BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini akan memuat dan menjelaskan berbagai pengertian dan pemahaman teoritis yang berkaitan dengan topik kajian sehingga akan memberikan kemudahan tentang gambaran dan pemikiran untuk memahami maksud kajian. Tinjauan teoritis tersebut akan membahas tentang strategi sebagai sarana pencapaian tujuan organisasi dan penguatan kapasitas organisasi serta pekerjaan sosial. Teori-teori ini pada bagian akhir akan dihubungkan dengan realitas yang ada melalui kerangka pemikiran kajian.
2.1. Strategi Penguatan Kapasitas Perumusan strategi organisasi pendamping yang bergerak dibidang pemberdayaan masyarakat harus diarahkan untuk mampu mengatasi masalah kemiskinan pada warga binaannya, seperti yang dikatakan Jayaputra (2005) bahwa ciri-ciri kemiskinan adalah sebagai berikut: 1) ketidakberdayaan atau ketidakmampuan (powerlessness) dalam memenuhi kebutuhan dasar hidup, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan; 2) ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan usaha produktif; 3) ketidakmampuan dalam menjangkau akses sumber daya sosial dan ekonomi; 4) ketidakmampuan dalam menentukan
nasib
sendiri
karena
mendapatkan
perlakuan
diskriminatif,
kecurigaan, sikap apatis, mempunyai perasaan ketakutan dan fatalistik; dan 5) ketidakmampuan dalam membebaskan diri dari mental dan budaya miskin karena merasa martabat dan harga dirinya yang rendah. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa
kondisi
ketidakberdayaan
mendorong
roda
proses
pemiskinan pada warga miskin terus berputar sehingga tercipta kondisi yang mapan seperti: 1) secara ekonomi, warga miskin akan makin termarjinalkan; 2) secara politik, warga miskin akan makin kehilangan akses atau wahana institusional untuk mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingannya pada
lembaga-lembaga politik; dan 3) secara sosial, modal sosial seperti jaringan sosial kolektif atau organisasi-organisasi sosial akan tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Sedangkan rumusan strategi organisasi pendamping yang bergerak dibidang pemberdayaan masyarakat menurut Sumaryadi (2005), harus mampu meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat marginal dan pribadi
manusia
melalui
usaha-usaha
untuk
mendorong,
memotivasi,
9
meningkatkan kesadaran akan potensinya dan menciptakan iklim untuk berkembang agar: 1) membantu pengembangan manusia yang otentik dan integral dari masyarakat lemah, rentan, miskin, marginal dan kaum kecil, seperti petani kecil, buruh tani, masyarakat miskin kota, masyarakat adat terpencil, kaum muda pencari kerja, kaum cacat dan kelompok wanita didiskriminatifkan; 2) memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat tersebut secara sosio-ekonomi agar dapat lebih mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup melalui partisipasi aktifnya. Menurut Rustiani (1996), kapasitas LSM pendamping harus mampu membantu kapasitas individu dan kelompok pelaku ekonomi dengan skala usaha kecil sedang menghadapi berbagai hambatan dalam kondisi dunia yang makin kompetitif karena mereka yang akan didampingi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) modal didapatkan secara swadaya dan akumulasinya kecil, terbatas dan pengelolaan keuangan kurang baik; 2) manajemen usaha dan ketenagakerjaan yang diwarnai dengan hubungan kekerabatan; 3) perencanaan usaha yang berjangka waktu pendek; 4) teknologi yang digunakan masih sederhana (tradisional);
5) jangkauan pasar yang terbatas; 6) individu atau
anggota kelompok terjebak dalam lingkaran kemiskinan (pendidikan, kesehatan dan ekonomi); dan 7) jaringan usaha yang dibangun relatif terbatas. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam segala keterbatasan, mereka telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian Indonesia, seperti menyediakan lapangan pekerjaan; menyediakan barang dan jasa yang murah bagi kelas berpendapatan
rendah,
menopang
perekonomian
nasional,
menghasil
wirausahawan baru dan lainnya. Dalam rangka mendorong peningkatan usaha kecil menjadi usaha menengah sangat dipengaruhi oleh strategi yang digunakan organisasi Pemerintah, swasta dan lebih khusus lagi adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang berkonsentrasi dibidang pemberdayaan masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Cahniago (2002) bahwa pada masa Orde Baru, dengan segala keterbatasan dan cengkeraman penguasa pada Lembaga Swadaya Masyaratakat (LSM) atau organisasi non pemerintah (Ornop) telah sedikit memperkuat kapasitas politik dan ekonomi masyarakat lokal yang berada dalam cengkeraman kekuasaan. Namun LSM dan tokoh aktifis masyarakat sipil dalam membela kepentingan ekonomi dan politik kaum marginal kurang optimal hingga saat ini karena kesalahan bukan terjadi pada perumusan tujuan tetapi lebih pada strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Rustiani
10
(1996) mengatakan bahwa LSM di Indonesia telah berhasil mengembangkan partisipasi masyarakat, membangun akses, mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dan mengakat isue-isue strategi tentang HAM, lingkungan hidup, konsumen, pemenuhan kebutuhan dasar hidup, perburuhan, gender dan ekonomi kerakyatan dengan program-program unggulan antara lain penguatan organisasi, kesadaran, membangun jejaring, advokasi kebijakan lainnya. Namun usaha yang dilakukan dalam skala kecil dan efektifitasnya belum optimal karena strategi untuk mencapai sasaran kurang tepat. Oleh sebab itu, dalam hal lambannya kebangkitan ekonomi kerakyatan, ia mengatakan bahwa tidak anak buah yang salah, yang salah adalah komandan; tidak ada rakyat yang bodoh, yang bodoh adalah pimpinan negara; tidak ada pengusaha kecil yang kurang kreatif, yang kurang kreatif adalah organisasi LSM, swasta dan pemerintahan sebagai pendamping serta tidak ada pengusaha kecil yang tak berdaya, yang tak berdaya adalah organisasi LSM, swasta dan pemerintahan sebagai pendamping. Menurut Rangkuti (2008) strategi adalah perencanaan induk yang komprehensif, yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam jangka waktu panjang, penentuan program tindak lanjut dan kebijakan pemilihan prioritas alokasi sumber daya untuk mencapai keunggulan bersaing. Yang dimaksud dengan tujuan adalah hasil akhir yang ingin dicapai yakni berupa penyataan tentang kualitas dan kuantitas. Sedangkan yang dimaksud dengan misi adalah pernyataan yang menyebutkan alasan mengapa harus ada dan apa yang akan dikerjakan.
