3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu Bambu termasuk ke dalam famili Graminae, sub famili Bambusoidae dan suku Bambuseae. Bambu biasanya mempunyai batang yang berongga, akar yang kompleks, serta daun berbentuk pedang dan pelepah yang menonjol. Bambu adalah tumbuhan yang batang-batangnya berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang, dan mempunyai daur buluh yang menonjol (Dransfield dan Widjaja 1995). Kurz (1876) diacu dalam Dransfield dan Widjaja (1995) menyatakan bahwa bambu merupakan salah satu sumberdaya alam tropis dengan sebaran yang luas. Selain itu, bambu memiliki pertumbuhan yang cepat, mudah dibentuk, dan telah digunakan secara luas oleh masyarakat Asia. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menghindari kerusakan pada rumpun bambu adalah teknik penebangan. Waktu penebangan bambu yang baik adalah pada akhir musim hujan dan awal musim kemarau. Bila penebangan dilakukan di luar waktu tersebut akan menggangu pertumbuhan tunas-tunas muda, sehingga merusak rumpun bambu (Wijaya et al. 1988). Di Indonesia minimal terdapat 10 jenis bambu yang cocok untuk dijadikan bahan baku anyaman. Umur bambu yang paling baik untuk bahan baku anyaman adalah ketika berumur 1-1,5 tahun. Bila bambu terlalu tua akan sulit untuk diraut, sedangkan bila bambu terlalu muda akan mudah mengerut dan dimakan bubuk (Wijaya et al. 1988). Sedangkan menurut Sutiyono (2006), bambu baru akan dipanen pada usia 4 tahun. Setelah 4 tahun, pemanenan bambu baru bisa dilakukan secara keberlanjutan, yang artinya bambu dapat dipanen setiap tahunnya. Selain teknik penebangan, teknik pengawetan bambu juga harus diperhatikan agar batang bambu tidak diserang bubuk. Ada beberapa cara tradisional untuk mengawetkan bambu, yaitu direndam dalam air mengalir, diangin-anginkan di tempat yang teduh, dan direbus di dalam air yang mendidih. Selain dengan pengawetan tradisional, ada juga pengawetan dengan menggunakan bahan kimia, antara lain formaldehid, belerang, dan boraks (Wijaya et al. 1988).
4
Saat ini, bambu digunakan sebagai bahan baku material untuk pulp dan kertas, papan semen, papan partikel, sumpit, flower stick, tusuk gigi, keranjang buah, lumbung padi, bangunan restoran tradisional, bahan kontruksi bangunan di area perkotaan dan kota kecil (Sutiyono 2006). Menurut Mc Clure (1953) diacu dalam Nuryatin (2000), sifat-sifat yang menentukan kegunaan bambu adalah rata-rata dimensi batang, keruncingan batang, kelurusan batang, ukuran dan distribusi cabang, panjang ruas batang, bentuk dan proporsi ruas, proporsi relatif jaringan yang ada, kerapatan dan kekuatan kayu, serta kemudahan diserang jamur dan serangga. 2.2 Potensi Bambu di Indonesia Sumberdaya alam bambu berasal dari hutan bambu, bambu masyarakat dan perkebunan bambu. Hutan bambu adalah tanaman bambu yang tumbuh secara alami di hutan, sangat potensial, dan memiliki banyak buluh dalam satu rumpun. Sedangkan bambu masyarakat merupakan tanaman bambu yang tumbuh di halaman dan lapangan, dengan ciri berpotensi besar, batang yang bagus, mudah dikontrol, dan pertumbuhan teratur. Serta perkebunan bambu adalah tanaman bambu yang ditanam secara intensif di suatu tempat dengan pemilihan jenis unggulan, jarak tanam yang teratur, serta produksi batang yang terkontrol (Sutiyono 2006). Menurut Sutiyono (2006), Indonesia memiliki 76 spesies bambu dari 17 genus. Genus Arundinaria memiliki 1 spesies, Bambusa (19 spesies), Cephalostachyum (1 spesies), Chimonobambusa (2 spesies), Dendrocalamus (6 spesies), Dinochloa (1 spesies), Gigantochloa (18 Spesies), Melocana (1 spesies), Nastus (3 spesies), Neololeba (1 spesies), Phyllostachys (3 spesies), Pleioblatus (2 spesies), Pseudosasa (1 spesies), Schizostachyum (14 spesies), Semiarundinaris (1 spesies), Shibatea (1 spesies), dan Thytsostachys (1 spesies). Hasil listing sensus pertanian menunjukkan bahwa di Indonesia tercatat sekitar
4,73 juta rumah tangga yang memiliki tanaman bambu dengan
populasi mencapai 37,93 juta rumpun atau rata-rata per rumah tangganya sebesar 8,03 rumpun. Dari total sebanyak 37,93 juta rumpun tanaman bambu, sekitar 27,88 juta rumpun atau 73,52 % diantaranya adalah merupakan tanaman bambu yang siap tebang (Dephut dan BPS 2004).
