja. Selanjutnya ikan Tuna sehari-harinya disebut tongkol (Djuahanda, 1994).
2. Ciri-ciri Ikan Tongkol Ikan tongkol mempunyai ciri-ciri badan memanjang kaku, bulat seperti cerutu, memiliki dua sirip punggung. Sirip punggung pertama berjari-jari keras 10, sedang yang kedua berjari-jari keras 11 diikuti 6-9 jari-jari sirip tambahan.
Terdapat satu lidah atau cuping diantara sirip perutnya. Satu lunas kuat diapit dua lunas kecil pada daerah sirip ekornya . Termasuk ikan buas, predator hidup di daerah pantai, lepas pantai, dan menggerombol dalam jumlah besar. Makanannya adalah ikan kecil-kecil dan cumi-cumi, panjang tubuh dapat mencapai 50 cm, tetapi umumnya 15-40 cm. Pada bagian atas berwarna hitam kebiruan dan putih perak pada bagian bawah. Sirip perut dan dada berwarna gelap keunguan. Daerah penyebaran terdapat diseluruh daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia Pasifik (Dirjen Perikanan, 1979). Untuk mengetahui komposisi ikan Tuna (termasuk ikan Tongkol) dapat dilihat pada tabel 1 berikut: TABEL 1 KOMPOSISI KIMIA IKAN TUNA (TERMASUK IKAN TONGKOL) DALAM 100 GRAM BAHAN Zat Gizi Satuan Protein gram Energi Kalori Air gr % Karbohidrat gram Serat Kasar gram Lemak gram Kolesterol mg Kalium mg Besi mg Mangan mg Potasium mg Sodium mg Zink mg Vitamin A Re Tiamin mg Vitamin E Te Riboflavin mg Niasin mg Sumber : Whitney et. al, (1998)
Kadar 26 180 68 0 0 6 43 9 1,15 57 285 44 0,68 740 0,27 1,13 0,28 9,28
B. Pengolahan dan Pengawetan Ikan dengan Penggaraman Memang sulit untuk mempertahankan kesegaran ikan, karena ikan merupakan komoditi yang sangat mudah rusak. Ikan mulai mengalami kerusakan
sejak pertama kali ditangkap. Proses perubahan pada tubuh ikan terjadi karena adanya aktivitas enzim, mikroorganisme atau oksidasi. Setelah ikan mati, berbagai proses perubahan fisik maupun kimiawi berlangsung lebih cepat. Semua perubahan ini akhirnya mengarah kepembusukan. Biasanya, pada tubuh ikan yang telah mengalami proses pembusukan terjadi perubahan, seperti timbulnya bau busuk, daging menjadi kaku, sorot mata pudar, serta adanya lendir pada insang maupun tubuh bagian luar (Moeljanto, 1992). Proses pengolahan dan pengawetan ikan merupakan salah satu bagian penting dari mata rantai industri perikanan. Pengolahan dan pengawetan bertujuan mempertahankan mutu dan kesegaran ikan selama mungkin dengan cara menghambat atau menghentikan sama sekali penyebab kemunduran mutu (pembusukan) maupun penyebab kerusakan ikan (misalnya kerusakan enzim, mikroorganisme, atau oksidasi) (Moeljanto, 1992). Salah satu upaya untuk mencegah kerusakan bahan pangan dilakukan proses pengawetan misalkan pengaraman, pengeringan, pengasapan, dan pembekuan. Pada umumnya proses penggaraman menggunakan garam, tetapi dalam hal lain juga menggunakan tawas (Al2(SO4)3 14 H2O) karena pada prinsipnya sifat yang dimiliki oleh garam juga dimiliki oleh tawas. Ikan hasil pengolahan dan pengawetan umumnya sangat disukai oleh masyarakat karena produk akhirnya mempunyai ciri-ciri khusus yakni perubahan sifat-sifat daging seperti bau (odor), rasa (flavour), bentuk (appearance) dan tekstur.
