BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Pengertian Pajak Pajak merupakan pendapatan yang berguna bagi negara dalam membiayai
pembangunan nasional. Oleh karena itu banyak pakar memberikan definisi atau batasan-batasan yang berbeda tetapi memiliki maksud yang sama. Definisi atau pengertian pajak menurut beberapa ahli yang beberapa yang dalam (Diana Sari,2013:33) adalah sebagai berikut: Prof. Dr. Djajadiningrat “Pajak adalah suatu kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan Negara karena suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu. Pungutan tersebut bukan sebagai hukuman, tetapi menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan. Untuk itu, tidak ada jasa balik dari Negara secara langsung.” Anderson, W.H. “Pajak adalah pembayaran yang bersifat paksaan kepada negara yang dibebankan pada pendapatan kekayaan sesorang yang diutamakan untuk membiayai pengeluaran Negara.” Sedangkan definisi pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam buku (Mardiasmo, 2011:1) yaitu: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontrasepsi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
14
15
Berdasarkan Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyatakan bahwa: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan definisi dan penjelasan tersebut Mardiasmo (2011:1) menarik beberapa kesimpulan mengenai unsur-unsur pajak, yaitu: 1.
Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.
Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3.
Tanpa jasa timbal atau kontrasepsi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontrasepsi individual oleh pemerintah.
4.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2
Subjek Pajak Dalam pelaksanaan fungsinya pajak juga memiliki standarisasi persyaratan
dalam menentukan subjek pajaknya. Subjek pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu, subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
16
Pengertian dan penjabaran subjek pajak dalam negeri dan luar negeri yang dijabarkan berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan adalah: 1.
Yang menjadi subjek pajak adalah : a. 1) Orang pribadi; 2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; b. Badan; c. Bentuk usaha tetap.
2.
Subjek pajak yang terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
3.
Yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah: a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria : 1) Pembentukannya undangan;
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-
17
2) Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; 3) Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah; 4) dan Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 4.
Yang dimaksud dengan subjek pajak luar negeri adalah: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; dan b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
5.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
18
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa : a.
Tempat kedudukan manajemen.
b.
Cabang perusahaan.
c.
Kantor perwakilan.
d.
Gedung kantor.
e.
Pabrik.
f.
Bengkel.
g.
Gudang.
h.
Ruang untuk promosi dan penjualan.
i.
Pertambangan dan penggallian sumber alam.
j.
Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi.
k.
Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan.
l.
Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan.
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas. o. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan
19
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan
oleh
penyelenggara
transaksi
elektronik
untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet. 6.
Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya.
2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak Dalam memungut pajak dikenal tiga sistem penggolongan pemungutan yang dapat digunakan, menurut Siti Resmi (2008:11) tiga kelompok sistem pemungutan tersebut adalah: a.
Official Assessment System Sistem ini memberi kewenangan kepada aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
b. Self Assessment System Sistem ini memberikan wewenang kepada wajib pajak dalam menghitung, melaporkan, serta menyampaikan kewajiban pajaknya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. c.
With Holding System Sistem ini memberikan wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk oleh wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
20
2.1.3.1 Self Assessment System Definisi Self Assessment System menurut KUP No.28 Tahun 2007 merupakan suatu sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada wajib pajak untuk : 1. Berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan Nomor Pokok wajib Pajak (NPWP). 2. Menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang. Menurut penjelasan UU KUP No. 28 Tahun 2007 bahwa sistem pemungutan pajak self assessment mempunyai arti bahwa penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada wajib pajak sendiri dan melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Media atau surat yang digunakan wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak disebut Surat Pemberitahuan (SPT). Kepercayaan yang diberikan oleh undang-undang kepada wajib pajak idealnya ditunjang dengan : 1. Kesadaran wajib pajak tentang kewajiban perpajakan . 2. Keinginan untuk membayar pajak terutang walaupun terpaksa. 3. Kerelaan wajib pajak untuk menjalankan peraturan perpajakan yang berlaku. 4. Kejujuran wajib pajak untuk mengungkapkan keadaan sebenarnya.
