15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan
Hutan
Bersama
Masyarakat
adalah
suatu
program
pengelolaan sumber daya hutan yang dilakukan bersama dengan jiwa berbagi antara Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan (Perhutani 2002). Menurut Suharjito (2004), pengertian PHBM adalah pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang berarti masyarakat menjadi pelaku utama pengelolaan hutan. Masyarakat yang dimaksud adalah kelompok masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hutan dan bergantung kepada hutan untuk memenuhi kehidupannya (ekonomi, politik, religius, dan lainnya). Kata kunci berbasis menunjuk pada peran atau partisipasi masyarakat sebagai satu kesatuan yang membangun institusi dan pola hubungan sosial sehingga pengelolaan hutan berjalan menuju pada pencapaian kelestarian hutan, keadilan sosial, dan kemakmuran ekonomi. Pada dasarnya program PHBM memiliki tujuan untuk memberi arahan kepada masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional. Perhutani (2002) menjabarkan tujuan program PHBM sebagai berikut: 1. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan, dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat. 2. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. 3. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan, produktivitas dan keamanan hutan. 4. Mendorong dan menyeleraskan pengelolaan sumber daya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah dan sesuai kondisi dinamika sosial masyarakat desa hutan. 5. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara. Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat memiliki dua bentuk kegiatan, yaitu: kegiatan berbasis lahan dan kegiatan berbasis bukan lahan.
16
Kegiatan berbasis lahan adalah rangkaian kegiatan yang secara langsung berkaitan dengan pengelolaan tanah dan atau ruang sesuai karakteristik wilayah, yang menghasilkan produk budidaya dan lanjutannya serta produk konservasi dan estetika. Kegiatan berbasis bukan lahan adalah rangkaian kegiatan yang tidak berkaitan dengan pengelolaan tanah dan atau ruang yang menghasilkan produk industri, jasa, dan perdagangan (Perhutani 2002). Dalam program PHBM terdapat hak dan kewajiban masyarakat desa hutan dengan Perhutani. Berikut adalah hak dan kewajiban masyarakat desa hutan dengan Perhutani (Perhutani 2002): 1. Masyarakat desa hutan dalam PHBM berhak: a. Bersama PT. Perhutani (Persero) dan pihak yang berkepentingan menyusun
rencana,
melaksanakan,
memantau
dan
mengevaluasi
pelaksanaan Program PHBM. b. Memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikan. 2. Masyarakat desa hutan dalam PHBM berkewajiban: a. Bersama PT. Perhutani (Persero) dan pihak yang berkepentingan melindungi dan melestarikan sumber daya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya. b. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan kemampuannya. 3. PT. Perhutani (Persero) dalam PHBM berhak: a. Bersama masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan menyusun rencana, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan PHBM. b. Memperoleh manfaat dan hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikan. c. Memperoleh
dukungan
masyarakat
desa
hutan
dan
pihak
yang
berkepentingan dalam perlindungan sumber daya hutan untuk berkelanjutan fungsi dan manfaatnya. 4. PT Perhutani (Persero) dalam PHBM berkewajiban: a. Memfasilitasi masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. b. Memberikan kontribusi faktor produksi sesuai dengan rencana.
17
c. Mempersiapkan sistem, kultur dan budaya perusahaan yang kondusif. d. Bekerja sama dengan masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan dalam rangka mendorong proses optimalisasi dan berkembangnya kegiatan. Kegiatan berbagi hasil dalam PHBM dilakukan berdasarkan bagi hasil input dari masing-masing pihak. Satu hal yang perlu dicatat dari penerapan sistem ini adalah adanya pembagian hasil produksi kayu. Dalam sistem ini dimungkinkan pula pihak-pihak lain yang berkepentingan untuk ikut terlibat dalam pengelolaan hutan. Besarnya bagi hasil yang menjadi hak LMDH dihitung berdasarkan umur perjanjian kerjasama yang dilakukan sampai dengan maksimal 25%. Besaran ini ditetapkan berdasarkan analogi dari sistem bawon di pertanian bawah tegakan dan hitungan kerugian Perhutani karena pencurian pohon sejak ditantanganinya perjanjian kerjasama (Dinas Kehutanan Jawa Tengah 2009).