C. Peranan Tawas dalam Proses Pengawetan Ikan Tawas (Al2(SO4)3 14 H2O) merupakan endapan putih yang tidak larut dan berbentuk gelatin yang mempunyai sifat yang dapat menarik partikel-partikel lain sehingga berat, ukuran, dan bentuknya menjadi semakin besar dan mudah mengendap. Tawas (Al2(SO4)3 14 H2O) adalah senyawa kimia berupa kristal bening. Tawas (Al2(SO4)3 14 H2O) dapat digunakan sebagai pengering sekaligus membersihkan air sumur, juga sebagai bahan kosmetik, zat warna tertentu, bubuk kue, dan zat penyamak kulit. Penggunaan Tawas (Al2(SO4)3 14 H2O)
yang
berlebihan akan menimbulkan gangguan kesehatan karena kebanyakan Aluminium
(Al) dalam tubuh. Penggunaan dosis Tawas (Al2(SO4)3 14 H2O) yang berlebihan akan mengakibatkan penurunan pH yang cukup besar dan air yang diolah menjadi asam (Winarno, 1997). Menurut Departeman Kesehatan RI, zat tambahan (bahan tambahan) adalah bahan yang ditambah pada pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu, termasuk pewarna, penyedap rasa dan aroma, pemantap, antioksidan, pengawet, pengemulsi, anti gumpal, pemucat, dan pengental. Tawas (Al2(SO4)3 14 H2O) merupakan termasuk salah satu didalamnya, yaitu sebagai pengawet. Bahan-bahan yang sengaja ditambahkan kedalam bahan pangan adalah untuk memperbaiki warna, tekstur, bentuk, cita rasa atau memperpanjang masa simpan. Tawas yang mempunyai rumus Al2(SO4)3 14 H2O dalam bentuk larutan yang bersifat asam dan berfungsi sebagai astringent (sifat yang dapat menurunkan pH makanan, mengerutkan jaringan sehingga menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk) (Arnold, 1974). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayah (2006) menunjukkan bahwa pada pembaluran dan perendaman ikan tongkol dengan variasi konsentrasi larutan tawas dapat menurunkan kadar air. Pertumbuhan bakteri gram positif terhambat pada konsentrasi 1 % sedangkan bakteri gram negatif terhambat pada konsentrasi 2 %. Tawas dapat direkomendasikan sebagai bahan pengawet yang aman dengan konsentrasi maksimal 2 % (Helmiyati, 2006). Penelitian tentang tawas juga telah dilakukan oleh Rifqiningrum (2006) yang menunjukkan bahwa konsentrasi tawas berpengaruh terhadap lisis sel bakteri untuk merusak dinding sel bakteri. Dilihat dari peranannya dalam pengurangan air, maka bahan pangan yang ditambah tawas dengan konsentrasi tertentu akan menurunkan kadar air. Hal ini karena ada tekanan osmotik yang menarik air keluar dari bahan pangan tersebut. Berbagai penelitian yang telah dilakukan diantaranya adalah ikan tongkol yang direndam dalam larutan tawas dapat menurunkan total volatil nitrogen (TVN) (Robianti, 2003), lama perendaman dan konsentrasi tawas berpengaruh terhadap kadar potein dan tingkat kekerasan ikan tongkol asap yang diketahui dari kadar protein ada yang naik dan ada yang turun (Hartoto, 2003). Lama perendaman ikan tongkol yang efektif digunakan adalah ½ jam, 1 jam, dan 1 ½ jam. Semakin lama perendaman dan semakin tinggi konsentrasi tawas, maka dihasilkan tekstur ikan
mulai remuk dan warnanya pucat (Robianti, 2003). Pada penelitian Hartoto(2003) didapat bahwa kadar protein ikan tongkol asap tertinggi pada konsentrasi tawas 3% dengan lama perendaman 1 jam. Pada penelitian ini lama perendaman yang digunakan adalah 1 ½ jam, diharapkan dengan waktu 1 ½ jam tawas dapat meresap kedalam daging dengan sempurna sehingga dapat diketahui sejauh mana protein daging ikan dapat terdenaturasi menjadi asam-asam amino.
