5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemesinan Laju Tinggi, Keras, dan Kering Pemesinan laju tinggi, keras dan kering merupakan inovasi baru dalam industri manufaktur. Hal ini disebabkan dalam prosesnya menggunakan tiga kondisi yang berbeda yaitu proses pemesinan yang menggunakan laju pemotongan yang tinggi dengan kecepatan potong sebesar 5 – 10 kali lebih besar daripada proses konvensional, menggunakan material yang memiliki kekerasan diatas 45 HRC dan tidak menggunakan cairan pendingin (coolant) pada saat pemotongan berlangsung. Inovasi pemesinan seperti ini merupakan inovasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas dengan biaya produksi yang murah dibandingkan dengan menggunakan pahat intan. Selain itu, inovasi ini juga diharapkan mampu mengurangi pencemaran lingkungan karena sama sekali tidak menggunakan cairan pendingin pada prosesnya. Dilatarbelakangi untuk meningkatkan produktivitas dengan waktu yang cepat proses pemesinan kecepatan tinggi menjadi inovasi pilihan untuk memproduksi suatu bentuk material yang diinginkan. Dengan kecepatan potong yang tinggi, maka volume pelepasan material dari material induk akan meningkat sehingga akan diperoleh penghematan waktu pemesinan yang cukup berarti. Disamping itu, pemesinan kecepatan tinggi mampu menghasilkan produk yang halus serta permukaannya lebih presisi. Perbedaan pendapat mengenai defenisi tentang proses pemesinan kecepatan tinggi yang dikemukakan oleh para ahli tidak menjadi halangan untuk tetap dikembangkannya proses pemesinan tersebut. Sebagian besar para ahli menyatakan bahwa kecepatan potong merupakan variable penentu terhadap defenisi dari proses pemesinan kecepatan tinggi. Salomon (1931) menyatakan bahwa proses pemesinan kecepatan tinggi adalah proses pemesinan dengan kecepatan potong sebesar 5 – 10 kali lebih besar daripada proses konvensional (Schulz, 1999). Namun ada juga ahli pemesinan lainnya yang menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
6
proses pemesinan kecepatan tinggi ditentukan berdasarkan jenis bahan yang digunakan.
Gambar 2.1 Kecepatan Potong pada Proses Laju Tinggi (Sumber : Schmitz, T and Davies, M. 2003)
Bergerak dari pernyataan diatas, jika bahan benda kerja yang digunakan untuk proses bubut dengan kekerasan antara 45 - 70 HRC, maka hal tersebut dapat disebut sebagai proses bubut keras (hard turning). Material yang keras memiliki sifat abrasive, dan nilai kekerasan atau rasio modulus young yang tinggi. Akibat dari semua itu, maka proses bubut keras membutuhkan alat potong yang jauh lebih keras dan tahan terhadap abrasive dibanding poses bubut biasa. Proses bubut keras juga dapat menjadi solusi untuk mengurangi waktu produksi melalui pengurangan jumlah proses/tahapan, setup peralatan dan waktu untuk inspeksi karena proses bubut keras dapat dilakukan pada mesin yang sama dengan proses bubut konvensional, peralatan yang sama dapat digunakan dan tanpa membutuhkan tambahan sebuah mesin gerinda (Yuliarman, 2008). Pembubutan keras telah dimanfaatkan secara praktis oleh industri manufaktur di benua Amerika dan Eropa untuk memproduksi suatu komponen dari logam dalam rangka meningkatkan kualitas dan daya saing produk secara menyeluruh (Kiswanto dkk, 2005).