Dalam
menyusun
strategi
dibutuhkan
perencanaan
yang
komprehensif yang lebih dikenal dengan sebutan perencanaan strategis (strategy planning). Yang dimaksud dengan perencanaan strategis adalah rencana yang difokuskan pada keputusan strategis dari alokasi semua sumberdaya kaitannya dengan pencapaian tujuan jangka panjang
dalam
dan biasanya memiliki
periode perencanaan lebih dari satu tahun. Perencanaan strategis tersebut kemudian diimplementasikan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Yang dimaksud dengan implementasi strategi adalah proses menjalankan strategi dan kebijakan (policy) menjadi tindakan yang nyata atau kegiatan yang dapat dilaksanakan secara realistis. Yang dimaksud dengan kebijakan (policy) adalah pedoman atau petunjuk secara garis besar untuk pengambilan keputusan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada tiga kegiatan penting yang tercakup di
11
dalam implementasi strategi, yaitu program, prosedur dan anggaran. Program adalah suatu kumpulan tindakan-tindakan kongkret dan spesifik yang akan dilaksanakan dalam implementasi strategi. Yang dimaksud dengan prosedur adalah suatu sistem dari tahap-tahap kegiatan atau teknik yang menjelaskan secara detail tentang cara menjalankan suatu pekerjaan atau tugas
dalam
implementasi strategi. Sedangkan yang dimaksud dengan anggaran adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan dalam implementasi strategi. Pemilihan strategi didahului dengan analis kondisi organisasi. Perencanaan strategis dapat digunakan sebagai sarana untuk menganalisis kondisi organisasi karena menurut Gaspersz (2004) dalam perencanaan strategis terlebih dahulu akan melihat kondisi organisasi yang selalu memiliki pertanyaan dan jawaban sebagai berikut: a. Dimana kita berada sekarang ? (where are we now ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara: 1) mengevaluasi atau menganalisis kondisi internal dan eksternal serta kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi organisasi; dan 2) mengidentifikasi pelanggang dan stakeholders yang terkena dampak (terpengaruh) oleh tindakan-tindakan atau kebijakan publik. b. Dimana kita ingin berada dimasa mendatang ? (where do we want to be in the future ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara merumuskan (menetapkan) visi, misi, prinsip-prinsip, sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan. c. Bagaimana kita mengukur kemajuan ? (how do we measure our progress ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan ukuran-ukuran kinerja untuk mengukur hasil-hasil dan menjamin pertanggungjawaban seperti input, output, outcome, kualitas dan efisiensi. d. Bagaimana kita mencapai tujuan dan sasaran ? (how do we get our goals and objectives ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan rencana tindakan (action plan), yang sering dikenal dengan istilah rencana operasional (operational plan) atau rencana implementasi (implementation plan), yaitu menyangkut penetapan spesifikasi penugasan orang-orang, sumber daya material dan finansial serta jadwal pelaksanaan. e. Bagaimana kita menelusuri kemajuan ? ( how do we track our progress ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan sistem penelusuran (tracking system) untuk memantau kemajuan, mengumpulkan informasi manajemen dan menjaga agar sasaran dan tujuan tetap berada pada jalurnya.
12
Setelah mengetahui kondisi organisasi, berbagai alat analisis sering digunakan organisasi untuk memilih strategi untuk memajukan organisasi. Menurut Rangkuti (2008), analisis SWOT sebagai alat formulasi
strategi
(strategic planner) dapat digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis agar dapat merumuskan strategi perusahaan berdasarkan kondisi organisasi saat ini. Analisis ini didasarkan pada logika untuk dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan pula dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman
(Threats).
Dalam
menganalisis
kondisi
organisasi
dengan
menggunakan matriks analisis SWOT yang akan menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif strategi, yakni: a. Strategi kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), atau lebih dikenal dengan nama strategi SO. Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran organisasi, yakni dengan memanfaatkan seluruh kekuatan organisasi untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. b. Strategi kekuatan (Strengths) dan ancaman (treaths), atau lebih dikenal dengan nama Strategi ST. Ini adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki organisasi untuk mengatasi ancaman. c. Strategi kelemahan (Weaknesses) dan peluang (Opportunies), atau yang di kenal dengan nama Strategi WO. Ini adalah strategi untuk memanfaatkan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada pada organisasi. d. Strategi kelemahan (Weaknesses)
dan ancaman (Treaths), atau yang
dikenal dengan nama Strategi WT. Strategi ini adalah untuk
berusaha
meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman pada organisasi. Matriks analisis SWOT yang dimaksud diatas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
13
Tabel: 1 Perumusan Analisis SWOT
EFAS
Strengths Tentukan 5-10 Faktor-Faktor Kekuatan Internal
Opportunies Tentukan 5-10 FaktorFaktor Peluang Eksternal
Strategi SO
Strategi WO
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatakan peluang
Strategi ST
Strategi WT
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman.
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
IFAS
Treaths Tentukan 5-10 FaktorFaktor Ancaman Eksternal
Weaknesses Tentukan 5-10 Faktor-Faktor Kelemahan Internal
Sumber: Rangkuti (2008)
Sedangkan proses pengambilan keputusan strategis berdasarkan kondisi organisasi saat ini, dapat dilihat pada bagan berikut ini. Gambar: 1 Proses Pengambilan Keputusan Strategis Berdasarkan Kondisi Organisasi.
3 ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL 1 (a)
1 (b)
EVALUASI KINERJA ORGANISASI SAAT INI
EVALUASI - Misi - Tujuan - Kebijakan
2
ANALISIS BUDAYA KEPEMIM PINAN
PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS: - Peluang - Ancaman 5 (a) ANALISIS FAKTOR STRATEGIS SWOT
5 (b)
6
7
EVALUASI REVIEW - Misi - Tujuan - Strategi
PEMILIHAN ALTERNATIF STRATEGI TERBAIK
IMPLEMENTASI STRATEGI TERPILIH (TERBAIK)
8 EVALUASI DAN PENGENDALIAN IMPLEMENTASI STRATEGI
4 ANALISIS LINGKUNGAN iINTERNAL
PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS: - Kekuatan - Kelemahan
PROSES FORMULASI STRATEGI Sumber: Rangkuti (2008)
2.2 Penguatan Kapasitas Organisasi Untuk mencapai visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi secara efektif dan efisien, perlu adanya peningkatan kapasitas organisasi melalui perubahan-
14
