BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pembangunan negara adalah penciptaan lembaga-lembaga pemerintahan baru dan penguatan lembaga-lembaga yang telah ada (Fukuyama, 2004). Persoalan utama yang sedang ingin dipahami dalam penelitian ini adalah peran kelembagaan daerah dalam pergeseran paradigma pembangunan sentralistik ke paradigma pembangunan desentralistik. Asumsi dasar dari pergeseran ini adalah lahirnya reformasi kebijakan disemua sektor pembangunan. Akibat lahirnya kekuatan baru daerah, hal ini tidak hanya memberikan dampak posistif terhadap pembangunan tetapi juga membuka peluang lahirnya pembangunan yang eksploitatif bagi sumberdaya alam (Ngakan at al. 2005). Reformasi
kelembagaan
terjadi
akibat
desakan
kebutuhan
akan
pembangunan. Dalam Era Otonomi daerah diperlukan pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah yang mencakup berbagai aspek. Terdapat tiga matra untuk pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, pembagian kekuasaan mengelola pemerintahan (governmental power sharing) antara pusat dan daerah. Pelimpahan kepada pemerintah daerah wewenang pengambilan keputusan sektoral, yang mencakup ruang lingkup daerah. Pemerintah pusat cukup membatasi pada tugas berskala nasional, sedangkan tugas berskala daerah diserahkan kepada pemerintah daerah. Kedua, pembagian keuangan dan personalia negara (financial and manpower sharing) antara pusat dan daerah. Ketiga, pelimpahan kekuasaan politik, adat dan budaya (political, and social cultural power) kepada daerah (Salam 2004). Peran kelembagaan daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal memiliki posisi yang sangat urgen. Pengelolaan Sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu sampai saat ini belum memiliki konstribusi nyata dalam pembangunan daerah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan. Sumberdaya pesisir yang memiliki sifat open access, dalam semangat desentralisasi, pengelolaannya membutuhkan formulasi kebijakan yang tepat agar tidak terjadi eksploitasi sumberdaya pesisir, krisis ekologis, degradasi dan meluasnya ketidakberdayaan masyarakat pesisir dan nelayan. Aktivitas manusia baik yang tinggal dipegunungan maupun yang berdiam di pesisir semunya menyumbang proses
degradasi lingkungan hidup dikawasan pinggiran laut. Diantara semua aktivitas tersebut, pertanian (akibat aplikasi pestisida dan pupuk kimia) dan pertambangan (misal: pertambangan emas) memberikan sumbangan yang cukup signifikan bagi pencemaran pesisir. Ancaman yang nyata bukan saja kerusakan ekosistem, melainkan ancaman terhadap kualitas dan kuantitas penyediaan pangan berbasis kelautan. Persoalan lain adalah perubahan tataguna lahan pesisir akibat proses kapitalisme sumberdaya alam pesisir seperti tampak pada konversi hutan mangrove ke pertambakan yang mengubah ekosistem pesisir secara radikal (Dharmawan, 2009). Akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya jika tidak diatur dengan kebijakan dan regulasi yang berpihak terhadap kelestarian dan keberlanjutan akan menimbulkan dampak eksploitasi terhadap sumberdaya. Dalam beberapa kasus, sumberdaya pesisir seringkali mendapat beban yang sangat berat, selain karena posisinya yang berada didaerah hilir, juga struktur wilayahnya yang sangat terbuka dan selama ini tidak mendapat prioritas pembangunan akibat paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Lahirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga mewarnai perubahan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia. Semangat otonomi yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah desentralisasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut kepada wilayah otonom. Sebagaimana yang dituangkan dalam undang-undang tersebut wilayah otonom dalam hal ini propinsi dan kabupaten/kota (Bengen, 2009). Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menjelaskan bahwa setiap pemerintah dan masyarakat di wilayah otonom menyadari arti penting dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam pesisir dan laut dilakukan secara bijaksana dengan menerapkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Implikasi negatif akan muncul apabila daerah berlomba-lomba mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan (Bengen, 2009). Selanjutnya, tata kelola pemerintah daerah dihadapkan pada realitas politik yaitu perseteruan dan persaingan antar pemerintah daerah dalam mengeksploitasi sumberdaya alam sebagai akibat rejim otonomi daerah. Selain itu eco-governance
pemerintah daerah sangat buruk sementara desakan jebakan hutang yang diderita Indonesia dalam tinjaun ekonomi politik menyebabkan proses eksploitasi dan penghancuran sumberdaya alam dan lingkungan akan makin intensif ke depan (Dharmawan, 2009). 2.1. Pengertian Wilayah Pesisir Sesuai kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat meliputi daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Kearah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan kegiatan manusia seperti pertanian dan pencemaran (Brahtz 1972; Soegiarto 1976 dalam Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Kecil, 2003). Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pengertian wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 ditegaskan bahwa Perairan pesisir dan laut yang berbatasan dengan daratan melipurti periaran sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuaria teluk, perairan dangkal, rawa payau dan laguna. (Beatly 1994 dalam Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau Kecil 2003). Dahuri et al. (1996) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai suatu wilayah perairan antara daratan dan lautan dimana ke arah darat adalah jarak secara arbiter dan rata-rata pasang tertinggi dan batas ke arah laut adalah yurisdiksi wilayah propinsi atau state di suatu Negara. Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiologi didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil.