Universitas Sumatera Utara
7
Keuntungan yang dapat diraih dengan menerapkan teknologi proses bubut keras antara lain pembubutan material lunak dan keras dilakukan pada mesin yang sama, pembuangan material 4 - 6 kali lebih besar dari proses gerinda dan penanganan limbah pemesinan lebih mudah. Proses bubut keras dapat dilakukan terhadap berbagai macam jenis logam seperti baja paduan (steel alloy), baja untuk bantalan (bearing steel), hot and cold work tool steel, high speed steel, die steel dan baja tuang yang dikeraskan (Baggio, 1996) Pemesinan laju tinggi dan pembubutan keras biasanya dilakukan dengan media pendingin berupa cairan yang berfungsi untuk mengurangi aus pahat.Selain itu, cairan pemotongan juga bermanfaat untuk membersihkan serpihan dari daerah pemotongan. Namun pada awal tahun 1996 cairan pemotongan dari proses pemesinan menjadi masalah serius disebabkan regulasi Undang – undang Lingkungan hidup. Hal ini mengawali inovasi terbaru dalam proses pemesinan yaitu pemesinan kering (dry machining). Pemesinan kering atau dalam dunia manufaktur dikenal dengan pemesinan hijau (green machining) merupakan suatu cara proses pemesinan atau pemotongan logam tanpa menggunakan cairan pendingin melainkan menggunakan partikel udara sebagai media pendingin selama proses pemesinan berlangsung untuk menghasilkan suatu produk yang diinginkan dengan maksud untuk mengurangi biaya produksi, meningkatkan produktivitas serta ramah lingkungan. Proses pemesinan kering pada industri manufaktur sekarang ini masih sedikit, hal ini disebabkan teknologi yang ada sekarang ini hanya mampu digunakan untuk proses pemakanan yang kecil sehingga hanya dipakai untuk proses penghalusan (finishing). Selain itu, kurang tegaknya undang-undang lingkungan hidup dan masih minimnya pahat yang direkomendasikan untuk pemesinan kering juga membuat industri manufaktur masih tetap bertahan pada sistem yang lama yaitu proses pemesinan basah (Molinary and Nouari 2003, Grzesik and Nieslony 2003). Ada tiga faktor yang menyebabkan pemesinan kering menjadi menarik dibicarakan yaitu: 1. Pemesinan kering hanya dipilih untuk mengatasi masalah pemutusan atau penguraian rantai ikatan kimia yang panjang dengan waktu paruh yang
Universitas Sumatera Utara
8
sangat lama (non biodegradable) yang potensial untuk merusak lingkungan. 2. Teknik pemesinan kering sangat potensial untuk mengurangi biaya produksi. Hasil riset menunjukkan bahwa pada industri otomotif Jerman, biaya cairan pemotongan (7 – 20) % dari biaya pahat total. Jumlah ini adalah dua sampai empat kali lebih besar dari biaya pahat potong. 3. Satu diantara cara pemesinan yang tidak menimbulkan limbah dan pengabutan udara serta tidak menimbulkan sisa pada serpihan adalah pemesinan kering (Sreejith and Ngoi 2000, Sokovic and Mijanovic 2001). Pemesinan kering bertujuan untuk mencapai peningkatan kemampuan mesin dengan mengurangi koefisien gesekan dan panas selama proses pemotongan. Sekarang ini material berlapis telah ditemukan untuk menjamin suksesnya pemesinan kering. Dalam studi literatur dinyatakan bahwa pengaruh cairan pemotongan yang digunakan terhadap dampak lingkungan pertama sekali dianalisa dan dipublikasikan (Klocke and Eisenblatter 1997). Mereka melaporkan bahwa pemesinan kering dapat dilakukan dengan hasil yang diharapkan pada besi tuang, karbon dan baja tuang. Graham (2000) juga melaporkan bahwa perubahan dari pemesinan yang menggunakan cairan pemotongan ke pemesinan kering dapat dilakukan untuk beberapa logam seperti baja, besi tuang dan aluminium. Namun harus dipahami dalam hal ini bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan keuntungan yang ada pada pemesinan basah tidak terjadi pada proses pemesinan kering. Pemesinan basah merupakan pemesinan yang pada prosesnya dilakukan dengan cairan pendingin. Fungsi utama dari cairan pendingin adalah untuk menurunkan suhu pemotongan dengan mengurangi gaya gesek dan sebagai media pembawa panas dari daerah pemotongan juga berfungsi sebagai pembawa geram. Dengan turunnya suhu pemotongan tersebut maka umur pahat akan meningkat. Hal tersebut akan berbeda dengan pemesinan kering dimana pada prosesnya pemesinan kering dapat menyebabkan gaya gesek yang besar pada proses pemesinan sehingga suhu pemotongan menjadi tinggi dan pada akhirnya akan menurunkan umur pahat. Dari pemaparan di atas dapat dinyatakan hubungan geometri geram yang terbentuk dari pemesinan basah dan kering, bahwa pada
Universitas Sumatera Utara
9
pemesinan
basah
suhu
pemotongan
cenderung
lebih
rendah
sehingga
dimungkinkan geometri geram yang terbentuk memiliki tebal geram yang lebih tipis dengan jarak antar puncak gergaji yang renggang dibanding pada pemesinan kering. Sebagai
informasi
berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Varadarajanet. al (2001). Perbandingan bentuk geram yang dihasilkan dari pemesinan kering dan basah dapat dilihat pada tabel 2.1 Tabel 2.1 Bentuk geram yang dihasilkan dari proses pemesinan kering dan basah Kecepatan Pemotongan (m/min) 40
53
80
91
120
Pemesinan Kering
Pemesinan Basah
(Sumber :Varadarajan et. al, 2001)
Streejith and Ngoi (2000) di dalam kertas kerjanya juga dinyatakan bahwa pemesinan kering untuk masa yang akan datang sangat diharapkan. Selain itu, Graham (2000), Streejith and Ngoi (2000) melaporkan bahwa pemesinan yang sukses untuk masa yang akan datang adalah pemesinan kering dengan menggunakan pahat potong karbida berlapis, CBN, Sialon dan PCD. Pemesinan kering meniadakan kebutuhan untuk pembuangan dan pembelian cairan pendingin, menghapus ditutupnya produksi pembersih pemesinan dan meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja. Pemesinan kering juga akan memberikan lebih bersih lingkungan benda kerja seperti adanya minyak yang melekat pada benda kerja. Selain itu, geram akan menjadi tak terkontaminasi.