perubahan mendasar (Beckhard 1969 diacu dalam Wasistiono 2007) karena:1) adanya kebutuhan untuk mengubah strategi manajerial; 2) adanya kebutuhan iklim organisasi lebih konsisten dengan kebutuhan individu maupun kebutuhan perubahan lingkungan; 3) adanya kebutuhan untuk mengubah norma-norma kultural; 4) adanya kebutuhan untuk mengubah struktur dan peranan; 5) adanya kebutuhan untuk meningkatkan kerjasama antar-kelompok; 6) adanya kebutuhan untuk meningkatkan sistem komunikasi; 7) adanya kebutuhan akan perencanaan yang lebih baik;
8) adanya kebutuhan untuk keputusan berkaitan dengan
masalah-masalah penggabungan; 9) adanya kebutuhan untuk mengubah motivasi kekuatan kerja; dan 10) adanya kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Pengertian penguatan kapasitas (capacity building) menurut Syahyuti (2006) adalah upaya penguatan sebuah komunitas dengan bertolak dari kekayaan tata nilai dan kebutuhan prioritas mereka dan mengorganisasikan mereka untuk melakukan sendiri. Capacity building berperan sebagai alat atau instrumen yang mendukung penggunaan potensi dan kapasitas yang ada secara efisien, memperluas kondisi potensi yang ada dan juga berupa membangkitkan potensi-potensi baru. Capacity building juga berfokus pada permasalahan hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik. Selanjutnya (UNDP 1999 diacu dalam Syahyuti 2006) mengatakan bahwa ada 3 (tiga) level yang dapat menjadi objek capacity building, yaitu: 1) level individu dan grup; 2) level individu dan organisasi; dan 3) level sistem institusi secara keseluruhan mencakup institusi hukum, politik serta kerangka pikir ekonomi dan administratif. Peningkatan kapasitas individu biasanya berupa pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, sedangkan untuk institusi dan organisasi melalui pendekatan social learning process. Namum dalam pengelolaan perubahan, harus beradaptasi dengan tantangan yang sangat besar maka menurut Sedarmayanti (2003) dalam pengelolah perubahan harus memperhatikan hal-hal seperti: 1) memahami mekanisme dasar perubahan; 2) mengembangkan program dasar perubahan; 3) menganalisa kekuatan yang mempengaruhi perubahan; 4) mengambil langkah untuk penolakan ataupun penyesuaian terhadap perubahan; 5) membangun komitmen terhadap perubahan; dan 6) meningkatkan dan mengkawal laju perubahan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam mengembangkan program dasar perubahan untuk pengembangan organisasi, perlu memperhatikan hal-hal
15
sebagai berikut: 1) menetapkan sasaran dan mendefinisikan kondisi organisasi yang diinginkan di masa mendatang setelah perubahan (pengembangan); 2)
menganalisa
kondisi
saat
ini
dalam
kaitannya
dengan
sasaran;
3) menetapkan kegiatan dan komitmen terhadap masa transisi yang diperlukan untuk mengantisipasi situasi masa yang akan datang; dan 4) mengembangkan strategi
dan
rencana
tindakan
untuk
mengelola
transisi
dengan
mempertimbangkan analisis faktor yang akan mempengaruhi perubahan. Perubahan sistem manajemen organisasi Non Pemerintah (ORNOP), khususnya dan penentuan strategi harus tepat agar memiliki kekuatan kapasitas untuk berjuang menyeimbangi kekuasaan antara penguasa dan rakyat karena menurut Rothman (2002), Ornop harus berfokus pada: a) mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya untuk pelayanan publik, pengontrolan atas penggunaan
sumber
kemasyarakatan
daya
melalui
di
Kabupaten/Kota,
pendidikan
politik
serta
penguatan
organisasi
penguatan
kedudukan
kelompok-kelompok masyarakat agar mampu mengontrol alokasi sumber daya keuangan dan alam (ruang); b) menjadi garda paling depan dalam pembangunan hukum dan peraturan baru yang dibutuhkan masyarakat, membangun jaringan dan memberikan motode kerja pada masyarakat marginal; serta c) meningkatkan kapabilitas masyarakat dalam kehidupan berpolitik, meliputi upaya membangun identitas kewarganegaraan, pembentukan forum publik dan mengkonsentralikan diri pada penanganan konflik lokal. Syahyuti (2006) mengatakan bahwa kapasitas masyarakat secara umum akan tergantung pada institusi yang sehat adalah 1) pemimpin yang memiliki visi (Kapasitas Kepemimpinan); 2) dukungan finansial (Kapasitas Keuangan); 3) sumber daya material (Kapasitas Sarana dan Prasarana); 4) ketrampilan sumber daya manusia (Kapasitas SDM); dan 5) kerja yang efektif dalam pelayanan termasuk sistem, prosedur, konsistensi dan insentif kerja yang sesuai (Keorganisasian). Masing-masing kapasitas organisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.2.1 Kapasitas Kepemimpinan Menurut Siagian (1988), kepemimpinan merupakan inti dari manajemen kerena kepemimpinan merupakan motor penggerak bagi seluruh sumberdaya yang dimiliki organisasi dalam rangka mencapai mencapai tujuan. Oleh sebab itu, salah satu faktor keberhasilan tujuan organisasi ditentukan oleh kualitas
16
kepemimpinan yang dimiliki seorang pemimpin. Selanjutnya ia mengatakan bahwa untuk membatasi kemimpinan adalah setiap orang (pemimpin) yang mempunyai bawahan. Kualitas kepempinan seorang pemimpin ditentukan oleh ketrampilan teknis (technical skill) dan keahlian menggerakan orang lain (managerial skill). Ada tiga tingkatan kelompok pimpinan, yakni: 1) top Management
atau pimpinan tertinggi; 2) midle management atau pimpinan
tingkat menengah; 3) lower management atau pimpinan tingkat paling bawah. Makin tinggi kedudukan seorang pimpinan, ketrampilan yang dibutuhkan adalah managerial skill dan semakin rendah kedudukan pimpinan, ketrampiilan membutuhkan technical skill. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ciri-ciri pimpinan yang baik adalah: 1) membagi-bagikan kewenangan yang bersifat operasional kepada bawahan; 2) sehat jasmani dan rohani; 3) berpengetahuan luas;
4)
mempunyai keyakinan dalam mencapai tujuan; 5) mengetahui sifat hiragi dan komplesitas dari tujuan yang ingin dicapai; 6) ketepatan dan kecepatan dalam pengambilan keputusan; 7) menguasai emosi dan menggunakan rasio atau objektif; 8) adil dalam memperlakukan bawahan; 9) menguasai prinsip-prinsip human relations, teknik komunikasi dan mampu membangun tim kerja yang intim dan harmonis; 10) mampu menjadi penasehat, guru dan kepala bagi bawahannya; serta 11) mempunyai gambaran menyeluruh tentang seluruh kegiatan organisasi. Berdasarkan sifat tipe pimpinan, ada 4 (empat) golongan tipe pimpinan, yaitu 1) tipe otoktratis atau bersifat memaksakan kehendaknya; 2) tipe militeristik atau bersifat sistem komando; 3) tipe paternalistrik atau berjiwa kebapaan; dan 4) tipe demokratis atau pemimpin yang dapat menerima berbagai masukan dan mengutamakan kebebasan. Sedangkan munculnya seorang pemimpin yang baik, memiliki 3 (tiga) teori yaitu: 1) teori genetia, yang mengatakan bahwa seorang jadi pemimpin karena ia dilahirkan dengan membawa bakat-bakat untuk jadi pemimpin; 2) teori sosial, yang mengatakan bahwa setiap orang bisa menjadi pemimpin apabila diberikan pendidikan dan pengalaman yang cukup; dan 3) teori ekologis, yang mengatakan bahwa seorang akan menjadi pemimpin apabila ia dilahirkan dengan membawa bakat-bakat untuk jadi pemimpin dan bakat-bakat tersebut
dikembangkan
melalui
pendidikan
yang
teratur
pengalaman-
pengalaman yang memungkinkan untuk dikembangkan (Siagian 1988).
