BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kelas Ibu Balita Kelas ibu balita adalah kelas dimana para ibu yang mempunyai anak berusia
antara 0 sampai 5 tahun secara bersama-sama berdiskusi, tukar pendapat, tukar pengalaman akan pemenuhan pelayanan kesehatan, gizi dan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan dibimbing oleh fasilitator, dalam hal ini digunakan buku KIA (Kemenkes RI, 2009b). Kelas ibu balita diselenggarakan secara partisipatif, artinya para ibu tidak diposisikan hanya menerima informasi karena pasif cenderung tidak efektif dalam perubahan perilaku. Oleh sebab itu kelas ibu balita dirancang dengan metode belajar partisipatoris dimana para ibu tidak dipandang sebagai murid, melainkan sebagai warga belajar. Dalam prakteknya para ibu didorong untuk belajar dari pengalaman sesama, sementara fasilitator berperan sebagai pengarah kepada pengetahuan yang benar. Fasilitator bukanlah guru atau dosen yang mengajari, namun dalam lingkup terbatas ia dapat menjadi sumber belajar (Kemenkes RI, 2009a). Tujuan secara umum pelaksanaan kelas ibu balita yaitu meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dengan menggunakan buku KIA dalam mewujudkan tumbuh kembang balita yang optimal. Selain tujuan umum adapula tujuan khusus dilaksanakannya kelas ibu balita yaitu : 1. Meningkatkan kesadaran pemberian ASI secara Eksklusif. 2. Meningkatkan pengetahuan ibu akan pentingnya imunisasi pada bayi.
6
2
3. Meningkatkan keterampilan ibu dalam memperian MP-ASI dan Gizi seimbang kepada balita. 4. Meningkatkan kemampuan ibu memantau petumbuhan dan pelaksanaan stimulasi perkembangan balita. 5. Meningkatkan pengetahuan ibu cara perawatan gigi balita dan mencuci tangan yang benar. 6. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang penyakit terbanyak, cara pencegahan dan perawatan Balita. Peserta kelas ibu balita adalah kelompok belajar ibu-ibu yang mempunyai anak usia antara 0-5 tahun dengan pengelompokkan 0-1 tahun, 1-2 tahun, 2-5 tahun. Peserta kelompok belajar terbatas, paling banyak 15 orang, sedangkan yang menjadi fasilitator dan narasumber dari kelas ibu balita adalah bidan/perawat/tenaga kesehatan lainnya yang telah mendapat pelatihan fasilitator kelas ibu balita atau melalui on the job training. Dalam pelaksanaan kelas ibu balita fasilitator bisa meminta bantuan narasumber untuk menyampaikan materi bidang tertentu. Narasumber adalah tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian bidang tertentu, misalnya dibidang gizi, gigi, PAUD (Pendidik Anak Usia Dini), penyakit menular, dan sebagainya. Tempat kegiatan adalah tempat yang disediakan oleh pemerintah setempat (camat/desa/lurah). Tempat belajar sebaiknya tidak terlalu jauh dari rumah warga belajar. Sarana belajar mencakup kursi, tikar, karpet, alat peraga dan alat-alat praktek/demo. Jika peralatan membutuhkan listrik perlu diperhatikan apakah tempat belajar mempunyai aliran listrik. Topik-topik yang dibahas dalam setiap pertemuan disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar. Metode yang digunakan adalah metode belajar orang dewasa
3
yang menekankan pada partisipasi warga belajar dan penggunaan pengalaman sebagai sumber belajar. Untuk sesi yang membutuhkan praktek, fasilitator menyiapkan materi kebutuhan praktek. Waktu yang ideal untuk setiap sesi adalah 45 sampai 60 menit.
