BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Pendapatan Pendapatan disebut juga dengan income yaitu imbalan yang diterima oleh
seluruh rumah tangga pada lapisan masyarakat dalam suatu negara/daerah, dari penyerahan
faktor-faktor
produksi
atau
setelah
melakukan
kegiatan
perekonomian. Pendapatan tersebut digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan sisanya merupakan
tabungan untuk memenuhi hari
depan (Tito 2011). Dengan kata lain pendapatan secara lebih fokus yaitu hasil pengurangan antara jumlah penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan, pendapatan total merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang dilakukan. Menurut Soeharjo dan Patong (1994:234) terdapat hubungan yang positif antara hasil produksi yang di pasarkan dengan pendapatan, artinya semakin besar produksi yang di pasarkan, semakin besar pula pendapatan yang diperoleh. Besarnya jumlah pendapatan mempunyai fungsi untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam suatu kegiatan atau suatu proses produksi yang sering di miliki dengan uang kemudian disebut sebagai pendapatan. Sitorus (1994) menyatakan, pendapatan adalah jumlah kegunaan yang dapat dihasilkan melalui suatu usaha. Pada hakikatnya jumlah uang yang diterima oleh seseorang produsen (nelayan/petani ikan) untuk produksi yang dijualnya tergantung dari: 1.
Jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh konsumen
2.
Jumlah produk yang dipasarkan
3.
Biaya-biaya untuk menggerakan produk ke pasar
6
7
Pendapatan nelayan berasal dari dua sumber, yaitu : pendapatan dari usaha penangkapan ikan dan pendapatan dari luar usaha penangkapan ikan. Sumber pendapatan utama bagi nelayan yaitu berasal dari usaha penangkapan ikan sedangkan pendapatan dari luar usaha penangkapan ikan, biasanya lebih rendah (Sajogya 1996). 2.2
Nelayan
2.2.1 Definisi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1990 (15/90) Tentang Usaha Perikanan, bahwa nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam perstatistikan perikanan perairan umum, nelayan didefinisikan sebagai orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke dalam perahu atau kapal motor, mengangkut ikan dari perahu atau kapal motor,
tidak
dikategorikan sebagai nelayan (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Penangkapan ikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkannya. Usaha perikanan yang bekerja di bidang penangkapan tercakup dalam kegiatan perikanan tangkap/capture fishery (Wikipedia 2012). 2.2.2 Peta Sosial Ekonomi Nelayan Kajian secara sosiologis mengindikasikan bahwa peta sosial masyarakat nelayan memiliki dinamika sosial yang spesifik mencerminkan karakteristik pantai, kenelayanan, dan kelautan. Hubungan sosial masyarakat seperti halnya solidaritas sosial, kekerabatan yang tinggi didasarkan pada kepentingan yang terkait dengan pekerjaan mereka sehari-hari yakni sebagai nelayan, buruh nelayan, pengusaha perikanan, pedagang sembilan bahan pokok dan lainnya.