Menurut Dahuri et al. (1996), dalam cakupan horizontal, wilayah pesisir di batasi oleh dua garis hipotetik. Pertama, kearah darat wilayah ini mencakup daerah-daerah dimana proses-proses
oseanografi (angin laut, pasang-surut,
pengaruh air laut dan lain-lain) yang masih dapat dirasakan pengaruhnya. Kedua, kearah laut daerah-daerah dimana akibat proses-psoses yang terjadi di darat (sedimentasi, arus sungai, pengaruh air tawar, dan lain-lain), maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah perbatasan ini mempertemukan lahan darat dan masa air yang berasal dari daratan yang relative tinggi (elevasi landai, curam atau sedang) dengan masa air laut yang relative rendah, datar, dan jauh lebih besar volumenya. Karakteristik yang demikian oleh Ghofar (2004), dinyatakan bahwa secara alamiah wilayah ini sering disebut sebagai wilayah jebakan nutrien (nutrient trap). Akan tetapi, jika wilayah ini terjadi perusakan lingkungan secara massif karena pencemaran maka wilayah ini disebut juga sebagai wilayah jebakan cemaran (pollutants trap). 2.2. Potensi Sumberdaya Alam Pesisir Kawasan
pesisir
di
Indonesia
terkenal
dengan
kekayaan
dan
keanekaragaman jenis sumber daya alamnya baik sumber alam yang dapat pulih (renewable) maupun yang tidak dapat pulih (unrenewable). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pengembangan wilayah pesisir. Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan (Interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan mendorong berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya alam, sumberdaya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Dahuri et al. (2001), potensi sumberdaya pesisir secara umum dibagi atas empat kelompok
yakni (1) Sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources), (2) Sumberdaya tidak dapat pulih (unrenewable resources), (3) Energi lautan dan (4) Jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, padang lamun, mangrove, terumbu karang termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (marine culture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya energi terdiri dari OTEC (ocean thermal energy convertion), pasang surut, gelombang dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa kewenangan kabupaten kota untuk mengelola sumberdaya wilayah laut sepertiga dari kewenangan provinsi
12 (dua belas) mil yang meliputi kewenangan
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumberdaya alam dan tanggung jawab untuk melestarikannya. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil juga menjelaskan secara tegas tentang pengertian sumberdaya pesisir dan pulau- pulau kecil yakni sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbuh karang, Padang lamun, mangrove dan biota laut lain. Sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut. Sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut, tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. 2.3. Pengertian Kelembagaan Secara umum (Parsons dalam Scott, 1993) mengemukakan bahwa kelembagaan kultural adalah hubungan antara organisasi dan lingkungannya dengan sistem nilai yang terlembagakan. Selanjutnya, dijelaskan bahwa dimensi kelembagaan oleh individu adalah kesepakatan-kesepakatan norma yang kemudian menjadi dasar untuk setiap tindakan individu. Kelembagaan adalah sebuah sistem norma yang membatasi relasi individu atau organisasi. Pada komunitas-komunitas bahari, di negara-negara berkembang termasuk indonesia,
terdapat sekurang-kurangnya empat kelembagaan atau pranata tradisional (traditional institution) yang tetap bertahan,
yaitu pranata kekerabatan
(kinsip/domestic institution), pranata agama atau kepercayaan (religious institution), pranata ekonomi (economic institution), dan pranata pendidikan (education institution) (Kusnadi, 2002). Ketentuan pokok kelembagaan pemerintah daerah adalah menyangkut mekanisme, bentuk dan susunan kelembagaan daerah beserta perangkatnya. Ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Kelembagaan daerah diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 2003. Isu utama dalam penataan kelembagaan di daerah adalah pada jumlah yang diperkenankan bagi setiap daerah untuk membentuk instansi baik berupa dinas, badan, kantor maupun bagian. Berdasarkan PP No. 8 tahun 2003 ini, kriteria penataan organisasi perangkat daerah didasarkan atas perhitungan skor penetapan, di mana faktor-faktor umum yang diperhatikan diantaranya luas wilayah, jumlah penduduk, ratio belanja pegawai dalam APBD, jumlah kecamatan dan desa, serta aspek karakteristik daerah pengembangan atau pertumbuhan. Namun demikian, kriteria yang dikembangkan ini tidak mencerminkan realitas teknis yang menjadi tugas dari setiap lembaga yang akan dibentuk sehingga hasil perhitungan yang diperoleh juga sering tidak mendasari perlunya pembentukan suatu satuan birokrasi tertentu (Dwiyanto et al. 2005). Kelembagaan pemerintah daerah adalah kelembagaan yang ada didalam daerah. Sedangkan perangkat daerah adalah organisasi atau lembaga pemerintah daerah yang bertanggung jawab kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Perangkat daerah terdidri atas sekertariat daerah, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan desa (Ambordi dan Prihawantoro 2002). Selanjutnya, Dorward et al. (1998) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006) mengatakan bahwa penataan kelembagaan merupakan upaya untuk mengurangi biaya transaksi. Dalam pembangunan ekonomi, biaya transaksi mengakibatkan penyimpangan perilaku yang akhirnya menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ketidakseimbangan pemilikan hak, dan penguasaan terhadap sumberdaya alam, ketidakseimbangan informasi akan menentukan biaya transaksi,
dan ukuran biaya transaksi menentukan perilaku serta pengambilan keputusan individu atau organisasi. Penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan seharusnya memadukan pengetahuan tentang ekosistem dan sumberdaya alam dalam keputusan-keputusan politik pemerintahan. Pengetahuan tersebut bukan hanya berkaitan dengan keterbatasan daya dukung, melainkan juga sifat-sifatnya yang kemudian dapat diklasifikasikan sebagai private goods, club goods, common pool goods dan public goods (Ostrom 1977) dalam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006).