2.2
MP-ASI Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan dan minuman
yang mengandung zat gizi, diberikan kepada bayi atau anak usia 6-24 bulan guna memenuhi kebutuhan gizi selain dari ASI. MP-ASI merupakan makanan padat atau cair yang diberikan secara bertahap sesuai dengan usia dan kemampuan pencernaan bayi/anak (Kemenkes RI, 2015). Makanan pelengkap tidak menggantikan ASI, tetapi memberikan nutrient tambahan. ASI harus menjadi makanan pertama yang diberikan kepada bayi dan makanan padat baru diberikan setelah selesai memberikan ASI sebelum makanan lain (Coutsoudis&Bentley, 2009). Menurut Kemenkes RI (2009b) agar pertumbuhan bayi sesuai dengan umur. WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal yang penting yang harus dilakukan yaitu pertama memberikan air susu ibu kepada bayi segera setelah lahir, kedua memberikan ASI saja (ASI Ekslusif) sejak lahir bayi sampai 6 bulan, ketiga memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak usia 6 bulan sampai 24 bulan, keempat meneruskan memberikan ASI sampai usia 24 bulan atau lebih. Rekomendasi tersebut menekankan, secara sosial budaya MP-ASI hendaknya dibuat dari bahan pangan yang murah dan mudah diperoleh didaerah setempat (indigenous food). Pada usia 6-12 bulan, ASI hanya menyediakan setengah atau lebih kebutuhan gizi bayi, dan bayi usia 12-24 bulan ASI menyediakan 1/3 dari kebutuhan gizinya sehingga MP-ASI harus segera diberikan mulai bayi berumur 6 bulan. MP-ASI harus
4
mengandung zat gizi mikro yang cukup untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dipenuhi oleh ASI saja. Pada usia 6-24 bulan, kebutuhan berbagai zat gizi semakin meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada tahap ini anak berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi harus terpenuhi dengan memperhitungkan aktivitas bayi/anak dan keadaan infeksi. Agar mencapai gizi seimbang maka perlu ditambah dengan MP-ASI, sementara ASI tetap diberikan sampai bayi berusia 2 tahun (Kemenkes RI,2015). Waktu pemberian MP-ASI kepada bayi adalah setelah bayi berumur 6 bulan, karena setelah umur 6 bulan pencernaan bayi belum kuat untuk mencerna makanan selain ASI. Kalau dipaksakan memberikan makanan tambahan akan menggangu pencernaan. Usia bayi 0-6 bulan pencernaan bayi cocok untuk mengkonsumsi ASI saja. Untuk itu perlu diberikan asupan gizi seimbang kepada ibu agar air susu keluar dengan lancar. (Kemenkes RI, 2009) MP-ASI mulai diberikan saat bayi mulai berumur 6 bulan. Tanda – tanda bayi sudah siap menerima MP-ASI yaitu jika bayi didudukkan kepalanya sudah tegak, bayi mulai meraih makanan dan memasukkannya ke dalam mulut, jika diberikan makanan lumat bayi tidak mengeluarkan makanan dengan lidahnya. (Kemenkes RI, 2015). Menurut King and Burgess (2015) tanda bahwa bayi sudah siap untuk mendapat MP-ASI yaitu : 1. Bayi sudah bisa duduk dan mengambil makanan yang sedang dimakan oleh ibunya. 2. Suka memasukkan benda kedalam mulut kemudian memakannya 3. Interes terhadap makanan baru dan mau mencoba makanan yang baru 4. Sudah mampu untuk menelan makanan padat.
5
5. Sudah memiliki satu atau dua gigi serta suka menghisap makanan yang keras. 6. Masih terlihat lampar seteleh di beri ASI yang cukup (hal ini berbeda dengan bayi yang berumur dibawah 4 bulan yang sering menangis seperti minta ASI hal itu karena masih dipengaruhi oleh repleks isap), Menurut Kemenkes RI (2015), bayi yang diberikan MP-ASI terlalu cepat dan lambat akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Pemberian MP-ASI yang terlalu dini awal/dini pada usia kurang dari 6 bulan akan mengakibatakan : 1. Menggantikan asupan ASI, membuat sulit memenuhi kebutuhan zat gizinya. 2. Makanan mengandung zat gizi rendah bila berbentuk cair, seperti sup dan bubur encer. 3. Meningkatkan resiko kesakitan : kurangnya faktor perlindungan, MP-ASI tidak sebersih ASI, tidak mudah dicerna seperti ASI, meningkatkan resiko alergi, 4. Meningkatkan resiko kehamilan ibu bila frekuensi pemberian ASI berkurang. Memberian ASI yang terlambat pada usia lebih dari 6 bulan akan mengakibatkan: kebutuhan gizi anak yang tidak dapat terpenuhi, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat, resiko kekurangan gizi seperti anemia karena kekurangan zat besi. Makanan pendamping ASI terdiri dari dua jenis, pertama MP-ASI yang siap saji atau produksi pabrik dan yang kedua MP-ASI yang dibuat sendiri. MP-ASI yang dibuat pabrik harganya lebih mahal, karena biaya kemasan cukup mahal, sedangkan MP-ASI yang dibuat sendiri akan lebih murah bila sebagian bahannya ditanam sendiri di pekarangan atau kebun (Kemenkes RI, 2009). MP-ASI disiapkan keluarga dengan memperhatikan keanekaragaman pangan. Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi makro dari MP-ASI keluarga agar tidak terjadi gagal tumbuh, perlu ditambahkan zat mikro. Berdasarkan komposisi bahan makanan
