BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1.
Tinjauan tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Pengertian Upaya Hukum terdapat dalam Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang menyatakan bahwa “Upaya Hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak Terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. KUHAP membedakan upaya hukum menjadi 2 (dua) macam, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur dalam Bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII.
b. Upaya Hukum Biasa Upaya hukum biasa adalah hak Terdakwa dan Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan Pengadilan Negeri atau tingkat pertama (Judex Factie), sehingga maksud dari upaya hukum dari Terdakwa atau Penuntut Umum tidak puas atau tidak dapat menerima putusan tersebut, adalah (Andi Sofyan dan Abd Asis, 2014: 269): 1) Untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya. 2) Untuk kesatuan dalam pengadilan. 3) Sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau pengadilan.
19
20
Uraian mengenai upaya hukum biasa, yaitu pemeriksaan tingkat banding dan pemeriksaan tingkat kasasi adalah sebagai berikut: 1) Pemeriksaan Tingkat Banding Pemeriksaan tingkat banding dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP. Pengertian pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan perkara pada Pengadilan Tinggi. Menurut J.C.T. Simorangkir (dalam Andi Sofyan dan Abd. Asis (2014: 270), pengertian banding adalah suatu alat hukum (rechtsniddel) yang merupakan hak Terdakwa dan hak Penuntut Umum untuk memohon, supaya putusan Pengadilan Negeri diperiksa kembali oleh pengadilan tinggi. Tujuan daripada hak ini adalah untuk memperbaiki kemungkinan adanya kekhilafan pada putusan pertama. Hak memohon banding ini senantiasa diperingatkan oleh Hakim kepada Terdakwa sesudah putusannya diucapkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 233 ayat (2) KUHAP, tenggang waktu mengajukan permintaan banding adalah dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada Terdakwa yang tidak hadir pada saat putusan dijatuhkan (M. Yahya Harahap, 2012: 468-469). Semua putusan akhir (eind-vonnis) Pengadilan Negeri pada dasarnya dapat diajukan banding, akan tetapi terhadap prinsip ini ada pengecualian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 67 KUHAP. Atas pengecualian tersebut, tidak semua putusan akhir pengadilan tingkat pertama dapat diminta banding, ada yang dapat diajukan banding dan ada pula putusan yang tidak dapat diajukan banding. Putusan akhir pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan pemeriksaan pada tingkat banding sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2012: 458): a) Putusan pemidanaan dalam acara biasa. b) Putusan pemidanaan dalam acara singkat.
21
c) Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima dalam acara biasa dan singkat. Bunyi Pasal 67 KUHAP bahwa “Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untu minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat”. Berdasarkan pasal tersebut, putusan yang tidak dapat diminta banding (M. Yahya Harahap, 2012: 460): a) Putusan bebas atau vrijspraak (acquitted). b) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau putusan onslag van rechts vervolging. c) Putusan acara cepat. Permintaan
banding
yang
diajukan
terhadap
putusan
pengadilan tingkat pertama dapat menimbulkan beberapa akibat hukum. Akibat hukum tersebut, antara lain putusan menjadi mentah kembali, segala sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis pengadilan tingkat banding, dan putusan yang dibanding tidak mempunyai daya eksekusi (M. Yahya Harahap, 2012: 453-454).
2) Pemeriksaan Tingkat Kasasi a) Pengertian Kasasi Kata kasasi berasal dari sistem hukum Prancis. Kasasi di Prancis disebut Cassation yang berasal dari kata kerja Casser yang artinya membatalkan atau memecahkan (Leden Marpaung, 2011: 169). Pemeriksaan dalam tingkat kasasi adalah pemeriksaan ulang yang dilakukan oleh Hakim Mahkamah Agung terkait dengan penerapan hukum lembaga-lembaga dibawahnya dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Terdakwa atau
22
Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum kasasi apabila mereka berpendapat bahwa putusan Hakim pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi belum memenuhi rasa keadilan, sehingga Majelis Hakim harus memeriksa ulang terhadap penerapan hukumnya. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan batasan mengenai pengertian Kasasi. Menurut M. Yahya Harahap (2012: 537), upaya kasasi adalah hak yang diberikan kepada Terdakwa maupun kepada Penuntut Umum. Berbarengan dengan hak mengajukan permintaan kasasi yang diberikan undang-undang kepada Terdakwa dan Penuntut Umum dengan sendirinya hak itu menimbulkan kewajiban bagi pejabat pengadilan untuk menerima permintaan kasasi, tidak ada alasan untuk menolak. Kaitannya dengan dengan penerapan hukum dalam hukum acara pidana terdapat dalam ketentuan Pasal 244 KUHAP, yang mengatakan bahwa “terhadap putusan perkara tindak pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Sesuai dengan perkembangan penegakan hukum berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang menghilangkan frase “kecuali terhadap putusan bebas” karena ketentuan tersebut sudah dianulir, berarti tidak ada larangan lagi untuk pengajuan kasasi terhadap putusan bebas. b) Tujuan Kasasi Tujuan
kasasi
ialah
untuk
menciptakan
kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
23
bertentangan
dengan
undang-undang
atau
keliru
dalam
menerapkan hukum (Andi Hamzah, 2011: 298). Menurut M. Yahya Harahap (2012, 539-542) ada 3 (tiga) tujuan dari kasasi, antara lain: (1) Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan; (2) Menciptakan dan membentuk hukum baru; dan (3) Pengawasan
