BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Otonomi Daerah 2.1.1 Definisi Otonomi Daerah Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam kerangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Untuk itu menurut Bastian (2006 : 338) ada beberapa asas penting dalam Undang-undang otonomi daerah yang perlu dipahami, yaitu : a. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau perangkat pusat di daerah. c. Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai 10 pembiayaan, sarana, dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan. d. Perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup
pembagian
kekuasaan
antara
pemerintah
pusat
dan
pemerintah daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasannya. Hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah kebijakan publik yang kuat untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa, dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat dan peningkatan manajemen pengelolaan dana daerah. Arahan yang diberikan oleh undang-undang ini sudah sangat baik. Tetapi apakah dapat mewujudkan pemerintahan daerah otonom yang efisien, efektif, transparan dan akuntabel ? Hasil yang diinginkan terkait dengan ketaatan penerapan dan kesesuaian isi pokok-pokok aturan dengan kondisi daerah otonom lain yaitu : a. Dibidang Pendapatan, UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagai pengganti UU No. 18 Tahun 1997 (sebelum otonomi) sekaligus dengan PP No. 65 dan 66 tahun 2000 sebagai peraturan pelaksanaan mampu mendorong daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.
b. Dibidang Belanja, PP nomor 104 s/d 110 merupakan regulasi pengelolaan belanja daerah. Apakah regulasi ini sebagai peraturan pelaksana mampu meningkatkan kinerja keuangan daerah dalam bentuk pencapaian efisiensi dan efektifitas belanja daerah. Menurut Anderson dalam Tangkilisan (2003 : 25) bahwa kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan dan pejabat pemerintahan dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : a. Kebijakan publik selalu memiliki tujuan tertentu atau mempunyai tindakan yang berorientasi kepada tujuan; b. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; c. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah; d. Kebijakan publik yang diambil dapat bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; e. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Reformasi pembiayaan melalui perubahan regulasi merupakan satu bentuk kebijakan publik dalam upaya mengganti pendekatan manajemen pendapatan dan belanja melalui pengaturan kembali ketentuan yang ada dalam
pengelolaan
biaya.
Berdasarkan
Tangkilisan (2003 : 26) bahwa :
definisi
Anderson
dalam
“Penerapan reformasi pembiayaan berarti bahwa pemerintah telah melakukan pengaturan pengelolaan sumber daya melalui penetapan peraturan (regulasi dengan tujuan agar pengelolaan pendapatan dan belanja daerah oleh pemerintahan daerah lebih baik dari sebelumnya”. Perubahan paradigma pembiayaan APBD oleh pemerintah melalui regulasi sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan beberapa teori dan penelitian tentang pengelolaan biaya yang hamper relevan dengan apa yang dimaksud reformasi pembiayaan yaitu pengelolaan biaya yang merupakan suatu pengembangan organisasi karena secara terus-menerus memberikan dan menawarkan ide bagi organisasi untuk menemukan cara pengambilan keputusan yang benar untuk meningkatkan pelanggan dan mengurangi biaya. Aspek kedua yaitu bahwa secara sikap atau kebijakan, pengelolaan biaya harus seluruhnya dihasilkan dari suatu keputusan manajemen. Bila dikaitkan dengan tata pemerintahan khususnya didaerah, maka pengelolaan biaya yang paling relevan adalah menghasilkan aturan/kebijakan tertulis melalui suatu regulasi dibidang penerimaan atau regualsi dibidang pengeluaran. Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatan. Pemerintah daerah diharapkan mampu memainkan peranan dalam membuka peluang memajukan daerah dengan menumbuh kembangkan seluruh potensi sumber pendapatan daerah dan mampu menetapkan belanja daerah secara wajar, efisien dan efektif termasuk kemampuan perangkat daerah meningkatkan kinerjanya.
Menurut Halim (2001 : 19), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah : (1) Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumbersumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah, (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan keuangan pusat dan daerah. Secara umum ada lima aspek yang dipersiapkan dalam pengaturan perubahan otonomi daerah, yaitu : 1. Pengaturan kewenangan. 2. Pengaturan Kelembagaan. 3. Pengaturan Personil. 4. Pengaturan Asset dan Dokumen. 5. Pengaturan Keuangan. Dalam penulisan ini, aspek pengaturan kewenangan terutama terhadap pengelolaan belanja daerah dan pendapatan daerah serta daerah serta pengaturan dana perimbangan sebagai kekuatan utama otonomi daerah adalah lingkup kajian nantinya didalam pembahasan.
2.2 Penyerapan Anggaran 2.2.1 Pengertian Penyerapan Anggaran Penyerapan adalah pengeluaran keuangan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintah dalam rangka mendukung tugas dan fungsi satuan kerja. Penyerapan anggaran merupakan salah satu tahapan dari siklus anggaran yang dimulai dari perencanaan anggaran, penetapan dan pengesahan anggaran oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), penyerapan anggaran, pengawasan anggaran dan pertanggungjawaban penyerapan anggaran.Tahapan penyerapan anggaran ini dimulai ketika Undang-Undang (UU) Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) disahkan oleh DPR. Dalam rangka terjadinya kesatuan pemahaman serta kesatuan langkah dalam pelaksanaan, pemerintah sebagai pelaksana dari UU APBN selanjutnya menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara sebagai dasar hukum pelaksanaan APBN (Kuncoro, 2013). Dalam pemerintah daerah penyerapan anggaran berarti kegiatan atas pelaksanaan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (UU APBD) yang disahkan oleh DPRD. Penyerapan anggaran paling tidak ada dua macam sudut pandang.Sudut pandang pertama adalah membandingkan anggaran dengan realisasinya secara sederhana. Misalnya anggaran sebesar 100 juta sampai akhir tahun anggaran terealisir sebesar 91 juta berarti tingkat penyerapan anggaran sebesar 91%. Sedangkan sudut pandang kedua adalah proporsionalitas persentase penyerapan
anggaran yang berarti bahwa penyerapan anggaran cenderung menumpuk di akhir tahun(Paris Review,2011).
