BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. BANGUNAN CAGAR BUDAYA 1. Pengertian Bangunan Cagar Budaya Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap1. Tolak ukur dari kriteria BCB yaitu: a. Umur, minimal 50 tahun b. Nilai sejarah, peristiwa perubahan, nilai perjuangan/pengurbanan, ketokohan, politik, sosial, budaya dalam skala nasional, wilayah, dan daerah c. Nilai estiteka, aspek rancangan arsitektur yang menggambarkan suatu zaman dan gaya/langgam tertentu d. Kejamakan, mewakili kelas atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan e. Kelangkaan, jumlah BCB terbatas baik jenis maupun fungsinya, atau hanya satu-satunya di kawasan tertentu f. Memperkuat kawasan, berkenaan dengan bangunan dan/atau bagian kota karena potensi dan/atu keberadaannya dapat mempoengaruhi serta saangat bermakna untuk meningkatkan kualitas dan citra kawasan di sekitarnya g. Keaslian, berkenaan dengan tingkat perubahan dari BCB baik dari aspek struktur, material, tampang (fasade) bangunan maupun sarana dan prasarana kawasannya.
1
UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Tinjauan Pustaka | II.1
2. Zonasi Cagar Budaya Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan. a. Zona Inti (Protection Zone) Zona Inti (Protection Zone) adalah kawasan atau area yang dibutuhkan untuk pelindungan langsung bagi suatu Cagar Budaya untuk menjamin kelestarian cagar budaya. b. Zona Penyangga (Buffer Zone) Zona Penyangga (Buffer Zone) adalah suatu kawasan/ruang tambahan yang melingkupi Cagar Budaya yang diatur dengan peraturan tambahan, baik berupa larangan adat maupun hukum formal, dalam rangka memperkuat upaya pelindungan terhadap Cagar Budaya terebut. c. Zona Pengembangan (Development Zone) Zona Pengembangan (Development Zone) adalah suatu kawasan atau area yang berada tidak jauh dari tempat keberadaan Cagar Budaya dan ditentukan secara khusus sebagai tempat untuk pengembangan Cagar Budaya atau untuk pembangunan umumnya yang terkendali. d. Zona penunjang (Supporting Zone) Zona penunjang (Supporting Zone) adalah suatu kawasan atau area di dekat tempat keberadaan Cagar Budaya yang diperuntukan bagi pendirian fasilitas penunjang aktivitas pelestarian situs. 3. Pelestarian Cagar Budaya Pelestarian
adalah
upaya
dinamis
untuk
mempertahankan
keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Ruang lingkup pelestarian bangunan cagar budaya yaitu perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan2
2
Pergub DI Yogyakarta No. 62 Tahun 2013 Tentang Pelestarian Cagar Budaya
Tinjauan Pustaka | II.2
Pelestarian Cagar Budaya memiliki tujuan3: a. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; b. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui cagar budaya; c. Memperkuat kepribadian bangsa; d. Meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan e. Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional. Dalam pelestarian bangunan cagar budaya, hal hal yang harus dipertimbangkan yaitu: a. Peringkat (nasional, provinsi, kabupaten/kota) dan golongan (I, II, III); b. Keaslian bangunan (bentuk corak/tipe/langgam arsitektur, bahan, tata letak, struktur, teknik pengerjaan); c. Kondisi bangunan (utuh, rusak, fragmental); d. Kepemilikan (setiap orang, dan pemerintah); e. Kesesuaian dengan lingkungan; f. Lokasi keberadaan bangunan; g. Jenis; dan h. Jumlah. 4. Pengembangan Cagar Budaya Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui Penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian4 a. Penelitian Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan
3 4
UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pergub DI Yogyakarta No. 62 Tahun 2013 Tentang Pelestarian Cagar Budaya
Tinjauan Pustaka | II.3
keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangann kebudayaan. b. Revitalisasi Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya dengan penyesuaian fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Dalam revitalisasi terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan lanskap budaya asli dari Cagar Budaya. Revitalisasi situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya dilakukan dengan :
Menata kembali fungsi ruang;
Meningkatkan nilai budaya;
Menguatkan kualitas informasi;
Memperhatikan ciri budaya lokal
c. Adaptasi Adaptasi adalah upaya pengembangan Cagar Budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting. Adaptasi harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian dengan tetap mempertahankan :
Ciri asli fasad bangunan atau struktur dari segala sisi; dan
Ciri asli lanskap tempat bangunan atau struktur berada apabila bangunan berada pada situs cagar budaya atau kawasan cagar budaya.
Selain itu adaptasi dapat dilakukan dengan cara:
Menambah fasilitas, sarana dan prasarana secara terbatas sesuai dengan kebutuhan;
Mengubah susunan ruang dalam secara terbatas.
Tinjauan Pustaka | II.4
B. TINJAUAN UMUM STASIUN 1. Pengertian Stasiun Kereta Api Stasiun kereta api secara umum merupakan fasilitas tempat pemberhentian, keberangkatan, menaikkan dan menurunkan penumpang / barang serta operasional kereta. Sedangkan kereta api merupakan sarana transportasi berupa kendaraan dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya yang akan ataupun bergerak di rel yang juga berfungsi sebagai alat angkutan umum untuk penumpang dan barang5. Menurut Griffin, 2004 desain sebuah stasiun yang baik haruslah menarik, aman, sekaligus teratur. Ruang publik dan ruang privat harus terorganisir dengan baik untuk menciptakan lingkungan yang mengundang aktivitas di pedestrian dan elemn-elemen desain harus diatur sedemikian rupa untuk menguatkan kenyamanan dan keamanan area tersebut. Dari kaidah-kaidah tersebut diwujudkan dengan olah benuk peruangan dan massa bangunan, yang dimana dapat mempermudah akses bagi seluruh lapisan masyarakat. 2. Fungsi Kereta Api Fungsi kereta api sebagai sarana transportasi: 6 a. Alat angkutan umum untuk penumpang dan barang. b. Angkutan khusus bagi pekerja dan bahan keperluan pemeliharaan jalan kereta api. c. Sebagai penghubung suatu tempat dengan tempat lainnya yang sulit dijangkau oleh sarana/alat transportasi lain. d. Secara tidak langsung memperlancar dan meningkatkan arus lalu lintas penumpang, barang, dan informasi dari suatu tempat. 3. Klasifikasi Stasiun Kereta Api Menurut besarnya, stasiun dibagi menjadi : a. Stasiun Kecil 5 6
Menurut peraturan Menteri Perhubungan No. 33 Tahun 2011. Menurut peraturan Menteri Perhubungan No. 33 Tahun 2011.