terciptanya
keseragaman
penerapan
hukum. c) Alasan Mengajukan Kasasi Alasan mengajukan kasasi diatur secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan: Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 KUHAP dan 249 KUHAP guna menentukan: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; dan c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. d) Syarat-syarat Kasasi Pemohon kasasi harus memperhatikan beberapa syarat pemeriksaan kasasi agar permintaan pemeriksaan kasasi dapat diterima Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam permintaan pemeriksaan kasasi adalah sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007: 268-269): (1) Permintaan kasasi sudah harus disampaikan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak putusan disampaikan kepadanya (Pasal 245 ayat (1) KUHAP); (2) Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP);
24
(3) Permohonan kasasi harus menyerahkan memori kasasi yang memuat alasan-alasan sebagaimana tersebut dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP; (4) Perkara
yang
diajukan
kasasi
bukan
perkara
yang
dikecualikan yakni; (a) Putusan tentang praperadilan; (b) Perkara pidana yang diancam dengan penjara paling lama satu tahun dan/atau diancam pidana denda; (c) Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. e) Tata Cara Pengajuan Kasasi Tata cara pengajuan kasasi adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 245 KUHAP, yakni pertama-tama dilakukan dengan mengajukan permohonan kasasi yang disampaikan kepada panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada Terdakwa (Pasal 245 ayat (1) KUHAP). Permohonan yang diajukan Terdakwa maupun Penuntut Umum, oleh panitera ditulis dalam sebuat surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 245 ayat (2) KUHAP). Surat keterangan yang dimaksud di sini adalah lazimnya dikenal dengan nama Akta Permohonan Kasasi atau lazim disingkat dengan sebutan Akta Kasasi (Rusli Muhammad, 2007: 269). Langkah selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 245 ayat (3) KUHAP, panitera wajib memberitahukan permintaan kasasi yang diterimanya kepada pihak lain. Pihak yang
25
berkepentingan dalam perkara pidana yakni Terdakwa dan Penuntut Umum, kepada merekalah terletak kewajiban panitera untuk menyampaikan adanya permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2006: 552). Kelalaian panitera memenuhi kewajiban tersebut, tidak berakibat fatal, tidak sampai mengakibatkan batalnya atau tidak sahnya permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2012: 552). Akibat kelalaian tersebut hanya dapat menunda pemeriksaan perkara di tingkat kasasi, dan Mahkamah Agung akan memerintahkan panitera untuk memberitahukan permohonan kasasi kepada pihak yang berkepentingan. f)
Proses Pemeriksaan pada Tingkat Kasasi Tata cara dan prosedur pemeriksaan pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) KUHAP yang diuraikan sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2012: 573-575): (1) Pemeriksaan dilakukan dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim Majelis yang paling kecil pada lembaga Mahkamah Agung terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim Agung, sedangkan majelis besar terdiri dari semua Hakim Agung yang disebut full chamber atau en banc. Pemeriksaan perkara kasasi sederhana tidak perlu diperiksa oleh semua Hakim Agung, cukup diperiksa dan diputus oleh majelis kecil yang terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim. Salah seorang di antaranya bertindak sebagai Ketua Majelis, sedangkan 2 (dua) orang berkedudukan sebagai Hakim Anggota. (2) Pemeriksaan berdasar berkas perkara Pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi berbeda dengan tata cara pemeriksaan pada tingkat Pengadilan Negeri. Pemeriksaan dilakukan tanpa dihadiri Terdakwa,
26
saksi, dan Penuntut Umum. Seandainya ada urgensi dan relevansi, secara kasuistik Mahkamah Agung baru melakukan pemeriksaan langsung mendengar keterangan saksi dan/ atau Terdakwa (hearing) dalam ruang sidang yang lengkap seperti pemeriksaan di sidang Pengadilan Negeri. Berkas perkara menjadi bahan pemeriksaan dalam tingkat kasasi, terutama putusan tingkat banding. Apakah putusan itu benar-benar sesuai dengan berita acara dan suratsurat yang ada, serta apakah dalam putusan itu ada kesalahan penerapan hukum. Masing-masing anggota majelis membuat dan
menyimpulkan
pendapat,
untuk
dibahas
dan
dipertemukan dalam permusyawaratan majelis menjadi putusan. (3) Pemeriksaan tambahan Pemeriksaan perkara pada tingkat pertama dan tingkat banding sering dijumpai kekurangan, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan tambahan. Tujuan dari pemeriksaan tambahan
adalah
untuk
menambah
dan
melengkapi
pemeriksaan yang dianggap perlu. Misalnya, dalam hal pemeriksaan saksi yang masih kurang lengkap atau masih ada hal-hal yang perlu ditanyakan kepada Terdakwa. g) Putusan Kasasi Bentuk putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi menurut M. Yahya Harahap (2012, 586-605), terdiri dari: (1) Menyatakan kasasi tidak dapat diterima Salah satu bentuk putusan Mahkamah Agung, berisi amar menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima. Putusan ini dijatuhkan dalam tingkat kasasi, apabila permohonan
27
kasasi yang diajukan tidak memenuhi syarat-syarat formil yang diatur dalam Pasal 244, Pasal 245, dan Pasal 248 ayat (1) KUHAP. Sepanjang pengamatan, formal yang sering tidak dipenuhi pemohon kasasi kebanyakan berkisar pada keterlambatan mengajukan permohonan kasasi, permohonan kasasi yang tidak lengkap dengan memori kasasi, serta memori kasasi terlambat diserahkan. (2) Putusan Menolak Permohonan Kasasi Bentuk kedua putusan kasasi yang dapat dijatuhkan Mahkamah Agung ialah putusan yang amarnya menolak permohonan
kasasi.