6
MP-ASI dikelompokkan menjadi dua yaitu : MP-ASI lengkap yang terdiri dari bahan makanan pokok, lauk hewani, lauk nabati, sayur dan buah, MP-ASI sederhana yang terdiri dari makanan pokok, lauk hewani atau nabati dengan sayur dan buah. MP-ASI yang baik apabila ; 1. Padat energi, protein dan zat mikro (antara lain Fe, Zinc, Kalsium, Vit.A, Vit.C, dan folat) yang tidak dapat dipenuhi dengan ASI saja untuk mulai 6 bulan. 2. Tidak berbumbu tajam. 3. Tidak menggunaka gula, garam tambahan penyedap rasa, pewarna dan pengawet. 4. Mudah ditelan dan disukai anak. 5. Diupayakan menggunakan bahan pangan lokal dengan harga terjangkau. Pola pemberian ASI dan MP-ASI yaitu bayi umur 0-6 bulan diberikan ASI saja, umur 6-9 bulan diberikan makanan lumat, umur 9-12 bulan diberikan makanan lembik, dan bayi umur 12-24 bulan diberikan makanan keluarga (Kemenkes RI, 2015). Menurut Coutsoudis and Bentley (2009) makanan padat harus dikenalkan dengan berlahan-lahan untuk memastikan tidak adanya reaksi yang merugikan dari memakan makanan tersebut yaitu : 1. Jumlah yang diberikan pada awalnya harus sedikit dan kemudian secara berangsur-angsur jumlahnya ditingkatkan yaitu : pada awalnya diberikan 1-2 sendok teh setiap kali makan dan kemudian jumlah makanan padat ini ditingkatkan hingga sekitar 1 mangkok kecil perhari ketika bayi mencapai usia 8 bulan, pada usia 6-8 bulan, anak harus mendapatkan makanan padat dua atau tiga kali sehari, pada usia 9-11 bulan, anak harus mendapatkan makanan padat tiga atau empat kali sehari, pada usia 12-24 bulan, anak harus mendapatkan makanan padat empat atau lima kali sehari.
7
2. Tekstur makanan harus ditingkatkan melalui penyesuain jenis makanan dengan kebutuhan dan kemampuan bayi : pada mulanya makanan harus dilumatkan menjadi bubur saring yang halus, dan sebaiknya bubur tersebut diencerkan dengan ASI hasil pemerahan, pada usia antara 7-9 bulan, makanan masih harus dilumatkan, tetapi dengan penambahan tekstur yang lebih padat secara bertahap, makanan camilan yang dapat dipegang oleh anak, harus sudah mulai diberikan pada usia sekitar 8 bulan, sesudah usia 10 bulan, makanan dapat dipotong kecilkecil tetapi tidak usah dilumatkan, menjelang usia 12 bulan, anak harus sudah dapat memakan makanan keluarga. 3. Jenis makanan padat nutrient yang harus disediakan yaitu : sayur dan buah khsusnya yang kaya akan vitamin A, harus diberikan setiap hari, protein hewani harus di konsumsi sesering mungkin, kecuali jika tidak dapat diterima (misalnya pada keluarga vegetarian), jika daging, unggus tidak tersedia, makanan sumber protein yang harganya lebih murah seperti telur dan kacang-kacangan harus diberikan, makanan yang kaya akan vitamin C harus dikombinasikan dengan kacang-kacangan untuk memperbaiki absorpsi zat besi nonheme, pati dapat dilunakkan dengan ASI hasil perlahan untuk meningkatkan densitas energy. Cara yang baik untuk menyiapkan makanan tambahan yang dibuat dirumah yaitu makanan tersebut memerlukan : kaya akan energy dan nutrisi, bersih dan aman, lembut dan mudah untuk dimakan, keluarga mudah memprolehnya, mudah untuk disiapkan. Makan yang kaya akan energy dan nutrisi sering harganya mahal dan susah untuk keluarga mendapatkannya. Menyiapkan makanan yang lembut dan mudah untuk bayi membutuhkan peralatan yang khusus. Anak yang beresiko kekurangan gizi adalah keluarga miskin, dimana mereka tidak bisa membeli makanan yang mahal. Keluarga ini susah untuk membeli berbagai jenis makanan dan peralatan yang khusus.
8
Mereka mungkin sangat sibuk dan memiliki sedikit waktu menyiapkan beberapa makanan khusus setiap hari. Coba untuk menemukan bagaimana keluarga mudah untuk menyiapkan makanan pendamping yang berasal dari bahan pangan lokal dengan harga yang murah (King and Burgess, 2015).