Tinjauan Pustaka | II.5
Merupakan stasiun pemberhentian atau halte dengan fasilitas minim yang hanya dilengkapi bangsal penumpang/shelter. Biasanya stasiun ini hanya melayani penumpang lokal, sedangkan untuk kereta cepat biasanya tidak berhenti b. Stasiun Sedang Merupakan stasiun yang disinggahi kereta cepat dan letaknya berada di tempat-tempat yang penting di sebuah kota kecil. c. Stasiun Besar Merupakan stasiun kereta dengan fasilitas lengkap dan disinggahi kereta pengangkuan penumpang dan barang dan biasanya terdapat di kota-kota besar. Menurut tujuan stasiun, berdasarkan Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun Kereta Api PM No. 29 Tahun 2011 Menteri Perhubungan, jenis stasiun terdiri dari: a. Stasiun Penumpang Merupakan stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang. b. Stasiun Barang Merupakan stasiun kereta api untuk keperluan bongkar muat barang. c. Stasiun Operasi Merupakan stasiun kereta api untuk menunjang pengoperasian kereta api. Menurut letaknya stasiun dibedakan menjadi : a. Stasiun Akhir/Terminal Merupakan tempat dimana kereta memulai atau mengakhiri perjalanan dan biasanya pada kawasan stasiun ini terdapatfasilitas depo atau tempat perbaikan kereta. b. Stasiun Antara Merupakan stasiun dimana kereta berhenti hanya sesaat kemudian berjalan kembali setelah menaikkan dan menurunkan penumpang. c. Stasiun Hubungan/Peralihan (Interchange Station)
Tinjauan Pustaka | II.6
Merupakan kombinasi dari stasiun antara (dipandang terhadap jalur kereta utama) dari stasiun akhir (untuk jalur kereta sisi). d. Stasiun Persilangan (Crossing Station) Merupakan stasiun yang ditempatkan dari pengarahan kereta api yang menerus. Menurut bentuknya, stasiun terbagi menjadi: a. Stasiun Kepala Bangunan utama stasiun ini di letakkan menyiku dengan jalur kereta dimana kereta berakhir pada stasiun tersebut atau biasa disebut stasiun akhir atau stasiun buntu. Contohnya: Stasiun Kota, Jakarta. b. Stasiun Sejajar/Terusan Bangun utama dari stasiun ini sejajar dengan jalur kereta menerus dan letaknya diantara dua stasiun lain. c. Stasiun Pulau Stasiun ini terletak di tengah-tengah diantara dua jalur kereta dan bangunan utama stasiun sejajar dengan jalur kereta. d. Stasiun Jazirah Merupakan stasiun yang terletak di sudut antara dua jalur kereta yang membelok Menurut letak kontruksi bangunan, berdasarkan UU No. 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian, stasiun kereta api dibedakan menjadi: a. Stasiun di Permukaan Tanah (Ground Level Station) Stasiun ini dibangun pada permukaan tanah setingkat dengan rel kereta. b. Stasiun di Atas Jalur Kereta (Over Track Station) Stasiun ini di bangun diatas permukaan tanah dengan jalur kereta dibawahnya. c. Stasiun di Bawah Jalur Kereta Stasiun yang dibangun dibawah jalur kereta sehingga jalur relnya berupa jalan layang
Tinjauan Pustaka | II.7
Dilihat dari segi fasilitas yang dimiliki oleh stasiun sebagai stasiun penumpang, maka stasiun terdiri dari tiga macam: a. Stasiun jarak dekat / comuter Merupakan stasiun yang melayani perjalanan pulang pergi dan jarak dekat dalam kota. Fasilitas yang dimiliki cukup sederhana serta pelayanan penumpang diberikan secara cepat mengingat frekuensi perjalanan pulang pergi yang cukup tinggi. Headway 2 menit, 5 menit dan 15 menit. b. Stasiun jarak sedang/medium distance station Merupakan stasiun yang melayani jarak sedang di sekitar luar kora, yang menghubungkanpusat kota dengan wilayah – wilayah sub kota, yang menghubungkan pusat kota dengan sub urban. Fasilitas yang dimiliki lebih lengkap serta ruang tunggu penumpang yang lebih banyak, mengingat frekuensi perjalanan kereta yang lebih rendah. c. Stasiun jarak jauh/Long distance station Merupakan stasiun yang melayani perjalanan jarak jauh antar kota / negara. Fasilitasnya lengkap termasuk bongkar muat barang dan gudang serta ruang tidur. 4. Kegiatan Pada Stasiun Kegiatan di stasiun kereta api meliputi kegiatan pokok, kegiatan usaha penunjang, dan kegiatan jasa pelayanan khusus.7 a. Kegiatan pokok Kegiatan pokok di stasiun meliputi: Melakukan pengaturan perjalanan kereta api; Memberikan pelayanan kepada pengguna jasa kereta api; Menjaga keamanan dan ketertiban; dan Menjaga kebersihan lingkungan. b. Kegiatan usaha penunjang
7
Menurut peraturan Menteri Perhubungan No. 33 Tahun 2011, Pasal 9.
Tinjauan Pustaka | II.8
Kegiatan usaha penunjang penyelenggaraan stasiun dilakukan untuk mendukung penyelenggaraan perkeretaapian. Kegiatan usaha penunjang dapat dilakukan oleh pihak lain dengan persetujuan penyelenggara prasarana perkeretaapian. Kegiatan usaha penunjang di stasiun dapat dilakukan oleh penyelenggara prasarana perkeretaapian dengan ketentuan: Tidak mengganggu pergerakan kereta api; Tidak mengganggu pergerakan penumpang dan/atau barang; Menjaga ketertiban dan keamanan; dan Menjaga kebersihan lingkungan. Penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam melaksanakan kegiatan usaha penunjang harus mengutamakan pemanfaatan ruang untuk keperluan kegiatan pokok stasiun. c. Kegiatan jasa pelayanan khusus Kegiatan jasa pelayanan khusus di stasiun dapat dilakukan oleh pihak lain dengan persetujuan penyelenggara prasarana perkeretaapian yang berupa jasa pelayanan: ruang tunggu penumpang; bongkar muat barang; pergudangan; parkir kendaraan; dan/atau penitipan barang. 5. Fasilitas Stasiun Kereta Api Menurut Honing (1981), secara umum sebuah stasiun memerlukan fasilitas sebagai berikut: a. Bangunan Utama Stasiun Merupakan bangunan tempat terjadinya kegiatan pelaku stasiun, yaitu pengguna kereta dan pengelola yang didalamnya terdapat fasilitas sebagai berikut:
Tinjauan Pustaka | II.9
Fasilitas Sirkulasi Penghubung area muka stasiun dengan peron berupa selasar, peyebrangan dan lain-lain.
Fasilitas Pelayanan Penumpang Berupa loket penjualan tiket, bagian informasi dan jasa logistik.
Fasilitas Administrasi Berupa ruang kepala stasiun dan administrasi, dan para pengella stasiun.
Fasilitas Penunjang Berupa ruang tunggu, cafe, toilet, mushola dan sebagainya.
b. Area Muka Stasiun Area muka stasiun merupakan tempat titik kontak antara transportasi kereta api dengan transportasi jalan raya. Pada area ini terdapat fasilitas seperti pedestrian untuk pejalan kaki, perkir kendaraan, halte bis dan angkutan umum lainnya. c. Bangsal Penumpang Merupakan
ruang tunggu
penumpang ang
berada pada
area
peron/platform keika menunggu kedatangan kereta. d. Emplasemen Merupakan ruang yang terdiri dari kumpulan jalur kereta dan peron/platform berupa perkerasan tempat menaikkan dan menurunkan penumpang, bongkar muar barang serta ruang tunggu penumpang sebelum kedatang kereta. Emplasemen terdiri dari berbagai tipe, yaitu:
Tipe Paralel -
Jalur kereta sejajar dengan bangunan utama stasiun sehingga kereta meelintasi seluruh peron/platform.
Peron/platform terletak diantara jalur kereta.
Tipe Akhir/Buntu -
Jalur kereta berakhir pada peron/platform yang letaknya melintang di satu sisi.
-
Pengakhiran jalur kereta pada kedua bagian peron.