Putusan
kasasi
yang
menolak
permohonan kasasi, dijatuhkan setelah menguji perkara yang dikasasi dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Pemeriksaan telah meneliti dengan seksama segala sesuatu keberatan yang diajukan pemohon dalam memori kasasi, namun segala keberatan yang diajukan tidak mengenai sasaran alasan kasasi yang dibenarkan undang-undang sebagaimana yang dirinci dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Berarti putusan yang dikasasi sudah tepat hukumnya. (3) Mengabulkan Permohonan Kasasi Mengabulkan permohonan kasasi dalam praktek peradilan sering
juga
disebut
menerima
atau
membenarkan
permohonan kasasi. Putusan yang mengabulkan atau membenarkan permohonan kasasi, kebalikan dari putusan yang menolak permohonan kasasi. Putusan kasasi yang berisi menolak
permohonan
kasasi,
berarti
dibatalkan
oleh
Mahkamah Agung dengan alasan putusan pengadilan yang dikasasi
tersebut
mengandung
pelanggaran
ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP.
terhadap
28
Pengabulan permohonan kasasi tidak selamanya mesti diiringi dengan tindakan pembatalan, tetapi cukup diperbaiki oleh Mahkamah Agung.
c. Upaya Hukum Luar Biasa Upaya
hukum
luar
biasa
merupakan
pengecualian
dan
penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Putusan pengadilan yang dimohon banding atau kasasi belum merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap, dan dapat diajukan terhadap semua putusan baik oleh pihak Terdakwa maupun oleh Penuntut Umum (M. Yahya Harahap, 2012: 607). Pengaturan mengenai upaya hukum luar biasa ini terdapat di dalam KUHAP sebagaimana tercantum dalam Bab XVIII. Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP mengatur tentang kasasi demi kepentingan hukum, sedangkan Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. 1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum Kasasi demi kepentingan hukum ini berbeda dengan kasasi pada upaya hukum biasa. Pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum
dapat
diajukan terhadap semua putusan
yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, yang hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung berdasarkan penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut pendapatnya perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan hukum (Andi Sofyan dan Abd Asis: 2014: 287). Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP bahwa “demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”.
29
Tata cara pengajuan permohonan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 260 KUHAP, yaitu: (1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui panitera pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama, disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu. (2) Salinan risalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh panitera segera disampaikan kepada pihak yang berkepentingan. (3) Ketua pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah Agung.
2) Peninjauan Kembali Bagian kedua upaya hukum luar biasa ialah peninjuan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (M. Yahya Harahap, 2012: 614). Pasal 263 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) hal-hal yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan peninjauan kembali, antara lain: a.
b.
c.
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat 29diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyata kan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
30
2.
Tinjauan tentang Pertimbangan Putusan Hakim a. Pengertian Hakim Pengertian Hakim menurut Pasal 1 angka 8 KUHAP adalah “pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”, sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud: Hakim adalah Hakim pada Mahkamah Agung dan Hakim pada badan peradilan yang berada di bahwanya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Indonesia menerapkan 2 (dua) tingkatan peradilan berdasarkan cara mengambil keputusan, yaitu Judex Factie dan Judex Juris. Judex Factie adalah Hakim yang berwenang memeriksa fakta dan bukti suatu perkara, dalam hal ini adalah lingkup Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sedangkan Judex Juris adalah Hakim yang berwenang memeriksa penerapan hukum, dalam hal ini adalah lingkup Mahkamah Agung (Saur Oloan Hamonangan Situngkir, 2014: 13).
b. Pengertian Putusan Pengadilan Putusan pengadilan akan dijatuhkan tergantung dari hasil mufakat musyawarah Hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2012: 347). Menurut Pasal 1 angka 11 KUHAP yang dimaksud dengan Putusan Pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Pengertian putusan pengadilan menurut Lilik Mulyadi (2007: 203) adalah putusan yang
31
diucapkan oleh Hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya. Mengenai jenis putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan hakim telah ditentukan, yaitu: 1) Putusan Bebas Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka Terdakwa diputus bebas. Putusan bebas berarti Terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrij spraak) atau acquittal. Pengertian Terdakwa diputus bebas adalah Terdakwa dibebaskan dari pemidanaan atau lebih tegasnya Terdakwa tidak dipidana (M. Yahya Harahap, 2012: 347). Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh Majelis Hakim yang bersangkutan (M. Yahya Harahap, 2012: 347-348): a) Tidak Memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan Terdakwa dan sekaligus kesalahan Terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh Hakim. b) Tidak Memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian. Kesalahan yang didakwakan kepada Terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedangkan menurut Pasal 183, agar cukup membuktikan
32
kesalahan seorang Terdakwa harus dibuktikan dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah. 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan lepas dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Kriteria putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah apa yang didakwakan kepada Terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi sekalipun terbukti, Hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan telah terbukti itu tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana (M. Yahya Harahap, 2012: 352). 3) Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadian menjatuhkan pidana”. Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada Terdakwa berarti putusan yang berisi perintah untuk menghukum Terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan. Undang-undang memberi kebebasan Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang akan dikenakan kepada Terdakwa, namun Hakim harus mendasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2012: 354).