5
Menurut Dephut dan BPS (2004), tanaman bambu lebih banyak ditanam di Jawa, yaitu mencapai 29,14 juta rumpun atau sekitar 76,83 % dari total populasi bambu di Indonesia, sedangkan sisanya sekitar 8,79 juta rumpun (23,17 %) berada di luar Jawa. Tanaman bambu di Jawa terkonsentrasi di tiga propinsi, yaitu Jawa Barat (28,09 %), Jawa Tengah (21,59 %), dan Jawa Timur (19,38 %), sementara di Luar Jawa, tanaman bambu terdapat di propinsi Sulawesi Selatan (3,69 %), seperti disajikan pada Gambar 1. Meskipun persentase jumlah rumah tangga yang memiliki tanaman bambu di Jawa jauh lebih besar dibanding di Luar Jawa, tetapi rata-rata pengusahaan tanaman per rumah tangga tidak ada perbedaan yang berarti yaitu 8,15 rumpun (di Jawa) dan 7,65 rumpun (di Luar Jawa).
Lainnya 27%
Sulawesi Selatan 4%
Jawa Timur 19%
Jawa Barat 28%
Jawa Tengah 22%
Gambar 1 Sebaran bambu di Indonesia.
Sumber: Dephut dan BPS (2004)
2.3 Bambu Tali (Gigantochloa apus (Bl. Ex Schult.f.) Kurz) Bambu tali merupakan jenis bambu yang memiliki batang tegak dan banyak anakan. Ciri-ciri batang bambu tali antara lain tinggi 10-20 m, memiliki panjang buku 30-60 cm, dan tebal dinding batangnya 0,6-1,3 cm. Selain itu, bambu tali memiliki pelepah dengan miang berwana coklat kehitaman yang mengkilap. Pelepah ini tidak mudah jatuh, walau batangnya sudah tua (Sudarnadi 1996). Bambu ini diduga berasal dari Burma dan sekarang tersebar luas di seluruh Indonesia. Umumnya bambu tali tumbuh di dataran rendah dan dapat juga tumbuh dengan baik di daerah pegunungan sampai ketinggian 1000 m dpl. Jenis bambu
6
ini merupakan jenis yang banyak dibudidayakan, karena memiliki kegunaan yang sangat banyak. Kegunaan bambu tali antara lain untuk kerajinan anyaman seperti nyiri, kukusan, besek, bilik, kipas dan lain-lain (Sudarnadi 1996). Selain itu, kegunaan bambu tali lainnya adalah sebagai bahan baku kerajianan hiasan rumah tangga (Sastrapradja et al. 1987). Beberapa ahli pernah mencoba bambu ini untuk bahan baku pembuatan kertas tetapi hasilnya kurang memuaskan sebab kertas yang dihasilkan tidak berwarna putih (Sastrapradja et al. 1987). Bambu tali merupakan jenis yang paling baik untuk dijadikan bahan baku anyaman, karena memiliki serat-serat yang panjang, halus, dan mudah lentur. Namun jenis bambu ini tidak baik digunakan untuk membuat alat musik bambu, karena mempunyai buku-buku atau (node) yang cekung, sehingga menyebabkan terjadinya gaung yang tidak beraturan (Wijaya et al. 1988). Selain memiliki banyak kegunaan, bambu ini juga memiliki kekurangan. Bambu tali tidak tahan terhadap serangan serangga tertentu. Salah satu cara tradisional untuk meningkatkan keawetan bambu tali adalah dengan melakukan perendaman selama 30 hari (Sudarnadi 1996). Perbanyakan yang umum dilakukan yaitu dengan rimpang atau potongan buluh. Perbanyakan dengan biji belum pernah dilakukan karena biji-biji jarang ditemukan (Sastrapradja et al. 1987). Perbanyakan bambu tali dapat dilakukan dengan menggunakan rimpang, stek cabang, stek buluh, dan biji. Perbanyakan yang biasa dilakukan adalah dengan menggunakan rimpang, karena selain keberhasilannya tinggi juga cepat diperoleh ukuran buluh dengan diameter maksimum. Jika menggunakan stek buluh, hasil yang baik adalah dengan mengunakan buluh yang berumur 1-2 tahun dengan 2 buku dan ditanam secara rebah (Handoko 1996). 2.4 Bambu Ampel (Bambusa vulgaris Schrad.) Bambu ampel merupakan bambu yang memiliki banyak anakan. Ciri batang bambu ampel antara lain tinggi 15-20 m, panjang buku antara 20-45 cm, diameter 4-10 cm, dan tebal dinding 1-1,5 cm (Sudarnadi 1996). Buluhnya berwarna kuning, hijau bertotol coklat, hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Percabangan terdapat pada buku-buku bagian atas, tapi tidak jarang dijumpai
