BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tinjauan Umum Akuntansi
2.1.1 Definisi Akuntansi Pengertian akuntansi menurut American Accounting Association seperti yang dikutip oleh Soemarso (2004:3) adalah : Akuntansi adalah proses mengidentifikasikan, mengukur dan melaporkan informasi ekonomi, untuk memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka yang menggunakan informasi tersebut . Proses akuntansi merupakan proses yang berkelanjutan yang dimulai dengan suatu kejadian atau peristiwa ekonomi kemudian diakhiri dengan tersedianya laporan keuangan dimana laporan keuangan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Hal ini sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh American Institute of Certified Public Accountant (AICPA). Definisi Akuntansi menurut American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) : Accounting is the art of recording, classifying, and summarizing in a significant manner and in terms of money, transaction and events which are in part at least, of a financial character, and interpreting the results thereof . Financial Accounting Standards Board mendefinisikan akuntansi secara umum adalah : Accounting is the body knowledge and functions concered with systematic originating, recording, classifying, processing, summerizing, analyzing, interpreting and supplying of dependable and significant information covering, transaction, and event wich are, in part at least, of financial character, required for the management and operation of an entity and for report that have to be submitted there on to meet fiduciary and other responsibilities . Dalam
prakteknya
akuntansi
digunakan
berdasarkan
kepentingan
penggunanya, akuntansi secara umum saja dimana dihasilkannya laporan
keuangan sebagai hasil akhir yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan tidak dapat memenuhi tujuan pengguna laporan keuangan, karena pengguna laporan keuangan mempunyai tujuan yang lebih spesifik untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan. Oleh karena itu, akuntansi masih dibagi lagi kedalam beberapa spesialisasi bidang sesuai fungsi dan tujuannya.
2.1.2 Spesialisasi Bidang Akuntansi Menurut Warren Reeve Fees (2005:12), jenis akuntansi yang sering digunakan yaitu akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen, termasuk juga jenis akuntansi yang lainnya seperti akuntansi lingkungan, akuntansi pajak, sistem akuntansi, akuntansi internasional, akuntansi organisasi non profit, dan akuntansi sosial. 1) Akuntansi Keuangan Financial accounting is primaliry concerned with the recording and reporting of economic data and activities for a business. Although such report provide useful information for managers, they are the primary report for owners, creditors, governmental agencies, and the public . Warren Reeve Fees (2005:12) 2) Akuntansi Manajemen Managerial accounting, or management accounting, uses both financial accounting and estimated data to aid management in running day-to-day operations and in planning future operations. Management accountants gather and report information that is relevant and timely to the decision making needs of management . Warren Reeve Fees (2005:12) 2.2
Akuntansi Forensik
2.2.1 Definisi Akuntansi Forensik Banyaknya spesialisasi bidang akuntansi masih dirasa kurang lengkap, di jaman sekarang ini munculah fenomena baru bahwa akuntansi bukan lagi hanya digunakan untuk mencatat kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa ekonomi yang menghasilkan laporan keuangan untuk dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan, tetapi ada satu peranan dalam spesialisasi bidang akuntansi yang mempunyai keterkaitan dengan pengadilan atau hukum yaitu akuntansi forensik.
Forensik, menurut Merriam Webster s Collegiate Dictionary edisi ke 10 seperti yang dikutip oleh T.M. Tuanakotta (2007:5) dapat diartikan : Berkenaan dengan pengadilan atau berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum . Oleh karena itu akuntasi forensik dapat diartikan penggunaaan ilmu akuntansi untuk kepentingan hukum. Akuntansi forensik dahulu hanyalah digunakan untuk urusan hukum dan admisistratif yang memadukan antara kemampuan di bidang auditing dan akuntansi, misalnya penggunaan akuntansi forensik untuk pembagian harta gonogini. Seiring berjalannya waktu, akuntansi forensik kini banyak digunakan di dalam mengungkapkan kejahatan atau kecurangan-kecurangan yang terjadi pada lembaga atau institusi baik di sektor pemerintah maupun swasta. Wally Smieliauskas (2006:16) The conventional definition of forensic accounting is the application of accounting and auditing skills to legal and administrative proceedings. This concept can be expanded to include all economic cheater detection. Cheating is a broader concept than fraud, e.g., it incorporates lack of value for money (VFM) or lack of value for resources utilized . Menurut D. Larry Crumbley, editor in chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) yang dikutip oleh T.M. Tuanakotta (2007:7), akuntansi forensik secara sederhana dapat dikatakan: Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administrative . Istilah akuntansi forensik dikenal juga dengan istilah audit kecurangan atau akuntansi investigasi, seperti yang dikemukakan oleh Jack Bologna dan Paul Shaw (1989), yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:36) : Forensic accounting, sometimes called fraud auditing or investigative accounting, is a skill that goes beyond the realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery. Indeed, forensic accounting skill go beyond the general recalm of white collar crime. Terjemahan :
Akuntansi forensik, kadang-kadang disebut sebagai audit kecurangan atau akuntansi investigasi, adalah keahlian yang berada di atas bidang kecurangan korporat dan manajemen, penggelapan atau penyuapan komersial. Keahlian akuntansi forensik tentu saja berada di luar bidang umum kejahatan kerah putih . 2.2.2 Lingkup Akuntansi Forensik Menurut Theodorus M. Tuanakotta (2007:41) lingkup akuntansi forensik dibagi menjadi dua, yaitu pada sektor swasta dan sektor pemerintah. 1. Praktek di Sektor Swasta Dalam prakteknya, ada perusahaan yang menekankan pada atau mendalami suatu aspek tertentu dari akuntansi forensik. Kantor-kantor akuntan global yang dikenal sebagai the big four dan perusahaan yang berkecimpung dalam penelusuran asset akan menekankan kegiatan mereka pada asset tracing dan asset recovery. 2. Praktek di Sektor Pemerintah Di sektor publik (pemerintah), praktek akuntansi forensik serupa dengan di sektor swasta. Perbedaannya adalah bahwa tahap-tahap dalam seluruh rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi di antara berbagai lembaga. Ada lembaga yang melakukan pemeriksaan keuangan negara, ada beberapa lembaga yang merupakan bagian dari pengawasan internal pemerintahan, ada lembaga-lembaga pengadilan, ada lembaga yang menunjang kegiatan memerangi kejahatan pada umumnya, dan korupsi khususnya (seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), dan lembaga-lembaga lainnya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Juga ada lembaga masyarakat yang berfungsi sebagai pressure group. Di samping itu, keadaan politik dan macam-macam kondisi lain akan mempengaruhi lingkup akuntansi forensik yang diterapkan, termasuk pendekatan hukum dan non hukum.
2.2.3 Tujuan Akuntansi Forensik Menurut Theodorus M. Tuanakotta (2007:41) tujuan akuntansi forensik adalah untuk menagani (memeriksa, menyelidiki, menyidik, menuntut, mengadili) fraud, khususnya dalam pengertian corruption dan misappropriation asset.
Akuntansi forensik digunakan untuk membantu penyidik yang meminta bantuan tenaga ahli (auditor) di dalam mendeteksi, memeriksa dan mengungkapkan fraud, dimana hasilnya akan dijadikan barang bukti yang nantinya akan diselesaikan lewat jalur litigasi maupun non litigasi.
2.2.4 Model Akuntansi forensik Menurut Theodorus M. Tuanakotta, Model Akuntansi Forensik bisa terdiri dari berbagai macam tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi. Akuntansi forensik pada awalnya adalah perpaduan yang sederhana antara akuntansi dan hukum. Contoh penggunaan akuntansi forensik dalam pembagian harta warisan. Disini terlihat unsur akuntansinya, unsur hitung-menghitung besarnya harta yang akan diterima oleh ahli waris. Segi hukumnya dapat diselesaikan di dalam atau di luar pengadilan, secara litigasi atau non litigasi. Model ini dapat digambarkan sebagai berikut.
AKUNTANSI HUKUM Gambar 2.1 Diagram Akuntansi Forensik Sumber: Tuanakotta (2007:17)
Dalam kasus yang lebih rumit, ada satu bidang tambahan (di samping Akuntansi dan Hukum). Bidang tambahan ini adalah audit, sehingga model akuntansi forensiknya dipresentasikan dalam tiga bidang.
AKUNTANSI AUDIT HUKUM Gambar 2.2 Diagram Akuntansi Forensik Sumber: Tuanakotta (2007:18)
Dalam suatu audit secara umum maupun audit yang khusus untuk mendeteksi fraud, auditor (internal maupun eksternal) secara proaktif berupaya melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem pengendalian intern, terutama yang
berkenaan dengan perlindungan terhadap asset (safeguarding of asset) yang rawan akan terjadinya fraud (kecurangan). Kalau dari suatu audit umum (general audit atau opinion audit) diperoleh temuan audit, atau ada tuduhan (allegation) dari pihak lain, atau ada keluhan (complaint), auditor bersikap reaktif, yaitu dengan menanggapi temuan, tuduhan dan keluhan tersebut. Dalam Gambar 2.3 digambarkan dua bagian dari suatu fraud audit, yang bersifat proaktif dan yang investigatif. Audit investigatif dimulai pada bagian kedua dari audit fraud yang bersifat reaktif, yakni sesudah ditemukannya indikasi awal adanya fraud. Audit investigatif merupakan bagian dan titik awal dari akuntansi forensik. Dari Gambar 2.3 tersebut, terlihat proses audit investigatif, akuntansi dan hukum. Bagan ini merupakan pengembangan dari Gambar 2.2., bagan ini tidak dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan unsur tindak pidana, misalnya tindak pidana korupsi (tipikor).
Akuntansi Forensik Jenis penugasan
Temuan audit Risk Assesment Tuduhan Keluhan
Temuan Audit
Identifikasi potensi fraud
Indikasi awal adanya fraud
Bukti ada/tidaknya pelanggaran
Gambar 2.3 Diagram Akuntansi Forensik Sumber: Tuanakotta (2007:19)
2.3
Atribut, Standar, dan Kode Etik Akuntansi Forensik Setiap profesi mempunyai persyaratan bagi anggotanya. Umumnya
persyaratan bagi akuntan forensik serupa dengan para auditor pada umumnya. Misalnya dalam menerapkan professional skeptism dan sifat pantang menyerah (persistent). Namun, sifat khas pekerjaan investigator (auditor yang melakukan
HUKUM
Output
Investigatif AKUNTANSI
Sumber Informasi
Fraud Audit Proaktif
investigasi) atau akuntan forensik, mewarnai ciri khas tuntutan dan persyaratan profesi ini.