2.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2.3.1 Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, baik Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan Pemerintah dan Pelayanan masyarakat. Misi utama dari kedua Undang-undang tersebut bukan hanya keinginan untuk melimpahkan kewenangan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Daerah, tetapi lebih penting adalah peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Anggaran daerah pada hakekatnya merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan tanggung jawab. Adapun penggertian anggaran menurut Abdul Hakim (2005;158)
dalam bukunya yang berjudul
“Akuntansi Sektor Publik Akuntasni Keuangan Daerah” adalah sebagai berikut : “Anggaran adalah suatu rencana operasional yang dinyatakan dalam suatu uang dari organisasi, dimana suatu pihak menggambarkan suatu biaya/pengeluaran dan pihak lain menggambarkan perkiraan pendapatan atau penerimaan guna menutupi pengeluaran tersebut untuk satu periode tertentu yang umumnya satu tahun”.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa anggaran merupakan suatu keuangan yang terdiri dari pendapatan dan pengeluaran yang mana dalam pelaksanaan harus direncanakan dengan baik agar tujuan yang ditetapkan tercapai, begitu pula dengan pelaksanaan APBD. Definisi APBD menurut Abdul Hakim (2005;159) dalam bukunya “Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah” adalah sebagai berikut: “APBD merupakan rencana kegiatan pemerintah daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan menunjukkan adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal dan biaya yang merupakan batas maksimal untuk satu periode anggaran”. Sedangkan definisi APBD berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 sebagaimana yang telah diubah menjadi Peraturan Mentri Dalam Negri Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2001 pasal 1 adalah sebagai berikut : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keungan daerah tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat, dan ditetapkan dengan peraturan daerah.” Ada juga pengertian APBD menurut Tim Pengembangan Konten Akuntansi Sektor Publik Universitas Widyatama (2009;67) dalam bukunya “Akuntansi Sektor Publik” mengatakan bahwa : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencanan kegiatan Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan menunjukkan adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal dan biaya yang menjadi batas maskimal untuk satu periode anggaran”.
Menurut Deddi Nordiawan, Iswahyuni Sondi dan Maulidah Rahmawati (2009;30) dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Pemerintahan”, menyatakan bahwa : “Anggaran Pendapatan dan Bealanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oelh DPRD dan ditetapkan Oleh peraturan daerah”. Menurut Rahardjo Adissasmiti dalam bukunya yang berjudul “Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah” menyatakan bahwa : “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah suatu rencana operasional keuangan daerah disatu pihak menggambarkan penerimaan pendapatan daerah dan dilain pihak merupakan pengeluaran untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dalam satu tahun anggaran”. Menurut Yayasan Malang Coruptin Watch (MCW) tahun 2005, pengertian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah : “APBD adalah Rencana Pendapatan dan Belanja suatu Daerah (APBD) untuk satu tahun berjalan (1 periode) yang ditetapkan dengan Peraturann Daerah (perda)”. Pengertian lain dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh Badan Perencanaan Daerah Kota Cimahi Tahun 2006 adalah : “Sasaran dan kebijakan daerah dalam satu tahun anggaran yang menjadi petunjuk dan ketentuan umum yang disepakati sebagai pedoman penyusunan (R-APBD) dan (RP-APBD)”. Menurut Husen Romadhona (2008) dalam blognya husen30blogspot.com, menyatakan pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah :\ “Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Dari beberapa pengertian di atas jelas bahwa APBD haruslah disusun dengan baik dan dipertimbangkan dengan seksama dengan memperhatikan skala priorotas dan dalam pelaksanaannya harus menagcu pada sasaran dengan cara yang berdaya gunan dan berhasil guna. 2.3.2 Karakteristk APBD Karakteristik APBD di era pra-reformasi tersebut adalah sebagai berikut : 1. APBD disusun oleh DPRD bersama-sama kepala daerah (pasal 30 Undangundang nomor 5 tahun 1975) 2. Pendekatan dalam penyusunan anggaran adalah pendekatan line item atau pendekatan tradisional. Dalam pendekatan ini anggaran disusun berdasarkan jenis penerimaan dan jenis pengeluaran. Jadi, setiap baris dalam APBD menunjukkan jenis penerimaan dan pengeluaran. Penggunaan pendekatan ini bertujuan untuk melakukan pengendalian atas pengeluaran. Pendekatan ini merupakan yang paling tradisional (tertua) diantara berbagai pendekatan penyusunan anggaran. Pendekatan yang lebih maju misalnya sebagai berikut : 1. Program Budgeting Anggaran disusun berdasarkan pekerjaan atau tugas yang akan dijalankan. Pendekatan ini menggunakan efektivitas. 2. Performance Budgeting Penekanan pendekatan ini ada pada pengukuran hasil pekerjaan (kinerja) sehingga output dapat dibandingkan dengan pengeluaran dana yang telah dilakukan. Pendekatan ini menggunakan efisiensi. 3. Planning, Programming and Budgeting System (PPBS)