7
percabangan pada buku-buku bagian bawah. Bambu ampel memiliki cabang yang terletak berselang seling. Cabang primer lebih besar dibandingkan cabang yang lain. Pelepah buluhnya bermiang hitam, dengan pelepah buluh yang menempel. Daun pelepah buluh berbentuk bundar telur melebar. Jenis ini ditanam dengan tujuan sebagai tanaman hias dan dapat dipakai untuk campuran obat penyakit kuning. Buluhnya sangat kuat, akan tetapi bambu ini tidak tahan serangan serangga Dinoderus (Sastrapraja et al. 1987). Menurut Farrely (1984), kandungan pati pada B. vulgaris tergolong tinggi, sehingga sangat rentan terhadap serangan serangga. Meskipun demikian pemanenan atau penebangan setelah tanaman berumur tiga tahun lebih dapat mengurangi serangan serangga. Bambu ini dapat menghasilkan bubur kayu yang baik untuk bahan pembuatan kertas (Sastrapraja et al. 1987). Sedangkan menurut Sudarnadi (1996), bambu ampel biasanya digunakan sebagai bahan baku alat rumah tangga (kursi dan meja), kerajinan tangan, dan lantai rumah. 2.5 Sifat Anatomi Bambu Hasil penelitian sifat anatomi (panjang serabut, diameter sel, diameter lumen, dan tebal dinding sel) bambu betung yang berasal dari Darmaga dan Bekasi telah diteliti oleh Lestari (1994). Hasil penelitian menunjukan bahwa panjang serabut pada bagian tengah batang paling panjang (4,42 mm), sedangkan tebal dinding sel pada bagian pangkal lebih tebal (2,91 µm) jika dibandingkan bagian tengah dan ujung. Menurut Liese dan Groser (1973) diacu dalam Setiadi (2009), pada umumnya jenis bambu mempunyai ikatan serabut (fibre bundle) yang terpisah pada sisi dalam atau sisi luar ikatan vaskular pusat. Ada empat tipe ikatan pembuluh (Gambar 2), yaitu: a. Tipe I, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat (central vascular strand) yang hanya didukung oleh jaringan selubung sklerenkim dan ruang interseluler. b. Tipe II, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat yang hanya didukung oleh jaringan seperti selubung sklerenkim dan selubung ruang interseluler yang lebih besar dari ketiga tipe lainnya.
8
c. Tipe III, ikatan pembuluh terdiri atas dua bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan satu ikatan serabut. Ikatan serabut terletak di sebelah dalam ikatan vaskular pusat. Selubung ruang interseluler umumnya lebih kecil dari yang lain. d. Tipe IV, ikatan pembuluh terdiri atas tiga bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan dua ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam dan luar dari ikatan vaskular pusat.
a
b
c
d
Gambar 2 Tipe ikatan pembuluh pada bambu, a = Tipe I, b = Tipe II, c = Tipe III, dan d = Tipe IV. Sumber: Liese dan Groser (1973) diacu dalam Setiadi (2009). 2.6 Sifat Fisis Kayu Bambu Menurut Frick (2004) diacu dalam Bachtiar (2008), sifat fisis dan mekanis bambu tergantung pada jenis, tempat tumbuh, umur, waktu penebangan, kelembaban udara (kadar air kesetimbangan), dan bagian bambu yang diteliti (pangkal, tengah, atau ujung serta bagian dalam atau bagian tepi/luar). 2.6.1
Kadar Air Menurut Haygreen dan Bowyer (1993) kadar air bambu adalah berat air
yang dinyatakan sebagai persen berat kayu bebas air atau kering tanur (BKT). Air
9
dalam bahan berkayu terdapat pada dinding sel berupa air terikat dan lumen sel berupa air bebas. Kadar air batang bambu merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis. Kadar air batang bambu segar berkisar 50-99% dan pada bambu muda 80-150%, sementara pada bambu kering bervariasi antara 12-18 % (Dransfield dan Widjaja 1995). 2.6.2
Berat Jenis (BJ) dan Kerapatan Menurut Brown et al.