e. Jalur Penghubung Sirkulasi
Tinjauan Pustaka | II.10
Merupakan jalur yang menghubungkan bangunan utama stasiun dengan peron. Bentuk jalur penghubung ini bisa di atas rel berupa jembatan maupun di bawah rel berupa lorong bawah tanah. f. Jalur Kereta Api Jalur kereta sendiri disebut sepur atau rel baja. Lebar sepur menentukan batas kecepatan maksimum dimana kereta api dapat berjalan dengan aman. Dalam
persyaratan
teknis
berdasarkan
Peraturan
Menteri
Perhubungan No. 29 tahun 2011 tentang persyaratan teknis bangunan stasiun kereta api, bangunan stasiun harus terdiri dari fasilitas berikut: Persyaratan Ruang Hall Gedung Perkantoran Kegiatan Stasiun Kegiatan Loket Karcis Pokok Ruang Tunggu dan Peron Ruang Informasi Ruang Fasilitas Umum Ruang Fasilitas Keselamatan Ruang Fasilitas Keamanan Ruang Fasilitas Penyandang Cacat dan Lansia Ruang Fasilitas Kesehatan Pertokoan Gedung Restoran Kegiatan Penunjang Perkantoran Perparkiran Perhotelan Ruang lain yang menunjang kegiatan Stasiun Kereta Api Bengkel Muat Barang Gedung Pergudangan Kegiatan Parkir Kendaraan Jasa Pelayanan Penitipan barang Ruang lain yang menunjang kegiatan Stasiun Kereta Api Khusus Tinggi Peron Peron Tinggi (1000mm) Peron Sedang (430mm) Peron Rendah (180mm) Semua diukur dari kepala rel Jarak tepi peron ke as jalan rel Peron Tinggi (1600mm rel lurus dan 1650mm rel lengkung) Peron Sedang (1350m) Peron Rendah (1200mm)
Tinjauan Pustaka | II.11
Panjang peron sesuai dengan panjang rangkaian kereta api penumpang yang beroperasi Formula perhitungan lebar peron: b = 0,64m2/orang x V x LF/I keterangan: b = lebar peron V= jumlah penumpang pada saat peak hour dalam setahun LF = Load Factor (80%) I = Panjang peron (m) Lantai peron tidak menggunakan material yang licin. Peron sekurang – kurang nya dilengkapi dengan: Lampu Papan Penunjuk Jalur Papan Penunjuk Arah Batas Aman Peron Tabel. 2.1 Persyaratan Ruang Sumber. PM Perhubungan No. 29 tahun 2011
Dibawah tekanan komersial, stasiun menjadi objek dengan karakteristik yang tidak hanya melayani area transit mobilitas publik. Stasiun juga dapat menjadi area perbelanjaan, lokasi menarik menarik untuk turis- turis dan titik tujuan terlepas dari kebutuhan untuk melakukan perjalanan. Stasiun juga menjadi gerbang masuk atau keluar dari kota atau daerah tersebut. Stasiun tidak diletakkan ditepi kota, tidak boleh juga terisolasi dengan parkiran, antrian taksi ataupun area servis, tetapi berupa struktur yang berdiri di jalan dan membentuk visual yang kontinu dengan perumahan, pertokoan dan perkantoran. Kualitas utama yang harus disediakan oleh stasiun adalah kejelasan akan orientasi. Terdapat 6 elemen yang harus ada dalam stasiun:
Jalur kereta api dan signal kereta api
Peron Stasiun
Area Sirkulasi
Area Penjualan Tiker dan Ruang Retail
Post and Parcel Areas
Halaman Stasiun
Tinjauan Pustaka | II.12
Berdasarkan PM Perhubungan No.29 tahun 2011, teknis pembangunan stasiun kereta api memiliki ketentuan sebagai berikut: a. Kontruksi, material, desain, ukuran dan kapasitas bangunan sesuai dengan standar kelayakan, keselamatan dan keamanan serta kenyamanan sehingga seluruh bangunan stasiun dapat berfungsi secara handal. b. Memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan gedung dari bahaya banjir, petir, listrik danbahaya kekuatan kontruksi. c. Instalasi pendukung gedung sesuai dengan peraturan perundangundangan tentang bangunan, mekanikal elektrikal dan pemipaan gedung yang berlaku. d. Menjamin bangunan dapat berfungsi secara optimal dari segi tata letak ruang gedung stasiun, sehingga pengoperasian sarana perkeretaapian dapat dilakukan. e. Gedung untuk kegiatan pokok dapat dihitung dengan formula sebagai berikut = 0,64m2/orang x V x LF.I
L
keterangan: L
= Luas Bangunan
V
= jumlah penumpang pada saat peak hour dalam setahun
LF
= Load Factor (80%)
I
= Panjang peron (m)
f. Memiliki komponen gedung meliputi
Gedung atau ruangan
Media informasi
Fasilitas umum (toilet, ruang ibadah, tempat sampah dsb)
Fasilitas keamanan
Fasilitas keselematan
Fasilitas penyandang cacat atau lansia
Fasilitas kesehatan
Tinjauan Pustaka | II.13
6. Kriteria Perencanaan Stasiun Kereta Api Stasiun kereta api harus dapat berperan dengan baik sebagai sebuah elemen kota dan memiliki keterkaitan dengan penggunanya. Fungsinya sebagai ruang publik mengharuskan stasiun dapat memberikan kebutuhankebutuhan penggunanya. Penumpang kereta api dapat dikelompokkan berdasarkan tujuan perjalannya, waktu tempuh perjalanan, harga tiket, kelompok umur, dan lain-lain. Sebuah stasiun merupaka satu aset yang terus ada, karena itu desainnya juga harus mengikuti perubahan generasi yang ada8. a. Lebih mudah diakses dan welcoming, lebih bernuansa publik daripada privat, lebih terbuka dan mudah terlihat. b. Stasiun terlihat lebih menarik baik dari segi desain, maupun public art yang ada. c. Membuat stasiun menjadi focal point bagi komunitas sekelilingnya dengan penambahan retail dan area komersial yang menarik. d. Ramah lingkungan, misalnya dengan penggunaan energi yang efisien, polusi rendah, dan lain-lain. Terdapat 4 kriteria yang harus dicapai oleh fasilitas pelayanan di stasiun9, yaitu: a. Concern for Context (memperhatikan lingkungan sekitar) b. Costumer-Friendly Connection (kemudahan akses oleh pengguna) c. Safety and Easy Use (aman dan mudah) d. Clarity of Circulation (sirkulasi yang jelas) Desain stasiun menurut Griffin (2004), desain keseluruhan stasiun harus memenuhi berikut ini: a. Mengembangkan ekspresi berdasarkan fungsi yang dikombinaasikan oleh bentukan yang sederhana. b. Mengembangkan ekspresi bentangan struktur.
8
Rahmatika Hadi, Nisa. 2002. Fasilitas Pada Stasiun Kereta Api di Jakarta (Studi Kasus: Stasiun Cikini dan Stasiun Gambir). Depok: Universitas Indonesia. 9 Griffin, Kenneth W. (2004). Transit Facilities. Jhon Wiley & Song, INC : New Jersey.
Tinjauan Pustaka | II.14
c. Menciptakan keseimbangan diantara konteks stasiun dan elemen keberlanjutan. d. Mengembangkan elemen-elemen keberlanjutan sebagai standard perencanaan, seperti modul struktur dan modular komponenkomponen yang mudah di aplikasikan. e. Menggunakan penerang alami dan ruang multivolume untuk menampung penumpang dan orientasi yang jelas. f. Menggunakan material yang tak lekang oleh waktu, seperti granite, bahan yang tahan lama dan mudah dalam perawatan. g. Integrasi ke semua sistem bangunan. h. Menghadirkan lingkungan dengan daya dukung akustik. i. Menghadirkan desain yang mendukung perawatan stasiun. j. Dapat mendukung ketahanan umur stasiun selama 100 tahun lamanya. 7. Pedoman Desain Fasilitas Stasiun Kereta Api a. Pertimbangan Site Stasiun
dimana
merupakan
fasilitas
publik
haruslah
mempertimbangkan bagaimana menghubungkan fasilitas stasiun dengan fasilitas di sekitarnya. Untuk trotoar bagi 2 orang berjalan dengan nyaman dibutuhkan minimal lebar 1,5 meter. Ruang tambahan harus disediakan untuk penyangga antara pedestrian dengan ruang jalan dan juga menyediakan ruang bagi signage, lampu jalan, lampu lalu lintas dan penghalang jalan lainnya.
Gambar 2.1 Potongan Sidewalk untuk pejalan kaki Sumber. Building Type Basic for Transit Fasilities
Tinjauan Pustaka | II.15
Koridor
pedestrian
didesain
untuk
mengakomodasi
penggunasepeda denganmimial lebar 3 meter. Danda pada pavement dapat diberikan untuk menghalangi tabrakan sirkulasi antara pengguna sepeda dengan pejalan kaki.
Gambar 2.2 Potongan Jalur Untuk Pejalan Kaki dan Pengendara Sepeda Sumber. Building Type Basic for Transit Fasilities
Untuk fasilitas pengguna mobil, melitupi kiss and ride, park and ride, dan area parkir. Fasilitas kiss and ride ditujukan untuk area parkir mobil dalam jangka waktu pendek, dilerakkan dekat dengan area pintu masuk stasiun. Fasilitas ini ditujukan untuk drop off penumpang dengan mobil. Fasilitas park and ride ditujukanuntuk pelaju yang mengendarai mobil menuju stasiun, biasanya fasiltas ini menyediakan parkir harian berbayar. Fasilitas ini harus diletakkan didekat pintu masuk stasiun namun lebih jauh dari halte bus, area drop off, dan fasilitas taksi. Pengguna fasilitas sepeda saat ini harus mulai diperhatikan, hal dapat
mereduksi
kemacetan
lalu
lintas,
mengurangi
polusi,
meningkatkan cakupan stasiun. Penyediaan fasilitas ini berupa rak sepeda dan loker. Keduanya dapat diletakkan didekat pintu masuk, terhindar dari cuaca jika memungkinkan. b. Pintu Masuk Stasiun Pintu masuk merupakan penghubung stasiun dengan kota dan jalan disekitarnya. Pintu masuk stasiun harus menyediakan akses yang mudah bagi penumpang dan sesuai dengan konteks urban sekitarnya. Ketentuan peletakan pintu masuk stasiun adalah sebagai berikut:
Tinjauan Pustaka | II.16
Diletakkan jauh dari jalur publik untuk menyediakan ruang bari sirkulasi pedestrian pada trotoar jalan.
Harus terlihat jelas dari luar stasiun dan dapat dengan mudah ditemukan diantara objek urban disekitarnya.
Diletakkan dimana dapat diakses dari fasilitas pedestrian disekitarnya.
Diletakkan pada area yang menyediakan kemudahan akses menuju moda transportasi lain.
Harus terlihat sebagai bagian dari stasiun dan mencerminkan karakter arsitektural sekitar.