17
2.2.2 Kapasitas Keuangan Menurut Sutrisno (2005) bahwa manajemen keuangan atau sering disebut pembelanjaan dapat diartikan semua aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan usaha-usaha mendapatkan dana perusahaan dengan biaya yang murah serta usaha untuk menggunakan dan menggalokasikan dana tersebut secara efisien. Oleh karena itu, setiap perusahaan (organisasi) selalu membutuhkan dana dalam rangka memenuhi kebutuhan operasi sehari-hari maupun untuk pengembangan perusahaan (organisasi) sehingga harus mampu mencari sumber dengan komposisi
yang menghasilkan beban biaya paling murah.
Sumber dana dibedakan atas dua jenis yakni sumber dana dari dalam (internal) dan sumber dana dari luar (ekternal). Sumber dana dari dalam adalah sumber dana perusahaan (organisasi) yang berasal dari hasil operasi perusahaan (organisasi). Sedangkan sumber dana dari luar adalah kebutuhan dan yang diambil dari sumber-sumber di luar organisasi. Pemenuhan kebutuhan sumber dana dari luar ini bisa diperoleh dari pemilik atau calon pemilik. Sumber dana ini nantinya membentuk modal sendiri. Menurut Rustiani (1996), modal usaha bagi pelaku usaha berskala kecil didapatkan secara swadaya dan akumulasinya kecil, terbatas dan pengelolaan keuangan kurang baik serta tidak terjangkau dengan modal usaha yang disediakan pemerintah dan swasta maka Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pendamping harus mampu mengakses pendanaan usaha dengan cara sebagai berikut: a) memberikan jaminan (anggunan) kredit perbankan dan lembaga keuangan lainnya: b) mencarikan mitra usaha (bapak angkat) baik BUMN, swasta serta lembaga donator nasional dan internasional; c) mencarikan modal ventura untuk pengembangan usaha dan juga sebagai penanggung resiko usaha sebagai mitra usaha yang terkat berupa hilir-hulu dan hulu-hilir; d) membantu pemupukan modal internal yang abadi dari kelompok unit usaha kecil melalui iuran
atau
tabungan
usaha
bersama;
dan
e)
membantu
pengelolaan
(manajemen) keuangan usaha bagi warga dampingan.
2.2.3 Kapasitas Sarana dan Prasarana Menurut Moenir (2006), Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan
adalah faktor sarana pelayanan (perlengkapan kerja) untuk
kepentingan sebagai berikut: 1) mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan agar dapat menghemat waktu; 2) meningkatkan produktifitas pelayanan, baik
18
barang maupun jasa; 3) menyediakan kualitas pelayanan yang lebih baik; 4) terjaminnya ketepatan ukuran dan stabilitas ukuran layanan; 5) mempermudah dalam gerak pelaku pelayan (pegawai); 6) memberikan rasa kenyamanan kerja; dan 7) meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan pelayanan. Sedangkan sarana kerja ditinjau dari segi klasifikasi kegunaannya (utilization), terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu: 1) peralatan kerja, yaitu semua jenis benda yang berfungsi langsung sebagai alat produksi untuk mengahasilkan barang atau berfungsi memproses suatu barang menjadi barang lain yang berlainan fungsi; 2) perlengkapan kerja, yaitu semua jenis benda yang berfungsi sebagai alat bantu tidak langsung dalam proses produksi, mempercepat proses, membangkitkan atau menambah kenyamanan dalam pekerjaan seperti alat komunikasi, kelengkapan
pengolahan
data,
meja,
kursi,
lemari
dan
lainnya;
dan
3) perlengkapan alat kerja bantu (fasilitas), yaitu semua jenis benda yang berfungsi membantu kelancaran gerak dalam pekerjaan, seperti absen, jadwal apel pagi dan siang dan lainnya. Peralatan (perlengkapan) kerja ditinjau dari peralatannya terbagi atas, Moenir (2006), ada 2 (dua) jenis, yaitu: 1) Peralatan kerja tunggal guna (single purpose equipment) yaitu peralatan yang hanya dipakai untuk satu jenis peran, seperti mesin tulis (ketik), hanya untuk mengetik; dan 2) Peralatan kerja serba guna (multyple purpose equipment), peralatan yang dapat dipakai untuk bermacam-macam peran seperti personal computer (PC). Ia dapat mengetik, membuat grafik dan menyimpan data (Moenir 2006). Ia mengatakan juga bahwa fasilitas utama pelayan umum yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi adalah: a. Fasilitas Ruangan Kerja, yaitu ruangan tempat bekerja yang aman dan tertib. Dalam penataannya harus memperhitungkan koodinasi yang efektif antar-karyawan maupun dengan pimpinan; b. Fasilitas Ruangan Tunggu, yaitu ruangan terbuka yang menyediakan berbagai informasi yang berhubungan dengan fungsi dan tugas kantor maupun tata tertib agar tamu dapat memperoleh informasi awal sebelum berhungan dengan bagian yang menangani urusannya; c. Fasilitas pendukung lainnya, yaitu fasilitas yang tidak berhubungan langsung dengan tugas dan fungsi instansi seperti ruang ibadah, ruang pertemuan, kamar kecil, kantin dan lainnya.