8
Kehidupan nelayan sangat dipengaruhi oleh kondisi laut, perubahan kondisi laut mempengaruhi produktifitas dalam penangkapan ikan dan mendorong nelayan untuk melakukan pergeseran aktifitas kepada hal lain mungkin berkaitan dengan profesinya atau menekuni kegiatan lain. Misalnya pada bulan tertentu misalnya bulan Agustus – Desember kondisi laut cenderung memburuk, dalam keadaan ini para nelayan cenderung tidak turun melaut dan manfaatkan waktu luang dengan memperbaiki perahu ataupun alat tangkap ikan seperti jaring, nelayan lain mungkin saja bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan, berdagang dan lain-lain profesi. Pada kondisi laut yang tidak bersahabat pendapatan nelayan cenderung menurun dan kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, solusi yang ditempuh sebagai pengganti pendapatan adalah menjual peralatan penangkapan, menjual peralatan rumah tangga yang mereka miliki atau terlibat utang piutang dengan para tengkulak untuk dibayar pada saat mereka dapat melaut lagi. Profesi sebagai nelayan hanya ditekuni oleh kalangan terbatas dan marginal. Sumberdaya manusia yang berprofesi sebagai nelayan dicirikan oleh pendidikan dan keterampilan yang rendah, serta kemampuan manajemen yang terbatas. Sitorus (1994) menyatakan bahwa taraf hidup penduduk desa pantai yang sebagian besar nelayan sampai saat ini masih rendah, pendapatan tidak menentu (sangat tergantung pada musim ikan), kebanyakan masih memakai peralatan tradisional dan masih sukar menjauhkan diri dari perilaku boros. 2.2.3 Komunitas dan Kelompok Nelayan Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat (2012), ciri-ciri komunitas nelayan dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut: a. Segi mata pencaharian. Nelayan adalah mereka yang segala aktivitasnya berkaitan dengan lingkungan laut dan pesisir atau mereka yang menjadikan perikanan sebagai matapencaharian. b. Segi Cara Hidup. Komunitas nelayan adalah komunitas gotong royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat penting pada saat
mengatasi keadaan yang menuntut pengeluaran biaya besar dan
9
pengerahan tenaga yang banyak. Seperti saat berlayar, membangun rumah, atau tanggul penahan gelombang di sekitar desa. c. Segi keterampilan. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan berat namun pada umumnya mereka hanya memiliki keterampilan sederhana. Kebanyakan mereka bekerja sebagai nelayan adalah profesi yang diturunkan oleh orang tua, bukan sesuatu yang dipelajari secara profesional. Dari bangunan struktur sosial, komunitas nelayan terdiri atas komunitas yang heterogen dan homogen. Masyarakat nelayan yang heterogen adalah mereka yang bermukim di desa-desa yang mudah dijangkau secara transportasi darat. Sedangkan yang homogen terdapat di desa-desa nelayan terpencil biasanya menggunakan alat-alat tangkap ikan yang sederhana, sehingga produktivitasnya juga kecil dan sulit melakukan pemasaran. Kesulitan mereka akan transportasi untuk mengangkut hasil tangkapan ke pasar juga akan menjadi penyebab rendahnya harga hasil laut di daerah mereka (Sastrawidjaya 2002). Dilihat dari teknologi peralatan tangkap yang digunakan dapat dibedakan dalam dua katagori, yaitu nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Ukuran modernitas bukan semata-mata karena penggunaan motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Perbedaan modernitas teknologi alat tangkap juga akan berpengaruh pada kemampuan jelajah operasional mereka (Imron 2003:68). Tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan tradisional tidaklah dianggap penting untuk bekal kerja mencari ikan di laut, karena pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah memberikan pengaruh terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru mengedepan jika seorang nelayan ingin berpindah ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain selain menjadi nelayan (Kusnadi 2002:3).
10
Sudah sejak dulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam suatu organisasi kerja secara turun temurun tidak mengalami perbubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraannya lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin alat tangkap maupun faktor pendukungnya seperti es, garam, dan lainnya. Kelas lainnya yang merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalupun mereka mengusahakan sendiri faktor/alat produksinya masih sangat konvensional, sehinggal produktivitasnya tidak berkembang (Dinas Perikanan dan Kelautan 2012 Provinsi Jawa Barat). Dinas
Perikanan
mengkatagorikan
profesi
dan
Kelautan
nelayan
sebagai
Provinsi seseorang
Jawa
Barat
2012,
yang pekerjaannya
menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala, dan jaring, bagan, bubu, sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan, metode dan taktik penangkapan tertentu. Pada umumnya dalam pengusahaan perikanan laut terdapat tiga jenis nelayan, yaitu: nelayan pengusaha, nelayan campuran dan nelayan penuh. Nelayan pengusaha yaitu pemilik modal yang memusatkan penanaman modalnya dalam operasi penangkapan ikan. Nelayan campuran yaitu seseorang nelayan yang juga melakukan pekerjaan yang lain di samping pekerjaan pokoknya sebagai nelayan. Sedangkan nelayan penuh ialah golongan nelayan yang hidup sebagai penangkap ikan di laut dan dengan memakai peralatan lama atau tradisional. Namun demikian Mubyarto (2002:18) menyatakan bahwa apabila sebagian besar pendapatan seseorang berasal dari perikanan (darat dan laut) mereka disebut sebagai nelayan.
