7
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terkait dengan pemberian pengurangan beban PBB telah dilakukan sebelumnya, di antaranya: Mulyono (2008) dan Santoso (2007). Mereka melakukan penelitian terkait pemberian pengurangan beban PBB untuk WP yang terkena bencana alam sehingga dalam penelitian mereka, salah satu dasar pemberian pengurangan beban PBB adalah tingkat kerusakan yang diderita oleh WP akibat bencana alam.
Namun dalam peraturan perpajakan, pengurangan beban PBB tidak hanya diberikan kepada WP yang terkena bencana alam. Pemberian pengurangan beban PBB juga diberikan kepada mereka yang kesulitan membayar kewajiban PBB-nya karena berpenghasilan rendah. Sehingga model yang dihasilkan dalam penelitian – penelitian sebelumnya tidak dapat diterapkan dalam kondisi normal, kondisi dimana WP tidak terkena bencana alam.
Untuk itu diperlukan sebuah metode atau model penghitungan beban PBB yang dapat diterapkan dalam kondisi normal. Hal lain yang mendukung diperlukannya metode penghitungan tersebut adalah karena dalam kenyataannya, ada beberapa WP yang berpenghasilan rendah dapat mungkin tinggal di daerah yang ber-Zona Nilai Tanah (ZNT) tinggi, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Harits (2007) sehingga dimungkinkan beban PBB lebih besar daripada penghasilannya.
II.2 Pengurangan Beban PBB Semua khulafa ar-rasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar Ibn Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai membuat mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari – hari. Abu Yusuf mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak menurut kemampuan rakyat yang terbebani. (Yusuf dalam Gusfahmi, 2007).
8
Batasan bebas pajak sudah ada dalam sistem perpajakan Indonesia yaitu dengan adanya penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang dibuat berdasarkan asumsi kebutuhan pokok sehari – hari selama setahun. Tetapi fleksibilitas beban pajak dalam peningkatan dan atau penurunan pajak belum diterapkan dalam sistem perpajakan Indonesia, terutama dalam PBB. Hal ini karena sifat PBB merupakan pajak objektif di mana nilai tanah dan bangunan stabil bahkan cenderung meningkat setiap tahunnya meskipun penghasilan pemiliknya tidak meningkat atau bahkan menurun.
II.2.1 Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang – Undang No 12 Tahun 1985 jo Undang – Undang No 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, jadi PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti pajak yang harus dibayar oleh WP yang ditentukan oleh keadaan objek yang dimilikinya. Tetapi berdasarkan Pasal 19 UU PBB, WP berhak mengajukan permohonan pengurangan atas PBB terhutang dalam hal kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungan dengan WP. Jadi meskipun PBB bersifat kebendaan, tetapi dalam hal – hal tertentu, kondisi subjek pajak juga diperhatikan dalam hal pengurangan PBB sehingga beban PBB bagi WP yang kurang mampu menjadi lebih ringan. Kondisi tertentu yang dijadikan pertimbangan pengurangan tersebut, antara lain kondisi WP yang memiliki atau menguasai objek pajak adalah berpenghasilan rendah sehingga kewajiban PBBnya sulit terpenuhi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No 362/KMK.04/1999, besarnya pengurangan berkisar antara 0% - 100% dari pajak terhutang yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dalam kondisi normal besar pengurangan yang dapat diberikan setinggi – tingginya 75% (tujuh puluh lima persen). Dan dalam kondisi tidak normal, seperti bencana alam, dan sebagainya, besar pengurangan yang dapat diberikan setinggi – tingginya 100% (seratus persen).
9
II.2.2 Pajak Penghasilan Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap WP atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak atau bagian dari tahun pajak. PPh merupakan pajak subyektif, artinya kewajiban pajaknya melekat pada subyek pajak yang bersangkutan dan tidak bisa dilimpahkan kepada subyek pajak lain (Mardiasmo, 2003). Dalam sistem perpajakan Indoneisa, ada 2 (dua) subjek pajak penghasilan, yaitu orang pribadi dan badan. PPh Orang Pribadi merupakan pajak penghasilan yang dikenakan khusus untuk orang pribadi yang penghasilannya melewati batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PPh diperhitungkan setiap tahun dengan menghitung besarnya penghasilan setahun dikurangi dengan besarnya PTKP, lalu dikalikan dengan tarif pajaknya.
PTKP merupakan batas minimal penghasilan seseorang untuk dikategorikan sebagai WP. Besarnya PTKP diatur berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 15/PJ/2006 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-545/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan pasal 21 dan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.
II.3 Urgensi Pendapatan Negara Apabila hasil zakat dan pendapatan – pendapatan negara lainnya mencukupi kebutuhan mereka, maka Allah Swt. tidak menuntut hak yang lain dari orang mukmin untuk para fakir miskin. Tapi apabila pendapatan itu tidak mencukupi untuk menanggulangi kemiskinan, maka wajib bagi mereka yang kaya dan mampu, untuk menjamin kebutuhan mereka, baik dalam hubungan kerabat dekat, tetangga dan hubungan – hubungan lain. (Qardhawi dalam Gusfahmi, 2007).