33
c. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pertimbangan hukum merupakan dasar Hakim untuk menjatuhkan suatu putusan. Hakim memperoleh pertimbangan tersebut berdasarkan alat bukti yang ada didukung oleh keyakinan Hakim yang berdasar pada hati nurani dan kebijaksanaan, untuk memutus suatu perkara. Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat Hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan dan memberatkan pelaku. Setiap Hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan (Eric Tanjung, 2014: 15). Ada 2 (dua) kategori untuk memberikan telaah pada pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Kategori pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis, selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007: 212-221): 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan Hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain: a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan
itulah
pemeriksaan
di
persidangan
dilakukan.
Dakwaan selain berisikan indentitas Terdakwa, juga memuat uraian tindak pidana yang didakwakan dengan menyebut waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Dakwaan yang dijadikan pertimbangan Hakim adalah dakwaan yang telah dibacakan di depan sidang pengadilan,
34
kemudian pada umumnya keseluruhan dakwaan Penuntut Umum ditulis kembali di dalam putusan Hakim. b) Keterangan Terdakwa Keterangan Terdakwa menurut Pasal 184 huruf e KUHAP, digolongkan sebagai alat bukti. Pengertian keterangan Terdakwa adalah apa yang dinyatakan Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan, ketahui, atau alami sendiri yang dinyatakan dalam bentuk pengakuan atau penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan Penuntut Umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi. Keterangan Terdakwa yang dinyatakan
dalam
bentuk
penyangkalan
atau
penolakan
sebagaimana sering terjadi dalam praktik, boleh juga dinilai sebagai alat bukti. c) Keterangan saksi Salah satu komponen yang harus diperhatikan Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah keterangan saksi. Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri dan harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam putusannya. d) Barang-barang bukti Pengertian barang bukti di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh Penuntut Umum di depan sidang pengadilan, yang meliputi: (1) Benda atau tagihan Tersangka atau Terdakwa yang seluruhnya atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak pidana.
35
(2) Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan. (3) Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. (4) Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termaksud alat bukti sebab undang-undang menetapkan 5 (lima) macam alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan Terdakwa. Barang bukti yang terungkap pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa, dan sudah barang tentu Hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh Terdakwa ataupun saksi. e) Pasal-pasal peraturan hukum pidana Salah satu hal yang sering terungkap di dalam proses persidangan adalah pasal-pasal peraturan hukum pidana. Pasalpasal ini bermula terlihat dan terungkap dalam surat dakwaan Penuntut Umum yang diformulasikan sebagai ketentuan hukum pidana yang dilanggar oleh Terdakwa. Pasal-pasal tersebut kemudian dijadikan dasar pemidanaan atau tindakan oleh Hakim. Pasal peraturan hukum pidana pada prakteknya selalu dihubungkan dengan perbuatan Terdakwa yang dirumuskan dalam dakwaan. Berdasarkan dakwaan tersebut, Penuntut Umum berusaha untuk membuktikan dalam memeriksa melalui alat-alat bukti pada proses pembuktian. Hasil dari proses pembuktian nantinya akan diketahui apakah perbuatan Terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam peraturan hukum pidana, jika
36
perbuatan Terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan Terdakwa. Sesuai dengan Pasal 197 KUHAP, salah satu yang harus dimuat di dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturanperaturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan. Berdasarkan ketentuan inilah sehingga setiap putusan pengadilan selalu mempertimbangkan pasal-pasal atau peraturan hukum yang menjadi dasar pemidanaannya itu. 2) Pertimbangan yang bersifat non yuridis Pertimbangan yang bersifat non yuridis, terdiri dari: a) Latar belakang perbuatan Terdakwa Pengertian latar belakang perbuatan Terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pada diri Terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal. Latar belakang perbuatan Terdakwa dipengaruhi misalnya oleh faktor keadaan ekonomi Terdakwa dan disharmonis hubungan sosial terdakwa, baik dalam lingkungan keluarganya maupun orang lain. b) Akibat perbuatan Terdakwa Suatu perbuatan pidana yang dilakukan Terdakwa pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Akibat dari perbuatan Terdakwa atas kejahatan yang dilakukannya dapat pula berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam. c) Kondisi diri Terdakwa Pengertian kondisi diri Terdakwa adalah keadaan fisik ataupun psikis Terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada dirinya. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan
37
adalah berkaitan dengan perasaan. Misalnya, dalam keadaan marah, mempunyai perasaan dendam, mendapatkan ancaman atau tekanan dari orang lain, dan pikiran dalam keadaan kacau atau tidak normal. Adapun yang dimaksud status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam
masyarakat,
yakni
apakah
sebagai
pejabat,
tokoh
masyarakat, ataukah sebagai gelandangan, dan sebagainya. d) Keadaan sosial ekonomi Terdakwa Tidak
ada
satu
aturan
pun
yang
dengan
jelas
memerintahkan bahwa keadaan sosial ekonomi Terdakwa harus dipertimbangkan di dalam menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan, bahkan di dalam KUHP dan KUHAP pun tidak mengaturnya. Keadaan sosial ekonomi Terdakwa saat ini dimuat dalam konsep KUHP baru yang mengatur ketentuan mengenai pedoman pemidanaan yang harus dipertimbangkan oleh hakim. Ketentuan ini memang belum mengikat pengadilan sebab masih bersifat konsep, meskipun begitu kondisi sosial ekonomi tersebut dapat
dijadikan
pertimbangan
dalam
menjatuhkan
putusan
sepanjang hal tersebut merupakan fakta dan terungkap di muka persidangan. e) Faktor agama Terdakwa Keterkaitan para Hakim terhadap ajaran agama tidak cukup jika hanya meletakkan kata Ketuhanan pada kepala putusan. Ajaran agama harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan, baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama tindakan para pembuat kejahatan. Sudah seharusnya dan sepatutnya ajaran agama menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan.