21
2.1.4
Theory of Planned Behavior (TPB) Ada beberapa teori perilaku yang telah digunakan untuk meramalkan
tentang keterlibatan, keikutsertaan, kontribusi, pencapaian, ogranisasional kewarganegaraan, inovasi, serta konsep-konsep lain tentang perilaku individu. Theory of Planned Behavior (TPB) adalah salah satu model psikologi sosial yang paling sering digunakan untuk meramalkan perilaku, dan Theory of Planned Behavior (TPB) dirancang untuk meramalkan dan menjelaskan tingkah laku manusia dalam konteks yang spesifik. Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan
niat
individu
untuk melaksanakan
perilaku
tertentu.
Niat
diasumsikan untuk menangkap faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku, yang mengindikasikan seberapa kuat keinginan orang untuk mencoba, atau seberapa
besar
usaha
yang
dilakukan dalam rangka melaksanakan suatu
perilaku. Pada umumnya semakin kuat niat untuk melakukan sesuatu, maka semakin memungkinkan untuk pencapaian perilaku (Ajzen, 1991). Theory of planned behavior (TPB) yang telah dikembangkan oleh Icek Ajzen (1988) merupakan pengembangan atas theory of reasoned action (TRA) yang dirancang untuk berhubungan dengan perilaku-perilaku individu. Di dalam TPB ditambahkan sebuah variabel yang belum diterapkan pada TRA yaitu kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Secara eksplisit, TPB mengenal kemungkinan bahwa tidak semua perilaku dilakukan secara penuh dibawah kendali individu maupun kelompok, sehingga konsep kontrol perilaku yang dipersepsikan
ditambahkan
untuk
mengatasi perilaku-perilaku semacam ini. Apabila semua perilaku dapat
22
dikendalikan secara penuh oleh individu maupun kelompok, dimana kontrol perilaku (behavioral control) mendekati maksimum, maka TPB kembali menjadi TRA. Penting
untuk
berhubungan dengan
diketahui
bahwa
TPB
tidak
secara
langsung
jumlah atas kontrol yang sebenarnya dimiliki oleh
seseorang. Namun, teori ini lebih menekankan pengaruh-pengaruh yang mungkin dari kontrol perilaku yang dipersepsikan dalam pencapaian tujuan-tujuan atas sebuah perilaku. Jika niat-niat menunjukkan keinginan seseorang untuk mencoba melakukan perilaku tertentu, kontrol
yang
dipersepsikan lebih kepada
mempertimbangkan hal-hal realistik yang mungkin terjadi. Secara skematik TPB dapat dijelaskan sebagaimana pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Model Theory of Planned Behavior
23
Teori ini menunjukkan bahwa tindakan manusia diarahkan oleh tiga jenis kepercayaan-kepercayaan, yaitu: 1. Kepercayaan perilaku
(behavioral
beliefs) merupakan keyakinan
individu terjadinya perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation). Hal
ini
disebut
dengan
sikap
(attitude). 2. Kepercayaan normatif (normative beliefs) merupakan keyakinan
akan
timbulnya harapan normatif akibat pengaruh orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and motivation to comply). Hal ini disebut sebagai norma-norma subyektif. 3. Kepercayaan kontrol (control beliefs) merupakan keyakinan akan keberadaan faktor-faktor yang akan mendukung atau merintangi perilaku. Di dalam teori yang sebelumnya yaitu TRA hal tersebut belum ada oleh karena itu, pada teori yang selanjutnya yaitu TPB ditambahkan perceived behavioral control.