Pendekatan ini merupakan variasi dari Performance Budgeting. PPBS menggabungkan tiga unsur, yaitu : perencanaan hasil, pemograman kegiatan fisik untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan penganggaran (alokasi dana) untuk mencapai hasil yang diinginkan. 4. Zero Base Budgeting (ZBS) Pendekatan penganggaran dasar nol ini juga merupakan variasi dari Performance Budgeting yang menitik beratkan pada efisiensi dan anggaran. Oleh karenannya menurut pendekatan ini, penyusunan anggaran dengan didasarkan pada anggaran tahun lalu mengandung resiko tersusunnya anggaran yang efisien. Hal ini terjadi jika anggaran tahun lalu inefisien. Karena tidak dapat menggunakan anggaran tahun berjalan, maka pendekatan ini menuntut perencanaan yang baik. Hal ini dapat dicapai melalui pengoordinasian bagian perencanaan dan penganggaran dalam satu wadah organisasi. 3. Siklus APBD terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeriksaan serta penyusunan dan penetapan perhitungan APBD. Penyusunan dan penetapan perhitungan APBD merupakan pertanggungjawaban APBD. Pertanggungjawaban itu dilaksanakan dengan menyampaikan perhitungan APBD kepada mentri dalam negri tingkat I dan kepada gubernur untuk tingkat II. Jadi, pertanggungjawaban itu bersifat vertikal. 4. Dalam tahap pengawasan dan pemeriksanan serta tahap penyusunan dan penetapan perhitungan APBD, pengendalian dan pemeriksaan/audit APBD bersifat keuangan. Hal ini tampak pada pengawasan APBD berdasarkan objek
yang meliputi pengawasan pendapatan daerah dan pengawasan pengeluaran daerah. Pengawasan tersenbut tidak memperhitungkan pertanggungjawaban dari aspek lain, misalnya dari aspek kinerja. 5. Pengeluaran terhadap pengeluaran daerah dilakukan berdasarkan ketaatan terhadap tiga unsur utama, yaitu : unsur ketaatan pada peraturan undangundang yang berlaku, unsur kehematan dan efisiensi dan hasil program(untuk proyek-proyek daerah). 6. System akuntansi keuangan daerah menggunakan stesel cameral (tata buku anggaran). Menurut stesel (system pembukuan) ini, penyusunan anggaran dan pembukua saling mempengaruhi. Dasar pemilihan stesel, yaitu stesel cameral dan bukannya stesel komersil (tata buku kembar atau berpasangan) adalah tujuan pembukuan. Karena tujuan pembukuan keuangan daerah di era prareformasi adalah pembukuan pendapatan, maka stesel yang cocok adalah stesel kameral. Jika tujuan pembukuan keuangan daerah adalah pembukuan harta, maka stesel yang cocok adalah stesel komersil. Pada stesel kameral diperolehnya pendapatan yaitu pada saat penerimaan sedangkan pembiayaan terjadi pada saat dilakukan pembayaran. Oleh karena itu stesel kameral disebut juga pembukuan kas. 2.3.3 Tujuan APBD Menurut mardiasmo (2002) tujuan dari proses penyusunan anggaran pada sector pemerintah adalah : 1. Membantu pemerintah mencapai tujuan fiscal dan meningkatkan koordinasi antar bagian dalam lingkungan pemerintah.
2. Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan jasa publik melalui proses prioritas. 3. Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi orioritas belanja. 4. Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada DPR/APRD dan masyarakat luas 2.3.4 Fungsi APBD Menurut Pasal 16 Peraturan Mentri Dalam Negri No. 13/2006 , APBD memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. 2. Perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 3. Pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menajdi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaran peemerintah sudah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. 4. Alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk meciptakan lapangan kerja/mengurangi pengguran atau pemborosan sumber
daya
sehingga
meningkatkan
efisiensi
dan
efektivitas
perekonomian. 5. Distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.
6. Stabilitas mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Menurut Chabib Soleh dan Heru Rohmansjah (2010;142) dalam bukunya yang berjudul “Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah” menyatakan bahwa fungsi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ada 7 yaitu : 1. Fungsi otoritas bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan. Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuasaan untuk dilaksanakan. 2. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.kteriti 3. Fungsi perencanaan bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. 4. Fungsi pengawasan mengandung makna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintahan daerah. 5. Fungsi alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengganguran dan pemborosan sumberdaya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah.
6. Fungsi distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penggangaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan keputusan. 7. Fungsi stabilitas memiliki makna bahwa anggara daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. 2.3.5 Prinsip Penyusunan APBD Sebagaimana dalam Peraturan Mentri Dalam Negri No. 30/2007 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007 bahwa dalam penyusunan APBD agar memperhatikan sebagai berikut : 1. Partisipasi Masyarakat Hal ini mengandung makna bahwa pengambilan keputusan dalam proses penyusunan dan penetapan APBD sedapat mungkin melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga masyarakat mengetahui akan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan APBD. 2. Transparansi dan Akuntanbilitas Anggaran APBD yang disusun dapat menyajikan informasi secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat meliputi tujuan, sasaran, sumber pendanaan pada setiap jenis belanja serta korelasi antara besaran anggaran dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai dari suatu kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu, setiap pengguna anggara harus bertanggung jawab terhadap penggunaan sumber daya yang dikelola untuk mencapai hasil yang ditetapkan.