Pengetahuan
ini
menentukan ketepatan kelembagaan.
Misalnya,
kelembagaan untuk pengelolaan common pool goods didasarkan pada beberapa prinsip yaitu penetapan batas-batas alokasi sumberdaya, teknologi yang digunakan dan cara pemanfaatan, pemantauan, sanksi, penyelesaian konflik, maupun pengakuan oleh peraturan dan perundangan yang lebih tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pengetahuan mengenai karakteristik sumberdaya alam dapat diadopsi menjadi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sangat tergantung pada tata pemerintahan dan transaksi-transaksi politik yang menentukan
peraturan
perundangan
serta
ketepatan
kebijakan
dalam
mengintervensi struktur pasar. Lebih jauh peraturan-perundangan menentukan hak-hak yang diterima masyarakat dalam pengambilan keputusan, pada saat yang sama pengambilan keputusan mereka dipengaruhi pertimbangan untung-rugi serta kemampuan dan kapasitas untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tersebut. Dalam kondisi demikian dinamika dan transaksi akan tumbuh di dalam kelembagaan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Salah satu indikator terdapatnya masalah dalam kelembagaan adalah dengan melihat kinerja yang dihasilkan oleh kelembagaan. Apabila hasilnya berupa kerusakan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup, maka dapat diduga ada masalah dalam lembaga bersangkutan, informasi antara pelaku tidak seimbang, kapasitas tidak seimbang, masalah dalam hal menetapkan hak atas sumberdaya alam, perilaku menyimpang- rent seeking dan rent seizing (Ross 2001 dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Semuanya disebabkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan kekuatan politik antara pemerintah, pelaku usaha komersial (swasta) dan masyarakat madani. Hubungan Hubungan
antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan dapat di lihat pada Gambar 2 berikut. Hak atas Sumberdaya Alam
PERATURAN PERUNDANGA N
TATA Norma, Etika,
PENGETAHU AN Komoditi goods
-Private
Daya dukung -Common pool goods Bentang -Public goods Alam(stock)
Karakteristik Ekosistem Sumberdaya Alam
SIKA P
PENGAMBIL AN KEPUTUSAN
KAPASIT PERTIMBANG PERTIMBANG AN ANUNTUNGUNTUNGRUGI RUGI Modal, Teknologi, Informasi
KINERJA : Kerusakan Sumberdaya Alam dan Degradasi Lingkungan
Yudikatif Eksekutif Legislatif
Struktur Pasar
PASAR DALAM NEGERI DAN GLOBAL
Gambar 2 Hubungan antara unsur-unsur dalam kelembagaan yang mempengaruhi pengambilan keputusan (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat saat ini semakin dipengaruhi mekanisme pasar, sementara hak atas sumberdaya alam serta kapasitas masyarakat untuk mengendalikan kerusakan sumberdaya sangat minim. Beberapa contoh mengenai pertambangan emas tanpa ijin (PETI), pencurian kayu dan penjarahan hutan, penangkapan ikan berlebihan menunjukkan keadaan tersebut. Sementara itu implementasi perundang-undangan yang dilaksanakan dengan pendekatan sektoral cenderung meningkatkan eksploitasi, bukan mengendalikan kerusakan sumberdaya alam (Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). 2.4. Kelembagaan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lingkungan Kinerja pembangunan sumberdaya alam dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari dua kejadian penting, yaitu krisis ekonomi dan pelaksanaan otonomi daerah. Akar krisis ekonomi telah membuka mata mengenai besarnya korupsi dan kolusi yang melingkupi seluruh sendi kehidupan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif); sementara (awal) pelaksanaan otonomi daerah menghadirkan persoalan governance, khususnya menyangkut kewenangan pemanfaatan sumberdaya alam, yang masih sulit diprediksi arah penyelesaiannya (Fahmi et al. 2003).
Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dengan tetap terjaganya fungsi lingkungan. Dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir didefinisikan sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut. Sumberdaya pesisir adalah sumberdaya hayati, sumberdaya non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumberdaya buatan meliputi infstruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. Permasalahan utama yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir adalah kebijakan yang selama ini cenderung lebih berpihak terhadap kegiatan eksploitasi sumberdaya pesisir, untuk mencegah hal ini berlanjut, adanya kelembagaan yang kuat dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya pesisir (Bengen, 2009). Penerapan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam sistem, organisasi maupun program kerja pemerintahan. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumberdaya pesisir semestinya dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, keselarasan peran antara pusat dan daerah, serta antar sektor. Pengaturan pengelolaan tersebut merupakan instrumen hukum yang berfungsi preventif menjaga ancaman terhadap kelestarian sumberdaya hayati. Beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah : (1) Pemanfaatan berlebih (over eksploitation) sumberdaya hayati, (2) Penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3) Perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) Pencemaran,
(5) Introduksi spesies asing, (6) Konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, (7) Perubahan iklim global serta bencana alam (Dahuri, 2001). Kepemilikan sumberdaya alam bersifat kompleks. Di satu pihak ada bagian dari suatu ekosistem yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi masyarakat banyak (public benefit/cost), di pihak lain sumberdaya alam dapat berupa komoditi (private goods) yang manfaatnya hanya dinikmati oleh perorangan. Karena itu, tersedia pilihan-pilihan bentuk hak-hak (rights) – lazim disebut rejim hak (regimes of property rights) terhadap sumberdaya alam, berkisar dari yang dikuasai negara (state property), diatur bersama didalam suatu kelompok masyarakat atau komunitas tertentu (common property), atau berupa hak individu (private property) (hanna, dkk. 1996 dalam Hariadi Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Rejim hak merupakan alat untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya alam dan menentukan keterkaitan serta ketergantungan antara kelompok masyarakat tertentu dengan lainnya (Bromley 1991 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006). Kesadaran nilai strategis dari pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat atau lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir seperti sasi, mane’e, panglima laot dan awig-awig, terbatasnya ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaannya belum mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumberdaya non hayati disubstitusi dengan sumberdaya lain (Kusnadi, 2002). Aspek kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di era otonomi daerah perlu mendapatkan perhatian serius dan pengkajian mendalam. Masalah pengelolaan sumberdaya pesisir mengalami bentuk aktualitas baru dan relevan menjadi objek kajian. Terdapat kerancuan pemahaman bahwa pemerintah daerah seringkali mempunyai persepsi bahwa pelaksanaan otonomi daerah identik dengan kewenangan dan keleluasaan semata. Bahkan terdapat persepsi yang
berpandangan bahwa otonomi daerah hanya ditekankan pada upaya memperbesar pendapatan daerah. Pemerintah daerah hanya cenderung mengedepankan upaya memperoleh
dan
memperbesar
sumber-sumber
memperhatikan keberlanjutan sumberdaya
pesisir
pendapatannya
tanpa
dalam pengelolaannya.
Perlunya pembuatan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir kepada pemerintah daerah adalah untuk mencegah timbulnya konflik antara pemerintah daerah dan masyarakatnya yang mengambil manfaat dari sumberdaya pesisir. Oleh karenanya, peraturan perundang-undangan
dan
peraturan
daerah
yang
mengatur
pengelolaan
sumberdaya pesisir diharapkan dapat mengurangi tumpang tindih pengaturan penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir (Dharmawan, 2009). Isu utama yang lain adalah perusakan hutan mangrove dan perusakan terumbu karang. Menurut balai pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Jeneberang Walanae, tahun 2001 luas hutan mangrove di Sulawesi Selatan adalah 26.909 Ha sangat memperihatinkan jika dibandingkan dengan data tahun 1980an. Kerusakan hutan mangrove juga berdampak buruk bagi terumbuh karang, produksi ikan, nener alam, intrusi air laut dan parawisata pantai. Kerusakan hutan mangrove disebabkan antara lain kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan penegakan hukum. Perusakan ekosistem terumbu karang terjadi akibat penangkapan ikan dengan pengeboman, pengambilan karang untuk pembangunan, dan pencemaran akibat dari aktifitas manusia. Rusaknya terumbu karang telah menyebabkan turunnya produksi ikan Malaja dipesisir wilayah Kabupaten Luwu dan turunnya produksi ikan ekor kuning serta nener alam di wilayah pesisir Teluk Bone. 2.5. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Efektifitas desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia, membutuhkan beberapa agenda yang harus dilakukan, hal ini dilakukan dari banyak tingkatan antara lain; level pemerintahan pusat, level pemerintahan lokal dan level komunitas. Pertama, dalam level pemerintahan pusat salah satu poin agenda yang terpenting adalah perbaikan kerangka kerja legal, tentunya ada dua aspek legal yang dibutuhkan untuk membuat desentralisasi lebih efektif;
bagaimana membuat agar desentralisasi hukum lokal dapat diturunkan lebih detail dan bagaimana membuat legitimasi terhadap kelambagaan lokal (Satria, 2004). Kedua, desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan secara tidak langsung membagi manajemen unit pengelolaan perikanan, zona perikanan, untuk wilayah yang berbeda harus dipertanggungjawabkan. Ketiga, pada level komunitas revitalisasi kelembagaan lokal menjadi sangat penting sebagai kunci dari desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan. Revitalisasi ini adalah pemberdayaan dan penguatan kembali bangunan kultural kelembagaan lokal yang baik. Ada dua dimensi dari revitalisasi kelembagaan lokal yaitu dimensi politik dan teknis. Dimensi politik adalah tentang bagaimana memberdayakan nelayan lokal dengan mempercepat menyambut aspirasi mereka, memahami kepentingan nelayan dan merespon relasi kebijakan untuk sektor perikanan (Satria, 2004). Desentralisasi dapat dibenarkan jika tujuan desentralisasi sebagai upaya peningkatan efisiensi dan keseimbangan aktifitas pembangunan, serta untuk meningkatkan partisipasi lokal dan demokrasi. Pada saat melakukan penguatan