Apabila pemerintah atau pemimpin rakyat tidak mendapatkan dana untuk menunjang kemaslahatan umum, seperti pembangunan sarana pendidikan, balai pengobatan, perbaikan jalan dan saluran air, serta mendirikan industri alat pertahanan negara di mana kaum hartawan masih diam terbelenggu tangannya, maka dibolehkan bagi pemerintah, untuk memungut pajak dari kaum hartawan,
10
meringankan pelaksanaan rencana pembangunan itu (Syaltut dalam Gusfahmi, 2007)
Dari pendapat – pendapat di atas sejalan dengan prinsip fiscal, dalam prinsip pemungutan pajak yang dikemukakan E.R.A Seligman dan prinsip revenue productivity menurut Fritz Neumark. Dalam prinsip – prinsip tersebut ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan dalam pemungutan pajak. Pertama, penerimaan pajak harus dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pengeluaran negara. Kedua, sistem pemungutan pajak harus pula cukup elastis dalam menghadapi berbagai tantangan, perubahan, serta perkembangan kondisi perekonomian.
II.4 Kepastian dan Keadilan dalam Redistribusi Beban PBB Pada hakekatnya, pembayaran PBB merupakan salah satu sarana perwujudan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, sehingga dalam pengenaannya harus memperhatikan prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan serta ditunjang oleh sistem administrasi perpajakan yang memudahkan WP dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak (Republik Indonesia, 2000c)
II.4.1 Kepastian Dalam meredistribusikan defisit beban PBB akibat adanya pengurangan, diperlukan pembatasan beban PBB maksimal yang akan ditanggung oleh setiap WP yang mampu. Hal ini memberikan rasa kepastian terhadap WP – WP yang mampu tersebut. Berdasarkan pasal 6 UU PBB dasar penghitungan pajak adalah NJKP yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan besarnya antara 20% 100% dari NJOP. Ayat 4 menerangkan bahwa % NJKP ditetapkan dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Jadi untuk memberikan rasa kepastian kepada WP maka batasan PBB terhutang maksimal adalah beban PBB yang dihitung dengan mengunakan NJKP sebesar 100% dari NJOP.
11
II.4.2 Keadilan Pendapatan daerah (langsung) pada hakikatnya diperoleh melalui mekanisme pajak dan retribusi atau. pungutan lainnya yang dibebankan pada seluruh masyarakat. Keadilan atau kewajaran dalam perpajakan terkait dengan prinsip kewajaran "horisontal" dan kewajaran "vertikal". Prinsip dari kewajaran horisontal menekankan pada persyaratan bahwa masyarakat dalam posisi yang sama harus diberlakukan sama, sedangkan prinsip kewajaran vertikal dilandasi pada konsep kemampuan wajib pajak/restribusi untuk membayar, artinya masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk membayar tinggi diberikan beban pajak yang tinggi pula. (Presiden Republik Indonesia, 2005)
Prinsip keadilan di bidang perpajakan dikenal dengan keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal mengandung arti bahwa mereka yang mempunyai kemampuan yang sama harus membayar pajak dengan jumlah yang sama (equals treated equals), sedangkan keadilan vertikal mengandung arti bahwa mereka yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak yang lebih besar pula. Penerapan kedua kaidah tersebut memerlukan ukuran kuantitatif mengenai kemampuan membayar. Idealnya, ukuran ini disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan secara menyeluruh yang dapat diperoleh seseorang yang meliputi penghasilan, konsumsi, tabungan, pemilikan kekayaan, waktu luang untuk rekreasi, dan kenikmatan lainnya. Sayangnya, ukuran yang bersifat komprehensif ini tidak mudah untuk diperoleh sehingga keadilan dalam pengenaan pajak menurut kaidah ini juga mengandung beberapa kelemahan. (Sidik, 2000)
II.5 Surat Pemberitahuan Surat pemberitahuan adalah sarana hukum dalam hukum pajak yang digunakan oleh WP untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak, dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban menurut ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. Surat pemberitahuan lazimnya digunakan hanya pajak langsung seperti Pajak Penghasilan dan Pajak Bumi dan Bangunan.
12
WP wajib mengisi dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya di Direktorat Jenderal Pajak tempat WP terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh pejabat pajak. Yang dimaksud dengan benar, lengkap dan jelas dalam mengisi surat pemberitahuan adalah sebagai berikut : 1. Benar adalah benar dalam perhitungannya, termasuk benar dalam penerapan peraturan perundang – undangan perpajakan, dalam penulisannya, dan sesuai dengan keadaan sebenarnya 2. Lengkap adalah memuat semua unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur – unsur lain yang harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan 3. Jelas adalah melaporkan asal – usul atau sumber objek pajak dan unsur – unsur lain yang harus dilaporkan dalam surat pemberitahuan.
Karena surat pemberitahuan memiliki fungsi sebagai sarana untuk melaporkan jumlah pajak terhutang, surat pemberitahuan boleh dijadikan sebagai alat bukti surat kalau terjadi sengketa pajak antara WP dengan pejabat pajak dalam bentuk sengketa pajak.