Selain itu akses menuju sirkulasi vertikal stasiun harus dapat langsung terlihat dari pintu masuk stasiun, sebisa mungkin alur sirkulasi menuju kereta dapat terlihat langsung ketika penumpang melewati pintu masuk. Pertimbangan juga harus diperikan untuk pintu masuk ketika stasiun tidak beroperasi tidak ada ruang tidak terlihat yang dapat mengurangi keamanan bagi pengguna stasiun. Berikut kriteria dimensional pintu masuk stasiun:
Minimum ruang overhead dari lantai sampai lampu, elemen struktur atau signage adalah 2,5 meter untuk menghindari pengguna merusak atau menggapai elemen di overhead. Untuk minimum overhead sampai plafond adalah 10 meter dan sisanya digunakan untuk lighting, signage dan perlengkapan dibawah plafon.
Ruang yang cukup harus disediakan pada gerbang masuk untuk mengakomodasi antrian normal dan aktivitas meeting and greeting yang biasanya terjadi pada pintu masuk stasiun. Pada baguan eksterior dari pintu masuk stasiun harus disediakan ruang kurang lebih 3 meter untuk sirkulasi pedestrian.
Lebar gerbang masuk ditentukan dari perkiraan penumpang yang menggunakan pintu masuk. Biasanya lebar minimum gerbang adalah 2 – 3 meter. Tinjauan Pustaka | II.17
Perlindungan dari cuaca pada pintu masuk harus didesain untuk sesuai dengan kondisi cuaca setempat danfaktor spesifik site lainnya seperti iklim, angin, topografi ataupun struktur yang berdekatan. Hal ini demi menjamin kenyamanan, keselamatan dan keamanan dari penumpang yang menggunakan pintu masuk stasiun. Pertimbangan khusus juga diberikan utnuk tangga karena tiga hal diatas yang harus dicapai.
Biasanya pada pintu masuk terdapat mesin penjualan tiket otomatis, loket tiket, infomasi penumpang dan juga fasilitas servis pengguna.
c. Gerbang tiket. Mesin penjualan tiket dan gerbang tiket/masuk peron dapat diletekkan dimana saja diantara pintu masuk dan platform. Satu gerbang tiket dapat melayani penumpang masuk dalam jumlah banyak. Desain dari gerbang tiket harus meminamlisir arus bersebrangan dan pergerakan yang bersinggungan antara penumpang kedatangan dan keberangkatan. Berikut adalah kriteria dimensional dari area gerbang tiket.
Ruang antara stasiun dengan antrian masuk harus disediakan pada jarak mimimum kurang lebih 3,6 meter.hal ini memberikan jalur bagi penumpang menunggu di barisan, menghitung uan dan verifikasi pembelian pada loket stasiun.
Informasi penumpang harus diletakkan diluar arus dari penumpang antara pintu masuk dan gerbang tiket.
Area antrian sepanjang 2 -3 meter harus disediakan untuk area servis pelanggan dimana staff stasiun dapat berkomunikasi dengan pengguna.
Tinjauan Pustaka | II.18
Gambar 2.3 Contoh denah gerbang tiket otomatis Sumber. Building Type Basic for Transit Fasilities
d. Area Platform Area platform atau peron adalah area diman akses penumpang menuju kereta. Area ini harus menyediakan fasilitas sirkulasi penumpang dalam jumlah banyak. Panjang platform ditentukan dari panjang kerea yang digunakan ditambah panjang mimimal untuk operasional kereta, sebagai contoh 8 gerbong kereta dengan panjang 23 meter membutuhkan kurang lebih 180 m. lebar platform ditentukan oleh faktor – faktor berikut: a. Lebar dari elemen sirkulasi vertika yang diletakkan berada diantara panjang peron. Biasanya jarak bebas dari halangan dan dari tepi platform 0,6 meter tepi keselamatanplatform, jalur sirkulasi penumpang sepanjang platform, dan 0,3 meter buffer zone sepanjang halangan. Lebar minimum beragam pada jarak 2,5 meter.
Tinjauan Pustaka | II.19
Gambar 2.4 Potongan Tipikal Platform Sumber. Building Type Basic for Transit Fasilities
e. Elemen Sirkulasi Vertikal Elemen sirkulasi vertikal adalah perangkat untuk menfasilitasi sirkulasi penumpang antara perbedaan level pada stasiun. Elemen sirkulasi vertikal yaitu: 1. Tangga Publik Tangga publik ditujukan untuk sirkulasi normal penumpang. Berikut ketentuan mengenai tangga publik pada stasiun: a. Aplikasi tangga
Tangga harus digunakan sebgai perangkat utama dari sirkulasi vertikal ketika ketinggian antar lantai kurang dari 3,6 meter
Tangga tidak boleh digunakan sebagai akses normal publik ketika ketinggian antar lantai melebihi 10 meter
b. Lokasi tangga
Tangga harus diletakkan disepanjang jalur normal dan langsung dari sirkulasi penumpang. Dapat secara jelas terlihat dan dengan mudah didentifikasikan dari akses menuju terhubungnya tangga.
c. Lebar tangga
Tinjauan Pustaka | II.20
Setiap tangga harus didesain menggunakan lebar modular mengikuti aplikasi modul eskalator yang digunakan pada stasiun, mencakup instalasi, toleransi dandidesain untuk dapat diganti dengan eskalator di masa yang akan datang.
Ketika pengguna modul ekslator tidak memungkinkan, miimum lebar tangga adalah 1,5 meter atau ditentukan dari keinginan jumlah penumpang berdasarkan tingkat servis.
d. Ruang antrian Ruang antrian yang cukup harus disediakan pada bagian atas dan bawah tangga publik. Ketika tangga publik diletakkan bersebalahan dengan eskalator, ruang antrian harus bertepatan dengan
eskalator
terdekat.
Ketika
tangga
punlik
tidak
bersebelahan dengan eskalator, minimum ruang antrian yang harus disediakan sesuai dengan lebar tangga atau sebesar 2,4 meter.
Gambar 2.5 Rancangan Tangga dan Eskalator Sumber. Building Type Basic for Transit Fasilities
e. Minimum headroom Ruang minimum untuk headroom dibawah tangga harus tegak lurus
dengan
tapak
menghadap
plafon,
struktur
atau
penghalanglainnya sebesar 3 meter. f. Pertimbangan umum
Ketentuan harus dibuat untuk memfasilitasi perawatan dankebersihan dari tangga publik.
Ketika tangga publik bersebelahan dengan eskalator sudut dari tangga harus selurus dengan eskalator sebesar 30 derajat, atau dibawah eskalator. Jika dibawah eskalator bagian Tinjauan Pustaka | II.21
handrail tangga akan berada dibawah balustrade dari eskalator. Ketika ketinggian antara lantai mengharuskan adanya bordes lebih dari 1 pada tangga publik, dapat dimungkinkan
menaikkan
derajat
dari
tangga
dan
mensejajarkan dengan slope eskalator. 2. Eskalator a. Aplikasi Eskalator
Ketika ketinggian antara lantai pada sirkulasi penumpang mencapai 3,6 meter, eskalator harus digunakan sebagai elemen sirkulasi vertikal utama pada stasiun.
Direkomendasikan paling tidak satu jalur keluar vertikal dibantu dengan eskalator yang disediakan pada poin-poin di stasin untuk kemudahan penumpang dan membantu mobilitas penumpang dengan koper bawaan
b. Lokasi Eskalator
Eskalator harus diletakkan disepanjang jalur normal danlangsung dari seikulasi penumpang. Dapat secara jelas terlihat dan dengan mudah diidentifikasi dari akses menuju terhubungnya eskalator.
Jika memungkinkan, eskalator harus diletakkan bersebelahan dengan tangga publik untuk memfasilitasi pergerakan penumpang yang efisien
c. Lebar Eskalator
Semua eskalator harus memiliki 2 jalur penumpang dengan lebar 1,2 meter.
Eskalator harus direncanakan sebagai unit modular yang dapat diganti atau ditukar termasuk instalasi dan toleransi kontruksi untuk mengakomodasi perangkat eksternal
Tinjauan Pustaka | II.22
d. Ruang Antrian
Menyediakan minimum ruang antrian sebesar 9 meter diukur dari bagian atas dan bawah eskalator, bebas dari gangguan pada bagian atas dan bawah eskalator.
Ketika eskalator diletakkan berurutan dan tidak adaarus pedestrian
yang
memotong
atau
gangguan
lain
terhadappergerakanpenumpang, area ruang untuk antrian dapat berkurang 25%.
Lebar dari ruang antrian harus berkorepodensi denganlebar modul eskalator.