terhadap penerapan desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir, permasalahan yang terjadi di tingkat pusat dan tingkat lokal semestinya dapat dipecahkan. Pemerintahan pusat semestinya dapat konsisten meninggalkan keengganan untuk membagi kewenangan dengan pemerintahan lokal dan memperbaiki kerangka kerja dan proses kebijakan dengan mengharagai semangat desentralisasi. Di sisi lain, pada tingkat pemerintahan lokal peraturan di tingkat lokal semestinya dapat memfasilitasi dan bekerjasama dengan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi tersebut mengakibatkan kepercayaan antara pemerintahan pusat, pemerintahan lokal dan masyarakat lokal menjadi sangat penting untuk desentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan (Satria, 2004). Berdasarkan hasil penelitian Balitbangda Sulawesi Selatan maka dapat dirumuskan sembilan program indikatif yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan ketahanan ekonomi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di pantai Timur Sulawesi Selatan, yaitu : (1) Program pengembangan lembaga keuangan masyarakat; (2) Program peningkatan keterampilan manajemen usaha dan pemasaran; (3) Program penyehatan lingkungan; (4) Program peningkatan sarana pendukung produksi; (5) Program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam; (6)
program optimalisasi pemanfaatan sumberdaya buatan; (7) Program optimalisasi pemanfaatan jasa lingkungan; (8) Program peningkatan kualitas sumberdaya manusia; dan (9) Program peningkatan kualitas kelembagaan (Balitbangda Sulsel 2006). Selanjutnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa : (1) Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, jasa lingkungan cukup potensial dan mempunyai prospek pengembangan yang baik, namun hingga saat ini belum memberikan kontribusi yang optimal bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat belum sepenuhnya dapat menunjang upaya peningkatan ketahanan ekonomi wilayah; (3) Infrastruktur wilayah yang ada masih terbatas, sehingga belum dapat memberikan dukungan penuh bagi upaya peningkatan
ketahanan
ekonomi
wilayah;
(4)
Kebijakan
menyangkut
kelembagaan tingkat kabupaten masih jauh dari cukup sehingga belum ada instrumen pengelolaan yang memadai; dan (5) Skala usaha dan produk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi masih sangat kecil sehingga belum dapat memberi kontribusi yang basar bagi peningkatan ketahanan ekonomi wilayah di Pantai Timur Sulawesi Selatan (Balitbangda Sulsel, 2006). Dari hasil penelitian pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pantai Timur Sulawesi Selatan, maka ada lima kebijakan yang direkomendasikan, yaitu : (1) Optimalisasi Sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan jasa lingkungan; (2) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kondisi sosial ekonomi masyarakat; (3) Peningkatan infrastruktur ekonomi wilayah; (4) Kebijakan pengelolaan
pada
tingkat
kabupaten
perlu
disempurnakan;
dan
(5)
Penyempurnaan kelembagaan pengelolaan, terutama di tingkat kabupaten (Balitbangda Sulsel, 2006). 2.6. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Masyarakat Pembangunan dapat memiliki makna sebagai upaya membangun masyarakat sekaligus mempertahankan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya pesisir. Program-program pembangunan saat ini sebagian besar bersumber dari wacana pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan
kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak bagi nelayan. Dengan semangat partisipasi aktif masyarakat diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam (Nasution et al. 2007). Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sudah merupakan pendekatan yang banyak dipakai didalam program-program pengelolaan sumberdaya pesisir diberbagai negara di dunia, khususnya dinegaranegara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan diwilayah asia pasifik seperti dinegara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Pemerintahan yang semakin mengarah pada desentralisasi membutuhkan pendekatan ini dalam rangka menjawab tuntutan otonomi daerah (Dahuri et al. 2001). Dengan diberikannya wewenang kepada daerah dalam pengelolaan pesisir dan lautnya sejauh 12 mil untuk propinsi dan 4 mil untuk kabupaten memberikan peluang yang besar bagi pendekatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat. Lahirnya Undang-Undang No. 27 tahun 2007 juga diharapkan mampu menjadi kekuatan hukum bagi pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan berbasis masyarakat mensyaratkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah dan masyarakat. Dua elemen terpenting dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital) dan pemerintah dengan kebijakannya, akan sangat menentukan bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir dalam pengelolaannya (Bengen, 2009). Ciri sumberdaya alam pesisir yang sebagian besar bersifat common property dan open access, bagi beberapa masyarakat nelayan berpandangan bahwa semua orang berhak memanfaatkannya, sehingga jika tidak diikuti oleh regulasi yang tepat, akan menyebabkan pemanfaatan yang eksploitatif. Kondisi ini membutuhkan perhatian bagi semua stakeholder untuk ikut bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutannya. Pengelolaan sumberdaya alam pesisir berbasis ekosistem dan masyarakat yang bersumber dari kekuatan modal sosial diharapkan dapat mengurangi sikap selfish dan free rider. Dengan kekuatan masyarakat dan dukungan regulasi yang
berpihak terhadap paradigma
pembangunan keberlanjutan (sustainable) diharapkan pula mampu menjawab krisis dan degradasi sumberdaya alam pesisir (Bengen, 2009).
Berbagai permasalahan yang cukup kompleks dalam pengelolaan kawasan dan pengelolaan sumberdaya pesisir perlu untuk segera di atasi. Pada beberapa daerah pengelolaan kawasan pesisir membawa dampak terhadap degradasi kualitas lingkungan pesisir. Disamping itu pengelolaan kawasan pesisir juga membawa dampak terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pedoman umum pengelolaan kawasan pesisir di sangat diperlukan karena beberapa hal antara lain : (1) Berbagai permasalahan dalam pengelolaan kawasan pesisir disebabkan karena belum adanya regulasi yang jelas sebagai pedoman dan panduan dalam pengelolaan kawasan pesisir. (2) Pengelolaan kawasan pesisir selama ini cenderung bersifat sektoral. Misalnya kegiatan reklamasi pantai untuk pembangunan kawasan perumahan atau pelabuhan kadang-kadang kurang memperhatikan kondisi daya dukung lingkungan. Demikian juga pembangunan kawasan wisata di daerah pesisir kadang-kadang kurang memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial budaya masyarakat setempat. (3) Kawasan pesisir sebagai suatu kesatuan ekosistem tidak dapat dilihat hanya dalam batas wilayah
administratif
pemerintahan.