2.3 Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil “tahu” dan hal ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sehingga pengetahuan atau koknitif merupakan dominan yang penting untuk membentuk tindakan sesorang (overt behavior). Selain itu pengetahuan seseorang memiliki tingkatan yang berbeda-beda dan secara umum dapat dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan yaitu (Notoatmojo, 2010) : 1. Tahu (Know) yaitu mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. 2. Memahami (Comprehension) merupakan suatu kemampuan seseorang untuk menjelaskan dengan benar mengenai objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan suatu materi secara tepat. 3. Aplikasi (Aplication) hal ini berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sesungguhnya (real). 4. Analisis (Analysis) adalah suatu kemampuan seseorang untuk menyebarluaskan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, namun masih dalam struktur organisasi tersebut dan masih berkaitan satu sama lainnya. 5. Sintesis (synthesis) yaitu kemampuan seseorang untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang sudah ada.
9
Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati pada tahun 2010 tentang hubungan antara pengetahuan ibu dengan praktek pemberian MP-ASI dengan status Gizi bayi usia 612 bulan mendapatkan hasil terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan status gizi bayi denga p=0,00, terdapat hubungan yang positif antara praktek pemberian MP-ASI dengan status gizi balita dengan p=0,00, terdapat hubungan yang positif antara pengetahuan ibu dengan praktek pemberian MP-ASI dengan status gizi bayi pada hasil uji f dengan nilai p=0,000. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Akbar, dkk (2012) mendapatkan hasil dengan uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap Ibu Balita sebelum dan sesudah dilakukan intervensi health education melalui media visual menunjukkan hasil dengan nilai signifikansi p=0,00 untuk pengetahuan dan p=0,00 untuk sikap dengan derajat kemaknaan yang digunakan adalah α≤0,05, sehingga H0 ditolak dan H1 diterima, artinya ada pengaruh health education melalui media visual terhadap pengetahuan dan sikap Ibu Balita di Posyandu Mawar II Kelurahan Bulak Kenjeran Surabaya. Dengan melihat hasil dari penelitian tersebut maka penting bagi Ibu Balita untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang gizi balita agar berkurangnya angka kejadian gizi buruk. Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati, dkk (2011) tentang pengaruh penyuluhan kesehatan terhadap peningkatan pengetahuan ibu tentang status gizi balita di posyandu wilayah kerja Puskesmas Antang Perumnas Makasar mendapatkan hasil data yang diperoleh diolah dengan menggunakan uji “t”. dengan tingkat kemaknaan signifikan α<0.05 dengan p<α maka hipotesis diterima. Dari hasil penelitian didapatkan p=0,00 sehingga ada pengaruh penyuluhan kesehatan dengan pengetahuan ibu tentang status gizi balita di Posyandu Wilayah Kerja Puskesmas Antang Perumnas sehingga memiliki hubungan dengan tingkat pengetahuan ibu Makasar.
10
Menurut Notoatmojo (2003) jarak waktu yang ideal untuk melakukan tes yang pertama dengan tes yang kedua adalah 15 hari sampai 20 hari karena jika waktu terlalu pendek kemungkinan responden masih ingat dengan pertanyaan dan jika terlalu jauh memungkinkan perubahan variabel yang diukur dari responden.
2.4 Sikap Sikap adalah reaksi atau respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang telah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang saling berkaitan (setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya) (Notoatmojo, 2010). Fungsi sikap belum menggambarkan suatu perbuatan (reaksi terbuka) atau tindakan akan tetapi merupakan predisposisi perilaku yang menunjukkan reaksi tertutup. Sikap berbeda dengan perilaku dan perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang. Karena seringkali seseorang cenderung menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diprolehnya tambahan informasi mengenai objek tertentu, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosial (Sarwono, 2007). Penelitian yang dilakukan Padang (2007) yang bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor yang mepengaruhi ibu memberikan MP-ASI pada usia 6-24 bulan di Kecamatan Padan Tapanuli hasil penelitian menunjukkan variabel predisposisi yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pemberian MP-ASI adalah sikap (p=0,48), variabel pendukung yang memiliki pengaruh adalah keterpaparan media (p=0,038), variabel pendorong yang mempunyai pengaruh terhadap pemberian MP-ASI adalah dukungan keluarga (p=0,019) dan kebiasaan memberikan MP-ASI di masyarakat kurang dari 6 bulan (p=0,036).