Gambar 2.6 Area Antrian untuk Eskalator Sumber. Building Type Basic for Transit Fasilities
e. Minimum Headroom Ruang minimum untuk headroom dibawah tangga harus diukur tegak lurus dengan tapakmenghadap plafon, struktur atau penghalang lainnya sebesar 3 meter. f. Pertimbangan Umum Pertimbangan dibuat untuk perawatan dan penggantian eskalator dan perangkat lain dari eskalator ketika stasiun beroperasi. Eskalator harus direncanakan agar operasi rutin dan perawatan dapat dilakukan tanpa mengganggu stasiun yang beroperasi secara normal. 3. Elevator Publik Elevator pada sistem transit modern ditujukan untuk penggunaan publik yang menyediakan kualitas akan kenyamanan, kemudahan dan servis bagi penumpang. Elevator juga ditujukan untuk memudahkan mobilitas dari penumpang yang menggunakan koper. Tinjauan Pustaka | II.23
a. Aplikasi
Minimum dua unit elevator harus disediakan untuk menghubungkan antara ointu masuk dengan area gerbang tiket otomatis ketika kedua ruang itu berada pada level yang berbeda. Elevator yang ada harus menghubungkan area pintu masuk dengan bagian free atau upaid concourse
Minimum dua unit elevator harus disediakan untuk menghubungkan antara gerbang tiket dengan peron
b. Lokasi Elevator
Elevator harus dengan mudah ditemukan bagi semua penumpang dan memfasilitasi akses untuk disable
Elevator harus diletakan untuk menyediakan kemudahan akses menuju pemberhentian bus dan moda transportasi lainnya.
Elevator harus diletakkan sedekat mungkin dengan elemen sirkulasi vertikal lainnya pada pintu masuk.
Elevator harus diletakkan disepanjang jalur normal dan langsung dari sikulasi penumpang. Dapat secara jelas terlihat dan dengan mudah diidentifikasi dengan tanda – tanda minimum. Elevator harus dapat terlihat oleh staff keamanan, staff stasun lainnya, dan perangkat keamanan stasiun lainnya.
Elevator harus disediakan untuk menyediakan akses langsung menuju jaringan pedestrian yang ada termasuk plazz, pintu masuk bangunan, jalur sirkulasi dan jalur penyebrangan. Peletakan elevator tidak bileh mengganggu pergerakan penumpang sepanjang jalur publik
Skala, material dan bentuk dari struktur elevator harus sesuai dengan konteks objek lingkungannya.
Tinjauan Pustaka | II.24
Jika memungkinkan, elevator diletakkan dalam stasiun untuk memfasilitasi orientasi dan pencarian jalan bagi penumpang.
c. Ukuran Pertimbangan harus diberikan untuk karakter ridership stasiun dalam menentukan ukuran elevator pada stasiun. Minimum ukuran elevator kedalaman 1,2 meter, lebar 2 meter dan lebar pintu 0,9 meter. Dengan ketentuan seperti ini angka minimum jarak dari dinding belakang dari elevator dengan pintu adalah 1,4 meter. d. Ruang antrian
Area antrian elevator harus berada pada angka minimum 1,5 kali dari kedalaman elevator atau sebesar 3 meter
Area antrian elevator tidak boleh mengganggu sirkulasi umum, memiliki ruang yang cukup dan tidak tersembunyi dari pandangan.
Area antrian elevator tidak boleh terbuka menuju ahar tepi peron stasiun
Area antrian tidak boleh bertumpuk dengan elemen antrian lainnya.
e. Pertimbangan umum
Pertimbangan dibuat untuk perawatan dan pergantian eskalator dan perangkat lain dari eskalator dan perangkat lain dari eskalator ketika stasiun beroperasi.
Gang yang menghubungkan elevator dengan mezzanine, concourse, koridor, lobby dan area sirkulasi publik lainny harus kurang dari 6 meter untuk menghindari koridor buntu
8. Sirkulasi Pengguna kereta memiliki urutan – urutan ketika memasuki stasiun, Masuk melewati area pengecekan tiket, menuju platform dan menaiki kereta. Permasalahan dari sebuah stasiun adalah untuk membuat hubingan yang jelas Tinjauan Pustaka | II.25
antara tiap bagian stasiun untuk memberikan hierarki pergerakan dengan arsitektur untuk memberikan teknologi yang baik. Elemen sirkulasi dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu10: a. Sirkulasi Eksternal Hubungan yang jelas dari masuk dan keluar stasiun adalah aspek pentik dari kepuasan pengguna rute menuju jalan pedestrian, akses menuju jalan raya, parkir mobil, pangkalan taksi terdekat, pemberhentian bis danlain-lain harus dapat jelas dilihat oleh pengguna. Idealnya area ini tertutup, dilengkapi penerangan yang baik, aman untuk digunakan. Papan penanda pada area luar dan map direksional juga sangat penting dengan ukuran, desain dan letak yang strategis. Secara arsitektural, pemberi tanda akses seperti pintu masuk harus diperthatikan seperti memberikan kanopi lebar diatas pintu masuk utama stasiun layout stasiun juga harus memastikan jalur utama sirkulasi tidak terhambat. Lebar dari sirkulasi harus sesuai dengan kebutuhan fungsi stasiun. Jalur pedestrian harus memiliki lebar tidak kurang dari 1,8 meter dan harus bebas dari benda yang mengganggu sirkulasi seperti tempat sampah. Sirkulasi eksternal pada jalur sirkulasi pedestrian, mobil, dan sepeda harus diletakkan pada zona yang berbeda. Pedestrian harus dapat dilihat dengan jelas dari jalan yang dilewati. Desain dari detail seperti pegangan tangga ram harus menggunakan material danwarna yang kontras sehingga memudahkan bagi disabilitas. Paving blok untuk pedestrian dan area parkir lebih baik menggunakan aspal, sedangkan untuk penghijauan variasi jenis pohon dengan rumpur lebih baik dari pada semak-semak. b. Sirkulasi Internal Ketika sudah berada di dalam stasiun, pengguna harus dapat menemukan jalan dari hall, tiket menuju kereta tanpa gangguan. Deretan antara 4 zona utama stasiun adalah akses pintu masuk, 10
Edwards, Brian. 1997. The Modern Station, New Approaches to Railway Architecture. E & FN Spon : London.
Tinjauan Pustaka | II.26
informasi dan tiket, aarea menunggu penumpang, platform kereta, keempatnya harus dapat dilihat dengan jelas. Pintu masuk harus didesain dengan lebih lebar dan luas agar pergerakan penumpang yang melewatinya lebih lancar, selain itu area tiket diletakkan lebih tinggi, kanopi platform didesain elegan daripada kebutuhan strukturnya. Sirkulasi di dalam stasiun harus memudahkan pergerakan, nyaman dan efisien. Kenyamanan bergantung dari tempat pernaungan yang ada. Sirkulasi internal juga harus terhindar dari halangan seperti troli, aktivitas servis bongkar muat. Selain menyediakan akses utama, terdapat ukuran tipikal untuk memudahkan akses disable di stasiun.
Menyediakan lift sebagai pelengkap akses tangga dan ramp
Memasang ramp
Menambah lebar sirkulasi dan pintu
Memberi perlakuan khusus pada lighting, khususnya pada pintu masuk dan tangga.
Menggunakan paving bertekstur untuk meninformasikan batas aman platform
Memasang tanda direksional dan peringatan
Menyediakan pegangan untuk tangga
Menyediakan akses khusus menuju meja tiket
Menyediakan toilet dan telepon khusus.
c. Ruang transisi Ruang transisi adalah komponen penting dari desain bangunan sebagai pembentuk area pintu masuk dan juga pergerakan di dalam bangunan. Terdapat 3 jenis ruang transisi yang dapat diidentifikasikan, area pintu masuk dan ruang lain dengan hubungan kuat menuju luar bangunan, sirkulasi internal antara ruang – ruang dan pemisah dari luar bangunan, suang semioccupied dengan fungsi cadangan yang bisa diasumsikan user akan berkumpul untuk jangka waktu yang lama. Proporsi area ini terhadap banguan adalah 25%, tetapi data lebih besar bila ruang atrium
Tinjauan Pustaka | II.27
diikutsertakan.