19
2.2.4 Kapasitas Sumber Daya Manusia Menurut pengetahuan
Sedarmayanti (2004), kemajuan yang pesat dalam ilmu dan
teknologi
informasi
telah
mendorong
tumbuh
dan
berkembangnya kreaktvitas dan inovasi serta pendayagunaan modal intelektual atau pengetahuan yang dimiliki organisasi untuk kemajuan organisasi pada masa yang akan datang. Kunci kemampuan daya saing adalah manusia berkualitas, penuh kreativitas dan inovasi sebagai modal intelektual sehingga mampu menciptakan keunggulan bersaing. Sedangkan modal intelektual adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan yang perlu di dayagunakan secara terus menerus. Selain itu, sumber daya manusia juga dikatakan sebagai kompetensi inti (Hamel dan Prahalad 1995 diacu dalam Sedarmayanti 2004) karena memberikan keunggulan bagi organisasi dalam menghadapi persaingan. Kompetensi inti adalah kemampuan dari unit organisasi yang menciptakan nilai tinggi dan membedakan organisasi dari persaingan dan sumber daya manusia yang membedakan mereka dari bersaingan. Cara untuk menjadikan sumber daya
manusia
sebagai
kompetensi
mempertahankan sumber daya
ini
manusia
adalah
dengan
menarik
dan
yang memiliki profesionalisme,
membiayai pelatihan mereka dan memberikan kompensasi agar dapat terus bersaing dengan pihak lain. Selanjutnya Sedarmayanti (2004), upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkompetensi mencakup: 1) kompentensi teknis, yakni menyangkut pengetahuan dan keahlian untuk mencapai hasil yang telah disepakati, kemampuan untuk memikirkan persoalan dan mencari alternatif baru; 2) kompentensi konseptual yakni menyangkut kemampuan melihat gambaran besar untuk menguji berbagai pengandaian dan mengubah perspektif; dan 3) kompetensi untuk hidup dalam ketergantungan yakni menyangkut kemampuan untuk bereaksi secara efektif dengan orang lain, termasuk kemampuan mendengar, berkomunikasi, mendapat alternatif lain, kemampuan untuk melihat dan beroperasi secara efektif dalam organisasi. Ia juga mengatakan bahwa peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan kompetensi karena kualitas SDM merupakan kondisi keharusan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pemerataan pendapatan. Peningkatan kualitas SDM dapat ditempuh melalui
pendidikan formal dan non formal seperti pendidikan dan pelatihan
ketrampilan kerja dan berusaha dalam rangka peningkatan kualitas penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diserta dengan usaha-usaha mendorong
20
semangat dan etos kerja yang tinggi, disiplin dan tanggung jawab serta peningkatan kemampuan kewirausahaan. Sedangkan Kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang pekerja (Tjokrowinoto 2001 diacu dalam Tangkilisan 2005) adalah mencakup: 1) sensitif dan respontif terhadap peluang dan tantangan baru yang timbul di dalam pasar; 2) tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental birokrasi, tetapi harus mampu melakukan trobosan (Ibreak through) melalui pemikiran kreatif dan inovatif; 3) mempunyai wawasan yang futuristik dan sistematis; 4) mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan risiko; 5) jeli terhadap potensi sumber
dan
peluang
baru;
6) mempunyai
kemampuan
untuk
mengombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktifitas yang tinggi; 7) mempunyai kemampuan untuk mengoptimalkan sumber yang tersedia, dengan menggeser sumber kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi. Menurut Supriadi dan Gono (2003), perlu mengembangkan personil yang memiliki hal-hal sebagai berikut: 1) komitmen dan konsisten terhadap visi, misi dan tujuan organisasi pemerintah, kebijakan negara dan peraturan perundangan yang berlaku; 2) memiliki kewenangan dan tanggung jawab; 3) keiklasan dan kejujuran; 4) integritas dan profesionalisme; 5) kreativitas dan kepekaan terhadap lingkungan tugas; 6) kepemimpinan dan keteladanan; 7) kerja sama (kemitraan) dan dinamika kelompok kerja; 8) ketepatan dan kecepatan; 9) rasionalitas dan kecerdasan emosi; 10) keteguhan dan ketegasan; 11) disiplin dan keteraturan kerja; 12) keberanian dan kearifan; 13) dedikasi dan loyalitas; 14) semangat dan motivasi; 15) Keberanian dan kearifan; 16) ketekunan dan kesabaran; serta 17) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan kompetensi personil yang berkelanjutan diperlukan karena (Tjokrowinoto 2001 diacu dalam Tangkilisan 2005) figur atau sosok sumber daya manusia Indonesia pada abad ke-21 adalah manusia-manusia yang memiliki kualifikasi sebagai berikut: 1) memiliki wawasan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan sikap atau prilaku (attitude) yang relevan dan mampu menunjang pencapaian sasaran dan bidang tugas dalam suatu organisasi; 2) memiliki disiplin kerja, dedikasi, dan loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaan dan organisasi; 3) memiliki rasa tanggung jawab dan pengertian atau pemahaman yang mendalam terhadap tugas dan kewajibannya sebagai karyawan dan atau unsur manajemen organisasi; 4) memiliki jiwa dan kemauan atau hasrat yang
21
kuat untuk berprestasi, produktif, dan bersikap profesional; 5) memiliki kemauan dan kemampuan untuk selalu mengembangkan potensi dan kemampuan diri pribadi demi kelancaran pelaksanaan tugas organisasi; 6) memiliki kemampuan yang tinggi dalam bidang teknik maupun manajemen dan kepemimpinan; 7) memiliki keahlian dan ketrampilan yang tinggi dalam bidang tugas dan memiliki kemampuan alih teknologi; 8) memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang tinggi dan konsisten; dan 9) memiliki pola pikir dan pola tindak yang sesuai dengan visi, misi, dan budaya kerja organisasi. Untuk mendapatkan seorang pekerja yang memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan diatas, menurut Moenir (2006) sangat dipengaruhi oleh kondisi ketenangan bekerja seperti: 1) kejelasan dan kepastian status kepegawaian; 2) jaminan atau perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; 3) adanya jaminan terhadap karier dan mempunyai hak-hak dan kewajibannya; 4) adanya jaminan keadilan; dan 5) bebas dari ancaman dan tekanan.
2.2.5 Kapasitas keorganisasian Apabila orang-orang bekerjasama maka akan timbul kelompok-kelompok informal yang terikat oleh kepentingan-kepentingan sosial, teknologi, kerja atau tujuan bersama termasuk persamaan lokasi fisik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kelompok-kelompok informal terbentuk secara spontan dan bersifat sementara namun karena persamaan kepentingan pekerja dan lokasi fisik, cenderung bersifat permanen. Untuk tetap bertahan, maka kelompok informal memerlukan adanya hubungan-hubungan komunikasi secara kontinyu antar anggota-anggotanya dan membangun skala status yang bersifat khas dan selanjutnya dapat berkembang menjadi organisasi formal (Terry 1986). Sedangkan
menurut
Siagian
(1986),
organisasi
adalah
setiap
bentuk
persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjsama untuk sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam persekutuan mana selalu terdapat hubungan antara seseorang atau sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seseorang atau kelompok orang yang yang disebut bawahan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa, yang dimaksud dengan organisasi yang baik (sehat) adalah suatu organisasi yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) terdapat tujuan yang jelas; 2) tujuan organisasi harus difahami oleh setiap orang di dalam organisasi; 3) tujuan organisasi harus diterima semua orang dalam organisasi; 4) adanya kesatuan arah; 5) adanya kesatuan perintah;
6) adanya keseimbangan
22
antara wewenang dan tanggung jawab seseorang; 7) adanya pembagian tugas; 8) struktur organisasi harus disusun sesederhana mungkin; 9) pola dasar organisasi harus relatif permanen; 10) adanya jaminan jabatan; 11) balas jasa yang diberikan kepada setiap orang harus setimpal dengan jasa yang diberikan; 12) penempatan orang yang sesuai dengan keahliannya. Organisasi yang sehat diharapkan dapat pelayanan yang secara umum diharapkan pelanggan seperti: 1) mudah dalam pengurusan bagi yang berkepentingan; 2) mendapat pelayanan yang wajar; 3) mendapat perlakuan sama tanpa pilih kasih; 4) mendapat perlakuan jujur dan terus terang. Sedangkan pelayanan yang baik dan memuaskan akan berdampak positif bagi masyarakat antara lain: 1) masyarakat menghargai dan bangga terhadap terhadap korps karyawan; 2) masyarakat patuh terhadap aturan pelayanan; 3) Menggairahkan usaha dalam masyarakat 4) menimbulkan peningkatan dan pengembangan dalam masyarakat (Tangkilisan 2005). Sedangkan Sedarmanyanti (2005), dalam upaya pencapaian tujuan organisasi, maka perlu juga adanya suatu sistem pengorganisasian yang jelas, dengan memperjelas hal berikut: 1) susunan, status, kedudukan dan hubungan individu satu dengan lainnya; 2) kekuasaan dan tanggung jawab masing-masing individu; 3) luas dan macam pekerjaan yang harus dilakukan; 4) pembagian kerja yang seimbang; 5) prosedur dan mekanisme kerja yang efesien. Ini berarti bahwa suatu organisasi dituntut untuk menciptakan kondisi oganisasi yang bercirikan organisasi organik. Perbedaan perbedaan karakteristik organisasi mekanistik dan organik adalah seperti pada tabel berikut ini:
23
Tabel: 2 Perbedaan Karakteristik organisasi Mekanistik dan Organik Mekanistik
Organik
1. Pekerjaan terbagi menjadi tugas khusus, dan terpisah satu sama lain.
1. Tiap bagian seakan-akan mempunyai suatu tugas tertentu, yang dikerjakan bersama oleh karyawan tanpa pemisahan tugas maupun khususnya yang tegas.