Universitas Sumatera Utara
10
2.2 Proses Pembubutan Proses pemotongan dengan logam merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengubah bentuk suatu produk dari logam (komponen mesin) dengan cara memotong. Prinsip pemotongan logam dapat didefenisikan sebagai sebuah aksi dari alat potong yang dikontakkan dengan sebuah benda kerja untuk membuang permukaan benda kerja tersebut dalam bentuk geram (Yuliarman, 2008). Proses bubut merupakan satu diantara 7 (tujuh) jenis proses pemesinan yang digunakan pada pemotongan logam. Dalam prosesnya digunakan mesin bubut yang memiliki chuck atau pencekam dan berputar pada sebuah sumbu, alat potong bergerak arah aksial terhadap benda kerja sehingga terjadi pemotongan dan menghasilkan permukaan yang konsentris dengan sumbu putar benda kerja. Proses pembubutan biasanya digunakan untuk memproses benda kerja dengan hasil atau bentuk penampang lingkaran atau benda kerja berbentuk silinder (Kurniawan, 2008). Gambar 2.2 adalah skematis dari sebuah proses bubut dengan N adalah putaran poros utama, f adalah pemakanan, dan a adalah kedalaman potong.
Gambar 2.2 Proses Bubut (Sumber : Gutowski, 2009) . Bagian-bagian serta penamaan (nomenclature) dari alat potong yang digunakan pada proses bubut dijelaskan pada gambar 2.3. Radius pahat potong menghubungkan sisi dengan ujung pootong (cutting edge) dan berpengaruh terhadap umur pahat, gaya radial, dan permukaan akhir
Universitas Sumatera Utara
11
(a)
(b)
Gambar 2.3 Penamaan (nomenclature) pahat kanan
Ada tiga parameter utama yang mempengaruhi gaya potong, peningkatan panas, keausan, dan integritas permukaan benda yang dihasilkan. Ketiga parameter itu adalah kecepatan potong (v), pemakanan (f), dan kedalaman potong (a).Kecepatan potong adalah kecepatan keliling benda kerja dengan satuan (m/min).Pemakanan adalah perpindahan atau jarak tempuh pahat tiap satu putaran benda kerja (mm/rev). Kedalaman potong merupakan tebal material terbuang pada arah radial (mm). Menurut Rochim (1993), kecepatan pembuangan geram dapat dipilih agar waktu pemotongan sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini dimaksudkan agar produktivitas pemesinan dapat optimal. Untuk itu perlu dipahami lima elemen dasar proses pemesinan, yaitu: 1) kecepatan potong (cutting speed) : Vc (m/min) 2) kecepatan makan (feeding speed) : vf (mm/min) 3) kedalaman potong (depth of cut)
: a (mm)
4) waktu pemotongan (cutting time) : tc (min), dan 5) kecepatan penghasilan geram
: z (cm3/min)
(rate of metal removal) Kelima elemen proses pemesinan di atas dihitung berdasarkan dimensi benda kerja dan/atau pahat serta besaran dari mesin yang digunakan. Dikarenakan besaran mesin pemotongan logam yang dapat diatur ada bermacam-macam dan
Universitas Sumatera Utara
12
bergantung pada jenis mesin pemotong, maka rumus yang digunakan untuk menghitung setiap elemen proses pemesinan dapat berlainan. Untuk
proses
bubut
elemen
dasarnya
dapat
diketahui
dengan
memperhatikan gambar di bawah ini
Gambar 2.4 Proses Bubut (Sumber :Rochim, 1993)
Geometri benda kerja ; do = diameter mula (mm) dm = diameter akhir (mm) lt
= panjang pemesinan (mm)
Pahat : Kr = sudut potong utama o = sudut geram Mesin bubut : a = kedalaman potong a=
(mm)
f = pemakanan (mm/putaran) n = putaran poros utama (rpm)
Universitas Sumatera Utara
13
Berdasarkan besaran-besaran di atas, maka kondisi pemotongan dapat ditentukan sebagai berikut: laju pemotongan (velocity of cut) (2.1) dengan,
Vc = laju pemotongan (m/min) n
= putaran spindle (benda kerja) (rpm)
d
= diameter rata-rata (mm)
yaitu
(2.2)
dimana:
do = diameter mula benda kerja (mm) dm = diameter akhir benda kerja (mm)
laju pemakanan (feeding velocity) (2.3) Dimana : Vf = laju pemakanan (mm/min) f
= pemakanan (mm/rev)
n
= putaran spindle / benda kerja (rpm)
waktu pemotongan (cutting time) (2.4) Dimana : tc
= waktu pemotongan (min)
lt
= panjang pemesinan (mm)
Vf = laju pemakanan (mm/min) laju pembuangan geram (metal removal rate) Z = A.v dengan,
(2.5)
Z = laju pembuangan geram (cm3/min) v = laju pemotongan (m/min) A = Penampang geram sebelum terpotong (mm2) A = f.a
(2.6)