2.3.1 Atribut Akuntansi Forensik Sudah menjadi suatu kewajiban bagi seorang professional akuntan sebelum menerima penugasan audit harus mengetahui dengan pasti, hasil pekerjaannya digunakan untuk kepentingan apa. Kalau saja latar belakang pihak yang akan memanfaatkan hasil auditnya tidak diketahui dengan pasti, besar kemungkinan dimanfaatkan untuk tujuan yang merugikan akuntan sendiri. Untuk itu menurut Soejatna S. (2008:20) ada lima sifat yang harus dimiliki oleh seorang akuntan, yaitu : 1. Seorang akuntan harus mempunyai rasa curiga yang besar. 2. Seorang akuntan juga dituntut punya rasa ingin tahu yang besar. 3. Mempunyai daya analisis yang kuat. 4. Mempunyai logika yang bagus. 5. Seorang akuntan tidak cepat putus asa.
Menurut Howard R. Davia (2000:42) seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:45) auditor pemula di dalam melakukan investigasi terhadap fraud harus memperhatikan hal-hal berikut, yaitu : 1. Hindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Banyak auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, dan tidak bisa menjawab pertanyaan yang paling penting : who did it ?. 2. Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku melakukan kecurangan (preparator s intent to commit fraud). 3. Be creative, think like a preparatory, do not predictable (dalam hal pemeriksaan, penyelidikan atau investigasi). 4. Auditor
harus
tahu
banyak
kecurangan
persekongkolan (collusion, conspirasi).
dilakukan
dengan
5. Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk menemukan kecurangan yang dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan). Untuk menjadi seorang akuntan forensik atau pemeriksa kecurangan (fraud), maka seorang akuntan forensik harus mempunyai karakter dan keahlian tertentu. Karakteristik seorang pemeriksa fraud menurut Fraud Examiners Manual (2006): Pemeriksa fraud harus memiliki kemampuan yang unik. Di samping keahlian teknis, seorang pemeriksa fraud yang sukses mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi dan fair, tidak memihak, sahih (mengikuti peraturan perundang-undangan), dan akurat, serta mampu melaporkan fakta-fakta itu secara akurat dan lengkap . Pemeriksa fraud adalah gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif (atau investigator). Seorang detektif atau investigator juga perlu memiliki sikap penuh kehati-hatian, berkpikir kreatif, pantang menyerah dan penting untuk mmpunyai kemampuan berpikir seperti pencuri. Kualitas yang harus dimiliki oleh seorang detektif dijelaskan oleh Allan Pinkerton seperti yang dikutip T.M. Tuanakotta (2007:50) yaitu: Detektif harus memiliki kualifikasi yang berikut: hati-hati (tidak gegabah), menjaga kerahasian pekerjaannya, kreatif, pantang menyerah, berani, dan di atas segala-galanya, jujur; di samping ketangguhannya mencari informasi seluas-luasnya yang memungkinkan menerapkan segala dan secara efektif talentanya sebagai seorang detektif, dengan kedalaman yang diperlukan . G. Jack Bologna and Robert J. Lindquist (1995) yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:51) menjelaskan kualitas yang harus dimiliki oleh akuntan forensik adalah: Kreatif Kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis yang normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu merupakan situasi bisnis yang normal. Rasa ingin tahu
Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi. Tak menyerah Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh. Akal sehat Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya, perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan. Business sense Kemampuan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya bisnis berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat. Percaya diri Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela)
Sedangkan menurut Amin Widjaja (2001:43), auditor kecurangan yang efektif harus melakukan berikut ini dengan kemampuan yang cukup: 1. Mempelajari pengendalian intern. 2. Menilai kebaikan dan kelemahan pengendalian itu. 3. Skenario
didesain
dari
kerugian
kecurangan
yang
potensial
berdasarkan kelemahan yang diidentifikasi dalam pengendalian intern. 4. Mengidentifikasi akun yang dipertanyakan, saldo akun dan hubungan antara akun, untuk perbedaan dari yang diperkirakan sekarang dan hubungan masa lalu (rasio masa lalu). 5. Mengidentifikasi transaksi yang dipertanyakan, misalnya terlalu tinggi, terlalu rendah, terlalu sering, terlalu jarang, terlalu banyak, terlalu sedikit, waktu yang janggal, tempat yang janggal, orang yang janggal.
6. Membedakan kesalahan manusia yang sederhana dan penghilangan masukan dari ayat jurnal yang curang (kesalahan yang disengaja vs. kesalahan yang tidak disengaja). 7. Mengikuti arus dokumen yang mendukung transaksi. 8. Mengikuti arus dana ke dalam dan ke luar dari akun organisasi. 9. Mencari dokumen pendukung untuk transaksi yang dipertanyakan. 10. Mempelajari dokumen itu untuk keanehan seperti naiknya jumlah, pemalsuan bon palsu, faktur atau klaim, perusakan data, klasifikasi akun yang tidak tepat, ketidakteraturan urutan serial, kuantitas, harga, perkalian dan footing , substitusi dari fotokopi untuk dokumen asli. 11. Mengkonstruksi kembali data pendapatan dan pengeluaran melalui sumber di luar dan independent. 12. Mengkonfirmasi nilai aktiva dan hutang melalui sumber di luar dan independent. 13. Mengumpulkan dan meyimpan bukti untuk memperkuat kerugian aktiva, kecurangan transaksi dan laporan keuangan yang salah. 14. Mendokumentasikan dan melaporkan kerugian kecurangan untuk tujuan kriminal, sipil atau transaksi.
2.3.2 Standar Akuntansi Forensik Menurut T.M. Tuanakotta (2007:52), secara sederhana, standar adalah ukuran mutu .
2.3.2.1 Standar Profesi Akuntan Di dalam pekerjaan audit, para auditor ingin menegaskan standar mereka. Seorang auditor atau akuntan publik di dalam melaksanakan tugasnya harus menjunjung tinggi sikap profesionalismenya karena akuntan publik atau auditor adalah profesi yang banyak berhubungan dengan pihak lain. Untuk itu seorang auditor atau akuntan publik di dalam menjalankan profesinya diatur dalam suatu standar yaitu standar professional akuntan publik.
Standar professional akuntan publik yang dikutip Arens (2008:34) tersebut adalah : General Standards 1. The audit is to be performed by a person or person having adequate technical training and proficiency as an auditor. 2. In all matter relating to the assignment, an independence in mental attitude is to be maintained by the auditor or auditors. 3. Due professional care is to be exercised in the planning and performance of the audit and the preparation of the report. Standards of Field Work 1. The work is to be adequately planned and assistants, if any, are to be properly supervised. 2. The auditor must obtain a sufficient understanding of the entity and its environment, including its internal control, to assess the risk of material misstatement of the financial statement whether due to error or fraud, and to design the nature, timing, and extend of further audit procedures. 3. Sufficient competent evidential matter is to be obtained through inspection, observation, inquiries, and confirmation to afford a reasonable basis for an opinion regarding the financial statement under audit. Standards of Reporting 1. The report shall state whether the financial statements are presented in accordance with generally accepted accounting principles. 2. The report shall identify those circumstances in wichh such principles have not been consistently observed in the current period in relation to the preceding period. 3. Informative disclousure in the financial statements are to be regarded as reasonably adequate unless otherwise stated in the report.
4. The report shall either contain an expression of opinion regarding the financial statements, taken as a whole, or an assertion to the effect that an opinion cannot be expressed. When an overall opinion cannot be expressed, the reason therefore should be stated. In all cases where an auditor s name is associated with financial statements, the report should contain a clear-cut indication of the character of the auditor s work, if any, an the degree of responsibility the auditor is taking.
Dari semua standar yang telah dijelaskan, seorang auditor wajib memenuhi semua standar tersebut di dalam menjalankan tugasnya agar pihak yang memakai laporan audit dan pihak-pihak lain yang berkepentingan mempunyai kepercayaan atas kinerja seorang auditor, dengan standar profesi tersebut pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengukur mutu kerja seorang auditor. Seorang akuntan forensik pun wajib memenuhi semua standar tersebut dari mulai standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan, pada dasarnya seorang akuntan forensik adalah seorang auditor yang mempunyai tugas sama dengan auditor lainnya yaitu memberikan keyakinan atas informasi yang disajikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, yang membedakan adalah fokus pekerjaannya.
2.3.2.2 Standar dalam Pemeriksaan Fraud Profesi auditor seringkali bekerja setengah hati di dalam menegaskan tanggung jawabnya dalam mendeteksi fraud, hal ini dikarenakan tidak adanya pedoman atau standar bagi auditor di dalam menjalankan tugasnya untuk mendeteksi adanya fraud. Apalagi fraud yang terjadi adalah ulah dari pegawai yang bekerja di suatu perusahaan tertentu, tentunya akan semakin rumit dalam mendeteksi kecurangan (fraud) yang ditimbulkan karena pegawai biasanya mengetahui sistem yang ada pada suatu perusahaan. Beberapa standar telah dijadikan pedoman di dalam melakukan investigasi terhadap fraud, dimana konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas fraud yang dilakukan oleh pegawai di perusahaan.
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett (2002), yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:52) merumuskan standar tersebut: 1. Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui (accepted best practices). 2. Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di Pengadilan. 3. Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan di indeks, dan jejak audit tersedia. 4. Pastikan bahwa investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya. 5. Beban pembuktian ada yang
menduga
pegawainya melakukan
kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana. 6. Cakup seluruh substansi investigasi dan kuasai seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu. 7. Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia,
ikuti
tata
cara
atau
protokol,
dokumentasi
dan
penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.
2.3.3 Kode Etik Akuntansi Forensik Mempunyai dokumen mengenai standar dan kode etik adalah langkah awal yang baik. Namun, tanpa penegakannya (enforcement) yang tegas dan konsisten, kredibilitas profesi akan diragukan. Untuk itulah mengapa para akuntan dan praktisi hukum harus mengenal kode etik, karena kode etik merupakan bagian dari kehidupan berprofesi. Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya, dengan pemakai jasanya dan stakeholder lainnya serta dengan masyarakat luas.