38
3.
Tinjauan tentang Sanksi Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazin merupakan terjemahan dari recht. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana (strafbaar feit) (Adami Chazawi, 2011: 24). Sanksi pidana dari segi tujuan penerapannya dapat dibenarkan dengan alasan yang dikemukakan sebagai berikut: a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau tindakan yang tidak dikehendaki; b. Untuk memberikan balasan yang setimpal dan layak sesuai tindakan pelaku tindak pidana; dan c. Agar pelaku sadar atas tindak pidana yang dilakukan dan tidak mengulanginya lagi. Menurut hukum positif, ketentuan sanksi pidana tercantum dalam Pasal 10 KUHP yang membagi sanksi pidana menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: a. Pidana pokok Berdasarkan Pasal 69 KUHP, untuk pidana pokok, berat atau ringannya bagi pidana yang tidak sejenis didasarkan pada urut-urutannya dalam rumusan Pasal 10 tersebut (Adami Chazawi, 2011: 26). Sifat pidana pokok yang merupakan prinsip dasar pidana pokok adalah tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Jenis-jenis pidana pokok ini, antara lain: 1) Pidana Mati Hukuman mati masih tetap dipertahankan di Indonesia, walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati telah dihapuskan dari KUHP Belanda. Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu
39
diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Atas alasan tersebut zaman dahulu menerapkan hukuman mati (Wirdjono Prodjodikoro, 2009: 175). Sejak dahulu hingga sekarang pidana mati selalu menimbulkan pro kontra. Pidana mati merupakan pidana terberat karena berupa penyerangan terhadap hak hidup. Kelemahan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi haparan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan (Adami Chazawi, 2011: 29). 2) Pidana Penjara Pidana penjara adalah bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara saja, tetapi juga berupa pengasingan (Andi Hamzah, 1993: 37). Pidana penjara bervariasi dari penjara sementara minimal satu hari sampai penjara seumur hidup. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Roeslan Saleh (dalam Tolib Setiady, 2010: 92) bahwa “pidana penjara adalah pidana utama dari pidana kehilangan kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu”. Bentuk pidana penjara merupakan pembatasan kebebasan bergerak bagi seorang Terpidana karena Terpidana ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan para terpidananya untuk mentaati segala tata tertib yang berlaku. Akibat adanya pembatasan kebebasan bergerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hakhak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk
40
memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum), hak memegang jabatan publik, dan lain-lain. 3) Pidana Kurungan Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya sama-sama berupa pidana kehilangan kemerdekaan. Perbedaannya adalah pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan dalam Pasal 69 ayat (1) KUHP yang menentukan berat ringannya pidana berdasarkan uruturutan dalam Pasal 10 KUHP yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) KUHP yang mengatur tentang lamanya waktu pidana kurungan, adalah sebagai berikut: (1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. (2) Jika ada pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. (3) Pidana kurungan sekali-kali tindak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. Menurut Vos (dalam A.Z. Abidin Farid dan Andi Hamzah, 2006: 289), pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, yaitu: a) Sebagai custodia honesta untuk tindak pidana yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delict culpa dan beberapa delict dolus, seperti perkelahian satu lawan satu (Pasal 182 KUHP) dan pailit sederhana (Pasal 396 KUHP). Pasal-pasal tersebut diancam pidana penjara, contoh yang dikemukakan Vos sebagai delik yang tidak menyangkut delik kesusilaan. b) Sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. 4) Pidana Denda Pidana denda merupakan bentuk pidana tertua bahkan lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua dengan pidana mati. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut
41