D. Peranan Garam Dalam Proses Pengolahan Ikan Proses penggaraman ikan terdiri dari dua tahap, yaitu tahap penggaraman dan tahap pengeringan. Tujuan penggaraman secara umum adalah untuk mengawetkan. Selain itu fungsi garam dapat memperlambat atau membunuh bakteri pembusuk pada ikan. Hasil dari penggaraman adalah ikan asin yang telah mengalami tahap penggaraman sekaligus pengeringan (Rahayu et al, 1992). Penggaraman dapat memperpanjang masa simpan produk, karena garam mempunyai sifat bakteriosidal (daya membunuh) dan bakteriostatik (daya menghambat) (Zaitsev et al, 1969). Pada penggaraman, pengawetannya dilakukan dengan mengurangi kadar air dalam badan ikan sampai titik tertentu, dimana bakteri tidak dapat hidup dan berkembang lagi ( Moeljanto, 1982). Aksi osmotik larutan garam terhadap ikan disebabkan karena kulit ikan dan dinding sel jaringan pada ikan. Ikan yang masih hidup bertindak sebagai suatu membran semipermiabel itu menurun, sehingga bila ikan digarami akan mengikat cairan dalam tubuh ikan dan dapat mereduksi kadar air ikan tersebut sehingga garam berperan untuk menghambat kegiatan bakteri dan enzimatis. Pada proses perendaman, garam akan meresap kedalam daging sehingga terjadi tekanan osmosis yang seimbang antara cairan yang terdapat di dalam dan di luar tubuh ikan. Larutan yang berada dalam tubuh ikan akan menyebabkan air yang berada dalam tubuh ikan terus keluar sehingga makin lama sisa-sisa cairan yang berada di dalam tubuh ikan menjadi semakin kental dan dan kadar proteinnya menggumpal serta sel-sel daging ikan menjadi mengkerut (Irawan, 1995).
Sifat-sifat garam dapur (NaCl) adalah dapat menyebabkan berkurangnya jumlah air yang terdapat pada daging ikan, sehingga kadar air yang terdapat pada daging ikan berkurang dan hal ini menyebabkan aktivitas mikroorganisme terhambat, memiliki daya toksisitas yang tinggi untuk menarik cairan pada daging ikan dan berpengaruh terhadap mikroba serta dapat memblokir sistem respirasi, menyebabkan protein daging ikan dan protein mikroba terdenaturasi dan menyebabkan sel-sel mikroba menjadi mati karena perubahan tekanan difusi (Irawan, 1995) Mekanisme garam sebagai pengawet pada bahan pangan adalah sebagai berikut: garam di ionisasikan, sebagai ion menarik molekul-molekul air disekitarnya. Proses ini disebut hidrasi ion (Desrosier, 2008). Protein yang terdapat di dalam ikan akan larut dengan adanya penambahan garam (salting in), akan tetapi pada kondisi tertentu kelarutan garam akan turun seiring dengan peningkatan konsentrasi garam. Dengan penurunan tingkat kelarutan protein diikuti dengan pengikatan molekulmolekul air oleh garam tersebut, yang selanjutnya juga terjadi pemisahan protein (salting out) (Huda, 2007). Garam dapat mengadakan interaksi dengan zat-zat organik seperti protein yang ada dalam bahan, menyebabkan molekul tersebut dapat terdenaturasi yang selanjutnya mudah mengalami pemecahan menjadi molekul- molekul kecil. Garam diketahui mempercepat oksidasi lipida dan