Menurut T.M. Tuanakotta (2007:58) Kode etik berisi nilai-nilai luhur (virtues) yang amat penting bagi eksistensi profesi. Profesi bisa eksis karena ada integrasi (sikap jujur, walaupun tidak diketahui orang lain), rasa hormat dan kehormatan (respect dan honor), dan nilai-nilai luhur lainnya yang menciptakan rasa percaya (trust) dari pengguna dan stakeholders lainnya. Di dalam mematuhi kode etik, akuntan yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap kecurangan juga harus memegang teguh prinsip-prinsip etika demi tercapainya integritas dan kepercayaan dengan pihak lain. Menurut Arens (2003:122) prinsip-prinsip etika yang harus dipegah teguh oleh profesi yaitu ada enam: 1. Tanggung Jawab. Dalam melaksankan tanggung jawabnya sebagai profesional, para anggota harus berusaha menjadi profesional yang peka serta memiliki pertimbangan moral atas seluruh aktivitas mereka. 2. Kepentingan Publik Para anggota harus menerima kewajiban untuk bertindak sedemikian rupa agar dapat meyakini kepentingan publik, menghargai kepercayaan
publik,
serta
menunjukkan
komitmennya
pada
profesionalisme. 3. Integritas Mempertahankan dan memperluas keyakinan publik, para anggota harus menunjukkan tanggung jawab profesionalnya dengan tingkat integritas tertinggi. 4. Objektivitas dan Indepedensi Anggota harus mempertahankan objektivitas terbebas dari konflik antar
kepentingan
dalam
melaksanakan
tanggung
jawab
profesionalnya. Anggota yang berpraktek bagi publik harus berada dalam posisi yang independen baik dalam penampilan maupun kondisi sesungguhnya ketika menyediakan jasa audit maupun jasa atestasi lainnya.
5. Due Care Seorang anggota harus selalu memperhatikan standar teknik dan etika profesi, selalu berusaha untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas jasa yang diberikannya, serta melaksanakan tanggungjawab profesional sesuai dengan kemampuan terbaiknya. 6. Lingkup dan Sifat Jasa Anggota yang berpraktek bagi publik harus memperhatikan prinsip-prinsip pada kode etik profesi dalam menentukan lingkup dan sifat jasa yang akan diberikan.
Prinsip-prinsip etika yang telah dijelaskan tersebut dapat ditanamkan dalam semua profesi yang mempunyai hubungan dengan berbagai pihak dan stakeholder. Dengan demikian seorang akuntan forensik pun harus mematuhi dan menerapkan kode etik dan prinsip-prinsip etika tersebut demi menjaga eksistensi pekerjaanya, terutama di dalam mendeteksi dan mengungkapkan tindak kecurangan yang dapat merugikan berbagai pihak.
2.4 Metodologi Akuntansi Forensik Dalam melakukan pendeteksian, pemeriksaan dan pengungkapan fraud tidak bisa digunakan langkah-langkah atau prosedur-prosedur yang terarah dan terstruktur karena para pelaku fraud mempunyai keahlian di dalam melakukan kejahatannya yaitu tidak mudah ditebak. Menurut Assosiation of Certified Fraud Examiners (1992) seperti yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:47) langkah-langkah dalam pemeriksaan kecurangan yang menggunakan pendekatan akuntansi forensik adalah sebagai berikut: Allegation (pendugaan Positif)
Evaluation
Prediction (ramalan)
Document Examination
Investigation Plan (Fraud Theory)
Interview (Neutral Third Party)
Interview (Corroborative & CoConspirators)
Interrogations
Defense (pembelaan)
Rebuttal Witness for Defense (bantahan saksi untuk pembelaan) Gambar 2.4 Langkah-langkah pemeriksaan kecurangan Assosiation of Certified Fraud Examiners (1992) Sumber: Amin Widjaja (2001:47)
Metodologi tersebut merupakan suatu pendekatan yang sistematis yaitu audit/pemeriksaan dimulai dengan informasi umum dan diteruskan dengan informasi khusus yang lebih banyak. Pada umumnya, audit atau pemeriksaan fraud akan dimulai dengan audit sumber dokumentasi.
Pengujian Dokumen Dokumen harus diperiksa sebelum wawancara dilakukan. Prosedur ini memungkinkan auditor memperoleh pemahaman tentang nilai bukti potensial dari suatu kasus, dan juga untuk melindungi keamanan dokumen. Saksi Pihak Ketiga yang Netral Setelah melakukan pemeriksaan dokumen yang cukup, saksi harus diwawancarai dengan cara yang logis, mulai dengan orang yang paling kecil kemungkinan terlibat dan memuncak sampai orang yang paling mungkin mempunyai suatu keterlibatan. Saksi Koroboratif (corroborative witnesses) yang Menguatkan Wawancara dengan saksi untuk menguatkan fakta harus dilakukan setelah wawancara dengan saksi pihak ketiga yang netral. Saksi ini mungkin saja koperatif atau tidak koperatif. Co-Inspirators Pihak-pihak yang dicurigai terlibat harus diwawancarai kemudian, mulai dengan pihak yang paling tidak bersalah dan meningkat
pada
memungkinkan,
pihak penegakan
yang
paling
hukum
dan
bersalah. penuntut
Apabila sering
menjanjikan kelonggran sebagai imbalan kerja sama. Target/Sasaran Biasanya, target akan diperiksa paling akhir. Wawancara dan interogasi biasanya di jadwal, meskipun dirasakan bahwa target tidak akan memberikan pangakuan. Dalam banyak contoh, pengakuan dapat digunakan untuk pendakwaan atau penuduhan (impeachment). 2.4.1 Investigasi Menurut Tuanakotta (2007:207), Investigasi adalah: Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya pembuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku .
Seorang akuntan atau auditor forensik di dalam melaksanakan tugasnya untuk mendeteksi dan memeriksa adanya indikasi kecurangan bisanya menggunakan teknik investigasi, investigasi dilakukan untuk mendapatkan bukti yang lengkap. Akuntan atau auditor forensik mengenal beberapa aksioma dalam melakukan investigasinya. Menurut Tuanakotta (2007:208), aksioma adalah asumsi dasar yang begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya, sedangkan aksioma sendiri dalam pemeriksaan fraud ada tiga. 1. Fraud selalu tersembunyi. Berbeda dengan kejahatan lain, sifat perbuatan fraud adalah tersembunyi atau mengandung tipuan (yang terlihat di permukaan bukanlah yang sebenarnya terjadi atau berlangsung). Karena itu, pemeriksa fraud atau investigator harus menolak memberikan pernyataan bahwa hasil pemeriksaannya membuktikan ada fraud. 2. Pembuktian fraud secara timbal balik. Pembuktian ada atau telah terjadinya fraud meliputi upaya untuk membuktikan fraud itu tidak terjadi. Dan sebaliknya, untuk membuktikan fraud tidak terjadi, maka harus ada upaya membuktikan fraud itu terjadi. Harus ada upaya pembuktian timbal balik atau reverse proof, sehingga kedua sisi fraud (terjadi dan tidak terjadi) harus diperiksa. 3. Hanya pengadilan yang menetapkan bahwa fraud memang terjadi. Dalam upaya menyelidiki adanya fraud, pemeriksa membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah (guilty) atau tidak (innocent). Bersalah atau tidaknya seseorang merupakan dugaan atau bagian dari teori , sampai pengadilan memberikan keputusannya.
Seorang pemeriksa fraud di dalam melakukan investigasinya selalu mempunyai harapan bahwa semua kasus akan berakhir dengan suatu litigasi (all cases will end litigation). Padahal ketika memulai investigasi, pemeriksa belum mempunyai bukti yang cukup. Oleh karena itu, investigator biasanya membuat
suatu dugaan menyerupai hipotesis yang kemudian diuji dan membuat teori tentang bagaimana farud itu terjadi. Menurut Tuanakotta (2007:210) investigasi dengan pendekatan teori fraud meliputi langkah-langkah sebagai berikut: 1. Analisis data yang tersedia. 2. Ciptakan (atau kembangkan) hipotesis berdasarkan analisis pada langkah awal. 3. Uji atau test hipotesis tersebut. 4. Perhalus atau ubah hipotesis berdasarkan hasil pengujian sebelumnya.
Dimana awal kejadian kecurangan adalah hal pertama yang investigator perlu ketahui. Bagan arus merupakan alat yang digunakan untuk membantu menentukan titik awal investigasi dan awal munculnya fraud. Amin Widjaja (2001:49) : Penggunaan akhir bagan arus adalah bagan ini memberi petunjuk pentingnya perencanaan dan penganggaran untuk investigasi kecurangan. Sebagai tambahan dari kebutuhan umum dari sebagian besar investigasi, seperti wawancara dan pengumpulan bukti, kasus kecurangan atau kejahatan komputer dapat memerlukan bantuan saksi ahli dan persiapan material grafik khusus untuk presentasi kasus pada juri pengadilan . Bagan Arus juga dapat diterapkan untuk teknik investigasi follow the money, yaitu mengikuti jejak-jejak uang yang dijadikan sebagai objek di dalam melakukan kecurangan. Seperti dikatakan oleh Tuanakotta (2007:246): Teknik Investigasi ini (follow the money) sebenarnya sangat sederhana. Kesulitannya adalah datanya yang sangat banyak dalam hitungan terabytes. Kita tidak bisa mulai dengan pelakunya, yang ingin kita lihat justru adanya pola-pola arus dana yang menuju ke suatu tempat (yang memberi indikasi tentang pelaku atau otak kejahatan) .
INVESTIGATION FLOWCHART Report or Discovery of Crime
1 1a
Company action Decided
3
4
Internal action begins (auditors).
Initial interview Of witness or informants
No taken action 2
Internal investigator initiative 5
4b
Police Notified
4a
5a
Preivate Investigation
5b
Report to Company Audit Committee Seurity Director 5a1
6 Employee Involved in Crime Questioned
5b1
Criminal Backgrounf Check of All Suspect Seal of Promise Get Search Warrants
6a Fired
6b
Determine extent of Fraud
Allocate Resourse For Case Line-Up Expert Witness Documentation Hardware Software 7
6c
Allowed to resign (exit interview by company attorney
71
Re-interview witness
Secure a Site for Job Runs of Suspect Tapes
Mark All Evidence
7a
7c 7b
8
Secure All Payroll Record Vendor Accounts Invoices Returned check
Appropriate for Evidence all Console Logs Security Logs 9
Civil Prosecution
8a Prepare Testimony for Trial
Criminal Prosecution
8b Prepare Evidence for Trial
9a
10 Trial
Gambar 2.5 Investigation Flow Chart Sumber: Amin Widjaja (2001:50)
9b
Prepare Prepare Evidence Testimony for Trial for Trial
Investigasi dilakukan tentunya agar dapat mengungkap siapa pelaku kecurangan dan bagaimana pelaku kecurangan tersebut melakukannya. Tujuan dari investigasi ini bermacam-macam jenisnya, tetapi pada intinya investigasi di lakukan untuk mengungkapkan fraud. Berikut tujuan investigasi menurut K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dalam Financial Crime Investigation and Control (2002) seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:201): 1. Memberhentikan manajemen. Tujuan utamanya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggungjawabkan kewajibannya untuk mengawasi dan mencegah terjadinya kecurangan. 2. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukupnya dan relevannya bukti. Konsepnya adalah forensic evidence, dan bukan sekedar bukti audit. 3. Melindungi dari reputasi karyawan yang bersalah. 4. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi. 5. Menemukan asset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi. 6. Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang diduga menjadi pelaku kejahatan, mengerti kerangka acuan dari investigasi tersebut. Harapannya adalah mereka dapat bersikap koperatif dalam investigasi itu. 7. Memastikan
bahwa
pelaku
kejahatan
tidak
bisa
lolos
dari
perbuatannya. 8. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan. 9. Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan. 10. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan. 11. Melaksanakan investigasi sesuai standar, sesuai dengan peraturan perusahaan, sesuai dengan buku pedoman.