2.2 Partisipasi Masyarakat Desa Hutan Menurut Davis (1967) dalam Suprayitno (2011), partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional individu dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan kelompok dan saling berbagi tanggung jawab diantara anggota-anggota kelompok. Berdasarkan pengertian tersebut, partisipasi memiliki tiga hal pokok, yaitu: 1. Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional. 2. Menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok. 3. Merupakan tanggung jawab terhadap kelompok. Masyarakat desa hutan adalah orang-orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya (Perhutani 2002). Partisipasi masyarakat desa hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan dibedakan menjadi dua yaitu partisipasi secara parsial dan partisipasi integral. Beberapa contoh bentuk partisipasi parsial adalah praktek tumpangsari yang dilakukan oleh masyarakat desa di areal Perum Perhutani di Jawa. Dalam partisipasi parsial ini masyarakat hanya ikutserta dalam kegiatan tumpangsari dan pemungutan hasil hutan non kayu. Pola tumpangsari yang diujicobakan di areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri adalah contoh lain dari praktek keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara
18
parsial. Pada program ini, peran masyarakat dalam kegiatan pembangunan hutan tidak begitu nyata (Suharti dan Murniati 2004). Contoh lain partisipasi parsial adalah pelaksanaan PHBM di Desa Buniwangi dan Desa Citarik, BKPH Pelabuhan Ratu, KPH Sukabumi. Program PHBM di daerah ini ditetapkan bahwa masa kontrak lahan garap tergantung pada persen tumbuh tanaman pokok mencapai 90% atau lebih. Hal ini merupakan strategi Perhutani untuk memacu petugas lapang dan masyarakat dalam melakukan pemeliharaan tanaman yang maksimal. Namun ketetapan ini kurang menguntungkan masyarakat. Apabila masyarakat tidak mampu mencapai persen tumbuh tanaman pokok 90% maka mereka akan kehilangan seluruh hak dan kesempatan dalam memperpanjang kontrak dan bagi hasil. Demikian pula dalam penetapan jenis tanaman tumpangsari, masyarakat hanya melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan oleh Perhutani (Suharti dan Murniati 2004). PHBM merupakan implementasi dari program Social Forestry yang mengembangkan pola investasi sesuai dengan perimbangan tanggungjawab dan andil biaya serta manfaat. Dasar dari PHBM adalah adanya jiwa berbagi dalam pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumber daya hutan dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat, dan saling mendukung. Nilai dan proporsi berbagi dalam PHBM sesuai dengan nilai dan proporsi nilai produksi yang dikontribusikan oleh masing-masing pihak. Setiap daerah memiliki isu sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda-beda yang menyebabkan keragaman sistem usaha tani, penggunaan input, serta kendala yang dihadapi dalam penerapan PHBM. Keragaman ini mengakibatkan penetapan dalam proporsi bagi hasil antara daerah satu dengan yang lain berbeda (Suharti dan Murniati 2004).
2.3 Efektivitas Kelembagaan LMDH Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat dalam suatu organisasi yang memiliki faktor pembatas dan pengikat berupa norma, aturan formal, maupun non formal untuk mencapai tujuan bersama (Djogo et al. 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembagaan mempunyai 10 unsur penting, yaitu: institusi, norma tingkah laku, peraturan, aturan dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif. LMDH
19
adalah lembaga masyarakat desa yang bekerjasama pada program PHBM. Anggota LMDH berasal dari unsur lembaga desa dan atau unsur masyarakat yang ada di desa tersebut (Perhutani 2002). Dari pengertian-pengertian di atas, kelembagaan LMDH adalah tatanan atau pola hubungan antara masyarakat dalam wadah LMDH yang memiliki faktor pembatas dan pengikat berupa aturan baik formal maupun non formal untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan. Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkat keberhasilan kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Rahmadana dan Widho 2002). Menurut Robertson (2002), masing-masing stakeholder memiliki pandangan yang berbeda tentang organisasi yang efektif, yaitu: 1. Investor dan pemegang saham: organisasi yang memberikan laba atas investasi, stabilitas jangka panjang, dan pertumbuhannya. 2. Karyawan: organisasi yang memberikan kepuasan kerja, stabilitas kerja, prospek karir, dan penghargaan 3. Stakeholder lain: organisasi yang memberikan dampak yang positif terhadap lingkungan mereka. Menurut Gibson (1984) dalam Muhidin (2009), terdapat tiga pendekatan dalam efektivitas, yaitu: 1. Pendekatan tujuan. Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan mengevaluasi efektivitas dalam mencapai suatu tujuan tertentu. 2. Pendekatan teori sistem. Teori ini menggambarkan hubungan organisasi terhadap sistem yang lebih besar. Teori sistem menekankan pada pertahanan elemen dasar masukan-proses-pengeluaran dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang menopang organisasi. 3. Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini menekankan pada pentingnya hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual dalam suatu organisasi. Berdasarkan
pendekatan-pendekatan
tersebut,
Muhidin
(2009)
mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yaitu: adanya tujuan yang jelas, struktur organisasi, adanya partisipasi masyarakat, dan adanya sistem nilai yang dianut. Hal ini sama dengan pendapat Steers dalam
20
Muhidin
(2009),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
efektivitas
adalah:
karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik pekerja, dan karakteristik manajemen atau kebijakan. Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi. Karakteristik lingkungan berupa lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal sebagai iklim organisasi yaitu lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi sedangkan lingkungan eksternal adalah lingkungan di luar batas organisasi yang berpengaruh terhadap organisasi. Karakteristik pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas. Apabila suatu organisasi menginginkan keberhasilan, maka organisasi tersebut harus dapat mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi, sedangkan karakteristik manajemen atau kebijakan merupakan strategi dan mekanisme kerja yang dirancang untuk mengkondisikan semua hal yang ada di dalam organisasi tersebut sehingga efektivitas dapat tercapai.
.