3. Disiplin Anggaran Beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan antara lain: a. Pendapatan yang direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan basis tertinggi pengeluaran belanja. b. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggaran dalam APBD/perubahan APBD c. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas umum daerah 4. Keadilan Anggaran Pajak daerah, retribusi daerah dan pungutan daerah lainnya yang dibebankan kepada masyarakat harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Masyarakat yang memiliki kemampuan pendapatan rendah secara proposional diberi beban yang sama, sedangkan masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban tinggi pula. Untuk menyeimbangkan kedua kebijakan tersebut pemerintah daerah dapat melakukan perbedaan tarif secara rasional guna menghilangkan rasa ketidakadilan. Selain dari itu dalam mengalokasikan
belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan. 5. Efisiensi dan Efektivitas Anggaran Dana yang tersedia harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran dalam perencanaan anggaran perlu memperhatikan: a. Tujuan, sasaran, hasil dan manfaat, serta indicator kinerja yang ingin dicapai. b. Penetapan prioritas kegiatan dan perhitungan beban kinerja serta penetapan harga satuan yang rasional. 6. Taat Azas APBD sebagai rencana keuangan tahunan pemerintah daerah untuk ditetapkan dengan peraturan, memperhatikan: a. APBD tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, mengandung arti bahwa apabila pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dicantumkan dalam rancangan peratura daerah tersebut telah sesuai dengan ketentuan undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, atau peraturan/keputusan/surat edaran mentri yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hokum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tingi. Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tersebut mencakup kebijakan yang berkaitan dengan keuangan daerah. b. APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, mengandung arti bahwa rancangan peraturan daerah tentang APBD lebih diarahkan agar mencerminkan keberpihakkan kepada kebutuhan dan kepentingan masyarakat (publik) dan bukan membebani masyarakat. Peraturan daerah
tidak
boleh
menimbulkan
diskriminasi
yang
dapat
mengakibatkan ketidakadilan, menghambat kelancaran arus barang dan pertumbuhan
ekonomi
masyarakat,
pemborosan
negara/daerah,
memicu
ketidakpercayaan
masyarakat
keuangan kepada
pemerintah, dan mengganggu stabilitas keamanan serta ketertiban masyarakat secara keseluruhan mengganggu jalannya penyelenggaraan pemerintah daerah. c. APBD
tidak
bertentangan
dengan
peraturan
daerah
lainnya,
mengandung arti bahwa apabila kebijakan yang dituangkan dalam peraturan daerah tentang APBD tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah sebagai penjabaran lebih lanjut dari perundangundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masingmasing daerah. Sebagai kensekuensinya bahwa rancangan peraturan daerah tersebut harus sejalan dengan peraturannya tentang pokokpokok pengelolaan keuangan daerah dan menghindari adanya tumpang tindih dengan peraturan daerah lainnya, seperti: Peraturan mengenai Pajak Daerah, Retribusi daerah dan sebagainnya.
2.3.6 Bentuk dan Susunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Proses penyusunan APBD
merupakan suatu kegiatan yang utuh dan
kepada yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah pada setiap tahun anggaran. Peraturan-peraturan pemerintah mengenai keuangan daerah mengisyaratkan agar laporangan keuangan makin informatif. APBD sendiri terdiri dari tiga bagian yaitu : pemeriksaan, pengeluaran dan pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori baru yang belum ada di APBD pada era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin informatif, yaitu memissahkan pinjaman dari pendapatan daerah, hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak pemerintah daerah. Selain itu dalam APBD mungkin terdapat surplus atau defisit. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber pendapatan defisit anggaran. Struktur APBD menurut Mardiasmo (2007:123) dalam bukunya yang berjudul “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah” yang merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan, belanja dan pembiayaan. 2.3.6.1 Pendapatan Daerah Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam bentuk peningkatan aktiva atau penerimaan utang dari berbagai sumber dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Secara umum pendapatan dalam APBD dikelompokkan yaitu : 1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah merupakan suatu penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi
asli daerah. Kelompok pendapatan daerah
dipisahkan menjadi empat, yaitu : a. Pajak daerah Pajak daerah merupakan penerimaan yang berasal dari pajak. Penerimaan ini meliputi : pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir. b. Restribusi Retribusi merupakan penerimaan daerah yang berasal dari retribusi daerah yang meliputi : retribusi pelayanan parkir, retribusi pelayanan parkiran, retribusi penggantian biaya, retribusi pelayanan kebersihan, retribusi penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP), retribusi penggantian biaya
cetak
Akte
Catatan
Sipil,
retribusi
pelayanan
pemakaman, retribusi pelayanan pasar, reti busi pengujian kendaraan bermotor, retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, reribusi izin pemanfaatan hutan, retibusi izin pengujian kapal perikanan, retribusi jasa usaha pemakaian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir dan atau pertokoan, dan lain-lain. c. Hasil Perusahan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan meliputi : bagian laba perusahaan milik daerah, bagian laba lembaga keuangan bank, bagian laba
lembaga keuangan non bank, bagian laba atas penyetoran modal/investasi kepada pihak ketiga. d. Lain-Lain Pendapatan Daerah yang sah, meliputi : hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan, penermaan jasa giro, penerimaan dinas pertanian tanaman pangan, penerimaan bunga deposito, denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah, penerimaan lainnya. 2.3.6.2 Dana Perimbangan Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dilokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. a. Bagi Hasil •
Bagi hasil pajak terdiri dari : Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan hak ataas tanah dan bangunan, Pajak penghsilan orang pribadi (Pph 21)
•
Bagi hasil bukan pajak, terdiri dari : iuran hak pengusahaan hutan (HPH), provisi sumber daya hutan (PSDH), iuran tetap, iuran eksplorasi, iuran eksplorasi (royalti), penerimaan pengusahaan perikanan, penerimaan pungutan hasil perikanan, penerimaan dari sektor minyak bumi, penerimaan dari sektor pertambangan gas alam.
b. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaraannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. c. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan pola daerah yang membiayai kebutuhan tertentu. d. Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Dari Provinsi 2. Lain-Lain Pendapatan yang Sah a. Bantuan dana Kontinjensi/Penyeimbang dari Pemerintah b. Dana Darurat 2.3.6.3 Belanja Daerah Belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada suatau periode anggaran. Secara umum belanja dalam APBD dikelompokkan meliputi empat, yaitu : 1. Belanja Anggaran Daerah a. Belanja Administrasi Umum, yaitu semua pengeluaran pemerintah daerah yang berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja ini dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1. Belanja Pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah daearah untuk orang/personil yang tidak berhubungan langsun dengan
aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai. Belanja pegawai ini meliputi biaya gaji dan tunjangan, biaya keperawatan dan pengobatan, dan biaya pengembangan sumber daya manusia. 2. Belanja Barang dan Jasa, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyedia barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Baiya barang/jasa meliputi biaya barang habis pakai, biaya pakaian dinas, biaya langganan. 3. Belanja Perjalanan Dinas, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan yang berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik. Belanja ini terdiri dari belanja perjalanan dinas, biaya perjalanan pindahan, biaya pemungutan pegawai yang gugur. 4. Biaya pemeliharaan merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan pubik. Belanja ini terdiri dari biaya pemeliharaan gedung kantor, biaya pemeliharaan rumah dinas dan
asrama,
pemeliharaan
biaya
pemeliharaan
peralatan
kantor,
meubeul biaya
air,
biaya
pemeliharaan
emplacemenet kantor. b. Belanja Operasi dan Pemeliharaan, yaitu semua pengeluaran pemerintah daerah yang berhubungan dengan aktivitas atas
pelayanan publik. Belanja ini dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu : 1. Belanja Pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang berhubungan dengan aktivitas dengan kata lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variabel, meliputi : honorarium, upah lembur, upah uang paket dan insentif. 2. Belanja barang dan jasa, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan pelayanan publik, meliputi biaya sewa, biaya bahan percontohan. 3. Biaya perjalanan dinas, merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya perjalanan pegawai yang berhubungan langsung denga pelayanan publik, meliputi : biaya perjalanan dinas dalam daerah dan perjalanan dinas luar daerah. 4. Biaya pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang mempunyai hubungan langsung dengan pelayanan publik. Terdiri dari biaya pemeliharaan gedung pelayanan
umum,
pemeliharaan
biaya
kendaraan,
pemeliharaan
jembatan
dan
jalan,
pemeliharaan
peralatan
operasional,
pemeliharaan sungan dan saluran/kanal, pemeliharaan museum, pemeliharaan
terminal,
pemeliharaan
kebon
dan
ternak,
dan
pemeliharaan emplacement. 2. Belanja Pelayanan Publik a. Belanja Administrasi Umum
Merupakan
semua
pengeluaran
pemerintah
daerah
yang
berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja ini dikelompokan menjadi empat, yaitu : 1. Belanja pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah untuk orang/personil yang tidak berhbungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai. 2. Belanja barang dan jasa, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyedia barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik. 3. Belanja perjalanan dinas, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan yang berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik. 4. Biaya pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik. b. Belanja Operasinal dan Pemeliharaan Merupakan semua pengeluaran pemerintah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. 1. Belanja pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah yang berhubungan dengan aktivitas, dengan kata lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variabel.
2. Belanja barang dan jasa, merupakan pengeluaran pehmerintah daerah untuk penyedia barang dan jasa, yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik. 3. Belanja perjalanan dinas, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk biaya perjalanan pegawai yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik. 4. Biaya pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang mempunyai hubungan langsung dengan pelayanan publik. c. Belanja Modal Merupakan pengeluaran pemerintah daerah yag manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah belanja yang sifatnya aparatur. 3. Belanja Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan manapun keuntungan dari pengalihan uang. Belanja ini meliputi : bantuan, dana perimbangan, pembayaran bunga pinjama, dana cadangan. 4. Dana Tidak Disangka Merupakan pengeluaran yang dilakaukan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian diluar biasa.
2.3.6.4 Pembiayaan Menurut Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban
Keuangan
Daerah,
pengertian
dari
Anggaran
Pembiayaan adalah sebagai berikut : “Pembiayaan adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksud untuk menutupi selisih biaya pendapatan daerah dan belanja daerah”. Anggaran Pembiayaan sebagaimana telah dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, bahwa dalam pelaksanaannya anggaran pembiayaan tersebut dapat dilaksanakan apabila terjadi defisit manapun surplus sebagai akibat adanya selisih antara pendapatan dengan biaya. Menurut Mardiasmo (2007:164) dalam bukunya yang berjudul “Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah” bahwa pembiayaan dapat berupa : a. Sisa lebih piutang tahun lalu Sisa lebih piutang tahun lalu menjadi bagian dari anggaran pembiayaan yang dapat menyeimbangakan baik defisit maupun surplus dan atau dappat digunakan sebagai dana awal pembiayaan belanja. b. Pinjaman Daerah Pinjaman arus utang adalah kewajiban pemerintah daerah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu penyelesaiannya diarahkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya pemerintah dengan mengandung manfaat ekonomi. c. Penjualan Aset Daerah yang Dipisahkan
Maksudnya yaitu penjualan atas aset atau kekayaan daerah yang dipisahkan. d. Dana Cadangan Dana cadangan adalah dana yang dianggarkan pemerintah untuk membiayai kebutuhan danan yang tidak dapat dipastikan dalam satu tahun anggaran dari dana cadangan lainnya disediakan dari pelampuan target dari hasil perhitungan APBD. e. Peryertaan Modal 2.3.7 Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Siklus atau garis APBD merupakan suatu proses mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Siklus/alur APBD secara garis besar adalah sebagai berikut : a. Diadakan Musyawarah Perencanaan Kegiatan Tahunan (MPKT) dalam persiapan pelaksanaan anggaran pembangunan dalam suatu anggaran dan melakukan pengajaran
aspirasi masyarak untuk pelaksanan kegiatan
tersebut. b. Penyusunan Arah Kebijakan Umum (AKU) Setelah melakukan MPKT tersebut maka dibuatkanlah arah dan pelaksanaan APBD atau kesepakatan dari Badan Legislatif dan Eksekutif. c. Penyusunan RAPB dan RASK d. Dengan terbentuknnya arah kebijakan umum (AKU) maka disuusunlah RAPBD oleh panitia anggaran, kemudian dibuat Rencana Anggaran Satuan Kerja (RASK) untuk melaksanakan kegiatannya.