12. Menyediakan laporan kemajuan secara teratur untuk membantu pengambilan keputusan mengenai investigasi di tahap berikutnya. 13. Memastikan pelakunya tidak melarikan diri atau menghilang sebelum tindak lanjut yang tepat dapat diambil. 14. Mengumpulkan cukup bukti yang dapat diterima pengadilan, dengan sumber daya dan terhentinya kegiatan perusahaan seminimal mungkin. 15. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil. 16. Mendalami tuduhan (baik oleh orang dalam atau luar perusahaan, baik lisan maupun tertulis, baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng) untuk menggapainya secara tepat. 17. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik. 18. Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga. 19. Mengikuti seluruh kewajiban hukum dan mematuhi semua ketentuan mengenai due delligence dan klaim kepada pihak ketiga (misalnya klaim asuransi). 20. Melaksanakan investigasi dalam koridor kode etik. 21. Menentukan siapa pelaku dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya. 22. Mengumpulkan bukti yang cukup untuk menindak pelaku dalam perbuatan yang tidak terpuji. 23. Mengidentifikasi
praktek
manajemen
yang
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan atau perilaku yang melalaikan tanggung jawab. 24. Mempertahankan kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan atau lembaga ini tidak terperangkap dalam ancaman tuntutan pencemaran nama baik. 25. Mengidentifikasi saksi yang melihat atau mengetahui terjadinya kecurangan dan memastikan bahwa mereka memberikan bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan terhadap si pelaku.
26. Memberikan rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko terjadinya kecurangan ini dengan tepat.
2.4.1.1 Investigasi dengan Teknik Audit Menurut Tuanakotta (2007:227) teknik audit adalah cara-cara yang dipakai dalam mengaudit kewajaran penyajian laporan keuangan dimana dari teknik audit ini akan dihasilkan bukti audit. Ada tujuh macam teknik audit dan dengan jenis bukti auditnya (bukti audit dalam kurung), yaitu: 1. Memeriksa fisik (physical examination) 2. Meminta konfirmasi (confirmation) 3. Memeriksa dokumen (documentation) 4. Reviu analitikal (analytic review atau analytical review) 5. Meminta informasi lisan atau tertulis dari auditee (inquiries of the auditee) 6. Menghitung kembali (reperformance) 7. Mengamati (observation)
Dari tujuh teknik audit yang telah disebutkan di atas, tentunya tidak terdapat perbedaan dengan teknik audit pada umumnya, akan tetapi pada akuntansi forensik (investigasi) teknik audit yang ditekankan adalah reviu analitikal (analitycal review). Stringer dan Stewart yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:231), mendefinisikan reviu analitikal (analitycal review) sebagai penalaran deduktif. Penekanannya adalah pada penalaran, proses berfikirnya. Penalaran yang membawa seorang auditor atau investigator pada gambaran mengenai wajar, layak, atau pantasnya suatu data individual disimpulkan dari gambaran yang diperoleh secara global, menyeluruh atau agregat. Analitycal review meliputi perbandingan antara data keuangan menurut catatan dengan apa yang wajarnya atau layaknya harus terjadi. Selain itu, perbandingan juga dapat dilakukan dengan:
Membandingkan anggaran dengan realisasi. Membandingkan data anggaran dan realisasi dapat mengindikasikan adanya fraud. yang perlu dipahami di sini adalah mekanisme pelaksanaan anggaran, evaluasi atas pelaksanaan anggaran, dan insentif (keuangan maupun non keuangan) yang terkandung dalam sistem anggarannya. Membandingkan hubungan antara satu data keuangan dengan data keuangan lain. Beberapa akun, baik dalam satu maupun beberapa laporan keuangan, bisa mempunyai keterkaitan yang dapat dimanfaatkan untuk reviu analitikal. Menggunakan data non keuangan. Inti dari reviu analitikal adalah mengenal pola hubungan, relationship pattern, pola hubungan ini tidak mesti hanya antara satu data keuangan dengan data keuangan lain. Regresi atau analisis trend Dengan data historikal yang memadai (makin banyak makin baik, cateris paribus), reviu analitikal dapat mengungkapkan trend. Menggunakan indikator ekonomi makro Ada hubungan antara besarnya pajak penghasilan yang diperoleh dalam suatu tahun dengan indikator-indikator ekonomi seperti inflasi, tingkat pengangguran, cadangan devisa, indikator ekonomi negara-negara yang menjadi partner perdagangan Indonesia, harga minyak mentah dan komoditas lain, dan lain-lain. Kehandalan perumusan ekonometri akan membantu auditor atau investigator melalui data agregat.
2.4.2 Computer Forensics Kejahatan tidak hanya dilakukan langsung oleh pelakunya, di jaman yang serba canggih ini teknologi sangat berperan dalam tindak kecurangan, baik berfungsi sebagai alat dalam melakukan kecurangan tersebut atau digunakan untuk menyimpan bukti-bukti kecurangannya. Untuk mencari bukti atau melacak bukti yang berhubungan dengan teknologi, maka di dalam medeteksi atau mengungkapkan kecurangan, akuntansi forensik menggunakan computer forensic.
Menurut Tuanakotta (2007:307), ada dua pokok utama dalam computer forensics: Pertama, segi-segi teknis yang berkenaan dengan teknologi (komputer, internet, jaringan) dan alat-alat (Windows, Unix, disk drive imaging dan proses analisis lainnya). Kedua, segi-segi teknis hukum yang berkenaan dengan upaya pencarian bukti (penggeledahan dan penyitaan) dan penanganan bukti dan alat bukti. Sedangkan Computer forensics itu sendiri, menurut Tuanakotta (2007:307) didefinisikan: Computer forensics adalah penerapan teknik-teknik analitis dan investigatif untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, memeriksa dan melindungi (preserve) bukti atau informasi digital . Simon Dawson dan Peter Yapp mendefinisikan computer forensics : It is the science of recovering and analyzing data stored electronically in a way that can be relied upon for the purpose of litigation or other proceddings . Terjemahan: Computer forensics adalah ilmu tentang pemulihan dan analisis dari data yang disimpan secara elektronis, sedemikian rupa sehingga data itu handal dalam proses litigasi atau proses hukum lainnya . Ada tiga langkah utama dalam computer forensics, yakni: mengambil image atau imaging, mengolah citra atau image itu, selanjutnya disebut processing, dan menganalisis image yang sudah diproses, selanjutnya disebut analyzing. 1. Imaging Secara sederhana, suatu alat dihubungkan ke salah satu communication port (biasanya parallel port atau scsi port) dan alat ini akan merekam seluruh data yang ada pada electronic storage media (seperti hard disk) dalam komputer, secara lengkap, tidak kurang tidak lebih. Kadang-kadang hard disk dilepas dari rumah komputer (computer housing). Di copy secara lengkap, byte by byte copy, tanpa ada yang ditambah atau dikurangi. Hal ini penting di pengadilan, maupun ketika computer forensics specialist melakukan langkah-langkah selanjutnya. Dari uraian tersebut jelas sekali bahwa disk imaging atau disak drive imaging ingin
menghasilkan bayangan cermin atau clone , bukan sekedar mengcopy dalam bahasa sehari-hari. Hal yang sama juga dikatakan oleh Simon Dawson dan Peter Yapp : Di jantung computer forensics adalah proses pembuatan bayangan cermin dari media penyimpanan data. Proses ini lazimnya dikenal sebagai pencitraan cakram atau disk imaging . Imaging sangat penting karena langkah-langkah berikutnya hanya dilakukan pada hasil imaging dan bukan pada data asli. Data asli harus dipertahankan sebagaiana adanya (preserved).
2. Processing Sesudah mendapatkan bayangan cermin dari data aslinya, citra atau image ini harus diolah untuk memulihkan file yang terlanjur dihapus atau ditulisi kembali dengan current file. Dengan memulihkan image hasil copyan, maka files dan folders akan tampil seperti pada media penyimpanan data yang asli. Umumnya komputer tidak menghapus file ketika kita memberi perintah delete. Di bagian awal suatu hard disk terdapat index dari lokasi semua file pada disk tersebut. Index ini, juga dikenal sebagai file allocation table, memberitahukan kepada operating system (seperti Windows) di bagian mana dari disk suatu file berada. Ketika akan memanggil suatu file, petunjuk atau identifier yang ada pada bagian file akan diakses sesuai dengan tempatnya dalam index.
3. Analyzing Pelaku fraud dan kejahatan pada umumnya seringkali menyimpan file mereka dalam
my document
atau
my pictures
sesuatu yang tentunya
mengejutkan karena investigator mengharapkan mereka lebih pandai mencari tempat persembunyian. Nama file denga akhiran (extensions) tertentu memberikan indikasi mengenai isinya, seperti nama grapic files yang berisi gambar-gambar berakhiran dengan .gif, .bmp, atau .jpg . Internet history files dan temporary internet files berisi jejak-jejak tentang web sites yang dikunjungi, files yang di delete, dan lain-lain.
Tuanakotta (2007:311), Computer forensics specialist akan bekerja dengan kehati-hatian profesional untuk memastikan: Tidak ada kemungkinan bukti menjadi rusak, dihancurkan atau tidak
lagi
murni
(compromised)
karena
prosedur
yang
dipergunakan dalam investigasi. Tidak
ada
kemungkinan
masuknya
(atau
dimasukkannya)
computer virus sejak kedatangan penyidik. Semua bukti yang diperoleh ditangani sedemikian rupa sehingga terlindung dari kerusakan mekanis dan kerusakan electromagnetic. Ada mata rantai penyimpanan, pengawasan dan dokumentasi yang berkesinambungan atas bukti dan barang bukti. Kalau tidak dapat dihindari, terhentinya kegiatan usaha ditekan serendah mungkin. Semua informasi rahasia yang dilindungi oleh undang-undang tidak boleh disadap, dan kalau tidak disengaja hal itu maka penanganan informasi itu harus dilakukan secara hukum dan memperlihatkan segi etika.