oleh Hakim/ Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana. Beberapa keistimewaan tertentu dari pidana denda, jika dibandingkan dengan jenis-jenis lain dalam kelompok pidana pokok. Keistimewaan itu adalah sebagai berikut (Adami Chazawi, 2011: 4041): a) Pelaksanaan pidana denda tidak menutup kemungkinan dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang dalam hal pelaksanaan pidana lainnya kemungkinan seperti ini tidak bisa terjadi. Melanggar prinsip dasar dari pemidanaan sebagai akibat yang harus dipikul atau diderita oleh pelaku sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas perbuatan (tindak pidana) yang dilakukannya adalah hal yang diperbolehkan dalam pelaksanaan pidana denda. b) Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana kurungan. Putusan Hakim yang menjatuhkan pidana denda, dijatuhkan juga pidana kurungan pengganti denda sebagai alternatif pelaksanaannya. Berarti, jika denda tidak dibayar terpidana wajib menjalani pidana kurungan pengganti denda itu, dalam hal ini terpidana bebas memilihnya. Lama pidana kurungan pengganti denda ini minimal umum 1 (satu) hari dan maksimal umum 6 (enam) bulan. c) Pidana denda tidak terdapat maksimal umumnya, yang ada hanyalah minimal umum yang menurut Pasal 30 ayat (1) KUHP adalah tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Sementara itu, maksimum khususnya ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang bersangkutan, yang dalam hal ini sama dengan jenis lain dari kelompok pidana pokok. Selama ini pada prakteknya, pidana denda jarang sekali dijatuhakan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara jika pidana denda itu diancamkan sebagai alternatif saja dalam rumusan
42
tindak pidana yang bersangkutan, kecuali apabila tindak pidana itu memang hanya diancam dengan pidana denda saja, yang tidak memungkinkan hakim menjatuhkan pidana lain selain denda. Tidak lagi digunakannya pidana denda dikarenakan nilai uang yang semakin lama semakin merosot, menyebabkan angka/nilai uang yang diancamkan dalam rumusan tindak pidana tidak dapat mengikuti nilai uang dipasaran (Adami Chazawi, 2011: 41). 5) Pidana Tutupan Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa “dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, Hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan”, selanjutnya pada ayat (2) menyatakan bahwa “peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat” (Adami Chazawi, 2011: 42). Selama ini hampir tidak pernah ada putusan Hakim yang menjatuhkan pidana tutupan. Sepanjang sejarah praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi hanya satu kali Hakim menjatuhkan pidana tutupan, yaitu Putusan Mahkamah Tentara Agung RI pada tanggal 27 Mei 1948 dalam hal mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 (Adami Chazawi, 2011: 43-44).
b. Pidana Tambahan Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidak dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal
43
tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi bukan merupakan suatu keharusan. Berdasarkan Pasal 10 KUHP, ada 3 (tiga) jenis pidana tambahan, yaitu: 1) Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu Undang-undang hanya memberikan kepada negara wewenang (melalui alat atau lembaganya) melakukan pencabutan hak tertentu saja, yang menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP, hak-hak yang dapat dicabut tersebut adalah (Adami Chazawi, 2011: 44-45): a) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; b) Hak untuk menjalankan jabatan dalam Angkatan Bersejata; c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d) Hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas anak yang bukan anak sendiri; e) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; f) Hak menjalankan mata pencaharian. Mengenai jangka waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) KUHP bahwa: Jika dilakukan pencabutan hak, Hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut: 1. Dalam hak pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup; 2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
44
3. Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun. 2) Pidana Perampasan Barang Tertentu Perampasan barang sebagai suatu tindak pidana hanya diperkenankan atas barang-barang tertentu saja, tidak diperkenankan untuk semua barang. Undang-Undang tidak mengenal perampasan untuk semua kekayaan (Adami Chazawi, 2011: 49). Jenis pidana ini dapat dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidananya hanya dikenakan tindakan. Berdasarkan Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) KUHP, barangbarang yang dapat dirampas adalah: (1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. (2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang. (3) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barangbarang yang telah disita. 3) Pidana Pengumuman Putusan Hakim Setiap putusan Hakim memang harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP, dulu Pasal 317 HIR), bila tidak, putusan itu batal demi hukum. Pengumuman putusan Hakim sebagai suatu tindak pidana bukanlah seperti yang disebutkan diatas. Pidana pengumuman putusan Hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana (Adami Chazawi, 2011: 53-54).
45
4.