Fitur
yang
penting
dari
setiap
ruang
dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
Entrance Zones Zona ini secara khusus penting dalam mengubah ekspoektasi thermal, seperti pengalaman thermal pengguna, walaupun wakt untuk berhenti tidak begitu lama, ruang ini mengurangi kejutan karena perbedaan kondisi thermal dan memberikan waktu untuk adaptasi thermal. Ruang ini juga berkorepodensi pada penyesuaian psikologi berkaitan dengan perubahan antara keterbukaan eksterior dengan area indoor yang tertutup. Pada iklim tropis, terdapat kecenderungan kuat untuk memilih penggunaan energi berlebih pada pengatur suhu udara (AC) sebagai solusi untuk kenyamanan pada lingkungan dalam bangunan. Walaupun begitu terdapat studi yang menitikberatkan pada adaptasi terhadap lingkungan. Terdapat riset tentang perbedaan akan ventilasi alami dengan ruangan ber-AC pada iklim tropis. Pada pintu masuk stasiun menyediakan hubungan antara stasiun dan jalan lingkungannya dan desainnya haris mencerminkan kebutuhan berbeda antara keduanya. Pintu masuk harus menyediakan akses yang mudah untuk pengguna. Area ini harus memiliki akses langsung dan jelas menuju jalur pedestrian lingkungannya dan dapat terlihat dengan mudah diantara konteks lingkungan urban sekitarnya. Pintu masuk tidak boleh terkena dampak negative dari jalur pedestrian terdekat, aktivitas atau kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan stasiun. Perlu adanya perhatian khusus siring adanya dampak potensial dari penggunaan lahan pada akses stasiun dan berlaku sebaliknya.
Circulation Zone Zona ini mencakup sirkulasi internal penghubung antara ruang dan elemen – elemennya seperti tangga, ramp, elevator, escalator dan sirkulasi verikal lainnya. Desai stasiun harus menyediakan elemen
Tinjauan Pustaka | II.28
sirkulasi yang cukup untuk pergerakan yang aman dan nyaman bagi penumpang pada semua elemen sirkulasi, area servis dan meeting point tanpa mengganggu pergerakan penumpang lainnya.
Atrium environment Atrium ini menjadi tempat special pada desain arsitektur modern yang dapat ditemukan dimana – mana namun juga memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda – beda bergantung pada desain dan iklimnya. Walaupun istilah ini pada awalnya diasosiasikan pada zaman dahulu sebagai lapangan terbuka, pada bangunan modern atrium hampir selalu ditemukan sebagai ruangan tertutup dengan atap kaca. Terdapat beberapa hal yang menonjol pada atrium yaitu seperti meja resepsi, café, pusat informasi, danakses untuk fasilitas IT sebagai bagian atrium.
9. Peraturan Perkeretaapian Studi Kelayakan Lokasi Kereta Api Berdasarkan hasil studi kelayakan yang dibuat oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1985, terdapat kriteria lokasi sebuah stasiun kereta api, yaitu: a. Kriteria I, letak stasiun sedapat mungkin dekat dengan jalan raya sehingga fungsinya sangat efektif sebagai titik pertemuan antara sistem perkeretaapian dan transportasi lainnya. b. Kriteria II, letak stasiun mudah dijangkau leh penumpang yang berjalan kaki dan jarak tempuh pejalan kaki yang nyaman diperkirakan 0.5 sampai 1 km c. Sub Kriteria, letak stasiun dekat dengan daerah perdagangan dan perkantoran sehingga untuk masa datang daerah tersebut dapat terus berkembang sebagai lokal center dalam jangka panjang 10. Pengembangan Area Usaha Penunjang11 Area komersial merupakan aktivitas sekunder yang penting dalam sebuah stasiun, terdiri dari sekelompok retail atau toko-toko yang menyewa 11
Dikutip dari Skripsi yang berjudul Fasilitas Pada Stasiun Kereta Api di Jakarta oleh Nisa Rahmatika Hadi. Universitas Indonesia:2002.
Tinjauan Pustaka | II.29
stasiun. Keberadaannya penting bagi pemasukan stasiun lewat pembayaran sewa dan menjadikan stasiun memiliki fungsi lebih dan menarik bagi pengunjung. Ada kebutuhan untuk memaksimalkan pendapatan dari area komersial
disamping
mempertahankan
akses
yang
nyaman
untuk
bertransportasi. Area komersial tersebut harus berintegrasi dengan ruang publik pada stasiun. Salah satu pendekatan yang baik adalah dengan penggunaan atrium beberapa lantai yang dikelilingi pertokoan, dan salah satu lantainya digunakan sebagai peron. Area komersial ini sebenarnya juga dapat digunakan sebagai jaminan keamanan stasiun. Misalnya pada malam hari, stasiun cenderung sepi dan terlihat tidak aman, dengan keberadaan area komersial yang mungkin masih hidup hingga malam hari, stasiun akan terlihat atraktif dan aman. Tentunya area komersial yang dimaksud disini adalah area komerial yang terpelihara. Mengisi ruang yang terlihat kosong dengan area komersial adalah hal yang sangat diinginkan. Penggunaan yang tidak benar justru akan mengakibatkan ketidakteraturan atau kerusakan desain arsitektural. Bentuk-bentuk retail: a. Walk-in Units Merupakan unit-unit toko yang berukuran kecil sampai menengah, dimana pembeli dapat berjalan dengan bersirkulasi. Ukurannya sekitar 50 – 500 m2. b. Kiosk Kios membutuhkan ruang yang lebih kecil dibandingkan dengan walk-in units. Kios cenderung menyediakan pelayanan cepat seperti penjualan majalah atau makanan. Karena itu biasanya kios berintegrasi dengan ruang tunggu c. Trade Stands Berupa stand kecil yang menjual barang-barang seperti makanan, eskrim, atau aksesoris. Stand-stand ini lebih baik diletakkan pada batas ruang terbuka pada stasiun, bukan tersebar.
Tinjauan Pustaka | II.30
d. Vending Machine Mesin penjual barang-barang tertentu, mulai dari coklat, makanan kecil, minuman kaleng, dan sebagainya. Membutuhkan perawatan dan perhatian khusus supaya mesin tersebut tetap terjaga dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. e. Public Telephone f. Auto-teller Machine (ATM) C. TINJAUAN ARSITEKTUR KONTEKSTUAL 1. PRINSIP KONTEKSTUAL12 Pemikiran kontekstual merupakan sebuah konsep yang menekankan bahwa unsur lama harus dilihat untuk dipertimbangkan sebagai inspirasi dari unsur baru sehingga dapat membentuk sebuah kesatuan. Prinsip konteks secara umum adalah mudah dimengerti, diterima masyarakat karena tidak menimbulkan gejolak visual, namum cenderung membentuk kesan monoton secara visual. Kontekstualisme dalam arsitektur dan perancangan kota merupakan salah satu reaksi melawan prinsip – prinsip modernism. Kontekstualisme sering
disalah
artikan
sebagai
suatu
pola
pemikiran
yang
mempertimbangkan konteks sebagai unsur pendekatan desain baru. Sebernarnya kontekstualisme mempunyai arti yang lebih spesifik dari itu, sehhingga bias dikatakan bangunan kontekstual tidak berdiri sendiri yang bias berteriak “lihatlah aku!” (Bob Cowherd, 1993) Kontekstual adalah situasi yang tidak memungkinkan sebuah objek ada disuatu tempat tanpa mengindahkan objek - objek yang sudah ada di tempat itu terlebih dahulu. Perancangan kontekstual dengan demikian memusatkan perhatian terutama pada karakteristik objek – objek yang sudah ada itu ketimbang pada objek yang akan dibuat. Hal itu sejalan dengan katanya yaitu “konteks” yang berarti “semua yang mendahului hadirnya sesuatu”. (Budi Sukada, 1993) 12
Dikutip dari Skripsi yang berjudul Pasar Seni di Sangiran sebagai wadah pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan arsitektur kontekstual. UNS (2013)
Tinjauan Pustaka | II.31
Kontekstualisme oleh Wojciech Lesnikowski lebih disimpulkan sebagai minat dan tanggapan individu ketimbang aturan- aturan dan prinsip – prinsip yang bersifat universal. Ini berbeda dengan gerakan modernyang mewakili seperangkat dogma, daktik dan aturan – aturan yang universal dan jadilah hokum untuk standar praktek desain kalangan arsitek penganutnya. Dalam rancang kota, kontekstual memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya
adalah
kemampuannya
secara
potensial
meredam