Secara lebih spesifik, computer forensics specialist mementukan bukti apa yang
ingin terkandung
dalam sistem komputer,
dan
berupaya
untuk
mendapatkannya dengan: Melindungi seluruh sistem komputer yang menjadi subjek pemeriksaan forensiknya dari segala perubahan, perusakan, kerusakan, korupsi data atau kemasukan virus. Menemukan semua files yang terdiri atas files yang terlihat di monitor, files yang sudah di delete tapi masih ada, files yang tersembunyikan, files yang dilindungi dengan sandi dan files yang dilindungi dengan password. Memulihkan sedapat mungkin, semua files yang ditemukan.
Mengungkapkan isi dari files yang tersembunyi maupun temporary files (file sementara) swap files (file yang dipertukarkan) yang digunakan oleh program aplikasi maupun operating system. Mengakses, kalau bisa dan kalau tidak melawan hukum, files yang dilindungi dengan password dan sandi. Menganalisis semua data relevan yang mungkin ada. Mencetak hasil analisis yang menyeluruh mengenai sistem komputer yang diperiksa, daftar dari semua file yang relevan dan data relevan yang ditemukan. Memberikan konsultasi sebagai seorang ahli dalam bidang computer forensics, maupun kesaksian di pengadilan.
Selain bermanfaat bagi pemakai jasa akuntansi forensik, menurut Tuanakotta (2007:313), computer forensics bermanfaat juga bagi: Para penyidik (dalam upaya penggeledahan dan penyitaan) dan penuntut umum dalam kasus pidana. Litigasi dalam kasus-kasus perdata. Perusahaan asuransi yang berusaha menghentikan klaim karena adanya unsur fraud. Perusahaan yang menangani perkara tuduhan pelecehan seksual di tempat kerja, asset misappropriation termasuk rahasia dagang, korupsi, dan informasi konfidensial lainnya. Individu dalam kasus perceraian dan pelecehan seksual.
Selain komputer yang menyimpan data dan informasi digital, ada beberapa peralatan elektronis yang digunakan sehari-hari dalam menyimpan informasi digital yang dapat membantu akuntansi forensik: Telepon nirkabel (wireless telephones) Alat penyeranta (electronic paging device) Mesin Fax
Alat penunjuk ID si pengirim pesan (Caller ID devices) Kartu Cerdas (smart cards)
2.4.2.1 Data Maining Tuanakotta (2007:322), data maining adalah: the extraction of hidden predictive information from large data bases
Data maining software menganalisis hubungan dan pola (relatonship and patterns) dalam data transaksi yang disimpan secara elektronis melalui open ended user queries. Umumnya software digunakan untuk mencari hubungan yang berikut ini: Classes Data digunakan untuk menentukan adanya suatu atau beberapa kelompok yang mempunyai karakteristik tertentu. Clusters Data items dikelompokkan menurut hubungan yang logis atau preferensi tertentu. Associations Data juga dapat
ditimbang
untuk menunjukkan adanya
keterkaitan. Kadang-kadang keterkaitan ini cukup mengejutkan . Sequential patterns Data juga ditimbang untuk mengantisipasi perilaku dan trend. Langkah ini merupakan lanjutan dari clusters dan associations.
2.4.2.2 Data Interrogation (Interogasi Data) Dalam data interrogation seorang investigator (atau auditor) menganalisis data yang tersimpan dalam bermacam-macam media penyimpanan data untuk menemukan sesuatu yang dicarinya. Perangkat lunak dapat melakukan data interrogation yang berguna bagi akuntansi forensik (investigasi), seperti: Meng-ekstract data tertentu.
Meng-eksport record yang dipilih untuk menciptakan file baru yang akan dipergunakan dengan program lain seperti word atau excel. Men-sort data. Meng-clasify dan men-summarize. Men-Stratify Data. Melakukan analisis umur (aging analysis). Menggabungkan files. Melakukan sampling. Melakukan digital analysis
2.4.3 Wawancara (interview) dan Interogasi (Interrogation) Pemeriksa fraud atau investigator harus mengerti sepenuhnya wewenang atau mandat yang dipunyai lembaganya, mungkin investigator di suatu lembaga tertentu hanya bisa melakukan wawancara, tetapi tidak berwenang melakukan interogasi. Sedangkan investigator di lembaga lain boleh melakukan keduanya. Untuk itu seoarang auditor atau akuntan forensik perlu memahami perbedaan makna wawancara dan interogasi.
Sifat Cara
Waktu
Wawancara Netral (non accusatory) Nada yang tidak bersifat menuduh Dilakukan pada awal investigasi
Dalam berbagai lingkungan atau suasana Mengumpulkan Tujuan informasi Sistematika Tidak terstruktur Tempat
Tabel 2.1 Perbedaan Wawancara dan Interogasi Diolah dari sumber : Tuanakotta (2007:338)
Interogasi Menuduh (accusatory) Persuasi yang aktif Dilakukan sesudah investigator mempunyai keyakinan yang memadai mengenai kesalahan orang Dalam lingkungan yang terkontrol atau terkendali Mengetahui yang sebenarnya Terstruktur
2.4.3.1 Wawancara Sebelum melakuakan wawancara, bahkan sebelum ada kontak dengan orang yang dicurigai atau diduga melakukan fraud, investigator (akuntan forensik) harus menguasai dengan baik semua fakta yang terkumpul. Investigasi umumnya dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari beberapa investigator. Mereka bersama-sama menganalisis dan mendebatkan fakta-fakta yang tekumpul, membuat rekaan atau dugaan sementara. Investigator yang akan melakukan wawancara harus menguasai mana yang fakta dan memanfaatkan sepenuhnya fakta-fakta ini. Investigator harus memisahkan fakta dari apa yang masih bersifat dugaannya atau dugaan rekan-rekannya. Kalau tidak, dalam wawancara pelaku akan dengan cepat mengetahui fakta-fakta apa yang belum diketahui oleh investigator. Wawancara harus dimulai dengan orang-orang yang diduga paling kecil menjadi pelaku atau ikut serta dalam melakukan fraud, dilanjutkan dengan orangorang yang karena alasan pribadi ingin menjadi wistleblower, dan diakhiri dengan mereka yang diduga menjadi perencana atau otak dari tindak pidananya. Menurut Tuanakotta (2007:342) urutan-urutan tersebut penting, karena: 1. Pada tahap awal belum banyak fakta yang terkumpul. Jadi, kalau wawancara dimulai dengan orang yang diduga menjadi pelaku atau perencana, maka ia dengan cepat mengetahui fakta apa yang belum diketahui investigator. Sebaliknya orang tidak bersalah, dengan terbuka akan mengisi investigator dengan fakta-fakta penting, termasuk motive dan peluang untuk terjadinya fraud. 2. Mengetahui
bahwa
banyak
orang
sudah
diwawancarai
sebelumnya, pelaku tidak bisa mengendalikan apa yang bisa dan apa yang sebaiknya tidak diungkapkan kepada investigator dalam wawancara. Lebih sulit mengatur persesuaian atau konsistensi
dalam
kebohongan,
sekalipun
melalui
persekongkolan. Ini memudahkan investigator mendapatkan
informasi penting yang selanjutnya dikembangkan dalam interogasi.
Wawancara secara formal dan interogasi dilakukan dalam suasana yang menjamin privacy seseorang, yang ada dalam ruang wawancara hanyalah investigator dan yang diwawancarai. Sifat alamiah manusia untuk mencari tempat yang aman semakin menonjol apabila investigator menduga seseorang melakukan suatu perbuatan pidana. Tuanakotta (2007:343), memberi saran-saran untuk pengadaan ruang wawancara: 1. Ciptakan suasana privacy. Ruang ini harus tenang, tidak diganggu suara pembicaraan orang lain atau bentuk kebisingan lain dan tidak ada pemandangan orang lalu lalang. 2. Pintu ruang harusnya tidak terkunci dan tidak boleh ada penghalang apapun
sehingga
orang
yang
diwawancarai
dengan
bebas
meninggalkan tempat. Jangan memberi kesan bahwa ia berada di tempat tahanan. 3. Hilangkan sesuatu yang bisa mengganggu, seperti dinding dengan warna-warni yang menyolok, lukisan, hiasan ruang dan lain-lain. 4. Penerangan ruang harus cukup, tetapi tidak menyilaukan mata investigator maupun yang diwawancarai. 5. Minimalkan kebisingan apapun, jangan ada telepon dalam ruangan, telepon selular kedua belah pihak sebaiknya dimatikan atau dibuat tanpa nada panggil. 6. Kursi antara investigator dan orang yang diwawancarai berjarak sekitar satu atau setengah meter. Kedua orang bertatap muka secara langsung dan tidak terhalang oleh meja atau perabot kantor apapun dan hendaknya kursi tidak beroda. 7. Denah ruang wawancara yang berbeda untuk keperluan yang berbeda.
Di bawah ini disajikan denah ruang wawancara atau ruang interograsi sebagaimana diusulkan inbau et al seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:344), ruang ini berukuran 3 x 3 meter. Denah-denah ini digambarkan :
Denah 2.1 2.2 2.3 2.4
Ruang untuk wawancara/interogasi Tersangka Dengan cermin pengamat Dengan orang ketiga dalam ruang wawancara Dengan penerjemah atau interpreter
Tabel 2.2 Ruang untuk wawancara/interogasi Sumber : Tuanakotta (2007:344)
Gambar 2.6 Denah Ruang untuk wawancara/interogasi Denah 2.1 3 meter
Tersangka
Meja
3 meter
Investigator
Denah 2.2 3 meter
Meja
3 meter
Tersangka
Cermin satu arah Investigator
Denah 2.3 3 meter
Meja
3 meter
Tersangka
Orang Ketiga
Investigator
Denah 2.4 3 meter
Meja
Tersangka
3 meter Cermin satu arah Investigator Interpreter
Seorang investigator (baik auditor maupun akuntan forensik) harus megetahui ciri-ciri percakapan tertentu. Tuanakotta (2007:356) menyebutkan ciri-ciri percakapan tertentu yang harus diketahui investigator adalah: Respon latency (masa atau periode keheningan) Respon latency menunjukkan rentang waktu antara kata terakhir dari pertanyaan investigator dengan kata pertama dari jawaban subjek. Dalam NSA study, respon latency rata-rata untuk subjek yang jujur adalah 0.5 detik, sedangkan untuk subjek yang berbohong 1.5 detik. Early responses (jawaban lebih awal)
Umumnya, jawaban lebih awal merupakan reaksi dan subjek yang jujur, yang terlanjur gugup pada awal wawancara. Subjek yang jujur akan mengulangi jawaban yang lebih awal tadi pada saat investigator menyelesaikan pertanyaannya. Response length (panjangnya jawaban) Penelitian menunjukkan bahwa secara statistik subjek yang jujur memberikan jawaban yang lebih panjang dari subjek yang berbohong. Subjek yang jujur ingin memberikan jawaban yang selengkap mungkin dan menawarkan informasi tambahan yang tidak diminta investigator. Juga isi jawaban dari subjek yang jujur masih dalam konteks yang ditanyakan, ia tidak mengalihkan topik bahasan. Response delivery (penyampaian jawaban) Penyampaian jawaban terlihat dari kecepatan (rate), tinggi rendahnya nada (pitch), dan kejelasan (clarity). Hal-hal ini bisa sejalan (konsisten, bersesuaian) dengan apa yang dikatakan, tetapi bisa juga bertentangan. Umumnya ketika subjek mengungkapkan emosinya secara jujur, rate dan pitch meningkat. Continuity of the response (kelanjutan dari jawaban) Jawaban yang jujur mengalir dengan bebas, merupakan tanggapan yang spontan dan apa adanya. Jawaban mengalir sebagai satu alur pikir. Satu kalimat disusul dengan kalimat yang lain, sambung menyambung, tidak meloncat-loncat dari satu alur ke alur yang lain. Sebaliknya, dalam jawaban dari subjek yang bohong ada perilaku berhenti kemudian jalan ( stop-and-start behavior) Erasure behavior (perilaku penghapusan) Dalam komunikasi paralinguistic ada perilaku tertentu yang dampaknya seperti gerakan alis dan senyum , seperti: tertawa, batukbatuk kecil atau mendehem, segera sesudah mengucapkan suatu bantahan.