2.1.5
Sikap Wajib Pajak Sikap (attitude) merupakan sebuah evaluasi kepercayaan (belief) atas
perasaan positif maupun negatif dari seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan. Fishbein dan Ajzen (1975) dalam Jogiyanto (2007) mendefinisikan sikap sebagai jumlah dari afeksi (perasaan) yang dirasakan seseorang untuk menerima atau menolak suatu obyek atau perilaku dan diukur
24
dengan menempatkan individu pada skala evaluatif dua kutub, misalnya baik atau buruk, setuju atau menolak, dan lain sebagainya. Menurut Mutikasari (2007), sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek yang bersangkutan. Di dalam Theory of planned of behavior, kepercayaan
perilaku
(behavior
beliefs)
mempengaruhi
sikap
berperilaku. Behavior beliefs merupakan kepercayaan akan hasil dari suatu sebuah perilaku. Sikap terhadap peraturan perpajakan merupakan perasaan positif atau negatif yang ditunjukkan oleh WPOP terhadap peraturan perpajakan. Sikap positif terhadap peraturan perpajakan akan mempengaruhi individu untuk berniat mematuhi peraturan perpajakan. Sebaliknya, sikap negatif terhadap peraturan perpajakan akan mempengaruhi individu untuk berniat tidak mematuhi peraturan perpajakan. Troutman (1993) menemukan adanya pengaruh yang signifikan dari sikap wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. Sikap wajib pajak terhadap peraturan pajak,kebijakan pajak, dan administrasi pajak dapat mempengaruhi bagaimana kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Namun, Hardika (2006) memberikan bukti empiris yang berbeda yaitu sikap wajib pajak tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal ini disebabkan karena beberapa hal antara lain: kondisi masyarakat WP dan fiskus yang belum siap dengan self assessment system, sistem administrasi perpajakan
25
yang belum sepenuhnya siap mendukung pelaksanaan self assessment system serta kebijaksanaan perpajakan yang sering kali mengalami perubahan.
2.1.6
Moral Wajib Pajak Kewajiban moral merupakan norma inividu yang melekat pada diri
seseorang, namun kemungkinan besar hal ini tidak dimiliki oleh orang lain. Norma individu ini tidak secara eksplisit termasuk dalam model Theory of Planned Behavior
(TPB). Blanthorne
(2000), Kaplan, Newbery & Reckers
(1997), Hanno & Violette (1996) dalam Mustikasari (2007) telah membuktikan secara empiris, bahwa kewajiban moral berpengaruh secara negatif signifikan terhadap niat ketidakpatuhan pajak. Moral wajib pajak merupakan motivasi intristik untuk membayar pajak yang timbul dari kewajiban moral untuk membayar pajak atau kepercayaan dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat dengan membayar pajak sehingga berkontribusi secara sukarela pada penyediaan publik (Togler & Schneider, 2004 dalam Nur Cahyonowati, 2011). Studi Hardika (2006) menemukan bukti empiris bahwa moral wajib pajak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Bukti empiris tersebut mendukung temuan sebelumnya dari Troutman (1993) yang menemukan bahwa wajib pajak dengan alasan moral relatif lebih patuh dibanding wajib pajak lain tanpa alasan moral.
26
Gambar 2.2 di bawah ini menggambarkan model Theory of Planned Behavior (TPB) dan juga variabel kewajiban moral berdasarkan dari penelitian yang dilakukan oleh Tarjo (2009).
Atitude toward the behavior
Subjective norm
Intention
Behavior
Perceived behaviral control
Moral obligation
Gambar 2.2 Theory of Planned Behavior dan Kewajiban Moral
2.1.7
Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Simon James et al yang dikutip oleh Gunadi (2005), pengertian
kepatuhan pajak (tax compliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu
diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, atau pun
ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Dalam Practice Note tentang Compliance Measurement yang diterbitkan oleh (2004)
Organization dalam
for
Wahyu
Economic Santoso
and
(2008),
Coorporation Development-OECD kepatuhan dibagi
menjadi
dua
27
kategori, yaitu: (1) kepatuhan administratif (administrative compliance); dan (2) kepatuhan teknis (technical compliance). Kepatuhan administratif mencakup kepatuhan pelaporan dan kepatuhan
prosedural. Sedangkan kepatuhan teknis
mencakup kepatuhan dalam penghitungan jumlah pajak yang akan dibayar oleh wajib pajak. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 192/ PMK. 03/2007 Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila memenuhi semua syarat berikut :
a.
Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
b.
Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
c.
Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan
d.
Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
2.1.8
Teori Prospek Teori prospek dikembangkan oleh dua orang psikolog, Daniel Kahneman
28
dan Amos Tversky (1979) yang pada dasarnya mencakup dua disiplin ilmu, yaitu psikologi dan ekonomi (psikoekonomi). Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang mengambil keputusan dalam kondisi tidak pasti. Substansi teori prospek adalah proses pembuatan keputusan individual yang berlawanan dengan pembentukan harga yang biasa terjadi di ilmu ekonomi. Pada teori prospek, Kahneman & Tversky (1979) dalam penelitian Aryobimo (2012), mengungkapkan bahwa seseorang akan mencari informasi terlebih dahulu kemudian akan dibuat beberapa “decision frame” atau konsep keputusan. Setelah konsep keputusan dibuat maka seseorang akan mengambil keputusan dengan memilih salah satu konsep yang menghasilkan expected utility yang terbesar. Teori prospek menunjukkan bahwa orang yang memiliki kecenderungan irasional untuk lebih enggan mempertaruhkan keuntungan (gain) daripada kerugian (loss), apabila seseorang dalam posisi untung maka orang tersebut cenderung untuk menghindari risiko atau disebut risk aversion, sedangkan apabila seseorang dalam posisi rugi maka orang tersebut cenderung untuk berani menghadapi risiko atau disebut risk seeking. Hubungan antara penelitian ini dengan teori prospek dimana teori prospek menjelaskan
mengenai
preferensi
risiko
dapat
mempengaruhi
kepatuhan wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak memiliki risiko yang tinggi maka wajib pajak tersebut belum tentu akan tidak membayar kewajiban pajaknya. Karena apabila wajib pajak itu memiliki sifat risk seeking artinya walaupun wajib pajak memiliki risiko tinggi maka tidak akan mempengaruhi wajib pajak untuk tetap membayar pajak, sedangkan wajib pajak yang memiliki
29
sifat risk aversion apabila wajib pajak memiliki risiko yang rendah maka wajib pajak justru akan menghindari kewajiban pajaknya.
2.1.9
Preferensi Risiko Wajib Pajak Preferensi risiko merupakan salah satu karakteristik individu dimana
akan mempengaruhi perilakunya (Sitkin
dan
Pablo, 1992).
Dalam
konseptualisasi preferensi risiko terdapat tiga cakupan meliputi menghindari risiko, netral dalam menghadapi risiko, dan suka mencari risiko. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa perilaku wajib pajak dalam menghadapi risiko tidak dapat dianggap remeh dalam kaitannya dengan kepatuhan (Alm &
Torgler,
2006; Torgler,
2003). Torgler
(2003) menyampaikan
bahwa
keputusan seorang wajib pajak dapat dipengaruhi oleh perilakunya terhadap risiko yang dihadapi. Preferensi risiko seseorang merupakan salah satu komponen dari beberapa teori yang berhubungan dengan pengambilan keputusan termasuk kepatuhan pajak seperti teori harapan kepuasan dan teori prospek. Dasar teoritis yang tepat untuk memoderasi preferensi risiko dalam hubungan antara kepatuhan pajak dengan sikap wajib pajak dan moral wajib pajak terdapat dalam teori prospek. Teori ini menerangkan bahwa ketika wajib pajak mempunyai tingkat risiko yang tinggi maka akan dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Oleh karena itu, ketika kepatuhan pajak memiliki hubungan yang kuat dengan preferensi risiko maka tingkat kepatuhan wajib pajak akan rendah artinya wajib pajak
30
memiliki berbagai
risiko
yang
tinggi
akan
dapat
menurunkan
tingkat
kepatuhan wajib pajak.
2.1.9.1 Indikator Preferensi Risiko Menurut Nicholson et al (2005), Indikator dalam preferensi risiko adalah : 1. Risiko Keuangan Risiko Keuangan dikaitkan pada kondisi keuangan pada seseorang. Seseorang yang memiliki investasi tidak dapat terhindar dari risiko, seperti tidak mendapat dividen dan mengalami kerugian atau Capital loss. Adapun juga seseorang yang berwirausaha tidak dapat terhindar dari risiko keuangan Intinya seseorang yang mengalami kebangkrutan termasuk dalam risiko keuangan. Hal tersebut akan mempengaruhi seseorang sebagai wajib pajak dalam melaporkan pajak. 2. Risiko Kesehatan Kesehatan
seseorang
tentu
mempengaruhi
dalam
menjalankan
berbagai aktifitas. Salah satunya aktifitas sebagai wajib pajak. Orang yang memiliki penyakit kronis tentu mempengaruhi aktifitasnya sebagai wajib pajak. Adapun juga orang yang memiliki gangguan jiwa maupun cacat bawaan akan berpengaruh
terhadap
aktifitas
perpajakan.