maka Z = f.a.v
(2.7)
Universitas Sumatera Utara
14
Sudut potong utama (principal cutting edge angle/Kr) adalah sudut antara mata potong utama dengan laju pemakanan (Vf), besarnya sudut tersebut ditentukan oleh geometri pahat dan cara pemasangan pada mesin bubut. Untuk nilai pemakanan (f) dan kedalaman potong (a) yang tetap maka sudut ini akan mempengaruhi lebar pemotongan (b) dan tebal geram sebelum terpotong (h) sebagai berikut : lebar pemotongan b=
(mm)
(2.8)
tebal geram sebelum terpotong (h) h=
(mm)
(2.9)
Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong adalah : A = f.a =b.h
(mm)
(2.10)
2.3 AISI 4140 Material logam umumnya digolongkan menjadi dua yaitu Ferrous Metal dan Non-Ferrous Metal. Ferrous metal atau bahan logam ferro merupakan suatu logam yang memiliki dasar paduan besi (ferrous), sedangkan unsur lain hanyalah sebagai unsur tambahan untuk mendapatkan sifat bahan sesuai dengan aplikasi dalam penggunaannya. Bahan logam non ferro adalah bahan yang memiliki unsur logam tetapi tidak ada unsur besi (ferrous). Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel. Penamaan AISI 4140 berdasarkan pada standard yang ditetapkan oleh American Iron Steel Institute (AISI). Angka pertama yaitu 4 menunjukkan jenis dari baja tersebut yaitu baja chrom, angka kedua menujukkan modifikasi jenis baja paduan untuk baja paduan yang kompleks, untuk jenis AISI 4140 angka 1 menandakan bahwa jenis tersebut merupakan baja chrom – molybdenum, sedangkan dua angka terakhir menunjukkan kadar karbon perseratus persen yaitu 0,40 % C. AISI 4140 memiliki kemampuan mesin, stabilitas dimensi saat mengalami perlakuan panas (heat treatment), dengan kekerasan permukaan yang tinggi. Pada proses perlakuan panas suhu adalah variabel utama yang sangat
Universitas Sumatera Utara
15
berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanik bahan, dimana masing-masing bahan memiliki level suhu dan menggunakan media pendingin spesifik saat dilakukan proses perlakuan panas. Kekerasan pada AISI 4140 dapat ditingkatkan melalui proses quenching (dipanaskan sampai pada suhu austenit kemudian didinginkan secara cepat akan terbentuk struktur martensit yang memiliki kekerasanyang lebih tinggi dari struktur perlit maupun ferit) dengan metode air tersirkulasi (Haryadi, 2006). Baja AISI 4140 merupakan material yang banyak dipakai sebagai bahan dasar dari crankshaft, shaft, gear, gandar, dan berbagai part mesin dimana bagian – bagian tersebut membutuhkan sifat tahan aus, kekerasan yang tinggi dan tangguh, disamping itu pada industri perminyakan digunakan untuk pump liner (Parker, 1967). Selain itu, AISI 4140 juga digunakan sebagai bahan landing gear pesawat terbang. Landing gear pada pesawat terbang adalah komponen peralatan pada pesawat terbang yang terbuat dari baja perkakas. Kekerasan komponen ini biasanya berkisar antara 54 s/d 62 HRC.
2.4 Pahat CBN Dalam industri manufaktur, ada tujuh bahan pahat yang dapat digunakan untuk proses pemotongan logam diantaranya: karbon tinggi (High Carbon Steel, Carbon Tool Steels, CTS), HSS (High Speed Steels, tool Steels), Paduan Cor Nonfero (Cast Nonferous Alloys, Cast Carbides), Karbida (Cermented Carbides, Harmetals), Keramik (Ceramic), CBN (Cubic Boron Nitride), Intan (Sintered Diamonds and Natural Diamonds). Diantara ketujuh bahan pahat potong tersebut, CBN merupakan satu diantara bahan pahat yang dapat digunakan untuk proses pemesinan dengan tiga kondisi yang berbeda yaitu pemesinan laju tinggi, keras dan kering. CBN termasuk jenis keramik dan mulai diperkenalkan oleh GE di USA pada tahun 1957. CBN dibuat dengan penekanan panas (HIP, 60 kbar,1500oC) sehingga serbuk graphit putih nitride boron dengan struktur heksagonal berubah menjadi struktur kubik. Hot hardness CBN ini sangat tinggi dibandingkan dengan jenis pahat yang lain. CBN dapat digunakan untuk pemesinan berbagai jenis baja dalam keadaan dikeraskan, besi cor, HSS maupun karbida semen.Afinitas terhadap baja
Universitas Sumatera Utara
16