11
Pengelompokan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002:17), pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yakni: a. Dari segi Penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam katagori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbat. b. Ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam katagori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. c. Dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam katagori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Secara umum, nelayan terbagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu nelayan juragan dan nelayan buruh. Menurut Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan tahun 2012 menyatakan bahwa jarak yang ditempuh oleh nelayan pada saat menangkap ikan tergantung pada kapal yang digunakanan. Berdasarkan jangkauan jarak penagkapannya, nelayan di Pantai Santolo dapat dikelompokan lagi menjadi 2 (dua) yaitu:
Nelayan Inboat (Kapal Motor) Nelayan yang melaut untuk menangkap ikan dengan menggunakan kapal besar (mesin kapal terdapat didalam). Jarak yang ditempuh dalam sekali melaut tentunya dapat mencapai lebih dari 9 Mil. Hal ini dapat mempengaruhi terhadap hasil tangkapan, karena dengan menggunakan kapal, nelayan akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.
12
Nelayan Outboat (Motor Tempel) Berbeda dengan nelayan inboat, jarak yang ditempuh dalam sekali melaut yaitu kurang dari 5 Mil, hal ini disebabkan karena nelayan melaut dengan menggunakan perahu biasa yang mesinnya terdapat diluar. Tentunya hasil tangkapan yang diperoleh akan lebih sedikit. Menurut Satria (2001:28-29), berdasakan teknologi penangkapan ikan
yang digunakan oleh nelayan, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi menggolongkan nelayan ke dalam empat kelompok, yaitu: a. Peasant-fisher. Nelayan tradisional yang biasanya bersifat subsisten, menggunakan alat tangkap yang masih tradisional seperti dayung, sampan, yang tidak bermotor dan hanya melibatkan anggota keluarganya sendiri sebagaitenaga kerja utama; b. Post-peason fisher. Dengan berkembangkanya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant-fisher menjadi Post-peason fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju atau modern. Meski mereka masih beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya jelajahnya lenih luas dan memiliki surplus untuk diperdagangkan di pasar. c. Comersial-fisher. Nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya telah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga menejer. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya; d. Industrial-fisher. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar-benar berorientasi pada keuntungan. Pada nelayan ini memiliki ciri-ciri: a) Diorganisasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan agro industri di negara maju, b) Lebih padat modal, c) Memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana, dan d) Menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor.
13
2.2.4 Faktor Penentu Pendapatan Nelayan Pendapatan nelayan adalah hasil yang diperoleh oleh nelayan berupa hasil penjualan produk tangkapan dilaut atau bagi hasil penagkapan ikan. Pendapatan nelayan ditentukan oleh jumlah hasil tangkapan ikan. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat (2012) menyatakan bahwa produktivitas nelayan dalam mendapatkan tangkapan ikan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: a. Teknologi Teknologi terkait dengan peralatan yang digunakan oleh nelayan dalam penangkapan ikan adalah perahu tanpa mesin atau perahu dengan mesin, jaring dan pancing. Peralatan atau biaya nelayan adalah nilai dari peralatan yang digunakan seperti harga perahu, harga peralatan penangkapan ikan, dan bahan makanan yang dibawa melaut dan yang dtinggalkan dirumah. Ini merupakan input bagi nelayan dalam melaut (menangkap ikan). b. Sosial Ekonomi Beberapa faktor sosial ekonomi adalah usia, pendidikan, pengalaman, pealatan, keikutsertaan dalam organisasi nelayan, dan musim. Usia mempengaruhi pendapatan nelayan karena seseorang yang telah berumur 15 tahun ke atas yang dapat disebut nelayan. Pendidikan yang ditempuh nelayan juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan nelayan. Pengalaman menentukan keterampilan nelayan dalam melaut, semakin terampil nelayan makan hasil tangkapan cederung semakin baik. Faktor kepemilikan peralatan yang digunakan nelayan apakah nelayan memiliki peralatan sendiri atau tidak, apabila nelayan tidak memiliki peralatan sendiri dan hanya menerima gaji, maka dikatakan buruh nelayan. Keberadaan organisasi dalam keikutsertaan nelayan dalam organisasi diharapkan dapat memberi dampak positif bagi pendapatan nelayan. c. Tata Niaga Ikan Tata niaga ikan adalah komoditi yang mudah rusak, jadi proses penyimpanannya harus baik. Kualitas ikan mempengaruhi harga jual ikan dipasaran. Jadi dilihat nilai efisiensi penggunaan tata niaga perikanan tersebut,