(1949) diacu dalam Pandit (2002), berat jenis
merupakan nilai perbandingan antara kerapatan kayu terhadap kerapatan benda standar. Sedangkan kerapatan adalah perbandingan massa atau berat benda terhadap volumenya (IAWA 2008). Berat kayu meliputi berat kayu sendiri, berat zat ekstraktif, berat air yang konstan, sedangkan jumlah airnya berubah-ubah. Semakin tinggi berat jenis dan kerapatan, semakin kuat bahan berkayu tersebut (Mardikanto et al. 2011). Hasil pengukuran BJ bambu menunjukkan BJ bambu pada tiap ruas bertambah besar dengan bertambahnya ketinggian ruas batang, kemudian nilainya konstan (Subiyanto et al. 1994). Menurut Brown (1952) diacu dalam Ganie (2008) pada dasarnya sifat-sifat fisik kayu ditentukan oleh faktor-faktor yang inheren pada struktur kayu. Faktor-faktor tersebut antara lain: a.
Banyaknya zat dinding sel yang ada pada sepotong kayu.
b.
Susunan serta arah mikrofibril dalam sel-sel dan jaringan-jaringan.
c.
Susunan kimia zat dinding sel.
2.6.3
Penyusutan dan Pengembangan Dimensi Menurut Prawiroatmodjo (1976) diacu dalam Ganie (2008), perubahan
dimensi
bambu tidak sama dari ketiga arah stuktur radial, tangensial, dan
longitudinal sehingga bambu bersifat anisotropis. Kedua jenis perubahan dimensi mempunyai arti yang sama penting, tetapi berdasarkan pengalaman praktis yang lebih sering menggunakan bambu dalam keadaan basah, maka pengerutan bambu menjadi perhatian yang lebih besar dibanding pengembangannya. Angka pengerutan total untuk kayu atau bambu normal berkisar antara 4,5% - 14% dalam arah radial, 2,1% - 8,5% dalam arah tangensial dan 0,1% - 0,2% dalam arah longitudinal.
10
2.7 Sifat Mekanis Sifat mekanis adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk menahan gaya yang datang dari luar yang biasa disebut gaya luar atau beban. Sifat-sifat mekanis tersebut meliputi kekuatan kekuatan tarik, kekuatan tekan, kekuatan geser, kekuatan lentur, sifat kekakuan, sifat keuletan, sifat kekerasan dan sifat ketahan belah (Mardikanto et al. 2011). Sifat-sifat mekanis bambu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain jenis bambu, umur, kelembaban (KA kesetimbangan), bagian buluh bambu (pangkal, tengah, dan ujung), serta letak dan jarak ruas. Bambu yang dapat digunakan bahan banguan adalah bambu dengan KA 12% (Frick 2004). Tabel 1 Sifat fisis dan mekanis bambu Jenis Bambu Betung Kuning Tali 1 Berat Jenis 0,61 0,52 0,65 2 Penyusutan Volume (%) Basah-KU 10,62 11,29 12,45 KU-KT 4,99 4,74 4,60 Penyusutan tebal (%) Basah-KU 6,02 4,31 5,83 KU-KT 4,30 5,47 5,32 Penyusutan lebar (%) Basah-KU 4,81 3,19 6,30 KU-KT 4,83 4,19 3,60 3 MOR (kgf/cm2) 1638 1148 -*) 2 4 MOE (kgf/cm ) 131192 76205 -*) 2 5 Tekan // (kgf/cm ) 605 455 -*) 2 6 Tarik // (kgf/cm ) 2127 1322 2004 Sumber: Syafi’i (1984) diacu dalam Surjokusumo dan Nugroho (1994) No.