sangat kecil dan tahan terhadap perubahan reaksi kimiawi sampai dengan suhu pemotongan 1300 oC (Rochim, 1993). Cubic Boron Nitride adalah material pahat untuk pembubutan keras. Mulai diperkenalkan pada tahun 1970 CBN dalam bentuk padatan. Pahat ini dibuat dengan lapisan 0.5 – 1 mm policristal cubic boron nitride menjadi kobalt melalui substrasi karbida pada suhu dan tekanan yang tinggi. Pahat CBN merupakan pahat yang tahan terhadap kekerasan dan ketangguhan yang tinggi pada pemesinan kecepatan tinggi. CBN menunjukkan performa yang sangat baik dalam proses gerinda untuk material dengan sifat kekerasan tinggi dan kuat. Perbedaan kekerasan, ketangguhan, komposisi kimia dan stabilitas panas dan ketahanan aus berperan penting untuk perkembangan pahat potong CBN termasuk untuk laju pembuangan geram dan juga memberikan pemesinan yang presisi untuk menghasilkan kekasaran permukaan yang sangat baik. Dalam pemesinan untuk baja keras pahat potong CBN merupakan pilihan yang tepat karena pahat ini memiliki sifat tahan untuk suhu pemotongan yang tinggi, keras, daya larut yang rendah dalam pembuatan, dan ketangguhan yang baik (Kalpakjian, 2010). Pahat ini memberikan kemungkinan proses pemesinan fleksibel yang sangat baik, mengurangi waktu pemesinan, hemat energi, dan memungkinkan untuk didaur ulang. Pada umumnya, ada dua kategori dari pahat CBN. 1). memiliki sekitar 90% butir CBN dengan bahan pengikat logam (seperti kobalt, yang digunakan untuk memberikan peningkatan ketangguhan agar CBN menjadi keras dan getas), biasanya disebut pahat CBN tingkat tinggi. 2). memiliki konsentrasi CBN yang rendah sekitar 50% sampai 70%, dengan bahan pengikat keramik (seperti : TiN atau TiC), biasanya disebut sebagai pahat CBN tingkat rendah. Ada beberapa studi yang mempelajari karakteristik aus pahat untuk pahat CBN tingkat tinggi dan CBN tingkat rendah.Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa CBN tingkat rendah memiliki umur pahat yang lebih lama dan memberikan kekasaran yang lebih baik daripada CBN tingkat tinggi dalam penyelesaian pembubutan keras walaupun pada akhirnya memiliki kekerasan dan ketangguhan patah yang sangat tinggi (Chou, 1999). Pahat CBN digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
17
pemesinan yang materialnya terbuat dari ferrous paduan dengan kecepatan potong yang tinggi (Ibrahim A. Al-Zkeri, M.S, 2007). Kekhusunan Pahat CBN ialah memiliki manfaat dan efektifitas untuk digunakan di pemesinan dengan bermacam-macam material berlapiskan baja karbon tinggi dan baja paduan, logam non-ferrous dan logam paduan, logam eksotic seperti nikel yang dikeraskan, inconel, nimonic lainnya dan material nonlogam lainnya yang begitu sulit untuk dimesin dengan pahat konvensional.Pahat CBN dapat digunakan pada suhu sampai1400 oC. Adapun range kecepatan yang dapat diporasikan untuk CBN jika pemesinan menggunakan baja cor abu-abu adalah 300 – 400 m/min. Berikut ini merupakan range kecepatan untuk material lainnya: • besi cor yang dikeraskan (> 400 BHN) : 80 – 300 m/min • Super paduan (> 35 Rc) : 80 – 140 m/min • Baja yang dikeraskan (> 45 Rc) : 100 – 300 m/min Dalam kasus baja paduan, beberapa peneliti melaporkan bahwa karbida berlapis keramik, CBN dan PCD sangat sangat potensial digunakan (Che Haron et al 2001, Grzesik and Nieslony 2003). Selain itu, CBN dan PCD telah banyak digunakan untuk pemesinan kering kecepatan tinggi 1000 m/menit.
2.5 Geram Geram merupakan bagian dari material yang terbuang yang dihasilkan dari proses pemesinan. Selama proses pembubutan berlangsung bahan dibuang akibat perputaran benda kerja sebagai suatu geram tunggal, tergantung pada parameter kerja mesin.
2.5.1 Proses Pembentukan Geram Geram yang dihasilkan berupa suatu tali berkelanjutan atau berupa potongan-potongan, dalam banyak kasus formasi geram yang terjadi adalah seperti pada gambar 2.4. Dari gambar 2.4 menunjukkan bahwa pemotongan adalah proses diskontinu dan gaya antara geram dan alat potong tidak konstan (Kalpakjian, et.al, 2002)
Universitas Sumatera Utara
18
Formasi geram yang dihasilkan juga dapat dilakukan dengan pendekatan model pemesinan Orthogonal sebagaimana yang dikemukakan oleh Merchant, model ini mengasumsikan formasi geram dengan dua dimensi.