Sebagai
suatu
kesatuan
ekosistem
pengelolaan kawasan pesisir pada Daerah Otonom yang berbatasan perlu dilakukan secara terpadu. (4) Kebijakan Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada Daerah Kabupaten dan Kota untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah merupakan suatu kebijakan nasional yang perlu dipertahankan dan dikembangkan. Kewenangan Daerah dalam mengelola kawasan pesisir perlu ditingkatkan implementasinya (Irwansyah, 2007). Faktor penting yang terkait dengan pembangunan berbasis masyarakat adalah peran kelembagaan lokal, yang dapat diukur dengan melihat, keberpihakan regulasi atau kebijakan daerah dalam bentuk peraturan-peraturan daerah, informasi dan pengetahuan, struktur pasar dan respon stakeholder terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini akan menjadi kajian dalam penelitian ini dengan melihat kebijakan, respon dan perilaku stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu, yang memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup besar. Upaya penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat membutuhkan langkah-langkah baik yang bersifat makro maupun mikro. Langkah
makro
merupakan tugas pemerintah untuk mengakui eksistensi sistem
pengelolaan tersebut, dan juga tugas unsur civil society lainnya untuk melakukan advokasi. Sementara itu langkah mikro merupakan tugas pemerintah dan civil society untuk melakukan langkah aksi baik untuk pengembangan kapasitas organisasi, kapasitas sumberdaya manusia (SDM), serta pelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan (Satria, 2009). Berbagai
kajian
menunjukkan
bahwa
institusi
komuniti
dapat
menyediakan common-pool reosurces dengan lebih baik, termasuk jika dibandingkan dengan institusi negara. pemanfaatan institusi komuniti yang telah terbentuk, khususnya komuniti karena kesamaan teritorial, untuk mengelola suatu kawasan tertentu yang langsung berkaitan dengannya, serta mengembangkan aransemen institusional multi-pihak untuk mengelola common-pool resources yang berada di luar kawasan yang disebut sebelumnya. Untuk mengokohkan kedua aransemen institusional dimaksud, dapat dikaji prinsip desain (design principle) institusi yang mampu bertahan lama menyediakan common-pool resources, sebagaimana dirumuskan oleh Ostrom dan Edella (1996) yang mengatakan bahwa prinsip desain tersebut adalah: (1) Adanya batas (boundaries) yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang memanfaatkan, maupun berkaitan dengan common-pool resourcesnya sendiri; (2) Kesesuaian antara aturan (rules) pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal; (3) Modifikasi susunan pilihan-kolektif (collective-choice arrangements), khususnya di tingkat aturan operasional, mengikutsertakan (dalam pengambilan keputusan) pihak-pihak yang terkena dampaknya; (4) Pemantauan perilaku pengambil manfaat (appropriators) dan kepada siapa pemeriksa kondisi commonpool resources bertanggungjawab; (5) Sanksi berjenjang terhadap setiap pelanggar aturan-main; (6) Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan (7) Pengakuan minimal atas hak komuniti untuk mengorganisasikan diri (Fahmi et al. 2003). Berdasarkan pendekatan yang menjadi pilihan dalam penelitian ini, pada penguatan pengelolaan sumberdaya pesisir kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu terpadu berbasis masyarakat, akan melihat kesiapan di tingkat lokal bahwa ketiga jalur aksi (worlds of action), yaitu tingkat pilihan operasional (operational
choice), tingkat pilihan kolektif (collective choice) dan tingkat pilihan konstitusional (constitutional choice), yang sebelumnya dipersepsikan terpisah satu sama lain, sesungguhnya merupakan tiga wilayah pengambilan keputusan yang terkait satu sama lain (Fahmi et al. 2003), semestinya menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dikawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. 2.7. Analisi Kebijakan Persoalan keadilan selalu mendapatkan tempat yang istemewa di setiap perbincangan intelektual selama ini karena permasalahan karena persoalan keadilan tidak pernah tuntas, selalu saja ada ketidakpuasan terhadap persoalan keadilan. Setiap tercipta suatu keadilan dalam masyarakat, orang akan selalu menyalahkan pemerintah sebagai biang keladi karena kebijakannya terhadap publik dianggap tidak berpihak terhadap mereka yang merasakan ketidakadilan. Tuduhan tersebut sangat beralasan karena memang inti dari kebijakan adalah studi tentang
keputusan (decision)
dan
tindakan
(action)
pemerintah dalam
fokustrasinya terhadap kebutuhan publik. Apabila pemerintah tidak berpihak atau tidak fokus terhadap publik, maka masyarakat berhak menolaknya (Fermana, 2009). Selanjutnya menurut Fermana (2009) bahwa sejak akhir abad 19 sampai sekarang, pada umumnya analisis kebijakan di ukur lewat ilmu alam (natural sciences) yang beranggapan bahwa persoalan sosial dapat diselesaikan dengan pendekatan saintifik positivistik. Pendekatan ini mengaku dirinya sebagai objektif dan bebas dari nilai sehingga dalam menentukan putusan suatu kebijakan publik membebaskan diri dari nilai-nilai (normativitas). Model kebijakan ini juga akan cenderung pada kebijakan yang otoriter karena hanya di putuskan oleh beberapa orang ahli saja yang disebut teknokrat. Pendekatan positivistik dalam kebijakan juga disebut pendekatan developmentalisme. Di Indonesia pendekatan ini tumbuh berkembang pada masa orde baru dengan jargon trilogi pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Demi ketiga hal tersebut pemerintah berhak merekayasa ruang publik dan mengebiri pendapat publik mengikuti tujuan pembangunan yang top down dan otoriter.