2. Tugas terdefinisi secara rinci 3. Hirarki otoritas dan kontrol sangat tegas, dilakukan dengan banyak peraturan. 4. Pengetahuan tentang tugas hanya dimiliki pimpinan, dengan sentralisasi yang tinggi dalam pengontrolan pelaksanaan tugas. 5. Komunikasi umumnya vertikal
2. Tugas bisa berubah atau disesuaikan bentuknya, sesuai dengan interaksi antara karyawan. 3. Hirarki otoritas dan kontrol tidak tegas, hanya ada sedikit peraturan 4. Pengetahuan tentang tugas tidak hanya ada pada pimpinan. Pengkontrolan bisa terjadi pada setiap tingkatan dalam organisasi. 5. Komunikasi umumnya horizontal atau lateral.
Lubis & Martani,tt. diacu dalam Dermanyanti 2004)
Sedangkan (Atmosoeprapto 2001 diacu dalam Tangkilisan 2005), kinerja suatu organisasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal seperti berikut ini:
a. Faktor ekternal yang terdiri dari : 1)
Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan
negara
yang
berpengaruh
pada
keamanan
dan
ketertiban, yang akan mempengaruhi ketenangan organisasi untuk berkarya secara maksimal. 2)
Faktor
ekonomi,
yaitu
tingkat
perkembangan
ekonomi
yang
berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar. 3)
Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di tengah masyarakat, yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhan bagi peningkatan kinerja organisasi.
b. Faktor internal yang terdiri dari: 1) Tujuan organisasi, yaitu apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diproduksi oleh suatu organisasi
24
2) Struktur organisasi, sebagai hasil disain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. 3) Sumber daya manusia, yaitu kualitas dan pengelolaan anggota organisasi
sebagai
pengerak
jalannya
organisasi
secara
keseluruhan. 4) Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola
kerja
yang
baku
dan
menjadi
citra
organisasi
yang
bersangkutan.
2.3 Pekerja sosial Pekerjaan Sosial merupakan suatu pelayanan profesional, yang prakteknya didasarkan kepada pengetahuan dan ketrampilan ilmiah tentang relasi manusia, sehingga dapat membantu individu, kelompok dan masyarakat mencapai kepuasan pribadi dan sosial serta kebebasan, dengan tiga prinsip adalah: 1) pekerjaan sosial merupakan pelayanan profesional; 2) Prakteknya berdasarkan kepada pengetahuan dan ketrampilan ilmiah tentang relasi manusia (human relation) dan; 3) untuk membantu individu, kelompok dan masyarakat mencapai kepuasan pribadi, kepuasan dan kebebasan. (Walter A. Friedlander dalam Sukaco) Selanjutnya masyarakat
fungsi dan tugas pekerjaan sosial dalam mengembangkan
dengan
melalui
peranan-peranan
pekerja
sosial
dalam
memecahkan masalah, dengan menghubungkan dengan sistem sumber, menfasilitasi interaksi dengan sistem sumber dan mempengaruhi kebijakan sosial, menurut (Pincus dan Minahan, dalam Sukaco) bahwa fungsi utama pekerjaan sosial adalah: 1) Membantu orang meningkatkan dan menggunakan kemampuannya secara efektif untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka alami; 2) Pekerja sosial mengadakan indentifikasi dan mengadakan kontak dengan orang yang membutuhkan pertolongan dalam pelaksanaan tugas hidupnya; 3) Pekerja sosial dapat memberikan pemahaman, dukungan dan dorongan kepada orang sedang dilanda krisis; 4) Pekerja sosial dapat memberikan kesempatan kepada orangorang untuk mengatakan kesulitan-kesulitan yang dialaminya; 5) Pekerja sosial dapat membantu orang untuk menguji beberapa alternatif pemecahan masalah dan memberikan informasi untuk membantu mengambil keputusan; 6) Pekerja
25
sosial dapat mengkonfrontasikan orang dengan realitas situasi mereka, dengan cara memberikan informasi yang dapat mengganggu keseimbangannya dan kemudian memotivasi mereka agar mau melaksanakan perubahan; 7) Pekerja sosial dapat mengajarkan ketrampilan-ketrampilan untuk membantu individu merealisasikan aspirasi-aspirasi mereka dan melaksanakan tugas-tugasnya. Selanjutnya ia (Sukaco) mengatakan bahwa untuk mengkaitkan orang dengan
sistem-sistem
sumber
adalah:
1)
Pekerja
sosial
membantu
mengindentifikasi orang yang membutuhkan sistem sumber atau orang yang tidak berhak mendapatkan keuntungan, tetapi tidak menyadari bahwa mereka memenuhi bersyaratan untuk menerima pelayanan sistem sumber itu; 2) Pekerja sosial memberikan informasi tentang adanya sumber yang dapat dimanfaatkan hak-hak mereka untuk memanfaatkan dan menjelaskan prosedur yang diperlukan dilakukan untuk memanfaatkan sumber tersebut dan; 3) Pekerja sosial bertindak sebagai advokasi dan sebagaimana orang yang mengalami kesulitan-kesulitan dalam memanfaatkan sumber maupun negoisasi terhadap suatu sistem. Untuk menfasilitas interaksi dengan sistem-sistem sumber menurut Sukaco adalah: 1) Pekerja sosial dapat memberikan informasi kepada sistem-sistem sumber kemasyarakat untuk mengilustrasikan permasalahan-permasalahan yang disebabkan oleh pelaksanaan prosedur pemberian kepada konsumen; 2) Pekerja sosial dapat membawa orang ke dalam salah satu sistem sumber kemasyarakat agar
mereka
dapat
masuk
pada
perencanaan
dan
pendekatan
yang
terkoordinasi bagi keluarga dan individu. Selanjutnya juga ia (Sukaco) mengemukakan bahwa untuk mempengaruhi kebijakan sosial adalah: 1) Pekerja sosial mengumpulkan dan menganalisis informasi
tentang permasalahan dan kondisi yang perlu diubah melalui