berkompetetif dengan protein dalam mengikat air sehingga terjadi peristiwa dehidrasi pada protein. Pada proses penggaraman terjadi pemecahan molekul-molekul protein menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil, mungkin peptida-peptida ataupun asam-asam amino. Pemecahan ikatan peptida pada molekul protein akan menyebabkan pembentukan gugus-gugus amino dan karboksil baru. Pemecahan protein menjadi fraksi-fraksi kecil pada umumnya akan diikuti dengan meningkatnya kelarutan protein (Hadiwiyoto, 1999). Konsentrasi garam tampak berpengaruh pada pemecahan protein. Protein pada bahan pangan pada umumnya sebagian merupakan penyusun dinding sel dan pengisi sel. Kerusakan protein menyebabkan kerusakan sel dan jaringan serta menyebabkan keluarnya cairan sel yang membawa padatan yang terlarut. Pada kadar garam rendah, protein dapat mengadakan interaksi hidrofobik sehingga strukturnya menjadi kompak, tetapi kadar garam tinggi interksi tersebut tidak lagi berperan
sehingga protein menjadi rapuh. Tentang mekanismenya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Yang pertama adalah ikatan-ikatan non kovalen yang ada pada protein menjadi lemah pada lingkungan garam tinggi sehingga pada akhirnya dapat terjadi pemecahan molekul yang semula kompak dan tertutup dengan bantuan air yang ada meskipun sedikit. Kemungkkinan yang kedua ialah pemecahan protein tersebut diikuti oleh terjadinya renaturasi dengan membentuk ikatan-ikatan non kovalen baru antar fraksi-fraksi protein itu sendiri. Akibatnya struktur protein sedikit tertutup lagi karena fraksi-fraksi baru yang terbentuk ini masih lebih kecil daripada molekul protein awal, kelarutannya tampak tidak berubah (Hadiwiyoto, 1999).
E. Protein Protein terdapat disemua jaringan sel hidup, baik pada tanaman maupun hewan. Senyawa tersebut sangat penting peranannya bagi kehidupan karena bagian inti sel vital dan protoplasma setiap sel adalah protein. Protein adalah senyawa organic yang besar, yang mengandung atom karbon, hydrogen, oksigen, dan nitrogen. Beberapa diantaranya mengandung sulfur, fosfor, besi atau mineral lain ( Winarno, 1993). Struktur protein terdiri dari: struktur primer, sekunder, tersier, dan kuartener. a. Struktur Primer Susunan linear asam amino dalam protein merupakan struktur primer. Susunan tersebut merupakan suatu rangkaian unik dari asam amino yang menentukan sifat dasar dari berbagai protein, dan secara umum menentukan bentuk struktur sekunder dan tersier. Bila protein mengandung banyak asam amino dengan gugus hidrofobik, daya kelarutannya dalam air kurang baik dibandingkan dengan protein yang banyak mengandung asama amino dengan gugus hidrofil (Winarno, 2004). b. Struktur Sekunder Struktur protein biasanya merupakan polipeptida yang berlipat-lipat, merupakan bentuk tiga dimensi dengan cabang-cabang rantai polipeptidanya tersusun saling berdekatan. Struktur demikian disebut struktur sekunder. Struktur sekunder terdiri dari satu rantai polipeptida (Winarno, 2004).