Tentu
kegiatan
memenuhi kewajiban pajak tidak dapat berjalan secara maksimal sesuai dengan harapan.
31
3. Risiko Sosial Risiko sosial menyangkutkan pada keadaan lingkungan pada masyarakat. Pada penelitian ini risiko sosial lebih menekankan pada hubungan antara wajib pajak dengan petugas pajak. Hubungan tersebut akan mempengaruhi kepatuhan dalam perpajakan. Selain itu terdapat risiko sosial yang terjadi bilamana terjadi perubahan kebijakan perpajakan oleh pemerintah tentu berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. 4. Risiko Pekerjaan Pekerjaan berperan besar terhadap kehidupan seseorang dan tentunya berperan bagi seorang wajib pajak. Perbedaan jenis maupun jabatan pekerjaan seseorang dapat memberikan perbedaan kepatuhan wajib pajak. Orang yang memiliki pekerjaan tidak tetap cenderung memiliki kepatuhan wajib pajak yang rendah. Adapun juga orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak menyadari bahwa orang tersebut masih memiliki tanggungan pajak. 5. Risiko Keselamatan Risiko keselamatan pada penelitian ini terkait dengan risiko pekerjaan. Orang dalam pekerjaan terdapat risiko dalam keselamatan kerjanya. Penyebab seseorang
dikenakan
sanksi
ataupun
penyebab
seseorang mengalami
kecelakaan dalam bekerja dikarenakan tidak menjaga keselamatan dalam bekerja. Hal tersebut berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak
32
2.1.10 Penelitian Terdahulu James O. Olabede (2011) melakukan
penelitian
tentang
pengaruh
persepsi WP tentang kualitas pelayanan fiskus terhadap kepatuhan WP dengan kondisi keuangan dan
preferensi
risiko WP sebagai variabel moderating di
Nigeria dengan responden sebanyak 332 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi WP tentang kualitas pelayanan pajak berpengaruh secara signifikan dan positif
terhadap
kepatuhan
WP
OP,
sedangkan
kondisi
keuangan WP sebagai variabel moderasi berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap hubungan antara persepsi WP tentang kualitas pelayanan fiskus dan kepatuhan WP OP. Preferensi risiko juga sebagai variabel moderasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap hubungan antara persepsi tentang kualitas pelayanan fiskus dan kepatuhan WP OP. Selain itu, gabungan antara kondisi keuangan dan preferensi risiko WP dalam memoderasi hubungan antara persepsi tentang kualitas pelayanan fiskus dan kepatuhan WP OP berpengaruh positif dan signifikan. Murni Julianti (2014) melakukan penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak orang pribadi untuk membayar pajak yang dimoderasi oleh kondisi keuangan dan preferensi risiko (studi empiris terhadap WP OP di Kota Semarang) dengan responden sebanyak 140 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi wajib pajak tentang kualitas pelayanan perpajakan dan tingkat pengetahuan dan pemahaman wajib pajak tentang peraturan perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Selain itu, kondisi keuangan wajib pajak dan preferensi risiko berperan sebagai variabel
33
moderating. Variabel kondisi keuangan dan preferensi risiko wajib pajak memperlemah hubungan antara persepsi wajib pajak tentang kualitas pelayanan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Sedangkan, variabel kondisi keuangan dan preferensi risiko wajib pajak memperkuat hubungan antara pengetahuan dan pemahaman wajib pajak tentang peraturan perpajakan dengan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Kautsar Riza Salman dan Mochammad Farid (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh sikap dan moral wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak (Studi Empiris pada Industri Perbankan di Surabaya) dengan responden sebanyak 57 bank terdiri dari 49 Bank Umum Nasional, 5 Bank BUMN, dan 3 anggota kehormatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap wajib pajak secara signifikan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dan moral wajib pajak secara signifikan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan hasil analisis simultan disimpulkan bahwa antara variabel sikap wajib pajak dan moral wajib pajak tidak sama-sama berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Tarjo dan Indra Kusumawati (2005) melakuakan penelitian tentang analisis perilaku wajib pajak orang pribadi terhadap pelaksanaan self assessment (Studi Empiris pada WP OP di Bangkalan) dengan responden sebanyak 56 orang. Hasil penelitian menunjukkan sikap tentang ketidakpatuhan pajak, norma suyektif, dan kewajiban moral secara signifikan berpengaruh terhadap niat untuk berprilaku tidak patuh. Sedangkan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan secara signifikan tidak berpengaruh terhadap niat tidak patuh. Selanjutnya kontrol keperilakuan
yang dipersepsikan pun secara signifikan tidak berpengaruh
34
terhadap ketidakpatuhan pajak. Niat berperilaku tidak patuh berpengaruh terhadap ketidakpatuhan pajak. Elia Mustikasari (2007) melakukan penelitian tentang Kajian empiris tentang kepatuhan wajib pajak badan di Perusahaan Industri Pengolahan di Surabaya. Pada penelitian ini variabel independen yang digunakan adalah sikap (attitude), norma subyektif (subjective norms), kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (perceived control behavior), kewajiban moral, kondisi keuangan perusahaan, fasilitas perusahaan, iklim organisasi perusahaan berpengaruh terhadap niat dan perilaku WP. Penelitian ini mengungkapkan bahwa faktorfaktor
tersebut memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap niat
ketidakpatuhan dan perilaku WP. Tabel 2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu Peneliti
Judul
(Tahun)
Penelitian
Variabel
James O.
The Moderating 1. Kualitas
Alabede
Effect
(2011)
Financial
of
Factors
WP risiko
WP
Taxpayer’s
4. Kepatuhan WP
Compliance
Nigeria
Pelayanan Fiskus
3. Preferensi
Influencing
Behaviour
- Prefrensi risiko berpengaruh
2. Kondisi keuangan
Condition on the
Hasil
negatif dan tidak signifikan terhadap
hubungan
persepsi
tentang
pelayanan
kualitas dan
kepatuhan wajib pajak orang pribadi. .
in
fiskus
antara
35
Murni
Analisis Faktor- 1. Kualitas Pelayanan - Preferensi
Julianti
Faktor
(2014)
Mempengaruhi
yang
Fiskus (X1)
Risiko
variabel
moderasi
2. Pengetahuan
dan
Kepatuhan Wajib
pemahaman
wajib
Pajak
Orang
pajak
Pribadi
Untuk
peraturan
Pelayanan
perpajakan (X2)
Kepatuhan WP OP.
Membayar Pajak dengan
tentang
Keuangan
dan
WP (Z1)
Pajak
hubungan
memperlemah antara
risiko
WP (Z2)
persepsi
wajib pajak tentang Kualitas Fiskus
terhadap
risiko
variabel
Preferensi Risiko 4. Preferensi Wajib
berpengaruh
keuangan - Preferensi
Kondisi 3. Kondisi
sebagai
sebagai moderasi
memperkuat hubungan antara pengetahuan dan pemahaman
Sebagai Variabel 5. Kepatuhan WP (Y)
wajib pajak tentang peraturan
Moderating
perpajakan dengan kepatuhan WP OP.
Kautsar
Pengaruh
Riza
dan Moral Wajib 2. Moral (X2)
Salman
Pajak
dan
Kepatuhan Wajib
M. Farid
Pajak
(2009)
Industri
- Moral
Sikap 1. Sikap (X1)
terhadap 3. Kepatuhan
Pajak
tidak
berpengaruh secara signifikan Wajib
pajak (Y)
terhadap
kepatuhan
Wajib
Pajak. - Sikap
pada
Wajib
Pajak
berpengaruh secara signifikan
Perbankan
di
terhadap kepatuhan
Surabaya
Wajib
Pajak.