perubahan kebijakan sosial; 2) Pekerja sosial mendorong badan-badan sosial dimana ia bekerja atau sistem-sistem kemasyarakatan maupun organisasi– organisasi formal agar mengambil sikap dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh kelompok warga masyarakat dan; 3) Pekerja sosial dapat memberikan informasi kepada pembuat kebijakan sosial maupun sebagai advokat untuk mengadakan perubahan kebijakan sosial. Dalam pekerja sosial sebagai Advokasi dapat dikelompokan ke dalam dua jenis, yaitu: advokasi kasus’ (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy) (Sheafor, Horejsi dan Horesi, 2000; DuBois dan Miley, 2005) 1)
26
Advokasi kasus adalah kegiatan yang dilakukan seorang pekerjaan sosial untuk membantu klien agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan sosial yang telah menjadi haknya. Alasannya terjadinya diskriminasi atau ketidakadilan yang telah dilakukan oleh lembaga, dunia bisnis atau kelompok professional terhadap klien sendiri tidak mampu merespon situasi tersebut dengan baik. Pekerja sosial berbicara, berargumen dan bernegosasi atas nama klien individual. Karenanya, advokasi ini sering disebut pula sebagai advokasi klien (client advocasy) 2) Advokasi kelas menunjukkan pada kegiatan kegiatan atas nama kelas atau sekelompok orang untuk menjamin terpenuhinya hak-hak warga dalam menjangkau
sumber
kebijakan-kebijakan
atau publik
melakukan perubahan-perubahan hukum dan pada
tingkat
lokal
memperoleh
kesempatan-
kesempatan. Fokus advokasi kelas adalah mempengaruhi atau melakukan perubahan-perubahan hukum dan kebijakan publik pada tingkat lokal maupun nasional. Advokasi melibatkan proses-proses politik yang ditunjukan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah yang berkuasa. Pekerja sosial biasanya bertindak sebagai perwakilan sebuah organisasi, bukan sebagai seorang praktisasi mandiri, advokasai kelas umumnya dilakukan melalui koalisi dengan kelompok dan organisasi lain yang memiliki agenda sejalan. Advokasi yang dilakukan pekerja sosial dalam membantu orang miskin seringkali
sangat berkaitan dengan konsep manajemen sumber (resource
management (DuBois dan Miley, 2005). Demi mempermudah pemahaman yang berfokuskan strategi advokasi ke dalam tiga seting atau aras (mikro, mezzo dan makro). Dalam aras mezzo pekerja sosial sebagai mediator dan mendampingi kelompok-kelompok formal atau organisasi dalam mengidentifikasi masalah yang dihadapi bersama, merumuskan tujuan, mendiskusikan solusi-solusi potensial, memobilisasi sumber, menerapkan, memonitor dan mengevaluasi rencana aksi. Teknik advokasi yang dilakukan adalah membangun jejaring (networking) guna mengkoordinirkan
dan
mengembangkan
pelayanan-pelayanan
sosial,
membangun koalisi dengan berbagai kelompok, organisasi, lembaga bisnis dan industri serta tokoh-tokoh
berpengaruh dalam masyarakat yang memiliki
kepentingan sama. Kegiatan yang dapat dilakukan pekerja sosial sebagai mediator diantaranya mencakup: 1) Menelisik pandangan dan kepentingankepentingan khusus dari masing-masing pihak; 2) Mengali kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh semua pihak yang mengalami konflik; 3) Membantu pihakpihak agar dapat bekerja sama dengan berbagai faksi; 4) Mendefenisikan,
27
mengkoordinasikan dan menangani dari sebuah koalisis atau kerjasama 5) Menfasilitasi pertukaran informasi secara terbuka diantara berbagai pihak yang terlibat dan 6) Bersikap netral, tidak memihak, dan pada saat yang sama tetap percaya diri, yakin dan optimis terhadap manfaat kerjasama dan perdamaian. Prinsip advokasi adalah melakukan perubahan, maka akan selalu ada resistensi, oposisi dan konflik. Beberapa prinsip yang bisa dijadikan pedoman dalam merancang advokasi yang sukses dengan realitas. 1) Advokasi yang berhasil bersandar pada isu dan agenda yang spesifik, jelas dan terukur (measuable). Karena kita tidak mungkin melakukan segala hal, kita harus menyeleksi pilihan-pilihan dan membuat keputusan prioritas. Pilihan-pilihan isu dan agenda yang realitas dan karenanya dapat dicapai (achievable) dalam kurun waktu tertentu (time-bound). Jangan buang enerji dan waktu kita dengan pilihan yang tidak mungkin dicapai. Gagas kemenangan-kemenangan kecil namun konsisten. Sekecil apapun, keberhasilan senantiasa memberikan motivasi. Kekalan biasanya ditemani frustasi; 2) Sistematis. Advokasi adalah seni, tetapi bukan lukisan abstrak. Advokasi memerlukan perencanaan yang akurat “if we fail to plan, we plan to fail” artinya jika kita gagal merencanakan, maka itu berarti kita sedang merencanakan kegagalan. Kemas informasi semenarik mungkin; 3) Taktis ingat, kita tidak mungkin melakukan advokasi sendirian. Pekerja sosial harus membangun koalisi atau aliansi atau sekutu dengan pihak lain. Sekutu dibangun berdasarkan kesamaan kepentingan dan saling percaya (trust). Sekutu terdiri dari sekutu dekat dan sekutu jauh. Sekutu dekat biasanya dinamakan lingkar inti, yakni kumpulan orang atau organisasi yang menjadikan pengagasan pemakrasa, penggerak dan pengendali utama seluruh kegiatan advokasi (Toppatimasang, et al 2000) sekutu jauh adalah pihak-pihak lain yang mendukung kita, namun tidak terlihat dalam gerakan advokasi secara langsung. Lingkar inti biasanya disatukan atau bersatu atas dasar kesamaan visi dan idologis. Organisasi lingkar inti dibagi tiga berdasarkan fungsinya antara lain: (a) Devisi kerja garis depan (frontline unit)
yang melaksanakan fungsi juru
bicara, perunding, pelobi, terlibat dalam proses legislasi dan menggalang sekutu; (b) Divisi kerja pendukung, (suporting unit) yang menyediakan dukungan sana, logistik, informasi, data dan akses dan (c) Divisi kerja basis (ground atau underground unit) yang merupakan dapur gerakan advokasi: membangun basis massa, pendidikan politik kader, memobilisasi aksi; 4) Strategis. Advokasi melibatkan penggunaan kekuasaan atau power ada banyak tipe kekuasaan.