Gambar 2.5 Formasi geram pada proses bubut menurut analogi kartu (Sumber : Rochim, 1993)
Dari gambar di atas terlihat bahwa terbentuknya geram dapat dianalogikan sebagai tumpukan kartu dengan posisi sedikit miring kemudian didorong dengan papan (penggaris) yang membuat sudut terhadap garis vertical (sesuai dengan sudut
geram)
maka
kartu
bergeser
keatas
relatif
terhadap
kartu
di
belakangnya.Pergeseran tersebut berlangsung secara berurutan dan kartu terdorong melewati bidang atas papan. Analogi kartu tersebut menerangkan keadaan sesungguhnya dari kristal logam (struktur butir metalografis) yang terdeformasi sehingga merupakan lapisan tipis yang bergeser pada bidang geser.
2.5.2 Morfologi Geram Geram yang dihasilkan dari proses pemesinan untuk logam dan paduan logam pada umumnya dapat diklasifikan menjadi tiga kategori berdasarkan perbedaan geometri bentuk geram. Beberapa morfologi geram tersebut diantaranya: 1. Geram Kontinu (continuous / Flow chips) Geram kontinu dihasilkan pada pemesinan untuk bahan yang liat (ductile) dan geram ini dikelompokkan dengan jenis penampang lintang yang seragam (uniform cross-section).
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.6 Geram kontinu (continuous / Flow chips) (Sumber : Sutter et. al, 1997)
2. Geram Bersegmen atau Seperti Mata Gergaji (Segmented or Saw-Tooth chips) Geram seperti mata gergaji biasanya dinamakan geram bersegmen adalah geram semikontinu dan memiliki kawasan regangan geser yang kecil (untuk geram kontinu) dan regangan geser yang tinggi (untuk geram tidak kontinu).
Gambar 2.7 GeramBersegmen atau Seperti Mata Gergaji (Segmented or Saw-Tooth chisp) (Sumber : Sutter et. al, 1997)
3. Geram Tidak Kontinu (Discontinuous chips) Geram tidak kontinu biasanya terbentuk pada pemesinan untuk bahan yang getas (brittle) pada kecepatan pemotongan yang rendah, pemakanan dan kedalaman pemotongan yang tinggi dan gesekan antar pahat dan geram yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
20
Gambar 2.8 Geram Tidak Kontinu (Discontinuous chips) (Sumber : Matthew et. al, 2001)
2.5.3 Lingkaran Gaya Pembentukan Geram (Lingkaran Merchant) Suatu analisis mekanisme pembentukan geram yang dikemukakan oleh Merchant mendasarkan teorinya atas model pemotongan sistem tegak (Orthogonal Sistem). Sistem pemotongan tegak merupakan penyederhanaan dari sistem pemotongan miring (Oblique System)
dimana
gaya diuraikan menjadi
komponennya pada suatu bidang. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis model tersebut adalah: a) Mata potong pahat sangat tajam sehingga tidak menggosok atau menggaruk benda kerja b) Deformasi terjadi hanya dua dimensi, c) Distribusi tegangan yang merata pada bidang geser, dan d) Gaya aksi dan reaksi pahat terhadap bidang geram adalah sama besar dan segaris (tidak menimbulkan momen kopel) Karena berasal dari satu gaya yang sama mereka dapat dilukiskan pada suatu lingkaran dengan diameter yang sama dengan gaya total (F), lihat gambar 2.9 Lingkaran tersebut digambarkan persis diujung pahat sedemikian rupa sehingga semua komponen menempati lokasi seperti yang dimaksud. Gambar ini merupakan sistem gaya pada pemotongan Orthogonal dan dalam prakteknya dapat didekati dengan menggunakan pahat dengan sudut kr = 90o dan sudut s = 0o dengan kecepatan potong jauh lebih tinggi daripada kecepatan makan.
Universitas Sumatera Utara
21
Gambar 2.9 Lingkaran Gaya Pemotongan (Lingkaran Merchant) (Sumber : Rochim 1993)
Berdasarkan analisis geometri dari lingkaran gaya (Merchant) dapat diturunkan rumus dasar gaya potong (Fv) : (
)
(2.11)
dan (
)
(2.12)
Dari kedua rumus di atas, maka : ( (
)
(2.13)
)
Gaya geser Fs dapat digantikan dengan penampang bidang geser dan tegangan geser yang terjadi padanya yaitu:
(2.14) = Tegangan geser pada bidang geser (N/mm2)
dengan :
= Penampang bidang geser (mm2), = A/sin A
= penampang geram sebelum terpotong (mm2), = b.h
Universitas Sumatera Utara
22
Dengan demikian rumus gaya potong adalah, ( (
)
(2.15)
)
Rumus teoritik di atas diturunkan dalam analisa proses pemotongan Orthogonal yang berarti Kr = 90o dan s = 0o. Pada kondisi di atas, hanya faktor sudut potong utama Kr dan kondisi bahan yang diperhatikan sedangkan faktor – faktor koreksi untuk kondisi pemotongan, seperti kecepatan potong, kecepatan makan dan lain – lain belum dipertimbangkan. Dari pernyataan diatas, dapat digunakan rumus empiris yang lebih kompleks, yaitu:
(2.16) dimana: Ks = gaya potong spesifik (N/mm2) A = penampang geram sebelum terpotong (mm2) = h.b = f.a Gaya potong spesifik K s akan dipengaruhi oleh pahat (jenis dan geometri), benda kerja (jenis dan kondisi pengerjaan), dan kondisi pemotongan serta jenis permesinan yang dapat berciri spesifik.