lingkungan yang tidak dianggap atau liar. Kelemahannya adalah rancangan seolah – olah harus menerima keterikatan pada kondisi statis, bertentangan dengan produk – produk baru yang diinginkan yang lantas terpaksa dimanipulasi untuk menjaga selera keterkaitan (Robi Sularto Sastrowardoyo, 1993) Persoalan kontekstualisme untun Bren C. Brolin adalah bagaimana menyelaraskan formalism bangunan baru yang bersebelahan dengan bangunan lama atau lingkungan lama yang memiliki style arsitektur tertentu sehingga kontinuitas visual terjaga. Brolin mengakui bahwa kontras bangunan modern dan kuno bias merupakan sebuah harmoni, namun diingat bahwa bila terlalu banyak “Shock Effect” yang timbul sebagai akibat kontras, maka ektevitas yang dikehendaki akan menurun sehingga muncul chaos. Stuar Cohan dan Steven Hurt, yang mengaku memperkenalkan kontekstualisme menyatakan bahwa kontestualisme bermaksud memeluk spirit jiwa bangunan – bangunan tua dengan lingkungan yang bersejarah kedalam rancangan baru, bukan bentuknya. Dengan itu maka kontestualisme dapat memberi tempat sekaligus membuka persoalan dengan aliran/paham lain seperti environmentalisme, konservasionism, regionalism. Postmodernism, dsb. 2. KONSEP ARSITEKTUR KONTEKSTUAL Konsep
kontekstualisme
dalam
arsitektur
mempunyai
arti
merancang sesuai dengan konteks yaitu merancang bangunan dengan
Tinjauan Pustaka | II.32
menyediakan visualisasi yang cukup antara bangunan yang sudah ada dengan bangunan baru untuk menciptakan suatu efek yang menyatu. Rancangan
bangunan
baru
harus
mampu
memperkuat
dan
mengembangkan karakteristik dari penataan lingkungan, atau setidaknya mempertahankan pola yang sudah ada. Suatu bangunan harus mengikuti lambang dari lingkungannya agar dapat menyesuaikan diri dengan banguna lama dan memiliki kesatuandesain dengan bangunan lama tersebut dan memiliki karakteristik yang sama. Desain yang kontekstual merupakan alat pengembangan yang bermanfaat karena memungkinkan bangunan yang dimaksud untuk dapat dipertahankan dalam konteks yang baik. Arsitektur Kontekstual dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu: a. Kontras Kontras sangat berguna dalam menciptakan lingkungan urban yang hidup dan menarik, namun yang perlu diingat bahwa kontras dapat dianalogikan sebagai bumbu yang kuat dalam makanan yang harus dipakai dalam takaran secukupnya dan hati-hati. Kontras menjadi salah satu strategi desain yang paling berpengaruh bagi seorang perancang. Apabila diaplikasikan dengan baik dapat menjadi fokus dan citra aksen pada suatu area kota. Sebaliknya jika diaplikasikan dengan cara yang salah atau sembarangan, maka akan dapat merusak dan menimbulkan kekacauan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brent C. Brolin, bahwasanya kontras bangunan modern dan kuno bisa merupakan sebuah harmoni, namun ia mengingatkan bila terlalu banyak yang timbul sebagai akibat kontras, maka efektifitas yang dikehendaki akan menurun sehingga yang muncul adalah kekacauan. Prinsip teori dari konsep kontras yaitu:
Kontras dapat dicapai dengan banyak cara sesuai dengan tingkat intensitas, warna, tekstur, bentuk, gaya, stuktur dan bahan –bahan lain dalam bentuk yang ekstrim dengan keadaan sekitar.
Tinjauan Pustaka | II.33
ada banyak variasi dan situasi potensial tentang penggunaan kontras, keputusan melihatkan interaksi banyak factor yang dapat menimbulkan nilai estetis. Banyak anggapan bahwa konsep kontras merupakan bentuk
negatif dan bersifat merusak, tetapi hal tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasinya, bahwa konsep kontras harus disesuaikan dengan penempatan dan ukuran. b. Harmony Ada
kalanya
suatu
lingkungan
menuntut
keserasian/
keselarasan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga keselarasan dengan lingkungan yang sudah ada. Bangunan baru lebih menghargai dan memperhatikan bangunan sudah ada, kemudian bersama-sama dengan bangunan yang baru untuk menjaga dan melestarikan “tradisi” yang telah berlaku sejak dulu. Sehingga kehadiran satu bangunan baru lebih menunjang dari pada menyaingi karakter bangunan yang sudah ada walaupun terlihat dominan. Kontekstualisme dapat pula dianggap sebagai teknik mendesain yang dikembangkan untuk dapat memberikan jawaban khususnya atas kondisi – kondisi yang bersifat morfologis, tipologis, pragmatis menjadi bersifat pluralism dan fleksibel, serta bukan dogmatis rasional ataupun terlalu berorientasi kepada kaidah – kaidah yang terlalu universal. Prinsip dasar konsep harmoni
Optional Dalam situasi dimana bangunan berada di lingkungan yang bervariasi, sepertin halnya pada bangunan di pinggiran kota, penerapan
konteks
diperlukan
karena
masyarakat
lebih
mementingkan untuk melihat mereka sendiri yang teraplikasi dalam suatu bangunan.
Selective linkage (tautan selektif)
Tinjauan Pustaka | II.34
Dalam mencari karakter suatu bangunanbaru, harus dipikirkan tautan antara bangunan lama dengan bangunan baru seperti dalam pemilihan kontruksi, sehingga tidak menimbulkan bangunan yang justru merusak lingkungan kawasan
Moderate Conformance Menerapkan berbagai keanekaragaman gaya yang selaras dengan bangunan lama, sehingga dapat memperkuai hubungan desain
Rigorous Conformance Tetap mempertahankan bangunan seperti bangunan semula, dikaitkan dengan keberadaaan masyarakat yang bangga akan identitas
Replication Yaitu dengan tiruan bangunan yang serupa, hal ini dapat menimblkan citra negatif bagi kawasan lama.
3. UNSUR – UNSUR DALAM DESAIN KONTEKSTUAL13 Perancangan
bangunan
dengan
pendekatan
kontekstual
dapat
memperhatikan unsur-unsur perencanaan seperti berikut : a. Building silhouette b. Pengaturan jarak antar bangunan c. Jarak dari garis jalan d. Proporsi jendela, pintu keluar dan masuk. e. Penempatan Jalan masuk f. Permukaan material bangunan, finising dan tekstur g. Bayang – bayang skala yang terbentuk dan ragam hiasnya h. Gaya arsitektur i. Seni taman 4. MACAM PENDEKATAN ARSITEKTUR KONTEKSTUAL Pendekatan desain arsitektur yang kontekstual dapat dilakukan dengan berbagai aspek. Pendekatan kontekstualisme melalui komposisi. 13
Dikutip dari Skripsi yang berjudul Pasar Seni di Sangiran sebagai wadah pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan arsitektur kontekstual. UNS (2013)
Tinjauan Pustaka | II.35
Usaha teoritis kontekstual secara non-eklektis barangkali sudah dimulai dari tulisan Durand, abad 19, bahwa tujuan arsitektur bukan imitasi alam atau kepuasan artistik tetapi kenyamanan fungsional dan ekonomi (simetri, keteraturan, kesederhanaan). Dengan demikian komposisi atau disposisi menawarkan grid kontinyu yang tidak terdeferensiasi yang disuperimposed dengan sumbu untuk menyatukan elemen-elemen yang bertentangan. Style dapat ditambahkan kemudian setelah struktur terbentuk. (Style adalah ekspresi disain dari tipe yang terakumulasi dan dapat dikodifikasikan dalam sebuah sistem estetik. Tipe bangunan adalah hasil program-program arsitektur yang dirumuskan untuk mewadahi berbagai aktifitas manusia. Sehingga tipe ke belakang memiliki aspek program dan ke depan memiliki aspek style yang ketiganya merumus dalam pengertian tipologi. Relasi antar bangunan dipahami dari segi kawasan adalah urban fabric, dari segi metodologi adalah morfologi, dari segi profesi perancangan adalah urban design).
Pendekatan kontekstualisme melalui kelanggengan. Penggunaan unsur kelanggengan (the permanences) adalah upaya konservatif sekaligus sophisticated. Tipe dipandang sebagai obyek tunggal yang unik, sebuah metafora yang berhubungan dengan masa lampau saat manusia dikonfrontasikan dengan masalah arsitektur. Dengan demikian tipe memiliki penalaran dan diidentifikasikan dengan logika bentuk yang berhubungan dengan nalar dan penggunaan (program). Sehingga tipe bersifat alamiah dan mengekspresikan the permanence seperti rumah dan monumen; sesuatu yang konstan sepanjang sejarah.
Pendekatan kontekstualisme melalui struktur formal internal. Tipe bisa muncul sebagai akibat dari perbandingan dan overlapping dari ketentuan formal tertentu. Melalui bentuk dasar tersebut bangunanbangunan akan berhubungan satu sama lain secara selaras (kontekstual). Tipe dalam pengertian ini didefinisikan sebagai "struktur formal internal" bangunan atau deretan bangunan yang berperan sebagai generator kota dan akan menemukan elemen kota
Tinjauan Pustaka | II.36
dalam berbagai skala. Struktur formal ini bisa berarti karakter bentuk dalam geometri yang paling dalam seperti sentralitas, linieritas, klaster dan grid. Pendekatan ini pada masa gerakan neo-rationalism dengan Aldo Rossi sebagai hulubalangnya dapat secara gencar menyerang arsitektur modern. Di sini ditemukan relasi ilmiah antara morfologi urban dan tipologi bangunan. Kemudian lebih berkembang setelah dikombinasikan dengan analisa Wittkower tentang villa Palladian, Maurice Kulot, dan terutama Krier bersaudara yang mengembangkan berbagai riset tipologi-morfologi grafis arsitektural.