Tarjo dan
Analisis Faktor- 1. Sikap (X1)
Indra
faktor yang
Kusuma-
Mempengaruhi
wati
Perilaku
(2005)
Ketidakpatuhan Wajib
Wajib
2. Norma
- Sikap tentang ketidakpatuhan
Subyektif
(X2)
terhadap niat berperilaku tidak
3. Kewajiban
Moral
patuh. - Kewajiban moral berpengaruh
(X3)
Pajak 4. Kontrol
signifikan
Orang Pribadi di
Keperilakuan yang
Bangkalan
dipersepsikan (X4) 5. Niat
pajak berpengaruh signifikan
Berperilaku
Tidak Patuh (Y1) 6. Ketidakpatuhan
terhadap
berperilaku tidak patuh.
niat
36
Pajak (Y2) Elia
Kajian
empiris
Mustikasa
tentang
ri
kepatuhan wajib
(2007)
pajak badan
1. Sikap
subyektif - Sikap berpengaruh positif dan
(X1) 2. Kontrol
signifikan
terhadap
ketidakpatuhan pajak.
keperilakuan di
yang
Perusahaan
dipersepsikan
Industri
(X2)
Pengolahan di
3. Ketidakpatuhan
Surabaya
pajak (Y)
Sumber : Data diolah penulis
2.2
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran di dalam penelitian ini berangkat dari variabel
kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak yang di pengaruhi oleh preferensi risiko wajib pajak sebagai variabel moderating. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak, sikap wajib pajak, moral wajib pajak, dan preferensi risiko wajib pajak. Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) persamaan model regresi sehingga juga terdapat 2 (dua) model kerangka pemikiran yang dikembangkan. Dalam persamaan model regresi I, variabel independen yang digunakan yaitu sikap wajib pajak dan moral wajib pajak. Dalam model regresi I, hanya menguji pengaruh langsung variabel independen terhadap variabel dependen yaitu sikap wajib pajak dan moral wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. Sehingga dalam persamaan model regresi I tidak terdapat variabel moderating.
37
Dalam persamaan model regresi II variabel independen yang digunakan yaitu sikap wajib pajak dan moral wajib pajak serta terdapat variabel moderating preferensi risiko wajib pajak. Dalam model regresi II, kepatuhan wajib pajak diregresikan ke dalam variabel independen yaitu sikap wajib pajak dan moral wajib pajak kemudian diregresikan lagi dengan hasil perkalian dari variabel independen dengan variabel moderating yaitu preferensi risiko wajib pajak. Untuk lebih jelasnya hubungan variabel-variabel tersebut disajikan dalam gambar 2.3 dan gambar 2.4 berikut ini :
Sikap Wajib Pajak
H1 H2
Moral Wajib Pajak
Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Model I
Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
38
Sikap Wajib Pajak
H3
Kepatuhan Wajib
H4
Pajak Orang Pribadi
Preferensi Risiko
Moral Wajib Pajak
Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Model II
2.3
Hipotesis Penelitian Berdasarkan berbagai kajian asumsi dan kerangka pemikiran yang telah
dijabarkan, maka dibuat hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1 : H01 :
Sikap wajib pajak orang pribadi untuk memenuhi kewajiban perpajakan tidak mempunyai pengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan wajib pajak.
H
1
: Sikap wajib pajak orang pribadi untuk memenuhi kewajiban perpajakan mempunyai pengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan wajib pajak.
39
Hipotesis 2 : H02 :
Moral wajib pajak orang pribadi untuk memenuhi kewajiban perpajakan tidak mempunyai pengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan wajib pajak.
H
2
:
Moral wajib pajak orang pribadi untuk memenuhi kewajiban perpajakan mempunyai pengaruh positif terhadap perilaku kepatuhan wajib pajak.
Hipotesis 3 : H03 :
Preferensi risiko wajib pajak tidak memoderasi hubungan antara sikap wajib pajak orang pribadi dengan kepatuhan wajib pajak.
H
3
:
Preferensi risiko wajib pajak memoderasi hubungan antara sikap wajib pajak orang pribadi dengan kepatuhan wajib pajak.
Hipotesis 4 : H04 :
Preferensi risiko wajib pajak tidak memoderasi hubungan antara moral wajib pajak orang pribadi dengan kepatuhan wajib pajak.
H
4
:
Preferensi risiko wajib pajak memoderasi hubungan antara moral wajib pajak orang pribadi dengan kepatuhan wajib pajak.