(2.17) Ks1.1 = gaya potong spesifik referensi (N/mm2) Z
= pangkat tebal geram = 0.2
Ck
= faktor sudut potong utama (Kr)
C
= faktor koreksi sudut geram (o)
CVB = faktor koreksi keausan (VB) CV
= faktor koreksi kecepatan potong (Vc) Nilai Ks1.1 dapat diperoleh dari persamaan gaya potong spesifik referensi
dengan kekuatan tarik.
Universitas Sumatera Utara
23
(2.18) Dimana: u = kekuatan tarik (N/mm2) Untuk menentukan besar gaya gesek dan gaya normal pada bidang geram (Fγdan Fγn) dapat diturunkan dari gaya potong dan gaya makan (F v dan Ff), yaitu : (2.19) dan (2.20)
Maka kombinasi dari dua formula di atas diperoleh formula koefisien gaya gesek adalah: (2.21)
Dari formula diatas dapat dinyatakan bahwa koefisien gesek dipengaruhi oleh sudut geram. Tetapi rumus tersebut tidak menyatakan bahwa dengan mengubah sudut geram gaya potong dan gaya makan tidak berubah. Dalam kenyataan, gaya potong dan gaya makan berubah dengan berubahnya sudut geram dan hal ini disebabkan oleh perubahan sudut geser (Ф). Dari persamaan (2.15), dikarenakan gaya potong (Fv) merupakan fungsi dari sudut geser (Ф) maka sudut geser maksimum dapat dicari dengan caradeferensiasi dan hasilnya disamakan dengan nol, dengan menyederhanakan persamaan tersebut diperoleh
(2.22)
Rasio Pemampatan Tebal Geram yang merupakan perbandingan antara tebal geram dengan tebal geram sebelum terpotong. Rasio ini dapat dinyatakan : (
)
(2.23)
Universitas Sumatera Utara
24
Dari rumus diatas maka sudut geser ( ) berdasarkan pengukuran
dapat
diturunkan sebagai berikut:
(2.24)
Adapun hubungan antara sudut geram sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram h untuk sudut o = 20o, 0o, dan -20o.
Gambar 2.10 Sudut geser sebagai fungsi dari rasio pemampatan tebal geram h (Sumber : Rochim, 1993)
Jika sudut geram telah ditetapkan, maka sudut geser dapat dihitung dengan mengukur rasio pemampatan tebal geram. Akan tetapi tebal geram tak dapat diukur secara langsung tanpa mengakibatkan kesalahan pengukuran sebab, a. Permukaan geram relatif kasar, dan b. Geram tidak lurus karena dalam kenyataan bidang geser tidak lurus melainkan melengkung yang diakibatkan oleh distribusi tegangan geser yang tidak merata. Rasio pemampatan tebal geram merupakan karakteristik dari proses pemesinan berarti dipengaruhi oleh material benda kerja, jenis pahat, sudut pahat, kecepatan potong,
kecepatan makan dan pemakaian cairan pendingin.
Dikarenakan adanya pemampatan tebal geram, maka kecepatan aliran geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Gambar 2.11 menunjukkan kecepatan aliran geram (vg) dan kecepatan potong (Vc).
Universitas Sumatera Utara
25
Gambar 2.11 Arah kecepatan geser (vs), kecepatan aliran geram (vg) dan kecepatan potong (Vc). (Sumber : Rochim, 1993)
Dari Gambar 2.11 diatas, arah kecepatan geser (vs) ditentukan olehkecepatan aliran geram (vg) dan kecepatan potong (Vc). Berdasarkan aturan/kaidahtangan kanan, dari Gambar 2.11 arah pergerakan mata pahat (vf) searah padasumbu x, dan kecepatan potong (Vc) yang terbentuk terletak pada sumbu z.Kecepatan geser (vs) akan lebih tinggi daripada kecepatan potong (Vc) untuk sudutgeram γo negatif (Rochim, 1993). Sehingga berdasarkan polygon kecepatan tersebut maka dapat dirumuskan sebagaiberikut :
(
)
(
(2.25)
)
dengan : vg= kecepatan aliran geram v = kecepatan potong karena, (
)
(2.26)
Maka:
(2.27)
Karena λh> 1 maka kecepatan geram selalu lebih rendah daripada kecepatan potong. Selanjutnya kecepatan geser dapat diketahui dari poligon yaitu ;
Universitas Sumatera Utara
26
(2.28)
atau (
(2.29)
)
Persamaan diatas menunjukkan bahwa kecepatan geser vs akan lebih tinggi daripada kecepatan potong Vc untuk sudut geram
negatif atau nol.