Pendekatan kontekstualisme melalui penjajaran reason dan memory. Kota adalah produk (hasil kerja) kolektif dan dirancang untuk (digunakan secara) kolektif. Aldo Rossi menyebut kota sebagai amalgam dari artefak formal produk dari berbagai individu; arsitek berlaku sebagai subyek kolektif. Logika bentuk arsitekturnya terletak pada definisi tipe berdasarkan juxtaposition of reason and memory. Kota adalah locus (komponen dari artefak individual, yang ditentukan oleh ruang, topografi, bentuk yang lama dan baru) dari memory kolektif. Dalam pengertian ini arsitektur menjadi locus solus (tempat dengan karakter unik). Sehingga arsitek agar mendapat proses disain yang
analogis,
melalui
memori,
mengimajinasikan
dan
merekonstruksi fantasi masa depan, digerakkan melalui potensi inventif dari perangkat tipe. Memori yang lebur dengan sejarah yang memberikan peluang bentuk tipe menjadi signifikan dalam disain proses yang baru.
Pendekatan kontekstualisme melalui type-image. Venturi mengajukan pemikiran bahwa tipe harus direduksi menjadi imajinasi - atau imajinasi adalah tipe - dengan dasar pemikiran bahwa melalui kesamaan imajinasi komunikasi dapat berlangsung. Dengan demikian type-image lebih menekankan kognisi daripada struktur formal. Hasilnya adalah penggunaan elemen milik arsitektur masa lampau, sedangkan interdependensinya dari elemen bisa terabaikan sama
Tinjauan Pustaka | II.37
sekali. Tipe sebagai struktur formal internal yang merupakan sebuah kesatuan
telah
hilang,
setiap
elemen
dimanfaatkan
dalam
ketunggalannya sebagai fragmen bebas untuk menunjang type-image.
Pendekatan kontekstualisme melalui style. Persoalan kontekstualisme buat Brent C. Brolin adalah bagaimana menyelaraskan formalisme bangunan baru (melalui eksplorasi kesamaan gaya dan teknologi) yang bersebelahan dengan bangunan lama atau lingkungan lama yang memiliki style arsitektur tertentu sehingga kontinyuitas visual terjaga (fitting new buildings with the old). Brolin mengakui bahwa kontras bangunan modern dan kuno bisa merupakan sebuah harmoni, namun diingatkan bahwa bila terlalu banyak "shock effects" yang timbul sebagai akibat kontras maka efektivitas yang dikehendaki akan menurun sehingga yang muncul adalah chaos. Style sangat penting dalam kontekstualisme.
Pendekatan
kontekstualisme
melalui
regionalism.
Gerakan
regionalism muncul di dunia ketiga untuk mengembalikan kontinyuitas kekhasan arsitektur yang ada pada suatu wilayah budaya tertentu yang dominan. Arsitektur modern, yang abstrak dan berasal dari barat, sering dituduh sebagai penyebab pudarnya identitas arsitektur
setempat.
Padahal
arsitektur
setempat
dipercaya
merepresentasikan arsitektur ideal: sebuah harmoni yang lengkap dari built form, culture, place dan climate. Melihat pendekatan style-nya Brolin dan pendekatan regionalism menimbulkan sangkaan bahwa kontekstualisme Brolin belum tentu menciptakan kontekstualisme yang dikehendaki regionalism dan demikian pula sebaliknya. D. PRESEDEN PENERAPAN ARSITEKUR KONTEKSTUAL PADA PENGEMBANGAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA a. Museum De Louvre Paris, Perancis Louvre merupakan museum terbesar di dunia, menempati bekas istana yang dirancang pertama kali oleh Philibert Delorme atas perintah dari Cathine de Medicis janda Henri II, yang setelah suaminya meninggal
Tinjauan Pustaka | II.38
tidak mau lagi tinggal di istana lama Tournelles. Istana ini dibangun pada tahun 1202 dan kemudian the louvre palace yang dibangun pada tahun 1546. Ciri arsitektur Renaissance paling dominan dalam istana antara lain dengan bentuk unit-unitnya yang horisontal memanjang dalam hal ini tersusun membentuk A. dua sisi terpanjang dari kaki huruf A yang menjadi sayap utara dan sayap selatan panjangnya 500 m. sejak itu pembangunan istana berlangsung bertahap dari zaman ke zaman oleh penguasa penerusnya, Henri IV, Louis XIII, Louis XIV, Napoleon I, Napoleon III, yang memakan w aktu kurang lebih 3 abad. Istana Louvre yang sekarang digunakan untuk museum merupakan titik aw al dari sumbu jalan yang panjangnya lebih dari 7 km, membelah kota Paris dimulai dari kepala A tersebut di tengah sejajar dengankeluar kakinya, Taman Tuileries, Champs Elysees hingga La Defence di ujung barat sedikit naik ke utara. Louvre merupakan kawasan kuno yang perlu dilestarikan. Oleh karena itu perluasan terakhir dilakukan dengan mengambil konsep restorasi yaitu proses pengembalian kondisi fisik artefak kepada bentuk aslinya pada suatu saat tertentu dalam perkembangan morfologisnya berdasarkan nilai-nilai sejarah atau kesatuan estetisnya. Kawasan ini telah mengalami beberapa proses konservasi dimana dikarenakan terjadi perang dunia yang juga merusak bangunan dari istana louvre. Lalu pada 10 agustus 1793, museum louvre dibuka sehingga beberapa konservasi dilakukan untuk memperbaiki dan menyesuaikan dengan fungsi yang baru. Kemudian pada tahun 1984 bangunan baru berupa pyramid didesain oleh I. M. Pei yang selesai kontruksinya pada tahun 1989. Dibawah bangunan ini terdapat sebuah lobby bawah tanah yang juga menjadi main entrance dari museum louvre.
Tinjauan Pustaka | II.39
Gambar 2.7. Louvre Palace Sumber Wikipedia.com, 2015
Pemilihan
sebagai
main
entrance
ini
juga
merupakan
pertimbangan dimana tidak tersedianya tempat yang mampu menampung jumlah pengunjung yang datang kesini. Bentuk pyramid ini merupakan salah satu bentuk konservasi bangunan cagar budaya secara kontras dimana bentuk, material berbeda dengan bangunan lama sehingga memberikan warna yang berbeda akan bangunan sekitarnya. Pemilihan material kaca juga membuat cahaya matahari masuk pada siang hari dan pada malam hari akan memberi efek yang berbeda.
Gambar 2.8 Louvre Palace pada malam hari Sumber Wikipedia.com, 2015
Konsep foreground dan background diterapkan dalam kawasan Museum Louvre ini. Bangunan kuno dilestarikan sebagai latar belakang dan bangunan baru yang modern dan canggih serta pintar (smart building) dan justru kontras terhadap latar belakangnya. Penggabungan renaissance dan modern sebagai konsep pelestarian terhadap kawasan ini sempat menjadi kontrofersi pada awalnya di Perancis, namun saat ini kawasan
Tinjauan Pustaka | II.40
Louvre Palace tersebut justru menjadi kebanggaan bagi negara Perancis bahkan menjadi salah satu bangunan monumental di dunia. b. King’s Cross Station, London Stasiun ini dibangun pada tahun 1852 yang kemudian dikembangkan oleh arsitek Jhon McAsian + Partner dan dibangun pada tahun 2012. Peron barat baru dilengkapi oleh restoran dan pertokoan, dengan desain yang berbeda dari bangunan lama. Pada ruang tunggu sebelah barat didesain dengan elemen baja putih dengan kerawang kaca yang memberi warna berbeda dengan bangunan utama yang merupakan khas dari bangunan lama.
Gambar 2.9 Ruang tunggu King’s Cross Station Sumber. Archdaily.com, 2015
Tinjauan Pustaka | II.41
Gambar 2.10 King’s Cross Station Sumber. Archdaily.com, 2015
Sedangkan pada bagian peron, menggunakan penutup atap berupa baja lengkung. Desain yang diterapkan oleh arsitek menggunakan penyelesaian kontras, namun mendukung bangunan utama sehingga walaupun berbeda masih terlihat saling mendukung dan memberi warna baru bagi pengunjung.
Tinjauan Pustaka | II.42