Tinjauan Umum tantang Tindak Pidana Lingkungan Hidup Tindak Pidana Lingkungan Hidup atau kejahatan lingkungan merupakan suatu tindak pidana khusus yang diatur dalam suatu perundangundangan yang khusus pula (lex specialis). Pengertian environmental crime sebagaimana dikutip dalam jurnal internasional adalah: “Environmental crime, according to Pečar, is every permanent or temporary act or process which has a negative influence on the environment, people‟s health or natural resources, including: building, changing, abandonment and destruction of buildings; waste processing and elimination of waste; emissions into water, air or soil; transport and handling of dangerous substances; damaging or destruction of natural resources; reduction of biological diversity or reduction of natural genetic resources; and other activities or interventions, which put the environment at risk. Later, [Pečar] ... defined ... environmental crime [as the result of] selfishness, which is determined by the need for profit associated with the control of nature [and] characterized the pollution of nature and the environment as a devaluation of the environment, what he also named „ecocide‟ – intentional destruction of the living environment. Under this term theauthor classified examples of waste dumping and negative environmental interventions” (Nigel South, 2014: 374). (Menurut Pecar, kejahatan lingkungan adalah setiap perbuatan (baik tetap atau sementara) atau proses yang memberikan pengaruh negatif pada lingkungan, kesehatan manusia, atau sumber daya alam, seperti membangun, merubah, meninggalkan dan menghancurkan bangunan; mengolah dan menghilangkan limbah; emisi pada air, udara, dan tanah; mengangkut dan menangani zat berbahaya; merusak dan menghancurkan sumber daya alam; mengurangi keanekaragaman biologis atau lingkungan. Kemudian Pecar mendefinisikan kejahatan lingkungan (sebagai hasil) egoisme yang ditentukan oleh kebutuhan akan keuntungan berkaitan dengan pengendalian alam dan ditandai polusi alam dan lingkungan sebagai devaluasi lingkungan, yang disebut „ecocide‟ penghancuran disengaja pada lingkungan hidup. berdasarkan istilah tersebut, penulis mengklasifikasikan contoh pembuangan limbah dan intervensi lingkungan yang negatif) Pengaturan mengenai Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang digantikan dengan Undang-
46
Undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPLH) yang kemudian undang-undang tersebut juga digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup termuat inti dari Tindak Pidana Lingkungan Hidup (perbuatan yang dilarang), yaitu mencemarkan atau merusak lingkungan. Rumusan ini dikatakan sebagai rumusan umum (genus) dan selanjutnya dijadikan dasar untuk menjelaskan perbuatan pidana lainnya yang bersifat khusus (species). Kata mencemarkan dengan pencemaran dan merusak dengan perusakan memiliki makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan, tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekan mengenai suatu hal, yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses penimbulan akibat (Erman Rajagukguk dan Ridwan Khairandy, 2001: 527). Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat rumusan yang lebih spesifik dan konkrit mengenai defenisi pencemaran lingkungan hidup. Menurut ketentuan pasal tersebut, “pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan”, sedangkan ketentuan mengenai perusakan lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 1 angka 16 yang menyatakan bahwa “perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/ atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur pada Bab XV dari
47
Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. Berdasarkan Pasal 97, tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup merupakan kejahatan. Tindak pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup ada 16 (enam belas) jenis tindak pidana yang antara lain: a. Tindak pidana karena kesengajaan diatur dalam Pasal 98, intinya bahwa sanksi pidana dikenakan kepada setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. b. Tindak pidana karena kelalaian diatur dalam Pasal 99, sanksi pidana karena kelalaian dikenakan kepada mereka yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. c. Tindak pidana pelanggaran baku mutu diatur dalam Pasal 100, dalam ketentuan Pasal 100 ayat (2) merupakan dasar diberlakukannya asas ultimum remedium (upaya terakhir) apabila penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yang dinyatakan dalam Pasal 100 ayat (1), yaitu dalam hal pelanggaran baku mutu air limbah, emisi dan gangguan, sedangkan untuk tindak pidana lainnya penegakan hukum pidana dapat langsung diterapkan (asas premium remedium) (Yunizon, 2010: 75). d. Tindak pidana rekayasa genetika diatur dalam Pasal 101. Tindak pidana ini merupakan hal yang baru dalam dalam mengantisipasi perkembangan produk rekayasa genetik. e. Tindak pidana terkait dengan pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) diatur dalam Pasal 102 dan 103. Setiap orang maupun badan hukum (korporasi) wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Pengelolaan limbah B3 tersebut dapat dilakukan sendiri,
48
apabila tidak mampu melakukan sendiri maka pengelolaannya dapat diserahkan kepada pihak lain seizin dari menteri, gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. f. Tindak pidana dumping limbah diatur dalam Pasal 104. Dalam Pasal 1 angka 24 dinyatakan bahwa “dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu”. Berdasarkan Pasal 6, “setiap orang dilarang melakukan dumpingi limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa ijin”. g. Tindak pidana memasukan limbah B3 ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam Pasal 105, 106, 107. Tindak pidana ini diatur
agar
Negara
Republik
Indonesia
terbebas
dari
buangan
limbah/limbah B3 dan yang dilarang. h. Tindak pidana pembakaran lahan diatur dalam Pasal 108. Tindak pidana pembakaran lahan ini diatur karena peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menimbulkan kerugian ekonomi, sosial, dan kerusakan lingkungan yang sangat besar yang tidak hanya merugikan negara sendiri namun juga negara tetangga. i. Tindak pidana terkait izin lingkungan diatur dalam Pasal 109. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) wajib memiliki izin lingkungan. j. Tindak pidana terkait penyusunan AMDAL yangmana berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf i UUPPLH menyatakan “setiap orang dilarang menyusun AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun AMDAL”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan tindak pidana, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 110.