14
semakin baik dan efisien tata niaga perikanan tersebut, berarti semakin baik pula harganya. d. Faktor Alam Fauzi (2010) menyatakan, selain over eksploitasi dan maraknya IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) fishing, sektor perikanan mengalami masalah yang cukup serius terkait dengan perubahan iklim dan dampaknya terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap maupun budidaya. Perubahan gradual peningkatan suhu yang terjadi secara global berakibat pada perubahan aspek biofisik seperti perubahan cuaca yang ekstrim, kenaikanan paras muka laut, perubahan jejaring makanan, dan perubahan fisiologis reproduksi akan berdampak pada aspek sosial ekonomi perikanan. Setidaknya ada dua fenomena ekstrim terhadap lautan akibat perubahan iklim global yakni kenaikan suhu air laut dan permukaan laut. Kenaikan suhu air laut mempengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing ground dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu dan ikan-ikan yang hidup didaerah karang akan mengalami penurunan populasi. Disisi lain, kenaikan permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan tambak di wilayah pesisir. Menurut Muttaqien (2010) produktivitas nelayan diperkirakan turun 60% akibat anomali iklim yang ditandai tingginya curah hujan dan ombak besar, sehingga kegiatan melaut menjadi membahayakan. Pengaruh cuaca ektrim yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan kadar keasaman air laut menurun. Sehingga wilayah penangkapan semakin jauh dan tidak terjangkau oleh nelayan kecil yang hanya menggunakan perahu tradisional. Selain itu, gelombang tinggi dan angin kencang menyebabkan nelayan tidak dapat melaut. Ombak yang biasanya hanya setinggi satu meter akan meningkat drastis menjadi dua meter atau lebih. Antara udara dan laut saling berinteraksi erat mempengeruhi kondisi laut. Angin misalnya sangat menentukan terjadinya gelombang dan arus dipermukaan laut, dan curah hujan dapat menentukan salinitas (keragaman) air laut.
15
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Adhawati pada tahun 2011, waktu yang digunakan nelayan untuk melakukan aktivitasnya berdasarkan kondisi cuaca alam dibagi menjadi 3 musim, yaitu: a) Musim puncak adalah musim dimana aktivitas nelayan sangat tinggi. Musim puncak ditandai dengan berlimpahnya hasil tangkapan akibat dari faktor alam yang sangat mendukung. Pada musim puncak biasanya kondisi angin stabil dan perairan tenang. Musim puncak
berlangsung selama 5 bulan
yaitu
dimulai pada bulan Agustus dan puncaknya berakhir pada bulan Desember. b) Musim peralihan adalah peralihan dari musim puncak ke musim ombak. Musim peralihan biasa berlangsung selama 3 bulan yaitu dimulai pada bulan Mei dan berakhir di bulan Juli. c) Musim ombak adalah musim dimana kondisi perairan sangat tidak mendukung aktivitas nelayan. Musim ombak berlangsung selama 4 bulan dimulai pada bulan Desember dan berakhir pada bulan April. Musim ombak ditandai dengan angin kencang, dan gelombang tinggi, kondisi tersebut berdampak pada jumlah nelayan yang melakukan aktivitas melaut. Beberapa nelayan bahkan memutuskan untuk tidak melaut
pada musim ombak
disebabkan karena resiko melaut yang sangat tinggi. 2.2.5 Pengolahan Hasil Data Produksi Berdasarkan Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Garut, pengolahan hasil data produksi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: a. By Statistic Penghitungan data produksi by statistic yakni meliputi seluruh jumlah produksi hasil tangkapan di sepanjang pantai. b. By Landing Penghitungan data produksi by landing yaitu seluruh hasil tangkapan yang mendarat di pelabuhan kemudian di lelang di PPI tanpa dikenakan biaya retribusi.