Sifat yang diuji
Catatan: *) tidak dapat dibuat spesimen percobaan karena dinding bambu tali terlalu tipis
Berdasarkan sifat fisis dan mekanis bambu pada Tabel 1, bila dibandingkan dengan kelas kuat kayu pada Tabel 2 yang dikeluarkan PKKI (1961), maka bambu betung, bambu kuning, dan bambu tali termasuk pada kelas kuat II. Namun kekuatan MOR bambu betung mampu mencapai kelas kuat I. Tabel 2 Kelas kuat kayu berdasarkan berat jenis, kekuatan lentur, dan kekuatan tekan
Kelas Berat Jenis Kuat Kering Udara I ≥ 0,90 II 0,90 – 0,60 III 0,60 – 0,40 IV 0,40 – 0,30 V ≤ 0,30 Sumber : PKKI 1961
Kukuh Lentur Mutlak (kgf/ cm2) ≥ 1100 1100 – 725 725 – 500 500 – 360 ≤ 360
Kukuh Tekan Mutlak (kgf/ cm2) ≥ 650 650 – 425 425 – 300 300 – 215 ≤ 215
11
2.7.1
Modulus of Elasticity (MOE) dan Modulus of Rupture (MOR) Menurut Haygreen dan Bowyer (1993) kekakuan atau Modulus of
Elasticity (MOE) adalah suatu nilai yang konstan dan merupakan perbandingan antara tegangan dan regangan dibawah batas proporsi. Tegangan didefinisikan sebagai distribusi gaya per unit luas, sedangkan renggangan adalah perubahan panjang per unit panjang bahan. Modulus elastisitas (MOE) berkaitan dengan regangan, defleksi, dan perubahan bentuk. Besarnya defleksi dipengaruhi oleh besar dan lokasi pembebanan, panjang, dan ukuran balok serta MOE kayu itu sendiri. Makin tinggi MOE akan semakin kurang defleksi balok atau gelagar dengan ukuran tertentu pada beban tertentu dan semakin tahan terhadap perubahan bentuk. Sedangkan kekuatan lentur patah atau Modulus of Rupture (MOR) hasil dari beban maksimum dalam uji lentur. Modulus of Rupture (MOR) dihitung dari beban maksimum (beban pada saat patah) dalam uji keteguhan lentur dengan menggunakan pengujian yang sama untuk MOE (Haygreen dan Bowyer 1993). Jansen (1990) diacu dalam Dransfield dan Widjaja (1995) memaparkan semua nilai sifat-sifat kekuatan bambu meningkat seiring dengan menurunnya kadar air dan berkolerasi positif dengan berat jenis. MOE bambu berhubungan secara langsung dengan jumlah serat. Oleh karena itu pada batang, nilai parameter ini menurun dari sisi luar menuju bagian dalam. Kisaran normal untuk bambu kering udara adalah 170.000-200.000 kgf/cm2 dan untuk batang segar 90.000100.100 kgf/cm2. Nilai rata-rata MOR adalah 0,14 x kerapatan (dalam kg/m3) untuk kondisi kering udara (KA 12%) dan 0,11 x kerapatan untuk bambu basah. 2.7.2
Kekuatan Tekan Sejajar Serat Keteguhan tekan batang bambu berbeda-beda pada bagian buku dan
bagian ruas. Kekuatan tekan bambu pada ruas lebih besar 8-45% daripada bagian buku (Frick 2004). Bagian ruas memiliki kekuatan tekan dipengaruhi oleh persentase sel-sel skelenkrim, kadar air, dan posisi dalam batang. Sedangkan keteguhan lenturnya dipengaruhi oleh dalamnya batang dan keberadaan buku (Janssen 1980 diacu dalam Haris 2008).
12
2.7.3
Kekuatan Tarik Sejajar Serat Kekuatan tarik serat bambu yaitu suatu ukuran kekuatan bambu dalam hal
kemampuannya untuk menahan gaya-gaya yang cederung menyebabkan bambu itu terlepas satu sama lain. Mardikanto et al. (2011), menyatakan bahwa keteguhan tarik adalah kemampuan benda untuk menahan beban tarik. Besarnya kekuatan tergantung sifat kohesi benda tersebut. Ada 2 macam pengujian yang dilakukan yaitu tarik tegak lurus serat dan tarik sejajar serat. Keteguhan tarik dipengaruhi ukuran /dimensi bambu, kekuatan serat, dan susunan serat. Kekuatan tarik pada bagian ujung bambu lebih kuat 12% daripada bagian pangkal (Frick 2004). 2.7.4
Keteguhan Geser Sejajar Serat Kekuatan geser adalah ukuran kemampuan suatu bahan untuk menahan
gaya yang cenderung untuk menggeser satu bagian dengan bagian yang lain pada bahan yang sama (Mardikanto et al. 2011). Kekuatan geser dipengaruhi oleh tebalnya dinding batang bambu dan posisi ruas (internode) atau buku (node). Kekuatan geser pada dinding bambu 10 mm menjadi 11% lebih rendah dari pada dinding bambu setebal 6 mm, serta bagian ruas memiliki kekuatan geser lebih besar 50% daripada bagian buku (Frick 2004).