Pendekatan-pendekatan tersebut gagal mencapai kesuksesan memenuhi rasa keadilan masyarakat karena problem manusia tidak hanya ditentukan oleh segelintir orang saja dengan cara kerja yang disamakan dengan ilmu alam. Permasalahan analisis kebijakan adalah berhubungan dengan pertanyaan siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan dalam suatu kebijakan. Hal ini dapat didekati dengan memahami lebih awal makna keadilan yang secara umum dibangun atas lima dasar yaitu (1) Preferensi individu (individual preferences). Preperensi individu penting karena
karena menjadi dasar bagi apa yang
diinginkan manusia, jika preferensinya terpenuhi maka individu tersebut akan merasakan keadilan. (2) Etika (ethic). Dari etika konsep baik dan buruk berasal, jika sesuatu dianggap baik maka keadilan mengikutinya begitu pula sebaliknya. (3) Kebebasan Individu (individual freedom). Kebebasan individu adalah bagian dari kebutuhan dasar manusia, yang mana manusia menginginkannya untuk terpenuhi, oleh sebabnya jika kebebasan tidak terpenuhi atau terhambat maka rasa keadilan akan dituntut. (4) Hak Individu (individual right). Jika hak individu terpenuhi dan tidak dilanggar, rasa keadilan akan terpenuhi, begitu pula sebaliknya. (5) Distribusi Keadilan (distribution of justice). Tersalurnya distribusi nilai-nilai keadilan seperti persamaan hak, dan kebebasan manusia, akan sangat menentukan nilai keadilan. Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi. Sementara itu kebijakan yang menunjuk pada kerangka kerja pembangunan, memberikan pedoman bagi pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan kedalam beragam program dan proyek. Menurut Dunn (1991), ada tiga bentuk atau model analisis kebijakan, yaitu Pertama Model Prospektif adalah bentuk analisis kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Kedua Model Retrospektif yaitu analisis kebijakan yang dilakukan terhadap kebijakansetelah suatu kebijakan di implementasikan. Model ini biasanya disebut model evaluatif. dan yang Ketiga Model Integratif yang merupakan perpaduan antara kedua model diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik
karena analisis ini dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul baik sebelum maupun sesudah kebijakan diterapkan. 2.7.1. Analisis isi (Content Analysis) Content analysis adalah teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumen-dokumen tertulis seperti laporan, surat, transkrip wawancara, dan bentuk-bentuk tertulis lainnya (Krippendorf, 1980).
Teknik
penelitian ini bisa berupa teknik kuantitatf yang sistematis dan bisa direplikasi yang digunakan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang sedang dipelajari (Riffe et al. 1998). Teknik ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari perilaku manusia secara tidak langsung melalui analisis cara mereka berkomunikasi (Fraenkel dan Norman. 1996). Teknik analisis ini memiliki kelebihan karena sifatnya yang unobtrusive (tidak langsung dan tidak mengganggu obyek yang diteliti), ekonomis, bisa direplikasi serta tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Namun demikian kelemahan dari metode ini diantaranya adalah sumber data yang terdokumentasi terbatas, dan sulit menentukan validitas jika ada ketidaksepakatan antar penguji (Fraenkel dan Norman. 1996). Analisis isi (content analysis) untuk keperluan penelitian ini dilakukan terhadap peraturan perundang undangan tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dari pusat hingga ke daerah penelitian dalam konteks pembanguan berkelanjutan untuk aspek ekonomi, lingkungn dan sosial. 2.7.2. Proses perubahan kebijakan Keputusan dan pembuatan suatu kebijakan publik harus mengakomodasi tuntutan masyarakat, yang tuntutan tersebut didelegasikan kepada seseorang atau kelompok dalam model demokrasi perwakilan. Kebijakan publik yang tidak mengakomodasi tuntutan masyarakat tidak mempunyai legitimasi, dan tidak memenuhi rasa keadilan, yang menjadi cita-cita sosial masyarakat. Pada intinya keputusan dan pembuatan kebijakan publik oleh pemerintah adalah public policy consists of political decisions for implementing program to achieve societal goals ”kebijakan publik terdiri dari keputusan politis untuk mengimplementasi program dalam meraih tujuan demi kepentingan masyarakat” (Fermana, 2009).
Sutton (1999) menyatakan bahwa segala sesuatu yang diputuskan oleh para pembuat keputusan dianggap sebagai perwujudan pemikiran umum dan pemisahan keputusan-keputusan tersebut dari implementasinya, padahal naskah suatu kebijakan dilahirkan oleh suatu proses yang “chaotic”. Lindayati dalam Rosylin (2008) menyatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan tidak hanya didorong oleh kepentingan pemerintah, tetapi juga melibatkan proses ”pembelajaran” bagi pembuat kebijakan dimana gagasan kebijakan memainkan peranan utama. Arus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini disebut sebagai model linier. Model ini dikenal juga dengan model rasional atau commonsense. Urutan pembuatan kebijakan dalam model ini adalah sebagai berikut (Sutton 1999) : 1.
Mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah.
2.