2.6 Suhu Pemotongan Selama pemotongan logam, suhu panas dibangkitkan pada bagian sisi pahat potong, dan suhu ini timbul akibat pengaruh dari laju aus pahat potong, dan gesekan antara geram dan pahat potong. Menurut
Boothroyd,
energi
yang
dikonsumsi
selama
pemesinan
berlangsung adalah:
(2.30)
dengan: Pm = energi yang dikonsumsi/total laju panas yang dibangkitkan pada pemotongan logam (watt) Fv = gaya pemotongan (newton) Vc = kecepatan potong (m/s)
Ketika geram berubah menjadi elastis, energi yang dibutuhkan untuk operasi disimpan dalam material dalam energi regangan, dan tidak ada panas yang terjadi. Akan tetapi, jika material berubah menjadi plastis, energi yang digunakan diubah menjadi panas. Dalam pemotongan logam, material mengalami regangan sangat tinggi, dan deformasi elastis yang sangat kecil dari total deformasi, untuk itu dapat diasumsikan bahwa seluruh energi diubah menjadi panas.
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.12 Panas yang Dibangkitkan Pada Pemotongan Orthogonal (Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)
Perubahan energi menjadi panas terjadi di dua zona utama deformasi plastis, yaitu zona regangan atau zona deformasi utama dan zona deformasi kedua. Jika dalam suatu keadaan dimana pahat potong tidak terlalu tajam, sumber panas ketiga akan dihasilkan oleh gesekan antara pahat dan permukaan benda kerja lainnya. Namun, jika pahat aus, sumber panas yang dihasilkan akan menjadi kecil dan dapat diabaikan dalam analisis seperti ini. Maka:
(2.31)
Dengan: Pm= total laju panas yang dibangkitkan pada pemotongan logam (watt) Ps = laju panas yang dibangkitkan di zona deformasi utama (laju panas akibat gaya geser) (watt) Pf = laju panas uang dibangkitkan di zona defromasi kedua (laju panas akibat gaya gesek) (watt) Laju panas akibat gaya gesek dapat diperoleh dari
(2.32)
Universitas Sumatera Utara
28
Dengan : Pf = laju panas akibat gaya gesek (watt) Ff = Gaya gesek yang terjadi pada pemotongan logam (N) v =laju pemotongan logam (m/s) rc= rasio pemotongan rc= Menurut Boothryod, Thermal Number (R) yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut: (2.33)
= massa jenis material benda kerja (kg/m3)
dengan:
k = konduktivitas panas (W/mK) c = kapasitas panas spesifik (J/kg.oK) Vc = kecepatan potong (m/s) h = tebal geram sebelum terpotong (mm)
2.6.1Suhu Pada Zona Deformasi Pertama Menurut Boothryod, kenaikan suhu rata-rata ( ) material yang melalui zona deformasi utama dapat dirumuskan : (
dengan :
)
(2.34)
= satu bagian dari panas yang tergenerasi rata-rata pada daerah deformasi utama Ps = laju panas yang dibangkitkan di zona deformasi utama (J/s) = massa jenis material benda kerja (kg/m3) c
= kapasitas panas spesifik (J/kg.oK)
Vc = kecepatan potong (m/s) hc = tebal geram setelah terpotong (mm) h
= tebal geram sebelum terpotong (mm)
Untuk menentukan nilai ( ) terlebih dahulu ditentukan nilai R tan
.
Kemudian nilai ( ) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
29
Gambar 2.13
vs R tan
(Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)
2.6.2 Suhu pada zona Deformasi kedua Suhu maksimum pada geram terjadi pada saat geram melewati zona deformasi kedua. Suhu ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(2.35)
dengan :
= kenaikan suhu material yang melalui zona deformasi kedua = kenaikan suhu material yang melalui zona deformasi pertama = suhu lingkungan (nilainya berkisar 27 oC)
Dalam sebuah analisis suhu geram oleh Rapier, diasumsikan bahwa sumber panas dihasilkan dari gesekan antara geram dan pahat dengan sumber panas yang kekuatannya seragam. Nilai
diperoleh dari hubungan antara
dengan wo, dengan nilai y 20,
40, 90, 160 dan
Universitas Sumatera Utara
30
Gambar 2.14 Grafik hubungan antara
dengan wo
(Sumber : Boothryod: The Fundamental of Metal Cutting)
Kenaikan suhu rata-rata geram dihasilkan dari deformasi kedua ( ), berdasarkan hal ini dapat diperoleh persamaan:
(2.36)
dimana: = suhu rata-rata geram yang dihasilkan dari deformasi kedua Pf
= laju panas akibat gaya gesek (watt) = massa jenis material benda kerja (kg/m3)
c
= kapasitas panas spesifik (J/kg.oK)
v
= kecepatan potong (m/min)
h
= tebal geram sebelum terpotong (mm)
b
= lebar pemotongan (mm)
Universitas Sumatera Utara