2.4.3.2 Interogasi Sebelum melakukan interogasi, investigator sudah harus mengetahui secara mendalam semua investigative information yang relevan tentang kejahatan tersebut, termasuk informasi dari saksi-saksi, informasi mengenai bagaimana kejahatan dan tersangkanya terungkap, informasi latar belakang mengenai tersangka yang akan diinterogasi dan tersangka lainnya, dan lain-lain. John E. Reid memperkenalkan sembilan langkah interogasi yang dikenal sebagai Reid Nine Steps of Interrogation seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:371), langkah-langkah tersebut adalah: 1. Direct, Positive Confirmation Pada awal interogasi, tersangka seksama mengamati investigator, ia menilai apakah investigator yakin ia bersalah. Jika ia mendapat kesan (sekecil apapun) bahwa investigator tidak yakin akan kesalahannya, ia tidak mengaku. Perilaku tersangka dalam menanggapi transition statement memperkuat penilaian investigator atas perilaku tersangka alam menanggapi direct positive confirmation di awal langkah 1. timing yang tepat menghalangi tersangka untuk mengatur perilaku verbal maupun perilaku lainnya. 2. Interrogation Theme Suatu perbedaan penting antara tersangka yang bersalah dan yang tidak bersalah adalah mengenai pembenaran (justification) untuk melakukan
kejahatan.
Tersangka
yang
bersalah
melakukan
pembenaran (justification) ketika atau sebelum melakukan kejahatan. Adalah naluri alamiah manusia untuk melemparkan kesalahan menjauhi dirinya sendiri, dan untuk menginternalisasi pembenaran untuk perilaku yang menyebabkan kecemasan. Interrogation theme dalam langkah 2 sebenarnya memperkuat pembenaran yang sudah dibuat tersangka. Karena itu mudah sekali mengungkapkan denials atau penyangkalan dari tersangka dalam interogasi. Tersangka menangkap theme yang ditawarkan investigator,
tersangka yang bersalah akan mendengarkan theme ini dengan seksama. Sebaliknya, tersangka yang tidak bersalah tidak pernah memikirkan pembenaran untuk melakukan kejahatan itu. Dengan sendirinya ia tidak menangkap theme yang dibicarakan investigator. 3. Handling Denials Tidak mudah bagi investigator mendapatkan pengakuan dari tersangka. Baik tersangka yang bersalah maupun yang tidak bersalah, mereka akan memberikan penyangkalan (denials). Penyangkalan dapat dilakukan secara verbal seperti: tidak, aku tidak melakukannya atau dalam bentuk nonverbal seperi menggelengkan kepala. Subjek menyangkal sebagai tanggapan atas tuduhan, penyangkalan pada dasarnya adalah pernyataan bahwa tuduhan itu palsu, tidak benar, keliru, salah alamat, dan seterusnya. Tahap penyangkalan merupakan tahap yang sangat menentukan, kalau penyangkalan tidak ditangani dengan keahlian dan pengalaman, seluruh langkah berikutnya akan sia-sia. 4. Overcoming Objection Dalam langkah ini investigator berupaya mengatasi benteng pertahanan kedua dari si tersangka. Benteng pertamanya adalah penyangkalan (denials).
Benteng pertahanan keduanya
adalah
keberatan (objection). Tersangka yang melihat kesia-siaan dalam upaya menyangkal, akan mengubah taktiknya dengan mengajukan keberatan. Dengan perubahan taktik ini, tersangka mengharapkan dapat mengambil alih kendali percakapan dan dengan demikian melemahkan keyakinan investigator bahwa ia memang bersalah. Proses interogasi langkah 4 memanfaatkan keberatan-keberatan yang diajukan tersangka untuk meyakinkan menceritakan yang sebenarnya.
Keberatan
(objections)
yang
diajukan
tersangka,
dirumuskannya dalam bentuk alasan ekonomi, agama, jabatan, atau moral, dan mengapa ia tidak akan melakukan apa yang disangkakan kepadanya.
Ketika tersangka mengubah strateginya dari denial yang bersifat defensive
ke
objection
yang
bersifat
offensive,
investigator
memenangkan langkah 3. Kemenangan ini janganlah dijadikan bekal untuk meneruskan teknik di langkah 3. Kalau dalam langkah 3 investigator berupaya mencegah tersangka melancarkan denial, dalam langkah 4 investigator justru memanfaatkan dan mendalami objection ini dalam dialognya. Langkah 4 ini terdiri atas: Mengenali keberatan (recognizing the objections) Menghargai keberatan (rewarding the objections) Membalikkan keberatan (turning the objections around) 5. Kepping the Suspect s Attention Umumnya tersangka tidak akan tinggal diam dan bersantai-santai. Ia ingin mendominasi percakapan atau memegang kendali dan mengatur dialog. Ia menyangkal (langkah 3) atau mengajukan keberatan (langkah 4). Apabila investigator berhasil menghentikan penyangkalan-penyangkalan dan membalikkan keberatan-keberatan tersangka, maka tinggal satu strategi lagi yang bisa digunakan tersangka. 6. Handling the Suspect s Passive Mood Pada akhir langkah 5, investigator seharusnya berhasil menjalin hubungan yang baik dengan tersangka. Hubungan yang baik dalam hal ini berarti tersangka percaya investigator jujur, investigator berusaha keras mencari kebenaran, ia bersedia membantu tersangka untuk mengungkapkan kebenaran. Tersangka pada tahap ini, menyadari bahwa
kebohogannya
tidak
menghasilkan
apa
yang
tadinya
diinginkannya. Karena itu, ia sekarang lebih bersedia mendengarkan. Ia menunjukkan sifat kalah, kepala tertunduk, bahu menurun, kaki lemas, mata berkaca-kaca dan mentalnya berada pada titik terendah.
8. Presenting the Alternative Question Pertanyaan alternatif dalam lagkah 7 merupakan puncak atau kulminasi dari pengembangan tema interogasi atau interrogation theme, dalam langkah 6, investigator mengulang-ulangi monolog yang simpatik untuk memberikan alasan moral mengapa tersangka melakukan perbuatannya. Segera ketika tersangka menunjukan resignation dalam langkah 6, investigator mempersempit temanya ke unsur utamanya dan memasuki pertanyaan alternatif. 9. The Written Confession Pada puncaknya, tersangka memberikan pengakuan secara tertulis. Padanannya untuk di Indonesia adalah Berita Acara Pengakuan atau dokumen semacam itu. Di Indonesia, investigator sering melakukan interogasi sambil mengetik jawaban tersangka menurut persepsi investigator. Pada akhir interogasi, tersangka diminta menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Kelemahan dari cara ini adalah kemungkinan di kemudian hari tersangka memberikan penyangkalan bahwa ia telah memberikan pengakuan itu.
2.4.4 Covert Operation Lembaga penegak hukum yang menyelenggarakan investigasi, dapat menerapkan operasi yang bersifat rahasia, atau covert operations. Para auditor investigatif harus memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan ketentuan intern lembaganya. Tidak semua lembaga yang melakukan audit investigatif,
memperkenankan
covert
operations,
dan
lembaga
yang
memperkenankan covert operations mungkin menetapkan kondisi-kondisi dimana operasi itu boleh dijalankan dan jenis-jenis operasi yang boleh dijalankan. Menurut Tuanakotta (2007:394), ada dua bentuk covert operations, yakni undercover operation (operasi berkedok) dan surveillance operations (operasi pengintaian).
2.4.4.1 Undercover Operation Fraud Examiners Manual (2006) seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:394), undercover operation didefinisikan : undercover operation merupakan kegiatan yang berupaya mengembangkan bukti secara langsung dari pelaku kejahatan, dengan menggunakan samaran (disguise) dan tipuan (deceit). Pemeriksa tidak menunggu informasi yang dikumpulkan melalui jalur yang biasa ditempuh. Keputusan secara sadar dan matang dilakukan untuk melakukan undercover operations . covert
operations
membutuhkan
keterampilan
yang
tinggi
dan
perencanaan yang matang. Apabila dilaksanakan tepat waktu dengan tingkat kehati-hatian dan kecermatan yang tinggi, covert operations bisa menuai hasil yang menakjubkan yang tidak bisa dicapai melalui cara lain. Namun, jika dilaksanakan secara keliru atau ditangani dengan buruk, covert operations bisa mendatangkan bencana seperti tuntutan hukum dan dapat mempermalukan lembaganya. Untuk itu, sebelum melaksanakan covert operations, pemimpin operasi harus membuat memorandum atau catatan mengenai : Informasi yang sudah terkumpul, yang menjadi dasar operasi ini. Informasi yang diharapkan dapat dikumpulkan melalui operasi ini. Identitas tersangka, kalau diketahui. Para pelaksana yang berada dalam binaannya, dalam penjagaannya, atau dibawah kendalinya. Beberapa tujuan covert operations, yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:395): Untuk mengumpulkan bukti mengenai kejahatan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Untuk menentukan siapa saja yang terlibat. Untuk memulihkan kerugian yang terjadi karena perbuatan melawan hukum. Untuk menentukan rekan sepermainan (co-conspirator) atau bahkan otak di belakang kejahatan ini (actor intelletualist).
Untuk menentukan modus operandi.