16
c. By Raman Sedangkan penghitungan data produksi by raman yaitu seluruh hasil tangkapan yang mendarat di pelabuhan kemudian di bawa ke PPI dengan dikenakan biaya retribusi. 2.3
Tingkat Kesejahteraan
2.3.1 Definisi umum Kemakmuran merupakan kata lain dari kesejahteraan, atau dapat disimpulkan makmur sama dengan sejahtera. Kebijakan ekonomi ditujukan untuk menciptakan kemakmuran bagi masyarakat. Sedangkan salah satu ukuran kemakmuran itu adalah pendapatan, karena kemakmuran itu sendiri tercipta dengan adanya kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Secara hirarki pendapatan dapat diurut mulai dari pendapatan nasional, pendapatan regional, pendapatan perkapita dan pendapatan personal (Dinas Perikanan dan Kelautan 2012). Menurut Segel dan Bruzy (1998:8), kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat. Sedangkan menurut Midgley (1995), kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini diatur, kedua sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan. Yang apabila dikaitkan dengan kesejahteraan nelayan dapat diartikan bahwa sejauh mana segala permasalahan sosial nelayan dapat diatur, kebutuhan rumah tangga nelayan dapat dipenuhi, dan sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan. Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan
17
pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, dimana salah satunya adalah pendapatan. Kesejateraan berbeda makna dengan tingkat kepuasan walaupun diantara keduanya memiliki saling keterkaitan, tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregate dari kepuasan individu-individu. Para nelayan melakukan pekerjaannya antara lain dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau dengan kata lain untuk mencapai satu titik dimana nelayan tersebut dapat dikatakan sejahtera apabila sudah dapat memenuhinya. Berdasarkan tingkat kepentingannya, kebutuhan dibagi menjadi 3 macam, yakni:
Kebutuhan Primer, disebut juga kebutuhan pokok atau dasar, yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi karena sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan ini meliputi makanan, pakaian, dan perumahan (pangan, sandang dan papan). Apabila kebutuhan primer ini tidak terpenuhi, maka manusia sulit untuk melangsungkan kehidupan dan mewujudkan jatidiri sesuai dengan kodratnya.
Kebutuhan Sekunder, timbul setelah manusia dapat memenuhi kebutuhan primer. Kebutuhan sekunder sebenarnya tidak begitu penting untuk diwujudkan, karena tanpa pemenuhan kebutuhan inipun manusia dapat tetap hidup. Kebutuhan sekunder antara lain radio, televisi, meja dan kursi, tempat tidur, dan sebagainya.
Kebutuhan Tersier, adalah kebutuhan ketiga yang dipenuhi, setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi. Kebutuhan ini umumnya dipenuhi oleh orang yang berpendapatan tinggi dan dilakukan untuk meningkatkan prestise atau kebanggaan di mata masyarakat. Contoh kebutuhan tersier, yaitu komputer, handphone, mobil mewah, rumah mewah, dan kapal pesiar mewah. Pada dasarnya yang menjadi ukuran tingkat kesejahteraan pada setiap
orang berbeda-beda. Namun kebutuhan primer, sekunder dan tersier dapat menjadi salah satu tolak ukur untuk menentukan kesejahteraan seseorang. Badan
18
Keluarga Berencana, Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Garut (2011) secara rinci
menyusun ukuran tingkat
Keluarga Sejahtera menjadi 5 (lima)
golongan, yaitu sebagai berikut: (1) Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS), yaitu keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs) secara minimal, seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang papan dan kesehatan. (2) Keluarga Sejahtera I (KS I), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya (socio psychological needs), seperti kebutuhan pendidikan, KB, interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal, dan transportasi. (3) Keluarga Sejahtera II (KS II), yaitu keluarga-keluarga yang disamping telah dapat memenuhi kebutuhan sosial-psikologisnya, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya (developmental needs) seperti kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. (4) Keluarga Sejahtera III (KS III), yaitu kelurga-keluarga yang telah dapat memenuhi