28
Adalah penting untuk mempelajari diri kita, lembaga kita dan anggotanya untuk mengetahui jenis kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan intinya menyangkut kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat orang berprilaku seperti yang kita harapkan. Untuk itu organisasi tidak mungkin memiliki semua kekuasaan seperti yang diinginkan, tetapi perlu tidak perlu pesimis terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sadari bahwa advokasi dapat membuat perbedaan dan dapat melakukan perubahan dan 5) Berani, advokasi menyentuh perubahan dan rekayasa sosial secara bertahap, jangan tergesa-gesa. Tidak perlu menakutnakuti pihak lawan, tetapi tidak perlu pula menjadi penakut. Trust your hopes, not fear. Jadikan isu dan strategi yang telah dilakukan sebagai motor gerakan dan tetapkan berpijak pada agenda bersama. 2.4 Kerangka Pemikiran PPJTD sebagai Unit organisasi masyarakat, mempunyai tiga level yang dapat
menjadi
objek
penguatan
kapasitas,
yaitu:
1)
level
individu;
2) organisasi; dan 3) level sistem institusi secara keseluruhan yang mencakup institusi hukum, politik serta ekonomi dan administratif. Berangkat dari asumsi bahwa PPJTD sebagai organisasi sosial yang tumbuh di kalangan orang miskin di Kota Bandung. Oleh sebab itu penguatan kapasitas PPJTD sebagai organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat harus diarahkan untuk mampu mengatasi masalah kemiskinan pada warga binaannya karena akibat kemiskinan, anggota PPJTD sedang mengalami kondisi sebagai berikut:
1)
secara ekonomi, makin termarjinalkan dalam mengakses sumberdaya ekonomi; 2) secara politik, makin kehilangan akses atau wahana institusional untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya pada lembaga-lembaga politik (partai politik dan DPRD kota Bandung); dan 3) secara sosial, modal sosial seperti PPTJD tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Penguatan kapasitas bagi PPJTD juga penting agar mampu meningkatkan harkat dan martabat anggota PPTJD dan pribadi manusia angota PPJTD melalui usaha-usaha untuk mendorong, memotivasi, meningkatkan kesadaran akan potensinya dan menciptakan iklim untuk menolong dirinya sendiri melalui kebijakan dan pelaksanaannya. Seiring ada peningkatan PPJTD dari organisasi informal menjadi organisasi formal maka PPJTD berniat meningkatkan pelayanan kepada anggotanya melalui peningkatan unit-unit pelayanan organisasinya seperti kegiatan iuran anggota,
29
arisan tenda dan pelatihan keterampilan kerja dan ketrampilan berusaha kepada anggotanya. Hal ini menunjukan bahwa PPTJD hanya menjadi sarana pemerataan kemiskinan
karena
belum
adanya terobosan-terobosan untuk mengakses
sumberdaya dari luar PPTJD untuk mendukung ketercapaian tujuan PPTJD. Untuk mendorong tumbuhnya aktifitas perekonomian anggotanya PPTJD menjadi salah satu syarat yang mampu melaksanakan hal-hal sebagai berikut: a) menjadi lembaga penjaminan kredit perbankan dan lembaga keuangan lainnya: b) mencarikan mitra usaha (bapak angkat) baik BUMN, swasta serta lembaga donator nasional dan internasional; c) mencarikan modal ventura untuk pengembangan usaha dan juga sebagai penanggung resiko usaha sebagai mitra usaha yang terkat berupa hilir-hulu dan hulu-hilir; d) membantu pemupukan modal internal yang abadi dari kelompok unit usaha kecil melalui iuran atau tabungan usaha bersama; dan e) membantu pengelolaan (manajemen) usaha bagi warga dampingan. PPJTD semestinya bisa membuka diri dan bukan sekedar untuk membangun hubungan komunikasi politik dengan penguasa saja tetapi juga
mampu
medongkrak hambatan-hambatan budaya maupun struktural lainnya yang merintangi kemajuan aktifitas ekonomi anggotanya. Melalui usaha-usaha yang telah disebutkan di atas diharapkan dapat mengatasi hambatan-hambatan seperti keterbatasan keterampilan kerja, keterbatasan akses terhadap modal kerja, keterbatasan pada manajemen usaha serta perlakukaan diskriminatif dalam mendapatkan hak bekerja dan berusaha karena tempat usahanya yang berlokasi di wailayah yang dilarang oleh Perda K3 yakni lahan publik. Ketercapaian keinginan baik dan tujuan PPJTD dalam meningkatkan pelayanan kepada anggotanya, sangat dipengaruhi oleh kemampuan kapasitas PPJTD untuk melaksanakan policy dan action plan dalam pencapaian tujuan. Untuk mengetahui kemampuan (kapasitas) PPJTD dalam melaksanakankan tugasnya, yakni mengatasi hambatan-hambatan usaha anggotanya maka terlebih dahulu harus mengatahui kapasitas PPJTD agar dapat menetapkan strategi untuk penguatan kapasitas PPJTD sesuai kondisi riil yang ada. Tolak ukur kapasitas PPJTD yang digunakan adalah kapasitas kepemimpinan, kapasitas keuangan, kapasitas sarana dan prasarana, kapasitas Sumberdaya Manusia, dan kapasitas keorganisasian. Sedangkan dalam rangka menetapkan strategi penguatan PPJTD,
analisis
yang
digunakan
adalah
analisis
SWOT
agar
dapat
memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun
30
secara bersamaan pula dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Dalam menganalisis kondisi organisasi PPJTD dengan menggunakan matriks analisis SWOT yang akan menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif strategi, yakni:1) strategi SO untuk memanfaatkan seluruh kekuatan organisasi untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; 2) Strategi ST untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki organisasi untuk mengatasi ancaman; 3) strategi WO untuk memanfaatkan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada; dan 4) strategi WT untuk
berusaha
meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Pekerja sosial merupakan profesional pertolongan membantu individu, kelompok dan masyarakat, ini sangat penting untuk mengidentifisikasi dan menganalisis dan mengkaitkan dengan sistem sumber, menfasilitasi, mediator dan advokasi sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan yang tersedia dalam masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah organisasi PPJTD dan anggotanya. Dalam advokasi pekerja sosial, kegiatannya untuk membantu klien agar mampu menjangkau sistem sumber atau pelayanan sosial yang telah menjadi haknya. Selain itu pekerja sosial membangun jejaring (networking) guna mengkoordinirkan dan mengembangkan pelayanan-pelayanan sosial, membangun koalisi dengan berbagai kelompok, organisasi, lembaga bisnis dan industri serta tokoh-tokoh
berpengaruh dalam masyarakat yang
memiliki kepentingan sama dalam memperjuangkan lokasi usaha pedagang kaki lima.
31
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar kerangka pemikiran berikut ini.
Gambar
2:
Kerangka
Pemikiran
Strategi
PPJTD
Dalam
Memperjuangkan Lokasi Pedagang Kaki Lima.
ANALISIS KONDISI KAPASITAS INTERNAL PPJTD:
Capacity Building:
1. Kepemimpinan 2. Keuangan 3. Sarana dan prasana 4. Sumber daya manusia 5. Keorganisasian.
PERUMUSAN STRATEGI DAN IMPLEMENTASI STRATEGI
KAPASITAS ORGANISASI PPJTD YANG KUAT
Fokus Kajian
ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL PPJTD : 1. Perda No. 11 tentang K3 2. Budaya pelaksanaan Perda.
Feedback
KAPASITAS ANGGOTA YANG KUAT