11
Hasil penelitian Emilia (2008) tentang pengaruh penyuluhan ASI eksklusif terhadap peningkatan pengetahun dan sikap ibu hamil di Mukim Lau-re Kecamatan Simeule Tengah Kabupaten Simeule tahun 2008 menyatakan sebelum penyuluhan 88,5% ibu hamil memiliki pengetahuan sedang tentang ASI eksklusif dan 11, 5% berada di katagori baik, setelah penyuluhan pengetahuna ibu hamil menjadi baik 100%. Sikap ibu hamil sebelum penyuluhan adalah berada pada katagori sedang sebanyak 76,9%, 15,4% berada pada katogori baik dan 7,7% katagori kurang setelah mendapatkan penyuluhan sikap sampel menjadi 92,3% berada pada baik dan 7,7% berada katagori sedang. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa penyuluhan sebagai upaya promosi kesehatan memberikan pengaruh dalam peningkatan pengetahuan dan sikap ibu hamil terhadap pemberian ASI eksklusif .
2.5 Perilaku Perilaku kesehatan adalah sebuah bentuk perilaku yang menunjukkan adanya kaitan antara sehat atau sakit. Perilaku kesehatan menurutut Skiner adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman dan lingkungan (Notoatmojo, 2007). Penelitian yang dilakukan Pratiwi (2009) yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dan pemberian MP-ASI pada bayi umur 6-24 bulan Pengetahuan Ibu Tentang MP-ASI mendapatkan hasil tergolong dalam kategori baik yaitu sebanyak 52 responden (92%). Hasil analisis pengaruh tingkat pengetahuan dengan perilaku ibu tentang MP-ASI diperoleh nilai Rho 0,486 dan nilai signifikansi p=0,000 yang berarti nilainya p<0,05 dan hipotesis alternatif (Ha) diterima. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat Hubungan yang signifikan antara
12
tingkat Pengetahuan Dengan Perilaku Ibu Tentang MP-ASI Pada Balita Usia 6-24 Bulan di dusun Tlangu Desa Bulan Kec.Wonosari Klaten. Penelitian Candra dan Suharto (2011) tentang hubungan antara pengetahuan dan sikap ibu terhadap perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI pada balita 6-24 bulan di Puskesmas Mayaran Semarang mendapatkan hasil terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan gizi terhadap pemberian makanan pendamping ASI diperoleh dari nilai r hitung = 0,578, hubungan antara sikap ibu terhadap pemberian MP-ASI diperoleh r hitung = 0, 612, hubungan antara pengetahuan ibu dan sikap ibu terhadap perilaku pemberian MP-ASI diperoleh r hitung=0,071, sehingga diperoleh simpulan sikap ibu terhadap gizi berhubungan dengan perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI, pengetahuan ibu dan sikap ibu terhadap MP-ASI secara bersama–sama mempengaruhi perilaku ibu dalam pemberian MP-ASI pada balita umur 6-24 bulan. Penelitian Kartikawati,dkk (2014) tentang pengaruh kelas ibu balita terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu balita dalam merawat balita di wilayah kerja Puskesmas Sukarasa kota Bandung menunjukkan hasil adanya peningkatan pengetahuan untuk kelompok intervensi 9,8%, dan kontrol menurun 6,1%.). Perbedaan peningkatan keterampilan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol bermakna (p= 0,001) dengan peningkatan 13,4% pada kelompok intervensi dan 2,5% pada kelompok kontrol. Sikap pada kedua kelompok meningkat tapi peningkatan lebih tinggi pada kelompok kontrol rata-rata peningkatannya 12,2%, tetapi perbedaan peningkatan ini tidak bermakna (p=0,446). Terdapat pengaruh pelaksanaan kelas ibu balita terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu balita dalam merawat balita(p=0,001). Simpulan, peningkatan pengetahuan dan keterampilan pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol sedangkan pada sikap kelompok kontrol lebih tinggi
13
peningkatannya, pelaksanaan kelas ibu balita terbukti berpengaruh meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan ibu balita dalam merawat balita. Hasil peneitian Taufiqurrahman dan Masthalina (2010) mengenai pengaruh kelas gizi terhadap pengetahuan, sikap, tindakan, pola asuh ibu dan berat badan balita di dalam penanganan masalah gizi kurang mendapatkan hasil bahwa ada pengaruh kelas gizi terhadap peningkatan pengetahuan responden. Ada pengaruh kelas gizi terhadap peningkatan sikap responden. Tidak ada pengaruh kelas gizi terhadap peningkatan tindakan responden. Ada pengaruh kelas gizi terhadap pola asuh responden. Ada pengaruh kelas gizi terhadap peningkatan berat badan responden.
14