Merumuskan tindakan untuk mengatasai masalah.
3.
Memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi.
4.
Memilih tindakan sebagai kebijakan yang dianggap paling tepat.
5.
Pelaksanaan kebijakan.
6.
Evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan. Menurut (IDS, 2006) proses pembuatan kebijakan non linier mempunyai
karakteristik sebagai berikut : 1.
Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai suatu proses politik yang sesungguhnya yaitu sesuatu yang bersifat analitis atau suatu pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan sama sekali bukan semata-mata bersifat teknis, aktivitas rasional-lah yang sering dipertahankan.
2.
Pembuatan kebijakan adalah suatu proses yang kompleks dan tidak menentu, bersifat berulang-ulang dan sering juga
didasarkan pada
percobaan, kesempatan belajar dari kekeliruan, dan mengambil ukuranukuran yang bersifat perbaikan. Oleh karena itu tidak ada keputusan atau hasil kebijakan tunggal yang optimal.
3.
Selalu ada tumpang-tindih dan agenda yang berlawanan; disana mungkin tidak ada kesepakatan yang penuh antar stakeholders atas apa permasalahan kebijakan penting yang sebenarnya.
4.
Keputusan tidaklah bersifat teknis dan terpisah: nilai-nilai dan fakta-fakta saling terjalin.
Pertimbangan-pertimbangan nilai memainkan peran
utama. 5.
Implementasi melibatkan pertimbangan dan negosiasi oleh para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan (memberi kesempatan untuk melakukan inovasi dan lebih dihargai).
6.
Tenaga ahli teknis dan penentu kebijakan bekerja sama ‘saling membangun’ kebijakan. Kerja sama ini dikenal juga sebagai co-produksi (produksi bersama) antara kebijakan dan ilmu pengetahuan.
7.
Co-produksi kebijakan dan ilmu pengetahuan sering dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan dan ketidakpastian ilmiah, dimana ilmuwan berusaha melengkapi dengan memberi jawaban untuk pembuat kebijakan, dan selanjutnya didiskusikan.
8.
Proses kebijakan meliputi beberapa perspektif atas biaya sebagai perspektif dari kemiskinan dan ketermarjinalan yang sering terabaikan. Proses pembuatan kebijakan dapat dikembangkan dan diuraikan dalam
suatu kerangka sederhana yang menghubungkan tiga
tema yang saling
berhubungan yaitu : 1.
Pengetahuan dan diskursus (apa yang merupakan ‘kebijakan naratif’, Bagaimana hal tersebut dirangkai melalui ilmu pengetahuan, riset dan lain sebagainya)
2.
Para pelaku dan jaringan kerja (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka terhubung) dan
3.
Politik dan kepentingan (apakah yang merupakan dasar dinamika kekuasaan
Gambar 3. Kerangka hubungan antar aktor dalam proses perumusan kebijakan Sumber : Institute of Development Studies (2006). Sutton (1999) menjelaskan bahwa pengembangan narasi (narrative development) yaitu suatu keyakinan di masa lalu berisi kompleksitas situasi
yang
seringkali digunakan
penyederhanaan
oleh pembuat kebijakan
(Gambar 3). Mereka sering menetapkan keyakinan-keyakinan tersebut sebagai kearifan di masa lalu yang sulit
sekali ditinggalkan. Keberadaan kelompok
kepentingan, kekuasaan, dan kewenangan mempunyai kedudukan penting karena akan saling memberi pengaruh terhadap ’kebenaran’, asumsi, jalan keluar, berdasarkan argumentasi dari pengalaman, literatur, atau pasal-pasal dalam peraturan-perundangan. Kelompok-kelompok tersebut menentukan cakupan atau arena yang dibahas dalam pembuatan kebijakan. Narasi membatasi ruang untuk melakukan manuver atau membatasi ruang kebijakan (policy space), yaitu kemampuan pembuat kebijakan untuk menemukan alternatif atau pendekatan baru.
Narasi
dilahirkan
melalui
jaringan
pembuat
kebijakan
(policy
coalition/network) dan mengembangkan paradigmanya sendiri sehingga menjadi sangat berpengaruh. 2.7.3. Analisis stakeholder Partisipasi masyarakat semakin diperhatikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap kebijakan lingkungan, sehingga para pengambil keputusan perlu memahami pihak-pihak yang dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan yang mereka ambil, dan yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi hasilnya. Mengidentifikasi stakeholder merupakan langkah awal dan penting
dalam setiap kegiatan partisipatif. Namun, seringkali stakeholder diidentifikasi dan dipilih secara ad-hoc sehingga berpotensi meminggirkan kelompok-kelompok penting, membuahkan hasil yang bias dan membahayakan kelangsungan jangka panjang proses dan dukungan atas kebijakan. Dalam kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam, analisis
stakeholder
digunakan
memberdayakan para stakeholder
sebagai
suatu
pendekatan
marjinal untuk
yang
dapat
mempengaruhi proses
pengambilan keputusan. Sedangkan dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder telah dilihat sebagai suatu cara untuk menghasilkan informasi atas aktor-aktor yang relevan untuk memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruh mereka pada proses pengambilan keputusan (Burgha and Varvasovsky, 2000). Analisis stakeholder menanyakan siapa pihak yang berkepentingan, yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi apa yang terjadi, bagaimana pihak-pihak ini berinteraksi, dan berdasarkan informasi ini, bagaimana mereka mungkin dapat berkerjasama secara lebih efektif.