Di samping ketentuan perundang-undangan yang harus diperhatikan, covert operations merupakan kegiatan investigator yang berisiko tinggi dan mahal. Karena itu, covert operations hanya boleh dilakukan sebagai upaya terakhir apabila cara-cara lain tidak ada, kalau masih ada cara lain jangan lakukan covert operations. Salah satu teknik di dalam undercover operations adalah penjebakan (entrapment), akan tetapi penjebakan ini sering menjadi permasalahan dalam melakukan covert operations. Fraud Examiners Manual (2006), menjelaskan masalah penjebakan dalam covert operations, seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:396),: penjebakan merupakan masalah hukum terbesar dalam covert operations, khususnya dalam undercover operations. Operasi ini harus ditangani secara tepat. covert operations tidak boleh dilaksanakan untuk fishing expeditions . 2.4.4.2 Surveillance Fraud Examiners Manual (2006) seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:397), mendefinisikan Surveillance Operation : Surveillance atau pengintaian adalah pengamatan terencana, terhadap manusia, tempat atau objek. Biasanya tempat atau objek merupakan prioritas kedua, yang pertama adalah pengamatan terhadap manusia Ada dua jenis surveillance, yakni pengintaian bergerak (mobile surveillance) dan yang tidak bergerak (fixed surveillance). Pengintaian bergerak dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau berkendaraan apabila yang diintai berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Apabila manusia atau kegiatan yang diintai tetap di tempat, meskipun pengamat atau pengintainya berpindah di sekitar area pengintaian, maka fixed surveillance yang dipergunakan.
2.4.4.3 Sumber atau Informan Sumber (source) dan informan (informant) mempunyai fungsi yang sama, yakni memberikan informasi untuk mengembangkan suatu kasus. Ada empat jenis informan : 1. Basic lead Informants, adalah informan yang memberi informasi tentang kejahatan yang pernah mereka alami atau ambil bagian. 2. Participant Informants, langsung terlibat dalam pengumpulan bukti-bukti awal dalam investigasi itu. 3. Covert Informants adalah informan yang ditanam (imbedded) dalam situasi atau skenario selama beberapa tahun 4. Accomplice/witness informants adalah informan yang dari waktu ke waktu dapat diminta informasinya. 2.4.4.4 Penggunaan Operatives Operatives adalah orang yang ikut dalam covert operations. Orang ini seharusnya dikendalikan lebih ketat oleh orang yang memimpin operasi tersebut. Ada kalanya informan, yang lazimnya sekedar menyuplai informasi, akan dilibatkan dalam covert operations. Dalam hal ini, informan menjadi operative.
2.5
Penerapan Akuntansi Forensik yang Terkait dengan Hukum dalam Pengungkapan Kecurangan (fraud) Dari definisi akuntansi forensik yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
akuntansi forensik adalah ilmu akuntansi yang tidak pernah lepas dari hukum. Tujuan dari akuntansi forensik adalah untuk menangani fraud termasuk didalamnya memeriksa, menyidik dan mengungkapkan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaanya akuntansi forensik akan berhubungan dengan hukum.
2.5.1 Permintaan Bantuan Tenaga Ahli dari Penyidik Permintaan akan bantuan tenaga ahli oleh penyidik didasarkan pada pasal 120 ayat (1) KUHAP, seperti yang dikutip oleh Soejono Karni (2000:106), yaitu:
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus .
Permintaan akan bantuan tenaga ahli dengan surat resmi dari Kepolisian dan Kejaksaaan, permintaan akan bantuan tenaga ahli pada umumnya dimintai pendapatnya terhadap suatu masalah sesuai keahliannya. Permintaan akan bantuan tenaga ahli kepada auditor dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: a. Sebagai ahli pada umumnya. b. Untuk menghitung kerugian negara.
2.5.2 Auditor sebagai Saksi Ahli dan Keterangan Ahli 2.5.2.1 Auditor sebagai Saksi Ahli Auditor yang diperiksa di Berita Acara Pemeriksaan pada saat sidang pengadilan dipanggil secara resmi sebagai saksi ahli, maka sebaiknya auditor Soejono Karni (2000:153): auditor sebaiknya memperhatikan panggilan dari Kejaksaan, apakah telah benar sebagai saksi ahli. Panggilan itu seharusnya diterima tiga hari sebelum sidang. (pasal 146 ayat (2) KUHAP) .
Sedangkan menurut Amin Widjaja (2001:45), untuk menjadi saksi ahli akuntansi ahli yang dapat dipercaya, maka: Seseorang harus berpengetahuan umum dalam bidang pendidikannya sendiri dan pengalamannya, menjadi anggota yang menonjol dalam profesinya, dan mungkin dikenal sebagai seseorang yang berwibawa dalam profesinya atau beberapa aspek dalam praktik yang khusus dalam profesinya, jika berhubungan dengan kasus . 2.5.2.2 Keterangan Ahli dari Auditor Auditor perlu membuat keterangan ahli atas pelaksanaan bantuan kepada penyidik, keterangan ahli biasanya dilampirkan pada surat dakwaan jaksa. Sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 28 KUHAP bahwa: Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang pemeriksaan .
suatu
perkara
pidana
guna
kepentingan
Soejono Karni (2000:150), menjelaskan tentang tanggung jawab auditor yang memberikan keterangan ahli, yakni: Keterangan ahli dibuat seringkas mungkin dan tidak menggunakan kertas yang bertuliskan kop satuan pengawasan, karena keterangan ahli sepenuhnya menjadi tanggung jawab auditor pribadi (bukan menjadi tanggung jawab kantor satuan pengawasan) .
2.5.3 Pembuktian dalam Akuntansi Forensik Perkara Pidana Bukti yang diperoleh dari akuntansi forensik sama dengan bukti dalam perkara pidana. Sistem pembuktian dalam perkara pidana perlu diketahui oleh auditor walaupun secara garis besar. Menurut M. Yahya Harahap (1993), seperti yang dikutip oleh Soejono Karni (2000:109) menegelompokkan sistem pembuktian sebagai berikut: a. Conviction in time Sistem pembuktian conviction
in time menentukan salah
tidaknya seorang terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. b. Conviction in raisance Dalam sistem ini, salah tidaknya terdakwa faktor keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif Pembuktian sistem ini adalah bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat yang ditentukan undangundang. d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif Sistem ini merupakan penggabungan antara sistem keyakinan dan sistem pembuktian menurut undang-undang.
Pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP: hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi bahwa terdakwa yang melakukannya .
2.5.4 Bukti, Barang Bukti dan Alat Bukti Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dikutip Tuanakotta (2007:446) memberikan dua arti bukti, yakni: 1. Sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. 2. Hal yang menjadi tanda perbuatan jahat.
Sedangkan barang bukti menurut Tuanakotta (2007:447) adalah: Barang bukti adalah benda baik yang bergerak atau tidak bergerak, yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana yang terjadi .
Alat bukti yang sah menurut Hukum Pidana diatur menurut pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa.
2.6 Pelaksanaan Bantuan Tenaga Ahli (Akuntansi Forensik) Setelah lembaga audit atau satuan pengawasan menerima surat dari Kepolisian/Kejaksaan yang isinya minta bantuan tenaga ahli untuk menghitung kerugian negara dan pengungkapan kecurangan, maka lembaga audit yang bersangkutan menunjuk tim yang akan melaksanakan bantuan. Langkah-langkah dalam pelaksanaan bantuan tenaga ahli, menurut Soejono Karni (2000:154) adalah: a. Penunjukkan tim audit untuk melaksanakan penelitian awal.
Untuk kasus yang berasal dari lembaga audit sebaiknya dilaksanakan oleh tim atau salah satu anggota tim yang melaksanakan audit khusus untuk kasus yang bersangkutan sehingga tim sudah mengetahui tentang kasus yang dihadapi. b. Penelitian awal terhadap kasus yang akan diaudit Untuk kasus-kasus yang merupakan hasil penyelidikan Jaksa atau Polisi, dapat ditempuh dua cara: 1. Penyidik memaparkan kasus tersebut dihadapan auditor. 2. Lembaga audit menugaskan tim, untuk memperoleh gambaran kasus dengan mendatangi kantor penyidik. c. Pembentukan tim audit. Tim yang melaksanakan audit sebaiknya yang melaksanakan penelitian awal, namun juga yang harus tidak sama. d. Pelaksanaan audit. Dalam melaksanakan audit sebaiknya auditor memfokuskan kepada audit bukti surat sebagaimana dimksud pasal 187 butir d. e. Keterangan ahli. Keterangan ahli ditandatangani tim audit (bukan kepala lembaga audit) f. Auditor di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Auditor yang akan menjadi saksi ahli di sidang pengadilan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik. g. Auditor menjadi saksi ahli di sidang pengadilan. Auditor sebagai saksi ahli yang terjun ke pokok perkara, sehingga sering dimasalahkan Penasihat Hukum. Diusahakan dari saksi ahli tidak timbul pertanyaan baru, dan auditor harus berusaha sedemikian rupa sehingga tidak dapat ditarik ke masalah hukum atau yang luar keahlian auditor atau kasus perdata.
2.7 Melaporkan Kecurangan Formulir laporan kecurangan memberikan format yang diusulkan untuk laporan akhir yang akan dipergunakan dalam mendokumentasikan kegiatan sekitar kejadian kecurangan. Menurut Amin Widjaja (2001:51) fomulir laporan didesain untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu: 1. Memberi format untuk mencatat rincian yang penting dari kecurangan. 2. Memberi kerangka kerja bagi yang mempersiapkan laporan untuk menganalisis kasus kecurangan. 3. Mengembangkan manajemen dan kebijakan keamanan yang maju untuk mendeteksi dan menghindari kecurangan.