49
k. Tindak pidana oleh pemberi izin diatur dalam Pasal 111. Pengaturan tindak pidana oleh pemberi izin (pejabat publik) dalam merupakan suatu upaya untuk mencegah dan mengatasi adanya usaha/kegiatan yang dilaksanakan tanpa adanya keputusan kelayakan lingkungan (AMDAL) atau rekomendasi UKL-UPL yang sering terjadi pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Yunizon, 2010: 90). l. Tindak pidana oleh pejabat pengawas diatur dalam Pasal 112. Pengaturan tindak pidana ini hanya berlaku apabila akibat dari tidak dilaksanakan pengawasan tersebut telah berdampak terhadap terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, sedangkan untuk dampak pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang belum mengakibatkan hilangnya nyawa manusia ketentuan ini tidak dapat diterapkan (Yunizon, 2010: 93-94). m. Tindak pidana terkait informasi diatur dalam Pasal 113, dimana dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j menyatakan bahwa “setiap orang dilarang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar”. Informasi yang dimaksud dapat berbentuk dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar. n. Tindak pidana tidak melaksanakan paksaan pemerintah diatur dalam Pasal 114. Berdasarkan Pasal 76 ayat (1) menyatakan bahwa “paksaan pemerintah merupakan salah satu bentuk sanksi yang dijatuhkan oleh menteri, gubernur atau bupati/walikota kepada penanggun jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. o. Tindak pidana mencegah, menghalang-halangi dan menggagalkan pelaksanaan tugas Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup diatur dalam Pasal 115. Pemuatan pengaturan tindak pidana ini dalam Undang-Undang Nomor 32
50
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan upaya penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup dalam pelaksanaan tugas pengawasan dan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup (Yunizon, 2010: 98). p. Tindak pidana atas nama badan usaha/korporasi diatur dalam Pasal 116 hingga Pasal 120. Tindak pidana lingkungan hidup yang pelakunya korporasi maka tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha dan/ atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Selain sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda yang diperberat sepertiga juga dapat dikenakan apabila tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana lingkungan hidup. Perbedaan mendasar tentang pengaturan penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang antara lain (Yunizon, 2010: 69-70): a. Adanya ancaman penerapan hukum minimum disamping hukuman maksimum, yaitu ancaman pidana penjara minimal 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, sedangkan denda minimal Rp500.000.000,00
(lima
ratus
juta
rupiah)
dan
maksimal
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); b. Sanksi pidana diperluas tidak hanya kepada pelaku kejahatan, tetapi juga pejabat terkait; c. Perluasan alat bukti, yaitu adanya penambahan alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 96 huruf f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; d. Pemidanaan bagi pelanggar baku mutu;
51
e. Keterpaduan penegakan hukum pidana; dan f. Pengaturan tindak pidana korporasi.
52
B. Kerangka Pemikiran Perkara Tindak Pidana Lingkungan Hidup oleh PT KPSS Karawang
Putusan Pengadilan Negeri Karawang
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung
Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP
Alasan Kasasi Penuntut Umum
Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 104 jo Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pertimbangan Judex Juris
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1405 K/Pid.Sus/2013
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
53
Penjelasan Kerangka Pemikiran: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur berpikir penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum yaitu mengenai Alasan Kasasi Penuntut Umum dan Pertimbangan Judex Juris Menjatuhkan Sanksi Pidana Penjara dan Denda terhadap Korporasi dalam Perkara Lingkungan Hidup (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 1405 K/Pid.Sus/2013). Meninjau perkara lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT Karawang Prima Sejahtera Steel (PT KPPS) sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1405 K/Pid.Sus/2013 bahwa atas putusan yang ditetapkan pada tingkat Pengadilan Negeri, Penuntut Umum dan Terdakwa mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Bandung. Atas upaya hukum banding tersebut Judex Factie (Pengadilan Tinggi) dalam amarnya membatalkan putusan Pengadilan Negeri Karawang Nomor 434/Pid.B/2011/PN.KRW, menyatakan dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima, dan membebaskan Terdakwa Wang Dong Bing dari dakwaan Penuntut Umum. Berdasarkan pada putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi, yangmana dalam memori kasasinya pertama menguraikan bahwa Judex Factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah menerapkan hukum atau menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana mestinya, yaitu salah menerapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Judex Factie hanya mempertimbangkan Pasal 98 ayat (1) saja, tidak secara lengkap mempertimbangkan Pasal 103 undang-undang tersebut. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya Judex Factie (Pengadilan Tinggi) dalam memeriksa dan mengadili perkara ini tidak memutus yang amarnya berbunyi “dakwaan Penuntut Umum tidak dapat diterima), karena Wang Dong Bing secara hukum bisa mewakili Direktur PT Karawang Prima Sejahtera Steel baik di dalam maupun diluar pengadilan. Alasan kasasi Penuntut Umum yang kedua yaitu Judex Factie (Pengadilan Tinggi) telah keliru dan salah dalam menerapkan hukum karena yang didakwa Penuntut Umum adalah PT Karawang Prima Sejahtera Steel (PT KPSS) sebagai badan hukum atau korporasi bukan Wang Dong Bing sebagai
54
person, sehingga yang seharusnya bertanggung jawab adalah PT KPSS bukan Wang Dong Bing sebagai person. Alasan-alasan tersebut kemudian dijadikan pertimbangan Judex Juris untuk menjatuhkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1405 K/Pid.Sus/2013. Amar putusan tersebut Judex Juris mengabulkan Kasasi Penuntut Umum dan membatalkan
putusan
170/Pid.Sus.2012/PT.Bdg.
Pengadilan
Tinggi
Bandung
Nomor