e. Perubahan RAPBD mnejadi APBD yang ditetapkan menjadi peraturan daerah. f. Penyusunan dan Penetapan DASK Setelah APBD disahkan menjadi peraturan daerah tentang APBD maka khusus Pelaksananan Kegiatan Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) maka pelaksanaan anggaran pembangunan dalam satu tahun anggaran. Dasar Hukumunya adalah keputusan Mentri Dalam Negri No. 29 tahun 2003 penetapan penjabat yang memberi wewenang menandatangani Surat Keputusan Otorisasi (SKO) g. Surat Permintaan Pembayaran (SPP) diajukan oleh pemegang kas kepada Kepala Daerah lewat bagian Keuangan berdasarkan SKO/DASK yang telah diterima untuk kepentingan pengembalian dalam pelaksanaan APBD. h. Surat Pemerintah Membayar Uang (SPMU) diajukan untuk menjaga keamanan uang daerah, maka semua pengeluaran yang memberatkan anggaran
daerah
dilakukan
dengan
memutuskan
SPMU
yang
ditandatangani oleh penjabat atas sama kepala daerah yang ditunjuk dengan surat keputusan dasar penerbitan SPMU adalah SKO dan SPP yang lengkap dan memenuhi syarat. i. Surat
Pertanggungjawaban
(SPJ)
pengelolaan
keuangan
daerah
mempertanggungjawabkan pengurusan keuangan daerah melalui SPJ. 2.3.8 Analisis Rasio Analisis rasio dapat mengungkapkan hubungan penting dan menjadi dasar perbandingan dalam menemukan kondisi dan tren yang sulit untuk dideteksi
dengan mempelajari masing-masing komponen yang membentuk rasio (Wild, Subramanyan, Hasley, 2004). Menurut Harahap, 2006: 297 dalam Lutfia (2011) rasio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari suatu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan. 23 Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa analisis rasio keuangan adalah prosedur analitis yang dapat digunakan untuk membandingkan pos-pos keuangan pada laporan tahun berjalan dengan pos-pos terkait laporan periode sebelumnya. Alat rasio keuangan yang digunakan adalah analisis rasio yang dikembangkan berdasarkan data keuangan yang bersumber dari anggaran pendapatan belanja daerah (Halim, 2004: 128) yaitu: a. Rasio
Kemandirian
keuangan
daerah
menunjukkan
kemampuan
Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan restibusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan dalam daerah. Skala pengukurannya adalah skala rasio dengan rumus :
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah =
PAD Total Pendapatan Daerah
b. Rasio Efektivitas dan Efisiensi Pendapatan Asli Daerah Rasio Efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam mendefinisikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala dengan rumus :
Rasio Efektivitas = Realisasi Penerimaan PAD Rencana Penerimaan PAD
Rasio Efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatanpendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio dengan rumus : Rasio Efisiensi
= Biaya untuk memperoleh PAD Realisasi Penerimaan PAD
c. Rasio aktivitas/keserasian terdiri dari: Rasio Belanja Rutin/Belanja Tidak Langsung terhadap APBD dan Rasio Belanja Pembangunan/Belanja Langsung terhadap APBD. Rasio keserasian ini melihat keserasian antara Rasi Belanja Tidak Langsung dan Rasio Belanja Langsung. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio dengan rumus: Rasio Belanja Rutin =
Total Belanja Tidak Langsung Total APBD
Rasio Belanja Pembangunan =
Total Belanja Langsung Total APBD
d. Rasio Pertumbuhan (growh ratio) mengukur seberapa besar kemampuan Pemerintah Daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilan yang telah dicapai dari period eke
periode berikutnya. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala rasio dengan rumus: Rasio Pertumbuhan = Realisasi Tahun Ke-n Realisasi Tahun Ke-n-1
2.4 Kinerja 2.4.1 Pengertian Kinerja Istilah kinerja merupakan terjemahan dari performance yang sering diartikan oleh para cendekiawan sebagai penampilan, unjuk kerja, atuau prestasi (Keban, 2004). Secara etimologis, kinerja adalah sebuah kata yang dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar “kerja” yang menerjemahkan kata dari bahasa asing prestasi, bias pula berarti hasil kerja. Sehingga pergertian kinerja dalam organisasi merupakan jawaban dari berhasil atau tidaknya tujuan organisasi yang ditetapkan. Sedangkan Prawirosentoso (1999) mendefinisikan kinerja sebagai performance, yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengam wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna mencapai dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.
2.3.9 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang dipengaruhi oleh beberapa factor. Dalam Keban (2004) untuk melakukan kajian lebih mandalam tentang faktorfaktor yang mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, maka perlu melihat beberapa faktor penting berikut : a. Kejelasan tuntutan hokum atau peraturan perundang-undangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat. Dalam kenyataan, orang menilai secara subyektif dan penuh dengan bias tetapi tidak ada suatu aturan hokum yang mengatur atau mengendalikan perbuatan. b. Manajemen sumber daya manusia yang berlaku memiliki fungi dan proses yang sangat menentukan efektivitas penilaian kinerja. Aturan main yang menyangkut siapa yang harus menilai, kapan menilai, kriterian apa yang digunakan dalam system penilaian kinerja sebenarnya diatur dalam manajemen sumber daya manusia juga yang mengatur kunci utama keberhasilan system penilaian kinerja. c. Kesesuaian antara paradigm yang dianut oleh manajemen suatu organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Apabila paradigm yang dianut masih berorientasi pada manajemen klasik, maka penilaian selalu bias kepada pengukuran tabiat atau karakter pihak yang dinilai, sehingga prestasi yang seharusnya menjadi focus utama kurang diperhatikan.
d. Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja. Bila mereka selalu memberikan komitmen yang tinggi terhadap efektivitas penilaian kerja, maka para penilai yang ada dibawah otoritasnya akan selalu berusaha melakukan penilaian secara tepat dan benar. Menurut Atmosoeprapto (2004) mengemukakan bahwa kinerja organisasi dipengaruhi oleh factor internal dan factor eksternal, secara lebih lanjut kedua factor tersebut diuraikan sebagai berikut : a. Faktor internal 1. Tujuan organisasi, yaitu apa yang akan dicapai dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu organisasi. 2. Struktur organisasi, sebagai hasil desain antara fungsi yang akan dijalankan oleh unit organisasi dengan struktur formal yang ada. 3. Sumber Daya manusia, organisasi
sebagai
yaitu kualitas dan pengelolaan anggota
pengerak
jalannya
organisasi
secara
keseluruhan. 4. Budaya organisasi, yaitu gaya dan identitas suatu organisasi dalam pola kerja yang baku menjadi citra organisasi yang bersangkutan b. Faktor eksternal 1. Faktor politik, yaitu hal yang berhubungan dengan keseimbangan kekuasaan Negara yang berpengaruh pola keamanan dan ketertiban, yang akan mmempengaruhi ketertiban organisasi untuk berkarya secara maksimal.