c. Struktur Tersier Bentuk penyusunan bagian terbesar rantai cabang disebut struktur tersier. Artinya adalah susunan dari struktur sekunder yang satu dengan struktur sekunder bentuk lain. Biasanya ikatan-ikatan ini dihubungkan denganiaktan hidrogen, ikatan garam, interaksi hidrofobik, dan ikatan disulfida. Ikatan disulfida merupakan iakatan yang terkuat dalam mempertahankan struktur tersier protein (Winarno, 2004). d. Struktur Kuartener Struktur primer, sekunder, dan tersier umumnya hanya melibatkan satu rantai polipeptida, tetapi bila struktur ini melibatkan beberapa polipeptida dalam membentuk suatu protein maka disebut struktur kuartener (Winarno, 2004). Protein mudah sekali mengalami perubahan bentuk fisis ataupun aktivitas biologisnya. Denaturasi protein dapat terjadi apabila ada perubahan pH, panas, radiasi sinar X, pelarut organic (alcohol, acetone, eter), asam atau basa, ion logam berat. Asam amino mempunyai sifat-sifat yang dapat larut dalam air, dapat membentuk kristal, tidak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut dalam alcohol atau eter, dapat membentuk garam kompleks dengan logam berat (Winarno,1993). Dengan pemanasan, protein dapat mengalami denaturasi, artinya strukturnya berubah dari bentuk rantai ganda yang kuat menjadi kendur dan terbuka, sehingga memudahkan bagi enzim pencernaan untuk menghidrolisis dan memecahkannya menjadi asam-asam amino (Winarno,1993). Bila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekul protein berubah, maka dikatakan protein ini terdenaturasi. Jika ikatan – ikatan yang membentuk konfigurasi molekul tersebut rusak, molekul akan mengembang. Kadang-kadang perubahan ini memang dikehendaki dalam pengolahan makanan, tetapi sering pula dianggap merugikan sehingga perlu dicegah. Denaturasi dapat pula diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, ikatan garam, dan terbukanya lipatan molekul (Winarno, 2004). Ada dua macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai dengan pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung pada
keadaan molekul. Yang pertama terjadi pada rantai polipeptida, sedangkan yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder. Denaturasi dapat diartikan suatu perubahan terhadap struktur sekunder, tersier, dan kuartener terhadap molekul protein. Pemekaran atau pengembangan molekul protein yang terdenaturasi akan membuka gugus reaktif yang ada pada rantai polipeptida. Selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau yang berdekatan. Apabila ikatan – ikatan antara gugus-gugus reaktif protein tersebut menahan seluruh cairan akan terbentuklah gel. Sedangkan bila cairan terpisah dari protein yang terkoagulasi , protein akan mengendap. Senyawa seperti garam dapat memecah ikatan hidrogen yang akhirnya menyebabkan denaturasi protein (Winarno, 2004). Hidrolis protein didahului dengan pecahnya molekul-molekul menjadi zat-zat sederhana (proteosa). Hidrolisis lebih lanjut menghasilkan zat-zat yang lebih sederhana (pepton). Hidrolisis yang sempurna dari protein sederhana memberikan campuran-campuran dari asam amino. Protein terbentuk dari asamasam amino yang bersatu dengan melalui terlepasnya air untuk membentuk ikatan peptida; -CO-NH- antara gugus karboksil dari asam amino yang satu dan gugus amino yang lainnya (Sastrohamidjojo, 2005).
F. Asam Amino Protein disusun dari 23 atau lebih unit yang sederhana yang disebut asam amino. Kata asam menandakan bahwa senyawa tersebut mengandung gugus asam atau karboksil (-COOH), sedang kata amino menandakan bahwa senyawa tersebut mengandung gugus amino (-NH2) yang bersifat basa. Adanya gugus asam dan basa dalam molekul asam amino menyebabkan senyawa tersebut bersifat amfoter, yaitu mampu bersifat dan bereaksi sebagai basa dan asam. Sifat amfoter alami tersebut penting artinya dari segi biologi, karena dengan demikian protein memiliki mekanisme
untuk
(Winarno,1993).
mencegah
perubahan
pH
yang
tiba-tiba
dalam
tubuh
G. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Konsentarsi Tawas 0%, 3%, 6%, 9%, dan 12%
Ikan Tongkol
• • • • •
Variabel Tergantung • Protein • Protein terlarut • Asam Amino
Variabel Terkendali Jenis ikan Kesegaran ikan Berat ikan Jumlah larutan perendam Lama perendaman
H. Hipotesa Ho : Tidak ada pengaruh konsentrasi larutan tawas terhadap kadar protein, protein terlarut dan kandungan asam amino pada ikan tongkol. Ha : Ada pengaruh konsentrasi larutan tawas terhadap kadar protein, protein terlarut dan kandungan asam amino pada ikan tongkol.