kebutuhan
dasar,
sosial-psikologis
dan
pengembangan
keluarganya, tetapi belum dapat memberikan sumbangan yang teratur bagi masyarakat, seperti sumbangan materi, dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. (5) Keluarga Sejahtera III Plus (KS III Plus), yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat
memenuhi
seluruh
kebutuhan
dasar,
sosial
psikologis
dan
pengembangan serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Mengacu pada golongan tingkat kesejahteraan berdasarkan Badan Keluarga Berencana, Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Garut tersebut, nelayan di Pantai Santolo sebagian besar termasuk ke dalam golongan Keluarga Pra Sejahtera dan Keluarga Sejahtera I. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Gubernur pada setiap provinsi di Indonesia secara berkala menerbitkan keputusan tentang Upah Minimum Regional (UMR) yang memuat nilai Upah Minimum manging-masing
19
kabupaten (UMK) sebagai acuan standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. UMR dihitung berdasarkan acuan analisis Komponen Hidup Layak (KHL) dalam Undang Undang Ketenagakerjaan yaitu UU No 13 tahun 2003. Upah Minimum Regional (UMR) dapat digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan masyarakat. 2.3.2 Kondisi Masyarakat Pesisir dan Kemampuan Nelayan Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan (2012) Secara Sosial-Budaya-Ekonomi, kondisi masyarakat pesisir dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: a. Penduduk asli mempunyai adat-budaya dan kebiasaan yang hampir sama, dan kondisi sosial ekonomi yang khas. b. Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau besar/induk atau kontinen. c. Aksesibilitas (ketersediaan sarana/prasarana) rendah dengan transportasi ke arah pulau induk maksimal 1 kali sehari, disamping faktor jarak dan waktu yang terbatas. Kemampuan diartikan sebagai kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan sesuai dengan yang dimilikinya. Menurut Arman (2006), kemampuan berakaitan dengan kesanggupan melakukan sesuatu. Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia kemampuan berasal dari kata mampu, berarti bisa melakukan sesuatu, kuasa (sanggup), memiliki sesuatu, atau keadaan ekonomi yang cukup. Kemampuan apabila dihubungkan dengan penyediaan perumahan, maka artinya
mampu
menyediakan
rumah
sesuai
dengan
keinginan/kebutuhan/kelayakan. Perumahan adalah kebutuhan dasar manusia. Setiap keluarga dan setiap orang memerlukan tempat untuk tinggal yang memungkinkannya dapat melakukan kegiatan sehari-hari apapun kualitas tempat dan hidupnya. Kebutuhan untuk tempat tinggal ini dipengaruhi oleh kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi yang bersangkutan. Kondisi sosial mempengaruhi
20
makna rumah, kebutuhan ruang, dan bagaimana beraktifitas bertempat tinggal sehari-hari. Wilayah desa nelayan dapat didefinisikan sebagai desa yang sebagaian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai penangkap ikan di laut atau nelayan. Laut menjadi lahan hidup yang paling utama bagi penduduk desa nelayan. Sumberdaya ekonomi perikanan merupakan sumberdaya utama dalam penggerakan roda ekonomi dan perdagangan masyarakat nelayan. Produksi perikanan laut yang dihasilkan oleh nelayan menentukan kehadiran sektor pekerjaan lain yang menunjang desa tersebut, seperti pengolahan hasil tangkapan perikanan, pembuatan alat-alat tangkap, jasa angkutan dan perbengkelan serta toko yang menjual berbagai kebutuhan nelayan seperti kebutuhan kerja dan kebutuhan rumah tangga nelayan (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 2012). Pada umumnya desa nelayan di Indonesia dihuni oleh nelayan tradisional dan nelayan buruh atau nelayan pekerja termasuk desa nelayan yang berada di Pantai Santolo. Nelayan tradisional yang menggunakan alat-alat penangkapan tradisional mendapatkan hasil perikanan yang fluktuatif dan tidak pasti. Pasang surut produksi perikanan berpengaruh besar terhadap dinamika ekonomi dan perdagangan masyarakat nelayan.