2. Faktor ekonomi, yaitu tingkat perkembangan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai daya beli untuk menggerakan sektor-sektor lainnya sebagai suatu sistem ekonomi yang lebih besar. 3. Faktor sosial, yaitu orientasi nilai yang berkembang di masyarakat, yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap etos kerja yang dibutuhkan bagi peningkatan kinerja organisasi. Dari berbagai pendapat di atas dapat didimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja dalam suatu organisasi. Namun secara garis besarnya, faktor yang sangat dominan mempengaruhi kinerja organisasi adalah faktor internal (faktor yang datang dari dalam organisasi) dan fakor eksternal (faktor yang datang dari luar ka karena pada hakekatnya setiap organisasi
memiliki
ciri
atau
karakteristik
mngasing-masing
sehingga
permasalahan yang dihadapi juga cenderung berbeda tergantung pada faktor internal dan eksternal organisasi. 2.3.10 Penilaian Kinerja Bastian (2001) menyatakan bahwa pengukuran dan pemanfaatan penilaian kinerja akan mendorong pencapaian tujuan organisasi dan akan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus. Secara rinci, Bastian mengemukakan peranan penilaian pengukuran kinerja organisasi sebagai berikut : a. Melakukan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi, b. Memastikan tercapainya skema prestasi yang disepakati,
c. Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan perbandingan secara skema kinerja dan pelaksanaan, d. Memberikan penghargaan maupun hukuman yang objektif dan prestasi pelaksaan yang telah diukur, sesuai dengan system pengukuran yang telah disepakati, e. Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi, f. Membantu proses kegiatan organisasi, g. Memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan secara objektif, h. Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan, i. Menggungkapkan permasalah yang terjadi. 2.3.11 Indikator Kinerja Salim dan Woodwad (1992) mengemukakan indikator kinerja antara lain : economy, efficiency, effectiveness, dan equity. Secara lebih lanjut indikator tersebut adalah sebgai berikut : a. Economy atau ekonomi adalah penggunaan sumber daya sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. b. Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukan tecapainya perbandingan terbaik secara masukan dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan public.
c. Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. d. Equity atau kualitas adalah pelayanan publik yang diselenggarakan dengan menghentikan aspek-aspek kemerataan. Dwiyanto (2006) mengukur kinerja berorientasi publik berdasarkan adanya indikator yang lebih lanjut diperlukan sebagai berikut : a. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudia General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting. b. Kualitas Layanan Isu mengenai laporan cenderung semakin menjadi penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak padangan negative yang
terbentuk mengenai organisasi public muncul karena
ketidakpasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. c. Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat menyusun agenda dan prioritas pelayanan,
mengembangkan program-program pelayanan public sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Responsivitas
diamsukan
sebagai salah satu indikator kinerja karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan organisasi public dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah ditunjukan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sednirinya memiliki kinerja yang jelek pula. d. Responbilitas Responbilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi public itu dilakukan seseuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang ekspilit maupun implisit. Oleh sebab itu, responblitas bias saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas. e. Akuntanbilitas Akuntanbilitas public menunjuk pada seberapa besarnya kebijakan dan kegunaan organisasi publik tunduk pada para penjabat politik tersebut karena
dipilih
oleh
rakyat,
dengan
sendirinya
akan
selalu
mempresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, konsep dan
akuntanbilitas public dapat digunakan untk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak. Kinerja organisasi publik tidak hanya dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian targer. Kinerja sebaiknya harus diukur dari ukuran eksternal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan orgnisasi public memiliki akuntanbilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Indikator pengukuran kinerja yang dikemukakan oleh Dwiyanto (2006) meliputi lima indikator, yaitu produktivitas, kualitas layanan, responsivitas, responbilitas dan akuntanbilitas. Mengenai akuntanbilitas, Dwiyanto (2006) mengemukakan bahwa akuntanbilitas dalam penyelenggaraan pelayanan public sebagai suatu ukuran
yang
menunjukan
seberapa
besar
tingkat
kesesuaian
penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai dan norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki oleh para stakeholders. acuan Pelayanan yang digunakan oleh organisasi publik juga dapat menunjukan tingkat akuntanbilitas pemberian pelayanan public. Acuan pelayanan yang dianggap paling penting oleh suatu organisasi public adalah dapat mereflesikan pola pelayanan yang dipergunakan yaitu pola pelayanan yang akuntabel yang mengacu pada kepuasan public sebagai pengguna jasa.
Dengan demikian, akuntanbilitas dalam pengguna anggaran merupakan
bentuk
pertanggungjawaban
instansi
pemerintah
Kota
Bandung atas penyelenggaraan pelayanan public, kemudian public memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut secara langsung maupun tidak langsung.
2.4 Kerangka Teori Dalam pelaksanaan APBD pemerintah daerah menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dan ramalan (prognosis) untuk enam bulan berikutnya.Laporan disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan pemerintah daerah. Penyusuaian APBD dengan perkembangan dan perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan rancangan perubahan APBD tahun anggaran yang bersangkutan, terjadi jika : 1. Perkembangan tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; 2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, antar jenis belanja; 3.