Berikut contoh Model Fraud Reporting Form
Title________________________________Report Number_________________ Company_________________________Division__________________________ Prepared by____________________________________Date________________ Personal Information Name__________________________________________Title_______________ Department_____________________Salary__________Age______Sex________ Years/months with company_______________________Marital Status________ Home address______________________________________________________ City________________State________Zip___________Phone_______________ Background/position:________________________________________________ __________________________________________________________________ Description of suspect(s)/accomplice(s), if any____________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Relationship to perpretrator and company________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Specifics of Incident Date and duration of incident: start date:_________________________________ End date:__________________________________________________________ Nature of icident:____________________________________________________
__________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Incident location (give department and operation involved):__________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ If data proseccing system involved, what specific equipment, application program, or operating system were manipulated or abused___________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ How was the fraud perpetrated_________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Loss Information Direct loss (estimation or precise dollar value):____________________________ __________________________________________________________________ Organization time loss:_______________________________________________ __________________________________________________________________ Describe equipment or other items lost and give total and individual dollar values:____________________________________________________________ __________________________________________________________________ Description of Investigation How was the incident discovered (audit, informer, accidental discovery)?_______ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ How was the incident investigated?_____________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Describe the evidence gathered:________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Describe the perpetrator and/or suspect(s) interview:________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Is a copy of employee/perpetrator statement attached? Yes No Deposition of the Case If legal action was taken, supply the following information: a. Case citation_________________________________________________ b. Location (court, country, state):__________________________________
c. Documents prepared in case: Complaint Trial Transcript Search Warant Sentencing Report Preliminary Hearing Probation Report Crime Report Point and Authorities Laboratory Report Other Documents (including comentand any of the above fromdrafters, opposition, and attorney) Comment on the above:______________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Disposition of the incident (other than legal: i.e., nochargefiled, restitution, employee(s) dismissed:_______________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Identify and give dollar values for item recovered:_________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Comment on security, control, audit, or management weakness relevant to this case:______________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Recommended corrective action to prevent further incident:__________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ __________________________________________________________________ Case history reviewed by:_______________________________Date__________ Signature__________________________________________________________ Gambar 2.7 Contoh Model Fraud Reporting Form
2.8
Kecurangan (Fraud)
2.8.1 Definisi Kecurangan Pengertian Kecurangan menurut G.J. Bologna, Robert, Josept (1993), yang dikutip oleh Amin Widjaja (2001:1) adalah:
Fraud is criminal deception intented to financially benefit the deceiver
Sedangkan, menurut The Institute of Internal Auditor seperti yang dikutip oleh Soejono Karni (2000:34) mendefinisikan kecurangan mencakup suatu ketidakberesan dan tindakan ilegal yang bercirikan penipuan yang disengaja. Ia dapat dilakukan untuk manfaat dan kerugian organisasi oleh orang di luar atau dalam organisasi.
Kecurangan oleh Tuanakotta (2007:56) didefinisikan : Fraud adalah satu jenis tindakan melawan hukum yang melibatkan suatu nilai yang dilakukan dengan sengaja .
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:95), meyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti: Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP: mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum ). Pasal 386: Pemerasan dan Pengancaman (definisi KUHP: dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang ). Pasal 372: Penggelapan: (definisi KUHP: dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan ). Pasal 378: Perbuatan curang: (definisi KUHP: dengan maksud untuk mengungtungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang ). Pasal 396: Merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit. Pasal 406: Menghancurkan atau merusakkan barang: (definisi KUHP: dengan sengaja atau melawan hukum menghancurkan,
merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain ). Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 413, 425, dan 425 yang secara khusus diatur dalam Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 31 tahun 1999 yang disempurnakan dalam Undang Undang No. 20 tahun 2001). 2.8.2 Klasifiksi Kecurangan (Fraud) Soejono Karni (2000:35), mengklasifikasikan kecurangan menjadi tiga macam, yaitu: a. Management Fraud Kecurangan ini dilakukan oleh orang dari kelas sosial ekonomi yang lebih atas dan terhormat yang biasa disebut white collar crime, karena orang yang melakukan kecurangan bisanya memakai kemeja berwarna putih dan kerahnya putih. b. Employee Fraud (Kecurangan Karyawan) Kecurangan karyawan biasanya melibatkan karyawan bawahan. Kadang-kadang merupakan pencurian atau manipulasi. Dibandingkan dengan kesempatan melakukan kecurangan pada manajemen, maka kesempatan melakukan kecurangan karyawan tingkat bawah relatif kecil. c. Computer Fraud Kejahatan komputer dapat berupa pemanfaatan berbagai sumber daya komputer di luar peruntukan yang sah dan perusakan atau pencurian fisik atas sumber daya komputer itu sendiri.
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:96), menggambarkan occoputional fraud dalam bentuk fraud tree yang mempunyai tiga cabang utama yaitu: Corruption, Asset Misappropriation dan Fraudulent Statement. a. Corruption Korupsi secara harfiah menurut kamus hukum, Andi Hamzah (1986), yang dikutip oleh Soejono Karni (2000:49) berasal dari bahasa latin
Corruptio, Corruptus, suatu perbuatan buruk, busuk, bejat, suka disuap, perbuatan yang menghina atau memfitnah, menyimpang dari perbuatan kesucian, tidak bermoral. Sedangkan menurut Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang disempurnakan dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2001 dimana korupsi dapat dibagi menjadi tujuh kelompok, yakni: kerugian keuangan negara, suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi atau pemberian hadiah .
Alatas menjelaskan mengenai tiga tahap korupsi, seperti yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:154), yaitu : 1. Dalam tahap pertama korupsi masih terbatas dan belum berdampak terhadap kehidupan kemasyarakatan yang luas. Hakhak dan peraturan masih ditaati tanpa adanya penderitaan publik. Hampir semua yang diperlukan publik dari pemerintah, dapat dipenuhi tanpa harus menyuap atau melalui nepotisme. Pada tahap ini korupsi terbatas pada lapisan atas dalam pemerintahan dan bisnis besar. 2. Korupsi dalam tahap kedua menjadi luar dan meluas kemanamana. Hampir tidak apa-apa yang seseorang dapat lakukan tanpa menyuap. 3. Korupsi pada tahap ketiga adalah yang paling menarik, dan kadang-kadang yang paling sulit dikenali. Pada tahap ini korupsi menghancurkan dengan sendirinya, sesudah ia merobek-robek sendi-sendi kehidupan masyarakat. Untuk melanjutkan teori kami mengenai dinamika korupsi, kita harus memasukkan keterlibatan faktor-faktor lain. Kita harus juga memasukkan hubungan sebab akibat dari korupsi. Korupsi merangsang pertumbuhan untuk peningkatan yang lebih besar lagi dalam korupsi berikutnya. Menurut Soejono Karni (2000:64), sebab-sebab terjadinya korupsi adalah: a. Faktor sosiologis b. Faktor Politik, Yuridis dan Budaya c. Menurut teori GONE (Greed, Oportunity, Need, Eksposure)
b. Asset Misappropriation Menurut Arens, Randal, Beasley (2003:229) Asset Misappropriation adalah suatu kecurangan yang melibatkan pencurian aktiva dari sebuah entitas. Contoh Asset Misappropriation menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:100) : Dalam skimming, uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan, cara ini dikenal oleh auditor lapping. Larcency atau pencurian, peluang untuk terjadinya penjarahan jenis ini berkaitan erat dengan sistem pengendalian intern. Pencurian melalui pengeluaran yang tidak sah (fraudulent statement). Billing scheme, adalah skema permainan (schemes) dengan menggunakan proses billing atau pembebanan tagihan sebagai sarananya. Payroll schemes, adalah skema permainan melalui pembayaran gaji. Expense Reimbursement Schemes, adalah skema permainan melalui pembayaran kembali biaya-biaya. Check Tampering, adalah skema permainan melalui pemalsuan cek. Register Disbursement, adalah pengeluaran yang sudah masuk dalam Cash Register. c. Fraudulent Statement. Menurut Arens, Randal, Beasley (2003:229), Fraudulent Statement adalah kesalahan penyajian atau penghapusan sejumlah nilai atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang disengaja unuk menipu para pengguna laporan keuangan.
2.8.3 Faktor-faktor yang mendorong terjadinya fraud Faktor-faktor yang mendorong terjadinya fraud, menurut Soejono Karni (2000:38), yaitu : a. Lemahnya internal control b. Tekanan keuangan terhadap seseorang c. Tekanan non financial d. Indikasi lain
Donald R. Cressey (2006) yang dikutip oleh Tuanakotta (2007:106) dalam teorinya tentang kecurangan (fraud) yang dikenal dengan fraud triangle atau segitiga fraud menyebutkan ada tiga macam pemicu seseorang melakukan fraud yaitu adanya : 4. Tekanan atau dorongan (Preasure) 5. Kesempatan atau peluang (Opportunity) 6. Pembenaran (Rationalization) Tekanan atau dorongan dan pembenaran berkaitan erat dengan mental dan moral seseorang. Tekanan atau dorongan bisa juga timbul dari keinginan manajemen untuk menampakkan kondisi keuangan perusahaan yang lebih baik (management fraud) dengan cara melakukan rekayasa akuntansi. Sedangkan pembenaran disini adalah sikap seseorang bahwa apa yang diperbuatnya sama dengan apa yang dilakukan atasan atau rekannya, atau apa yang dilakukannya adalah hal yang wajar karena telah bekerja keras tetapi tidak mendapat perhatian atasan.
2.9
Peranan Akuntansi Forensik dalam Pengungkapan Kecurangan (Fraud) Kecurangan (fraud) dapat timbul dan terjadi dimana saja tergantung dari
niat
pelakunya,
inilah
yang
menyebabkan
sulitnya
mendeteksi
atau
mengungkapkan kecurangan, ditambah lagi di setiap kasus kecurangan yang terjadi pelakunya adalah orang yang biasa dan mengetahui sistem atau kegiatan operasional dari suatu lembaga atau institusi, belum lagi sifat dari fraud itu sendiri
yang tersembunyi. Kecurangan banyak bentuknya, di Indonesia sendiri kecurangan yang sering terjadi adalah jenis korupsi. Selain korupsi, jenis kecurangan lain yang sering terjadi adalah penggelapan aktiva (kekayaan) perusahaan. Banyak faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan, selain dari faktor pelakunya yang mempunyai beberapa motive, lingkungan dimana pelaku melakukan kecurangan juga mempunyai peranan penting. Penyelesaian atau solusi dari masalah kecurangan ini belum banyak yang mengetahui, oleh sebab itu, dibutuhkan tenaga ahli yang mengerti bagaimana cara mendeteksi dan mengungkapkan fraud. Pihak kepolisian dan Kejaksaan di dalam menangani kasus kecurangan biasanya menggunakan penyidik, dimana penyidik ini biasanya menggunakan bantuan tenaga ahli dalam bidang akuntansi atau auditing yaitu akuntan atau auditor forensik. Auditor atau akuntan forensik di dalam melaksanakan tugasnya untuk membantu penyidik di dalam mendeteksi dan mengungkapkan fraud menggunakan pendekatan atau ilmu akuntansi forensik. Akuntansi forensik adalah pendekatan yang digunakan oleh auditor di dalam mencari bukti-bukti adanya tindak kecurangan. Metode akuntansi forensik yang digunakan di dalam mencari bukti-bukti tersebut diantaranya dengan melakukan investigasi, wawancara, interogasi, atau bahkan dengan operasi rahasia yang di tunjang alat-alat canggih yang berhubungan dengan teknologi informasi. Bukti-bukti yang didapat dari pelaksanaan akuntansi forensik tentunya dapat membantu di dalam proses pengadilan. Selain karena metode pengumpulan buktinya yang akurat, salah satu definisi dari akuntansi forensik itu sendiri adalah akuntansi yang bisa bertahan dalam kancah judicial dan administrative. Dengan demikian maka akuntansi forensik mempunyai peranan yang penting dan signifikan dalam pengungkapan kecurangan (fraud).