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
Mahsun (2006: 25) menyatakan bahwa kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misi organisasi.Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi individu
maupun kelompok.Kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau individu kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolak ukurnya. Mahsun (2006: 152) menyatakan bahwa analisis varians anggaran pendapatan dilakukan dengan cara menghitung selisih antara pendapatan dengan yang dianggarkan. Biasanya selisih anggaran sudah di informasikan dalam laporan realisasi anggaran yang disajikan oleh pemerintah daerah. Informasi selisih anggaran tersebut sangat membantu pengguna laporan dalam memahami dan menganalisis kinerja pendapatan. Rasio ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelolapendapatan (Marizka, 2010:40).Semakin tinggi PAD, maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi. Mahsun (2006: 191) menjelaskan bahwa rasio ini mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam menghasilkan pendapatan dari pajak daerah. Efektivitas (hasil guna) adalah ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam usaha mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Efektivitas merupakan perbandingan outcome dan output. Outcome merupakan dampak suatu program atau kegiatan terhadap masyarakat sedangkan output merupakan hasil yang dicapai dari suatu program aktivitas dan kebijakan. Untuk mengukur tingkat efektivitas dalam pengelolaan keuangan dengan melihat
perbandingan anggaran pendapatan dengan realisasinya dan presentase tingkat pencapaiannya. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat efektivitas dari sektor pajak dapat dilakukan dengan cara membandingkan realisasinya dengan rancangan penerimaan pajak daerah. Mahsun (2006: 152) menyatakan bahwa analisis varians merupakan analisis terhadap perbedaan atau selisih antara realisasi belanja dengan anggaran belanja.Berdasarkan laporan realisasi anggaran yang disajikan, pembaca laporan dapat mengetahui secara langsung besarnya varians anggaran belanja dengan realisasinya yang bisa dinyatakan dalam bentuk nilai nominalnya atau presentasenya. Marizka (2010 : 42) menjelaskan bahwa rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintah daerah memprioritaskan alokasi dananya pada belanja secara optimal.Baik itu untuk belanja langsung maupun untuk belanja tidak langsung. Rasio ini digunakan untuk mengukur tingkat penghematan anggaran yang dilakukakan pemerintah.Efisiensi berhubungan dengan metode operasi (Marizka, 2006: 43). Proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil karya tertentu mempergunakan sumber daya dan dana yang serendah rendahnya. Efisiensi merupakan perbandingan antara ouput dengan input. Untuk mengukur tingkat efisiensi dalam mengelola keuangan dengan melihat perbandingan antara realisasi belanja dengan total belanja. Rasio pertumbuhan (growth ratio), Halim (2007 :128) rasio pertumbuhan dimaksudkan untuk mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang dicapai dari periode ke
periode berikutnya. Rasio pertumbuhan dikatakan baik, jika setiap tahunnya mengalami pertumbuhan positif atau mengalami peningkatan. Penelitian Terdahulu : 1. Daling (2013) dengan judul Analisis Kinerja Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara Tahun Anggaran 2009-2011. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kinerja realisasi APBD Pemerintah Kab. Minahasa tenggara selama periode 2009-2011. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan kinerja pendapatan pada pemerintah kab. Minahasa tenggara belum efektif sedangkan untuk kinerja belanja telah efektif. 2. Paat (2013) dengan judul Perbandingan Kinerja Pengelolaan APBD antara Pemerintah Kota Tomohon dan Pemerintah Kota Manado. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisa dan membandingkan kinerja pengelolaan APBD antara Kota Tomohon dan Kota Manado. Metode yang digunakan adalah metode deksriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan kinerja Pemerintah Kota Tomohon lebih baik dari Pemerintah Kota Manado dalam mengelola APBD pada tahun anggaran 2010-2011. Menurut Tedy Rusmawan (2011)Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung menyoroti semakin bertambahnya indikator kegagalan capaian target kinerja Pemerintah Kota Bandung dari tahun ke tahun. Hal ini mengindikasikan kinerja Pemerintah Kota Bandung yang
menurun dari tahun ke tahun semakin banyak yang tidak tercapai. Pada tahun 2009 ada 36 indikator, 2010 ada 47 indikator, dan tahun 2011 ada 50 indikator. Indikator yang mengalami kegagalan dari tahun ke tahun tidak menjadi suatu prioritas, maka sebenarnya pembangunan di Kota Bandung tanpa arah. (www.dprd-bandungkota.go.id) . Alat analisisnya yang digunakan pada penelitian ini yakni Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Efisiensi PAD, Rasio Efektifitas PAD, Rasio Aktivitas dan Rasio DSCR. Dengan menggunakan ke lima alat analisis ratio tersebut peneliti bisa mengetahui sejauh mana kinerja pembangunan Kota Bandung. Apabila digambarkan dalam satu skema, maka peneliti membuat kerangka konseptual penelitian sebagaimana ditunjukkan pada gmbar 2.1 sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Azas Dekonsentrasi
Otonomi Daerah
Pemerintah Daerah
Anggaran Pendapatan & Belanja Daerah
Penjabaran APBD
Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
Strategi Pengelolaan APBD & Pola Kebijakan Publik
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Bagian Pembangunan & Sumber Daya Alam
Analisis Laporan Keuangan dengan Menggunakan Rasio
Rasio Kemandirian
Rasio Efisiensi & Efektivitas
Rasio Aktivitas (BTL & BL)
Rasio Pertumbuhan
Penyerapan Anggaran
Belanja Langsung
Income (Penanaman Modal)
Kinerja Pembangunan
2.5 Hipotesis Menurut Sugiyono, pengertian hipotesis adalah : “Jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pernyataan”.
Penyerapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (X)
Kinerja Pembangunan (Y)
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, dan dukungan teori yang ada maka diajukan hipotesis penelitian yaitu: H0 : Penyerapan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah tidak berpengaruh terhadap Kinerja Pembangunan Kota Bandung H1 :
Penyerapan Anggaran Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap
Kinerja Pembangunan Kota Bandung.